Share

Chapter 10

“Aku akan mempertemukan kau dengan Evans."

Daisy mendongak, ketika aku melontarkan kalima yang sejak dulu ia tunggu-tunggu.

“Sungguh?” Daisy berhenti mengetik di komputer.

Aku mengangguk. “Yap. Sore ini kalau kau mau?”

“Ya, aku mau. Aku akan menyelesaikan pekerjaan ini secepat mungkin.” Daisy tampak bersemangat.

“Tapi, sebelum ke aku mempertemukan kau dengan Evans. Kita ke rumah sakit dulu!"

Daisy menaikkan kedua alisnya. “Siapa yang sakit?"

“Kau.”

“Aku?” Daisy menunjuk dirinya sendiri. “Aku tidak sakit apa-apa.”

“Memar di tubuhmu, harus segera diobati.”

“Ooh. Tidak perlu, nanti akan sembuh sendiri,” jawab Daisy enteng, sambil melanjutkan pekerjaannya lagi.

“Ini perintah, Daisy. Kau tidak boleh membantahku,” kataku. Lalu kembali masuk ke dalam ruangan.

Bahkan, sebelum Daisy sempat membantah lagi.

***

Pukul lima sore, akhirnya pekerjaan aku dan Daisy selesai. Kami keluar gedung bersama menuju basement.

Aku mengerutkan kening, ketika Daisy membuka pintu belakang mobilku.

“Daisy, kau sedang apa?”

Daisy menatapku dan menutup pintu mobil kembali. “Maaf, aku pikir, aku boleh masuk.”

“Yah, boleh. Tapi kau duduk di depan, bukan di belakang.”

“Ng … aku di belakang saja, Pak,” ujar Daisy tidak enak hati.

“Kau anggap aku ini supirmu?”

“Ha?”

“Iya, aku supirmu. Dan kau nyonya yang duduk di belakang? Begitu?”

Daisy tercengang. “Sorry,” lalu duduk di depan bersamaku.

Aku menatap Daisy lagi—yang duduk diam tanpa mengenakan seatbelt-nya. Aku menghela napas, lalu mendekatkan diri ke arahnya. Daisy terperanjat, lalu refleks menamparku.

“Aw!” Aku meringis. Entah, untuk yang keberapa kali.

“Apa yang kau lakukan?”

“Kau belum pasang seatbelt!” Bentakku.

Daisy terperanjat kaget.

“Kau memang hobby menampar orang lain ya?”

“Ma-maaf.”

Aku segera memakaikan sabuk pengaman untuk Daisy. Kemudian, mobil kami melesak meninggalkan basement gedung perusahaan.

Lagu maroon five terus berkoar di stereo mobilku. Sedangkan aku dan Daisy saling diam, terpaku memandang jalanan di depan.

“Bagaimana pacarmu?” Aku memulai percakapan.

Daisy menoleh ke arahku. “Ha?”

“Pacarmu,” kataku lagi.

“Ooh ….” Daisy memandang ke depan. “Aku tidak tahu. Dia tidak ada kabarnya lagi.”

“Kau yakin? Ng … maksudku, kau tidak berusaha untuk menyembunyikan dia kan?”

“Tidak!” Daisy berseru. “Aku tidak berniat untuk menyembunyikan dia.”

“Yasudah, kenapa kau marah-marah.”

Daisy mendengus kesal. “Lagipula, aku kan sudah janji akan melunasi uang kakakmu.”

“Berapa sih hutang ayahmu dengan Vespa Butut itu?” Tanyaku.

“25.000 USD,” jawab Daisy.

“Berarti hutangmu sudah lunas. Jadi, kau tidak perlu lagi bergantung padanya. Aplagi, menikah dengan si Vespa Butut.”

Daisy hanya diam tidak menanggapi.

“Kau masih mencintai Vespa Butut?” Aku bertanya lagi. Karena diam Daisy membuatku ambigu. Sebenarnya, bagaimana perasaan Daisy dengan Vespa Butut itu?

Daisy menggeleng pelan. “Aku cuma takut, tidak ada lelaki yang akan melindungiku lagi."

“Memangnya, vespa butut melindungimu?”

Daisy mengangguk. “Setidaknya, dia selalu melindungiku, setiap kali ada laki-laki jahat yang menggangguku. Aku sudah terbiasa hidup dengan Tonny.”

“Daisy, masih banyak laki-laki yang lebih layak bersanding denganmu. Dibandingkan si Vespa Butut bodoh itu.”

Setelah mamakan waktu setengah jam, akhirnya kami sampai di salah satu rumah sakit langgananku. Aku membawa Daisy untuk bertemu Dokter—yang biasa menangani keluargaku—setiap kali mereka sakit.

Dokter Gideon memeriksa kondisi luka memar yang ada di tubuh Daisy. Wanita itu sempat meringis berkali-kali setiap kali Dokter Gideon memeriksa keadaannya.

“Lukanya tidak terlalu serius,” kata Dokter Gideon sambil menuliskan resep. “Aku akan memberiksan  obat untuk penghilang rasa sakit dan nyeri, ya,” lanjut Dokter Gideon lagi.

Lalu Dokter Gideon menatapku. “Pacar barumu?” Ngomong-ngomong, Dokter Gideon hanya dua tahun lebih tua dariku. Dia duda anak satu. Kami cukup akrab dan sering kumpul bersama setiap kali ada acara penting.

“Dia sekretarisku,” jawabku.

“Oke, kau bisa tebus obatnya di apotek.” Dokter Gideon memberikan selembar resep padaku.

Kemudian kami pamit dan kembali melanjutkan perjalanan, setelah berhasil menebus obat di apotek.

“Dia sudah punya pacar?” Tiba-tiba Daisy bertanya, ketika kami dalam perjalanan.

“Siapa?”

“Dokter Gideon.”

Aku menatap Daisy sepintas sambil menyipitkan mata tajam. “Dia duda. Kenapa?”

Daisy menggeleng sambil senyum-senyum sendiri. “Dia tampan juga.”

“Dasar gila,” ledekku. Kembali fokus pada jalanan di depan.

“Kau sebut aku apa tadi?” Sepertinya Daisy tidak terima.

“Gila. Wanita gila.” Aku memperjelas kalimatku.

“Kenapa kau sebut aku gila? Aku hanya mengaguminya.”

“Yup. Kau bukan seleranya. Jadi jangan bermimpi.”

Daisy mendengus kesal. Ia melipat tangan di dada dan kembali menatap lurus ke depan.

***

Aku tidak memberitahu Evans, kalau aku dan Daisy akan datang mengunjunginya. Rehan bilang, kalau Evans sedang ada di showroom tempat dia bekerja. Jadi, kami langsung menuju ke sana.

“Evans ….” Aku melihat Evans sedang memperbaiki sesuatu di kolong mobil.

Evans langsung keluar dari kolong mobil, dan kaget saat melihat kehadiranku.

“Drew?” Evans mengambil kain untuk membersihkan tangannya. “Sedang apa kau di sini?”

“Perkenalkan, ini Daisy.” Aku menunjuk Daisy. “Dia adiknya Kareen.”

Shit!” Evans mengumpat. Lalu melempar kainnya ke lantai dan berlari.

Mengetahui hal itu, Daisy langsung mengambil kunci inggris di lantai dan mengejar Evans.

“Mau kemana kau, laki-laki bajingan!”

Evans masuk ke dalam ruangan officenya dan mengunci pintu. Sedangkan Daisy, terus memukul pintu dengan kunci inggris, sambil berteriak.

“Keluar kau, sekarang juga! Atau, aku akan membunuhmu, Evans! Kau sudah membuat kakakku hamil.”

Teriakan Daisy, mampu membuat rekan kerja Evans keluar dari ruangan mereka masing-masing. Dan para pelanggan, ikut menonton aksi Daisy.

“Keluar kau, Evans! Aku akan menghancurkan pintu ini, jika kau tidak keluar!” Teriak Daisy lagi penuh emosi.

Salah seorang laki-laki—yang aku tebak adalah manager dari showroom ini, datang menghampiri Daisy.

“Permisi, Bu, apa yang sedang terjadi?” Tanya lelaki itu dengan lembut. Sepertinya, dia juga takut dengan Daisy. Aku hanya tertawa memperhatikan mereka semua, sambil melipat tangan di dada.  Ini pertunjukan yang menarik, bukan?

“Laki-laki bajingan yang ada di dalam, sudah menghamili kakaku. Aku hanya minta pertanggung jawabannya saja! Dia sengaja kabur dari kami!” Ujar Daisy marah-marah.

Lelaki itu pun mengetuk pintu Evans. “Evans, jika kau tidak keluar. Kau akan dipecat.”

“Pak, tolong bilang sama wanita itu, untuk tidak membunuhku.” Teriak Evans dari dalam dengan suara bergetar.

“Kau akan mati, jika kau tidak keluar!” Maki Daisy.

Akhirnya Evans membuka pintunya. Daisy hendak melayangkan kunci inggris ke kepala Evans, tapi aku segera menahan tangannya.

“Lepaskan aku, Drew. Bajingan ini harus mati!” Seru Daisy sarkastis.

“Tolong aku, Pak.” Evans berdiri di balik punggung bosnya.

“Kita bicarakan hal ini baik-baik, Daisy,” kataku. Lalu menatap Pak Manager. “Boleh kami meminjam ruangan ini sebentar untuk bicara?”

Pak Manager langsung mengangguk. “Silakan, silakan.”

Aku langsung menarik Evans dan Daisy ke dalam ruangan. Aku membuat mereka duduk terpisah, agar Daisy tidak terlalu brutal.

“Kenapa kau kabur?!” Daisy langsung memulai percakapannya dengan mata menyipit tajam.

“Aku ….” Evans tampak gemetaran. “Aku, belum siap menjadi Ayah.”

“Tapi, kau harus bertanggung jawab!”Teriak Daisy.

“Aku … aku tidak tahu harus bagaimana. Aku dan Kareen tidak mungkin bersatu.”

“Kenapa tidak mungkin?”

“Karena aku tidak mencintai Kareen.”

“Sialan!” Daisy beranjak dari kursi dan hendak melompat ke arah Evans. Lalu mencabik-cabik lelaki itu. Tapi, sebelum hal itu terjadi. Aku segera menarik Daisy, dan membawanya kembali duduk.

“Tenang, Daisy…,” sahutku.

“Kau minta aku untuk tenang? Aku tidak bisa!” Bentak Daisy padaku. Lantas Daisy kembali menatap Evans. “Aku tidak peduli, apa alasanmu. Aku hanya ingin kau bertanggung jawab, Evans! Kau harus menafkahi kakakku dan juga anak di dalam kandungannya!”

Evans diam. Dia menatapku dengan nelangsa. Aku hanya mengangkat bahu.

“Kareen tidak tahu, kalau sebenarnya aku ini orang miskin,” kata Evans putus asa.

“Sekarang dia sudah tahu. Dia tahu, kalau selama ini, kau menggunakan identitas Drew. Tapi bagaimanapun juga, kau yang sudah menghamili Kareen. Bukan Drew.”

“Yup!” Aku ikut menyambung.

“Oke baiklah. Tapi, beri aku waktu untuk mempersiapkan semuanya. Termasuk secara financial dan juga mental. Secepatnya, aku akan menikahi Kareen,” jelas Evans.

“Apa jaminanmu?”

“Apa jaminanku! Kau sudah tahu semuanya tentangku, kan? Kau bisa mencariku di mana saja. Apalagi, Drew ada di pihakmu sekarang.”

“Aku butuh Kartu identitasmu.” Daisy mengulurkan tangan.

Evans mengeluarkan kartu identitasnya dari dompet. Lalu memberikannya pada Daisy.

“Oke?” Tanya Evans memastikan, ketika Daisy memeriksa kartu identitas Evans.

“Aku butuh surat pernyataan di atas matrai. Dan Drew sebagai saksinya. Jika kau berbohong, siap-siap kau akan masuk penjara. Aku punya pengacara untuk mengangkat kasusmu.” Daisy mengancam. Berhasil membuat Evans takut.

Evans pun tampak pasrah. Dia hanya mengangguk. “Baik, baik. Aku setuju.”

Setelah itu, Daisy mulai membuat surat pernyataan yang di tandatangani di atas matrai. Lalu, Daisy juga meminta nomor ponsel Evans, jika sewaktu-waktu Evans diajak untuk menemui Kareen.

Setelah semua proses yang bikin heboh selesai. Aku dan Daisy kembali menuju mobil.

“Kau punya pengacara?” Tanyaku, mengingat ancaman Daisy kepada Evans. Seolah-olah, Daisy punya segalanya untuk membuat Evans K.O

“Tidak,” jawab Daisy singkat.

“Lalu, pengacara yang kau bilang tadi pada Evans?”

“Aku kan, punya kau sebagai jaminan.”

“Aku?” Aku menunjuk diriku sendiri.

“Yup!” Daisy mengangguk mantap. “Kau adalah sepupunya Evans. Sekarang, kau ada di pihakku. Jadi, jika suatu hari nanti Evans kabur. Kau yang akan menyediakan pengacara untukku.”

“Apa?”

Penulis Rahasia

Yukkk bantu dukung karyaku. Jangan lupa vote dan comment yah!

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status