Share

2. Pertolongan

Sherly keluar dari mobilnya dengan lunglai. Kali ini ia memilih memarkir mobilnya di basement. Ia menekan kunci otomatis dengan satu tangan, sedang tangan lainnya menenteng tas dan berkas kantor yang perlu diperiksanya malam ini.

Ia memutuskan untuk meneruskan pekerjaannya di apartemennya sendiri daripada harus bermalam lagi di kantor.

"Ah... lama-lama aku bisa cepat keriput jika harus begadang terus," gumamnya.

Ya, salah satu kebiasaan Sherly adalah kadang ia akan berbicara dengan dirinya sendiri jika ia merasa sedang kesal.

Sherly berdiri tepat di depan lift, menekan tombol naik untuk menuju ke lantai tiga dimana tempat tinggalnya berada. Saat lift tak kunjung terbuka atau menunjukkan pergerakan, Sherly mencoba menekan tombol naik berkali-kali, tapi tetap tak membuahkan hasil.

"Aah ... baguslah! Macet lagi liftnya," keluhnya.

"Oh, tahu akan begini harusnya aku parkir di halaman depan saja," gumamnya lagi.

Sherly menghembuskan napasnya perlahan dan menatap tangga darurat dengan perasaan berat. Mau tidak mau ia harus naik lewat tangga darurat, daripada harus memutar keluar basement lagi.

Sherly menghela napasnya sejenak, melepas kedua high heels-nya untuk memulai pertempurannya dengan anak-anak tangga yang seolah melambai-lambai meledeknya.

Lantai satu telah ia lewati dengan mulus. Selanjutnya, saat menuju ke lantai dua, ia mulai kehabisan napas.

Sherly menyeka keringat di dahinya yang keluar begitu banyak. Ia memutuskan untuk berhenti sejenak dan mengatur napasnya yang sudah terengah-engah.

Saat napasnya mulai mereda, Sherly melanjutkan lagi untuk naik ke anak tangga berikutnya. Di belokan terakhir, tiba-tiba ia dikejutkan oleh sesosok pria yang meringkuk dan merintih perlahan seperti menahan sakit.

Sherly membelalakkan matanya. Seolah tak yakin dengan yang dilihatnya, ia kembali mengerjapkan matanya. Benar! itu adalah sesosok orang yang sedang meringkuk.

"Ya Tuhan... kau tak apa-apa?!" teriak Sherly panik. Ia bergegas menaiki anak tangga tempat dimana orang itu duduk.

"Apa kau kesakitan? Kau kenapa? Apa yang terjadi padamu?!" tanya Sherly panik. Ia spontan mendekati pria yang sedang duduk itu.

"Ru ... rumah sakit ..." rintihnya "To ....long antarkan aku ... ke rumah sakit."

Sherly mengamati pria itu sejenak, dan ia tak tampak asing. Benar! Pria itu adalah pria yang dilihatnya tadi pagi di tempat pembuangan sampah. Ia adalah pria pemulung yang mengais-ngais sampah itu!

"O ... oke ... oke! Bertahanlah!" Sherly dengan cekatan membantu pria itu untuk berdiri dan memapahnya menuruni tangga.

"Lift sedang rusak lagi, kau tak keberatan kita melewati tangga? Apa kau kuat? Aku akan membantumu, oke?!"

Pria bertubuh besar itu tak menjawab pertanyaan Sherly. Ia tampak sedang menahan sakit. Sherly dapat melihat butiran-butiran peluh membanjiri seluruh wajahnya. Rambutnya yang berantakan tampak saling lengket dan menempel di dahi dan pelipisnya akibat basahnya keringat.

Penuh perjuangan bagi Sherly untuk membawa pria itu ke mobilnya. Ia harus mengapit tas dan berkas kantor di satu sisi tangannya. Sedangkan tangan satunya ia gunakan untuk memapah pria besar itu. Ditambah, ia harus menuruni tangga dengan memakai kembali high heels-nya!

"Brak!! ... " Sherly menutup pintu penumpang dengan tenaga terakhirnya.

"Aku harap berat badanku turun lima kilogram besok," gumamnya kewalahan. Sama seperti pria yang ditolongnya, Sherly pun banjir keringat.

Sherly masuk ke dalam mobilnya, menghempaskan berkas dan tas kantornya ke kursi penumpang di belakangnya. Napasnya memburu tak beraturan.

"Bagaimana keadaanmu? Tahan sebentar lagi oke, aku akan mengebut!"

Sherly menancap gas, membanting setirnya dengan lihai dan dengan kecepatan yang semakin tinggi ia keluar dari basement. Melaju dengan kencang untuk segera menuju ke rumah sakit terdekat.

Tak perlu waktu lama, mereka akhirnya sampai di rumah sakit terdekat yang dituju. Sherly keluar dari mobilnya, berlari ke pos penjagaan pintu masuk.

Dengan cekatan para petugas rumah sakit membawa dan memindahkan pria yang tampaknya sudah tak sadarkan diri itu ke atas ranjang beroda. Segera mereka membawanya ke Unit Gawat Darurat.

Sherly duduk dengan cemas di depan ruang gawat darurat, saat seorang perawat menghampirinya beberapa saat setelah pria yang kesakitan itu dibawa masuk ke dalam ruangan.

"Permisi Nona, selamat malam. Apakah anda wali dari pasien yang baru saja masuk?" tanyanya.

"Ya? ... Tidak! Oh! Ma ... maksudku aku memang membawanya, tapi aku tak mengenal dia," jelas Sherly.

"Dia sakit apa? Apa yang harus aku lakukan? Berapa pun biayanya aku yang akan bertanggung jawab." jelas Sherly

"Kami akan segera melakukan tindakan operasi, karena tampaknya ia menderita usus buntu akut. Kami perlu persetujuan walinya."

"Baiklah, lakukan apa pun yang terbaik."

"Baiklah, bisa tanda tangan di sini? Siapa nama pasien yang Anda bawa tadi?"

Sherly tergagap, ia tak tahu harus menjawab apa. Saat itu seorang dokter berlari kecil mendekati mereka.

"Aku yang akan mengambil tindakan operasi," ujarnya.

"Anda yang membawa pasien tadi, Nona? tanyanya.

"Iya ... hanya saja ..."

"Jangan khawatir, kami akan menanganinya sebaik mungkin. Untuk prosedur lainnya bisa kita urus terakhir."

Sherly mengangguk gugup. Dokter memberi aba-aba ke perawat tadi untuk mengikutinya. Tampaknya memang keadaan pria tadi cukup serius untuk segera ditangani.

Sherly menunggu di kursi tunggu depan ruang operasi dengan sabar. Sudah sekitar satu jam ia menunggu jalannya operasi. Hingga akhirnya dokter yang menangani operasi pria itu keluar diikuti oleh beberapa perawat di belakangnya.

Sherly refleks berdiri. "Bagaimana dokter?" tanyanya cemas.

Dokter tampan itu tersenyum menenangkan, "Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Anda membawanya tepat waktu, Nona. Jika terlambat sedikit saja, itu akan membahayakan nyawanya."

Sherly menghembuskan napasnya tanda  lega. "Syukurlah ... terima kasih," balasnya.

"Apa hubungan Anda dengan pasien? Apa Anda walinya?" tanya dokter tersebut.

"Mm ... sebenarnya saya tidak mengenalnya, tapi ... saya akan bertanggung jawab sepenuhnya," jawab Sherly gugup

"Sekarang pasien masih tidak sadarkan diri, jika ada perkembangan lain kemana kami akan menghubungi?" tanya dokter itu.

Sherly dengan cepat mengeluarkan kartu nama dari dompetnya. Dokter tersebut menerimanya sambil tersenyum, membacanya sebentar. "Baiklah Nona Sherly ... kami akan menghubungi Anda untuk perkembangan selanjutnya."

"Baik, terima kasih dokter."

"Chris ..." balasnya. "Panggil saja Chris."

"Ya ... terima kasih Dokter Chris."

"Saat ini, Anda bisa kembali pulang ke rumah. Besok pagi kami akan menghubungi Anda untuk pemberitahuan kondisi pasien"

Sherly mengangguk. Ia segers memutuskan untuk pulang ke apartemennya dan akan kembali lagi keesokan harinya .

******

Esoknya ...

Sherly terperanjat mendengar suara alarm dari ponselnya. Semalam ia tidur di depan ruang TV nya sambil beralaskan karpet bulu di bawah sofanya. Ia menggapai-gapai mencari letak ponselnya yang menimbulkan suara mengganggu itu.

Semalam Sherly melanjutkan lagi pekerjaannya sepulangnya ia dari rumah sakit. Ia terlalu lelah untuk pindah ke tempat tidurnya begitu pekerjaannya selesai.

Sherly berjalan gontai menuju ke kamar mandinya. Badannya masih terasa letih karena aktivitasnya semalam. Menopang tubuh pria besar bukanlah hal mudah bagi gadis seperti dirinya dengan badan yang jauh lebih mungil dari pria itu.

Ia tiba-tiba teringat lagi pria yang ditolongnya semalam. Sherly bergegas untuk mandi dan mempersiapkan diri. Ia berencana akan mampir ke rumah sakit dalam perjalanannya ke kantor.

**Sesampainya di rumah sakit ...

Sherly berjalan menyusuri lorong-lorong rumah sakit, berusaha untuk mulai mencari kamar yang dimaksud setelah dirinya bertanya pada petugas resepsionis tentang keberadaan pasien Dokter Chris yang dibawa semalam.

Sementara di dalam ruangan ...

"Usus buntu? Seorang Dean tumbang karena usus buntu?" Chris menggeleng mencemooh.

"Jangan berlaku tidak sopan kepada pasienmu!" protes Dean

"Ingat ya ... kau nanti harus berterima kasih pada gadis cantik yang sudah membawamu ke sini semalam. Jika bukan karena dirinya, mungkin nyawamu tidak akan tertolong. Jika sedetik saja ia terlambat membawamu kemari, you're finished dude ..."

"Aku tahu," jawab Dean singkat.

"Aku bisa membayangkan bagaimana kewalahannya gadis berbadan mungil itu membawa tubuh gorilamu," gumam Chris.

Dean memberengut, menatap sahabatnya yang terkekeh mengejeknya. Chris adalah sahabatnya sejak mereka bertemu di bangku sekolah menengah atas. Ia begitu dekat dengan Chris hingga sekarang. Chris adalah salah satu sahabat yang mengetahui semua kisahnya. Termasuk rahasianya.

"Tok ... tok ... tok ..." ketukan halus terdengar di pintu masuk kamar Dean.

Refleks Dean langsung memejamkan matanya begitu melihat sesosok gadis memasuki kamarnya.

"Permisi ... selamat pagi," sapa Sherly begitu memasuki ruangan.

"Oh, selamat pagi Nona Sherly!" Chris menyambut kedatangan Sherly.

"Maaf, apa saya mengganggu?" tanyanya ragu-ragu.

"Oh tidak ... kita hanya sedang berbincang dan ..." Chris menoleh ke arah Dean yang ternyata sudah memejamkan matanya, berpura-pura tidur.

"Ah ... maksud Saya, Saya sedang memeriksa kondisi pasien, dan sekarang sudah selesai." jawab Chris cepat, seolah mengerti mengapa Dean melakukan itu.

Ia beranggapan Dean pasti sedang menghindari Sherly dengan berpura-pura tidur.

"Bagaimana keadaannya?"

"Cukup baik. Hanya dalam beberapa hari lagi ia bisa kembali ke rumah saat kondisinya sudah memungkinkan."

"Syukurlah. Mm ... dokter, apa Anda sudah mengetahui namanya?" tanya Sherly hati-hati.

"Well ... itu, sayangnya belum." Chris berkata demikian karena tidak yakin nama yang mana yang akan Dean pakai untuk memperkenalkan dirinya pada gadis itu. Ia tidak ingin membuat kesalahan.

"Oh, begitukah? Apa ia belum sadarkan diri dari semalam?"

"Sudah ... hanya saja, bisa dibilang keadaannya saat itu belum begitu stabil untuk bisa ditanyai"

"Oh sungguh malang." Sherly merasa kasihan pada pasien itu.

"Bagaimana anda mengenalnya, Nona?" Chris mulai penasaran.

"Yah, sebenarnya saya tidak mengenalnya. Saya hanya pernah bertemu dengannya kemarin pagi, saya kira dia pemu ... Ah! Maksud saya, saya hanya bertemu dengannya di area apartemen tempat tinggal saya." Hampir saja Sherly keceplosan menyebutnya pemulung.

"Dan malamnya saat saya kembali dari kantor, saya menemukannya sedang kesakitan di area tangga darurat apartemen. Jadi saya memutuskan membawanya kemari setelah ia meminta tolong," lanjut Sherly.

"Ia sungguh berhutang nyawa pada Anda. Sepertinya setelah ia kembali sadar nanti, mungkin saya akan memberikan nomor Anda agar ia bisa berterima kasih pada Anda?" ucap Chris dengan intonasi penuh penekanan yang sebenarnya ditujukan untuk sahabatnya itu.

"Oh ... tidak perlu. Saya hanya kebetulan menolongnya saja."

"Anda sungguh baik." balas Chris.

"Tidak ... itu bukan apa-apa. Saya sudah menyelesaikan administrasi pembayaran untuk pasien sampai hari ini. Jika ada kekurangan, tolong hubungi saya lagi, Dokter"

Chris tampak sedikit terkejut. Begitu juga Dean, dia sedikit mengernyit.

"Wah, Anda baik sekali, mengapa sampai melakukan sejauh itu? Apa Anda tidak ingin menunggunya siuman, agar dapat berdiskusi dengannya?" tanya Chris.

"Oh tidak perlu dokter. Saya rasa pria itu sedang sedikit mengalami, mm .... mu ... mungkin kesulitan finansial," kata Sherly ragu-ragu.

"Mengapa begitu?" tanya Chris ingin tahu.

"Yah ... hanya saja saat saya bertemu dengannya, ia sedang ... mmm ... bagaimana mengatakannya ya? Ia sedang mengais-ngais sampah ... ja ... jadi saya mungkin sempat mengira ia adalah seorang, maaf ... pemulung," bisik Sherly.

Whaaaattt...?!! Pemulung?!! Batin Dean. Diam-diam Dean mengatupkan rahangnya kecang-kencang, menahan kesal.

Chris mengerjapkan matanya, terkejut sekali dengan apa yang gadis itu katakan. Bagaimana bisa ia menyebut Dean seorang pemulung?! Chris mengatupkan mulutnya, mencoba untuk tidak tertawa, dan bersikap normal.

"Well ... itu ... sangat mengejutkan." ucapnya kemudian. Sherly hanya mengangguk penuh simpati.

"Baiklah, jika kondisinya sudah membaik kami akan menghubungi Anda segera dan ..."

"Tiuuutt...."

Tiba-tiba suara gas seperti terjepit terdengar lirih tetapi jelas di dalam ruangan, memotong pembicaraan Chris yang belum selesai.

Seketika suasana hening. Baik Chris dan Sherly saling terkejut mendengar suara kentut dari Dean yang tiba-tiba saja keluar. Mereka sama-sama melemparkan pandang ke arah Dean yang pura-pura sedang tertidur.

Tak dipungkiri wajah Dean seketika berubah menjadi merah, karena menahan malu yang teramat sangat!

Chris menarik napasnya dengan panjang. Menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan sebisa mungkin agar tidak terbahak.

"Well ... hmm ... tampaknya kondisi pasien kita sudah membaik. Itu hal yang bagus saat pasien pasca operasi membuang gas. Tanda yang bagus, artinya kondisinya mulai membaik. Tinggal menjalani masa pemulihan sekitar 4 sampai 6 minggu, dan harus dijaga agar luka bekas operasinya tetap kering. Sebisa mungkin tidak melakukan aktivitas berat atau berlebihan. Olah raga pun tidak boleh dilakukan sementara ini dulu ..." tanpa sadar Chris banyak mengoceh untuk menutupi kecanggungannya.

"Oh! Y...ya ... oke! Hmm ... oke, baiklah akan saya ingat itu. Baguslah, terima kasih atas penjelasannya dokter." jawab Sherly canggung. "Ka ... kalau begitu saya permisi dulu," pamitnya kemudian.

"Silakan," jawab Chris tenang.

Beberapa saat setelah Sherly keluar dan menutup pintu, Chris seperti meledak! Ia tertawa terbahak-bahak! Melepaskan semua yang ditahannya, hingga meneteskan air mata saking gelinya.

"Dam**...!! Chriiis Shut Up !!!!!"

Dean refleks melempar Chris dengan bantal karena ia masih terpingkal-pingkal dan belum bisa menghentikan tawanya. Dean kembali mengutuki dirinya dalam hati dengan perasaan malunya.

******

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Kikiw
Plis.. ini ngapa begini lo Dean
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status