“Drew, lepasin aku…. kemana kau akan membawaku pergi!” Aku terus membawa Daisy sampai masuk ke dalam lift. Daisy terus mengoceh tanpa henti, membuatku tidak tahan untuk tidak melumat bibirnya. Untunglah, hanya ada kami berdua saja di dalam lift ini. Daisy meremas kemejaku dan tidak bisa berkata apapun lagi. Ketika pintu lift terbuka, aku segera melepas ciuman dari bibir Daisy. Wajah perempuan itu bersemu merah karena malu. Hal itu membuatku jadi senyum-senyum sendiri melihatnya. Aku kembali menggenggam tangan Daisy dan membawanya keluar dari lift. “Lipstickmu berantakan.” Aku berbisik di telinga Daisy. Membuat wanita itu cepat-cepat menghapus lipsticknya dan memukul pundakku kencang. “Ini semua ulahmu, bajingan!” “Hahahah.” Aku tertawa kencang. “Habisnya, kau cerewet, sih.” Tibalah kami di depan ruangan Tuan Roy, dan aku mengetuk pintu sebelum masuk. “Maaf, aku ada masalah sedikit di bawah. Maaf membuatmu menunggu,” ujarku sunkan pada Tuan Roy. Tuan Roy tersenyum sambil memp
Mobil yang aku kendarai akhirnya sampai di depan rumah Daisy.Selain itu, aku juga melihat ada mobil orangtuaku, dan mobil Alexa yang ikut terparkir di halaman rumah Daisy.Ternyata, mereka lebih cepat dari yang aku duga.Padahal, aku hanya ingin mengirimi pesan singkat di grup keluarga.[Drew : Keluarga-keluargaku yang terhormat dan tersayang. Aku ingin minta bantuan kalian untuk ke rumah Daisy dan membicarakan tentang pernikahan kami kembali dengan kakaknya. Karena, Daisy si keras kepala ini masih menolak menikah denganku. Um, sebenarnya, dia mau. Tapi malu-malu kucing. Jadi, mohon bantuannya. Aku dalam perjalanan]“Kenapa ramai sekali di rumahku?” Daisy menatap bengong rumahnya sendiri.“Yap. Karena ada keluargaku,” jawabku enteng.Daisy mengerutkan dahinya. “Keluargamu? Apa yang keluargamu lakukan di rumahku?”“Berdongeng.” Aku menatap wajah Daisy yang sudah serius. “Tentu saja ingin membicarakan acara pernikahan kita, sayang.”“Atas izin siapa? Kau selalu bersikap sesuai kehendak
TOK TOK TOK!Ciuman kami terlepas. Alexa sudah berada di sebelah mobilku.Sial!Daisy jadi salah tingkah dan kembali duduk di kursinya sambil mengancing semua kemejanya. Sedangkan aku membuka jendela mobil.“Apa?” Aku memelototi Alexa kesal.“Sabar lah, brody! Kenapa kau lakukan itu sekarang, di mobil. Dasar bodoh!” Alexa memukul kepalaku.“Aduh!” Aku meringis. “Kau kenapa sih?”“Kau yang kenapa? Kau lakukan itu di mobil? Kau harus cari kamar hotel yang mewah. Bukan di mobil, dan di depan rumah Daisy pula. Dasar tolol!” Alexa memukul kepalaku lagi.“Heeeei, kau ini!” Aku ingin sekali membalas Alexa. Tapi, dia sudah menjewer telingaku.“Aduh, aduh! Sakit.” Aku meringis lagi.“Alexa, maaf, aku tidak bermaksud—“ Daisy berusaha menjelaskan. Karena sepertinya, dia merasa tidak enak hati. Atau mungkin, dia merasa menyesal telah melakukan hal itu denganku tadi.“Tidak masalah cantik. Aku suka melihat adikku yang mulai ganas! Dan aku suka, kau membalas permainan ganas adikku juga. Yang menjad
Aku keluar dari pintu dan berusah mengejar langkah Daisy. Lantas aku menggenggam tangannya agar kami terlihat romantis di depan semua keluarga.“Nah, ini dia calon pengantin kita sudah tiba,” ujar Ibu bersemangat.Melihat raut wajah mereka semua, sudah pasti kalau Kakaknya Daisy mengizinkan kami untuk menikah.“Hai, semuanya….” Aku menyapa hangat.“Kau habis dari mana?” Carla menatap Daisy. “Rambutmu kelihatan berantakan sekali.”Aku merasakan sentuhan tangan Daisy semakin erat. Mungkin dia gugup. “A-aku—““Tadi kami habis dari salon,” tukasku.Alexa langsung tertawa. Aku memelototi si nenek sihir itu.“Salon mana yang membuat rambutmu berantakan, Daisy?” Kreen melipat tangan di dada.“Ya ampun, memangnya ada yang salah dengan rambut Daisy? Kalian tidak lihat ya. Kalau ini adalah model rambut terbaru. Ini sedang trend!” Aku terus mengalihkan pembicaraan.Daisy mencubit perutku.“Lebih baik kalian duduk dulu,” ucap Ayah.Aku membawa Daisy duduk di sebelahku.“Jadi, setelah pembicaraan
“Aku—““Please sayang, jawab iya. Pleaseee….” Lagi dan lagi, hanya Daisy yang bisa membuat aku memohon seperti ini.Daisy tidak lagi menatapku. Sepertinya dia bingung memberi keputusan.“Aku janji tidak akan melukaimu kembali. Aku janjiii….” Aku terus membujuk Daisy.Daisu menarik napas panjang. “Oke!”“Oke? Apa maksud dari jawaban singkatmu itu.” Aku tak sabaran.“Aku akan menikah denganmu.”Jawabam Daisy membuat hatiku lega. Aku sampai berdiri dan lompat kegirangan. “Hei Drew, kalau kau menyakiti hati adikku lagi. Aku tidak akan segan-segan membunuhmu. Mengerti!” Calra mengancamku.Tapi aku tidak takut, karena aku tidak akan melakukan hal itu lagi. “Tidak akan.”***Selesai bicara mengenai pernikahan yang sudah disetujui oleh semua orang.Kami sekeluarga makan siang di rumah Daisy. Carla sudah menyiapkan makanan enak, berhubung dia sangat jago masak.Aku tidak berhenti membawa tangan Daisy ke bawah meja dan terus menggenggam tangannya.“Drew, lepasin tanganku. Gimana caranya aku bis
“Di mana? Di mana lelaki itu?” Pintu lift baru saja terbuka. Aku melangkah penuh percaya diri melewati sekretarisku, si sexy Emma yang sedang beradu mulut dengan perempuan berambut pendek dan berwarna cokelat. Aku perkirakan umurnya sekitar empat puluh tahun. “Good morning, Pak,” sapa Emma padaku, badannya setengah membungkuk seolah memberikan penghormatan untuk si tampan yang akan lewat di depannya. Oh, Girl, betapa indahnya duniaku sekarang sejak ayah mengizinkanku menguasai perusahaan miliknya. Aku, Drew Layn. Anak laki-laki satu-satunya, kesayangan Ibu dan ayahku yang akan menjadi pewaris perusahan The Layn. Gedung pencakar langit yang punya 28 lantai. Si cerewet, maksudku, Kakakku Alexa, dia tidak berhak mengambil alih perusahaan milik Ayah karena dia sudah menikah dengan lela
Perempuan itu menamparku. Sial! Seorang Mr. Perfect seperti Drew Layn ditampar oleh seorang perempuan? Selama ini perempuan selalu bertekuk lutut di hadapanku, memohon agar aku tidak meninggalkan mereka.“Dasar laki-laki tidak bertanggung jawab!” seru perempuan itu. Aku mundur selangkah sambil mengusap pipiku yang panas akibat tamparan ganasnya. Aku memperhatikannya dengan saksama untuk mengingat-ingat kembali sia
Harusnya ini hari pertama Daisy masuk kerja. Tapi ini sudah pukul sebelas siang, dan Daisy belum juga terlihat batang hidungnya. Membuatku kesal saja. “Kau sudah menghubunginya?” tanyaku pada Emma. “Sudah, Pak, tapi nomornya tidak aktif.” Emma tak kalah paniknya denganku, karena seharusnya dia sudah mulai mengajari anak baru itu, sehingga Emma bisa melepaskan pekerjaannya sepenuhnya kepada Daisy. “Sial!” aku mengumpat. Apa dia menolakku? Dia mulai bermain-main denganku rupanya