Sherly Violeta Dunn. Gadis manis, mungil dan langsing itu sedang berdiri di depan cermin riasnya. Ia memutuskan menjepit rapi sisi kanan rambutnya untuk sentuhan terakhir penampilannya sebelum dirinya bersiap berangkat ke kantor.
"Hmm ... sempurna, rapi, cantik," gumamnya mematut diri dengan tampilannya yang dirasa sudah memuaskan.
Gadis berusia awal 25 tahun itu tampak puas dengan padu padan baju kerjanya hari ini. Rok terusan formal berwarna putih selutut dipadu dengan blazer navy ringan yang memberikan kesan manis dan anggun.
Sherly sedikit tergesa saat melihat jam tangannya. Ia harus bergegas agar tidak terlambat berangkat ke kantor. Dengan cekatan ia meraih kunci mobil dan tasnya sebelum akhirnya melesat menuju pintu apartemennya. Terburu-buru mengenakan high heels dan menyambar kantong sampah plastiknya sebelum keluar.
Apartemennya merupakan bangunan yang cukup rapi dan strategis dengan pemandangan gunung dan kota yang saling berdampingan. Karena alasan itu Sherly memilih untuk menyewa apartemennya ini. Dengan kualitas udara yang masih segar dan terjaga di pagi hari, menjadi pertimbangan tersendiri untuknya.
"Oh, aku hampir terlambat," gumamnya cemas ketika ia keluar dari lift
Di sebelah tempat parkir mobil para penghuni apartemen, ada satu bagian tersembunyi di sudut bangunan yang merupakan tempat pembuangan sampah. Pagi ini Sherly hendak membuang bungkusan plastik sampah yang dibawanya ke tempat bak pembuangan.
Saat itu, dilihatnya ada seorang pria sedang berjongkok sambil mengais-ngais beberapa kantong sampah plastik yang terbuka dan tercecer di sana. Pria itu tampak serius dengan kegiatannya, sehingga tidak menyadari kehadiran Sherly dari arah belakangnya.
Sherly mengernyit, sedikit ragu untuk maju. Ia merasa sedikit tidak nyaman dengan kehadiran pria itu. Dari belakangnya, ia dapat mengamati penampilan pria itu yang sangat kumal dengan rambut acak-acakan dan celana olah raga serta kaus yang tampak butut yang dikenakannya itu, membuat penampilannya terlihat sangat berantakan. Hingga Sherly menduga pria itu adalah seorang pemulung.
Pria itu menghalangi sebagian besar jalan masuk yang menuju ke bak pembuangan. Mau tidak mau Sherly harus melewati pria itu untuk menjangkau salah satu bak penampungan sampah.
"Maaf ... permisi, Pak," sapanya takut-takut. Pria itu sedikit menoleh mengamati Sherly sekilas, tetapi tidak beranjak dari tempatnya.
"Bisakah saya lewat sebentar?" ucapnya kikuk sambil memperlihatkan tentengan plastik sampahnya.
Pria itu berdehem, dan tanpa mengatakan apa-apa dengan segera ia berdiri. Badannya tampak begitu menjulang di hadapan Sherly yang bertubuh mungil setelah pria itu berdiri tegak.
Sherly refleks sedikit mendongak untuk mengamati wajah pria tersebut. Kedua matanya tertutup poni yang acak-acakan sehingga ia tidak dapat melihat keseluruhan wajahnya. Rambutnya yang agak panjang terkesan sangat berantakan karena sebagian besar menutupi lehernya. Entah mengapa Sherly merasa sangat gemas hingga ia berpikir ingin sekali rasanya menguncir semua rambut berantakan pria itu.
Pria itu berdehem lagi, seolah memberi isyarat dan mengingatkan agar Sherly segera membuang sampahnya.
"Ah,... ya, maaf!" Sherly refleks membuyarkan pikiran anehnya tentang pria itu. Ia merasa sedikit malu karena sudah berlaku tidak sopan. Sherly kemudian berjalan mendekati bak-bak sampah yang besar untuk segera memasukkan sampahnya. Setelah itu bergegas menuju parkiran mobil.
Sherly sempat menengok sebentar ke belakang untuk memastikan lagi keberadaan pria itu. Benar saja, sekepergiannya, pria itu kembali berjongkok untuk mengais-ngais kantong sampah yang sudah terbuka di hadapannya.
Aneh! Pikir Sherly. Baru kali ini dilihatnya ada seorang pemulung yang berkeliaran di sekitar apartemennya. Tak mau berlama-lama lagi, tanpa pikir panjang ia segera menancap gasnya untuk berangkat ke kantor.
Sesampainya...
Kantor tempatnya bekerja merupakan sebuah perusahaan game online yang cukup maju. Sherly adalah seorang asisten pribadi pemilik perusahaan game online yang bernama Cutie Pie.
"Kau terlambat lima menit Sher," sambut Lucy ketika dirinya memasuki ruangan luas di lantai tiga dimana tempatnya bekerja. Sherly hanya meringis kecil.
Sherly membuka pintu ruang kerja Nick, pemilik sekaligus CEO tempatnya bekerja.
"Morning bos!" sapa Sherly sambil bergegas memasuki ruangan.
Tempat kerjanya berada dalam satu ruangan dengan Nick. Dilihatnya Nick bosnya itu sedang memeriksa berkas di atas mejanya.
"Hari ini kau terlambat lima menit," balasnya singkat.
"Maaf bos karena sudah datang terlambat." Sherly memasang wajah menyesalnya. "Tadi sebelum berangkat saat aku akan membuang sampah, ada pemulung di apartemen kami yang sedang mengais-ngais bak sampah dan menghalangi jalanku dan ..."
"Pemulung?" potong Nick heran. Nick tergelak sambil menggeleng, "Kali ini ceritamu tidak masuk akal. Tidak mungkin ada pemulung yang berani masuk ke sana. Bukankah pos penjagaan apartemen kalian selalu siap 24 jam?"
"Terserah kalau tak percaya, boleh aku membuat kopi dulu, please? Karena tadi aku tak sempat sarapan."
"No. Tak akan sempat. Ayo ikut aku segera, kita sudah terlambat janji temu dengan perusahaan periklanan"
"Oh Nick ..." balas Sherly merajuk. Baru saja sedetik dirinya meletakkan tas kerja, sekarang sudah harus bergegas pergi lagi.
"Cepatlah!" balas Nick. Walau umurnya selisih 5 tahun lebih muda dari Nick, Sherly memanggil bosnya hanya dengan sebutan nama. Begitu juga saat berada disekitar kantor. Pasalnya, Nick tidak mau dipanggil pak atau tuan, atau semacamnya oleh para karyawan kantornya.
Nick menerapkan konsep ringan dan santai untuk perusahaannya, yang memang khusus memproduksi game-game imut dan lucu untuk anak-anak, gadis remaja, dan para wanita. Konsep yang diusung perusahaan game yang didirikan Nick adalah ceria, imut, dan cantik. Seperti gadis yang sekarang berada di sampingnya ini.
Sekeluarnya dari lift, Nick tidak langsung menuju pintu utama. Ia berbelok ke arah kafe kantor yang berada di pojok pintu masuk utama.
Sherly yang sedari tadi memeriksa jadwal Nick dari ponselnya, belum menyadari ketika Nick berbelok ke arah kafe. Nick sampai harus kembali berbalik dan menarik lengan Sherly yang masih tertinggal di belakangnya.
"Hentikan kebiasaanmu menatap ponsel saat sedang berjalan." Nick mengarahkan Sherly pada salah satu kursi kafe. Ia meninggalkan Sherly sebentar dan berbalik sambil menyodorkan bungkusan sandwich dan segelas kopi yang sudah ia pesan sebelumnya.
"Makanlah nanti selagi aku menyetir." ucapnya.
Sherly terkejut, tetapi kemudian tersenyum senang. Nick selalu baik kepadanya dan selalu memberinya kemudahan dalam bekerja.
"Wow ... thanks Bos!" balasnya senang.
Nick tersenyum, "Aku tak mungkin membiarkanmu bekerja dalam keadaan lapar." ucapnya.
Nick sangat puas jika dapat membuat Sherly ceria. Dan salah satu hal yang Nick tahu benar untuk menyenangkan gadis itu adalah makanan.
******
Seorang pria bertopi dan berbaju serba hitam terlihat mengendap-endap di antara bangunan sempit pertokoan. Dia mengikuti sesosok pria lainnya yang sedang berjalan tergesa-gesa di depannya.
Sebisa mungkin ia mencoba berbaur dan berlindung di antara lalu-lalang orang-orang yang melintas. Saat ada kesempatan, pria yang tergesa-gesa tersebut berbelok dengan cepat pada salah satu gang sempit dan melompat masuk melewati tembok yang menghubungkan salah satu bangunan yang ada di dekatnya, yaitu "Heaven Nightclub".
Si pria pengejar berhenti. Ia celingukan dan mencari-cari di antara gang sempit tersebut. Sadar karena sasarannya menghilang, ia membuka topinya dan melemparnya dengan kesal di pinggir trotoar jalan.
"Sial!" umpatnya.
Dilihatnya bangunan berlantai tiga yang ada dibelakangnya dengan seksama. Sebuah club malam berdiri disana. Karena sekarang masih siang hari, club itu masih tutup.
"Heaven Nightclub" tepat pria itu menghilang di belakang bangunan ini. Dalam hati, si pengejar itu bertekad akan kembali lagi segera ke tempat ini.
Jika tertangkap habislah kau! Batinnya geram.
*******
Tiga bulan kemudian ... "Cantik dan sempurna. Kau telah siap, Sayang?" Joanna merapikan gaun pengantin Sherly dengan binar yang jelas terlihat di matanya. Siang ini, Dean dan Sherly akan mengadakan resepsi pernikahan mereka pada sebuah hotel mewah dengan ballroom megah yang menjadi pilihan lokasinya. "Bukankah aku sudah terlalu besar, Mom? Aku merasa sedikit tidak begitu percaya diri pada bagian dada, perut, pinggulku, oh ... hampir semuanya ... aku merasa membengkak," bisik Sherly tertahan. "Siapa bilang kau membengkak? Kau sempurna, Sayang ... kau tampak menggoda dan begitu seksi." Dean yang tiba-tiba melangkah masuk mengejutkan Sherly dan Joanna yang sedang bersiap. Ia mencium pipi Joanna, sebelum akhirnya mencium Sherly dengan mesra. "Kau sudah siap bukan, Sayang?" tanyanya kemudian pada Sherly. "Belum. Aku ... sangat gugup," Sherly sedikit mengernyit dan meringis. Joanna tersenyum, "Tak perlu gugup, Sayang. Tarik nap
Dean mengerjapkan matanya dan sedikit merintih saat ia terbangun di dalam kamarnya. Kepalanya masih berdenyut karena sisa-sisa kekacauan semalam. "Kau sudah bangun?" Sherly meletakkan sarapan pada salah satu meja di dalam kamar. "Uh, ya Sayang. Apa yang terjadi semalam? Bagaimana aku bisa kembali ke rumah?" tanyanya masih sambil memegangi kepalanya. "Kau tak ingat apa pun?" tanya Sherly lagi. "Uh, yang aku ingat adalah ketika mereka membawaku dan ...." Seolah tersadar, Dean segera menghentikan ucapannya. Ia menatap Sherly yang telah berdiri di depannya dengan tatapan tajam. "Oh, Sayang ... ma ... maafkan aku. Kau marah? Kau sudah mengetahuinya ya," gumam Dean lirih. Sherly mendekati Dean dan berdiri di samping ranjangnya. "Jelas," tegasnya. "Mengapa kau tak bercerita apa pun padaku? Jika si bodoh Chris tak memberi tahu, dan kami terlambat datang, aku tak tahu lagi apa yang akan terjadi padamu." Sherly menggeleng-geleng kesal. "
Billy, suami Vania masuk dengan tatapan menyelidik. Ia dan enam anak buahnya yang datang, memenuhi kamar hotel berjenis suite room itu dengan gaya garangnya.BRAKK!!Baru sejenak ia masuk, pintu kamar lagi-lagi dibuka paksa dengan keras. Sontak semua ikut terkejut. Hanya satu orang yang begitu lega ketika melihat wajah-wajah familier yang menyeruak masuk setelahnya."MANA WANITA YANG BERANI MENYENTUHKAN TANGANNYA PADA SUAMIKU? AKU PASTIKAN IA AKAN HABIS!"Sherly dengan tatapan membunuhnya masuk begitu saja untuk menyelidik seluruh ruangan. Tatapannya langsung terpaku pada sosok Dean yang sedang tergeletak di atas ranjang.Serta merta ia menghampiri Dean dan Vania yang sedang berdiri mematung di pinggir ranjang.Sherly tidak langsung menghampiri Dean. Ia memilih menatap Vania dan berhadapan dengannya. Tanpa diberi tahu pun, ia
Sekepergian Dean yang dibawa oleh Vania dan anak buahnya, Chris begitu kalut dan bingung. Walau begitu, ia tak berlama-lama berdiam diri di tempatnya. Ia kemudian menekan nomor di ponselnya dengan segera. Sementara itu ... Sherly sedang menata meja makan dengan hidangan-hidangan menggiurkan untuk menyambut kedatangan Adriana dan Nick. Ya, Adriana dan Nick akan menemaninya malam ini selama Dean pergi dengan Chris. Sherly sengaja mengundang Adriana untuk makan malam karena ia ingin berbincang dan membicarakan kehamilan mereka yang tak terpaut jauh. "Apa kau bilang, Chris?!" Teriakan panik Adriana terdengar hingga ke ruang makan saat Sherly sedang menata meja. Ia yang begitu penasaran kemudian menghampiri Adriana yang baru saja sampai di pintu masuk. "Ada apa? Apa yang telah terjadi?" tanya Sherly. Ia seketika merasakan firasat buruk. Adriana memandang Sherly dengan sedikit bimbang, "Be ... begini, Sherly, Dean ... ia ..
Malam itu, Dean dan Chris telah sampai ke restoran yang dituju. Vania dengan gaun malam merahnya yang melekat seksi mengikuti bentuk tubuhnya telah menanti mereka pada salah satu meja. Vania tersenyum saat kedua pria yang telah dinantinya itu ikut bergabung dengannya. "Wow, kalian terlihat tampan," ucapnya dengan nada menggoda. Vania adalah tipe wanita matang yang seksi dengan tampilan mewah elegan yang mampu menghipnotis setiap mata yang melihat. Wanita awal tiga puluhan itu tampak sedikit mencolok karena makeup bold-nya yang berani yang menghiasi wajahnya. "Baiklah, kami telah di sini, mungkin bisa kita mulai makan malam kita sekarang," ucap Dean formal. "Ow, jangan terburu-buru Tampan, kita bahkan belum saling sapa," Vania mengerling dengan genit. "Oh, ayolah Vania. Kau sudah berjanji bukan?" ucap Chris. "Ah, oke ... oke, kau tak menyenangkan, Chris. Baiklah, mari kita nikmati hidangan kita." Dengan memberi isyarat, para pel
Chris dengan gugup menghampiri Dean yang sedang menunggunya di ruang tamu. Ia tahu sahabatnya itu pasti sangat kesal padanya sekarang. Ia memilih menemui Dean di rumahnya daripada di luar karena Chris tahu, Dean tak akan berbuat sesuatu padanya jika ada Sherly di dekatnya. "Biar aku bantu kau membawanya Sherly," Chris bertemu Sherly ketika ia keluar dari dapur dan membawa senampan hidangan kecil dan minuman hangat. "Hai, Chris! Aku tak tahu kau akan datang ke rumah? Kau sudah makan malam?" tanya Sherly. "Ya, Sherly. Aku hanya ingin bertemu dengan Dean sebentar." Chris melihat Dean sudah menatapnya dengan tajam saat dirinya dan Sherly mendekat. Ia meletakkan nampan yang ia bawa ke atas meja di depan Dean dengan melirik-lirik gugup pada sahabatnya itu. "Hai Kawan, maaf aku baru bisa datang," Chris melambai dengan canggung. Sherly yang mengambil tempat duduk di sebelah Dean mulai mempersiapkan minuman hangat untuk Dean. Dean melot
Dean telah sampai di sebuah restoran tempat bertemunya dengan calon pembeli seperti yang telah Chris beri tahu di dalam pesan yang ia terima di ponselnya. Chris yang memberi kabar bahwa dirinya akan datang terlambat karena beralasan bahwa ia sedang banyak pasien, menjanjikan akan datang secepatnya begitu pekerjaannya selesai. Dean yang tak curiga dan menganggap hal itu biasa tak mempermasalahkannya. Ia tahu pekerjaan Chris yang padat memang sering kali menyita banyak waktunya. Siang yang tak begitu padat memudahkan Dean untuk memesan meja di sebuah restoran yang kebetulan adalah milik kenalannya. Ia dengan mudah mendapatkan meja hanya dengan menghubungi si pemilik. Tak berselang lama setelah dirinya menanti, datanglah seorang wanita yang mendekati mejanya. Wanita berambut panjang dan pirang itu sudah melambai dari kejauhan saat melihat sosok Dean. Dean yang tak membalas hanya menunggu saat wanita itu mendekatinya. "Dean Austin, benar?" ucap wa
Seminggu setelah kejadian yang disebabkan oleh Vivian mereda, Sherly dan Dean berkumpul bersama Adriana dan Nick untuk sekadar makan siang bersama di kediaman Dean. "Bagaimana keadaanmu Dean? Apa kau sudah benar-benar pulih sekarang? Aku masih tak percaya kalian mengalami hal yang begitu mengerikan," ucap Nick. "Bisakah kalian tinggalkan hal-hal seperti itu? Sayang?" lanjutnya. Kali ini Nick merujuk pada Adriana. Ia selalu merasa ngeri setiap kali orang terdekatnya mengalami hal-hal buruk. Dan kejadian itu tak hanya sekali saja terjadi. "Oh, kita sudah beberapa kali membahas hal ini. Bukankah kita sudah sepakat? Ini pekerjaanku, kau tahu sendiri bukan?" Adriana menimpali dengan tenang. "Benar, justru karena aku tahu, aku semakin cemas dan ngeri setiap kali kau berangkat bekerja!" Nick memprotes Adriana. "Aku telah mengalami beberapa hal yang menegangkan dan gila saat melihatmu bekerja. Kau sungguh keren, tapi kau juga membuat jantungku serasa hampir c
"Oh, ya Tuhan!" Adriana terlihat panik dan ngeri. Ia begitu tercekat menatap kobaran api yang tiba-tiba saja menjilat-jilat dan memenuhi ruangan berkayu itu. Sejenak ia membeku di tempatnya karena begitu shock. Ia seolah tak dapat berpikir. Ia akhirnya dapat kembali tersadar saat mendengar teriakan Sherly. Adriana sendiri kemudian memaksakan diri untuk bangkit dan mendekat. "Oh, ya Tuhan Dean!!" Sherly yang begitu panik melihat Dean terlalap api tak dapat berbuat apa-apa. "Tolooong!!" teriak Sherly. "Kalian, cepatlah bertindak sebelum api menyebar!! Lakukan sesuatu! Bergeraklah!" Adriana berteriak memberi perintah pada anak buahnya yang telah bersiap. Beberapa anak buah yang cepat tanggap segera berhambur ke dalam pondok dan menarik Dean, Sherly, juga Vivian yang masih membeku di atas lantai. Api yang menjalar dengan cepat membuat para petugas kewalahan dan bergerak sigap untuk menyelamatkan mereka. Begitu mereka keluar dari rumah ters