Share

Chapter 9

“Kenapa kau memukulku?” Evans terkulai lemas di lantai ketika aku berhenti melayangkan pukulan di wajahnya.

Evans terbatuk saat darah keluar dari mulut dan membasahi bibirnya. Sedangkan orang-orang di sekitar kami berhenti beraktivitas. Semua mata memandang ke arahku. Sebelum security benar-benar datang, aku langsung menarik kera baju Evans dan membawanya bangkit. Aku menarik Evans masuk ke dalam mobilku.

“Ah, sial!” Evans menatap wajahnya di spion depan mobilku. Lalu menatapku. “Apa salahku, Drew?”

“Kau masih bertanya?” Aku mengangkat kepalan tanganku lagi tinggi-tinggi. Evans langsung melindungi wajahnya dengan lengan.

“Oke, sorry, aku minta maaf. Aku tahu, kalau aku salah telah menggunakan identitasmu!” Akhirnya dia mengaku. Nyaris merengek seperti bayi.

“Kau sengaja ingin menghancurkan keluargaku, kan?” Tanyaku dengan intonasi tinggi.

“Aku hanya memakai identitasmu, agar para wanita mau berkencan denganku. Statusku yang seperti ini, membuat wanita menjauh, Drew.”

“Lalu, di mana Daisy dan Vespa butut sekarang?”

Evans mengerutkan dahi. “Siapa mereka?”

Aku menarik kera kemeja Evans lagi. “Jangan pura-pura bodoh, Evans. Di mana mereka bersembunyi? Kau dalang di balik semua rencana ini, kan?”

“Sumpah, aku tidak mengerti maksudmu? Siapa Daisy? Siap Vespa Butut?”

“Kau pura-pura bodoh ya?” Aku semakin menarik kera kemeja Evans. Laki-laki itu tampak frustrasi, sampai menangis dan berteriak kencang.

“Aku tidak tahuuu. Sungguh aku tidak tahu siapa mereka! Jangan bunuh aku.”

Aku kenal betul dengan Evans. Dulu, waktu masih kecil, dan kami sering bermain bersama. Evans sangat takut dengan belalang. Ketika Evans takut, dia akan mengeluarkan ekspresi ketakutan seperti ini. Artinya, Evans memang tidak kenal dengan Daisy dan Vespa Butut.

“Kau kenal Kareen?”

Evans terdiam. “Yah, aku pernah berkencan dengan dia selama sebulan. Tapi setelah itu, aku sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi dengan dia.”

“Kau kabur kan, ketika tahu kalau dia hamil?”

Evans menunduk. Dan sudah aku tebak kalau jawabannya benar.

“Kau tidak mau tanggung jawab?” Tanyaku lagi.

“Aku sudah meminta Kareen untuk menggugurkan kandungannya. Tapi, Kareen tidak mau. Sedangkan aku, belum siap menikah dan menjadi seorang Ayah.”

Aku menarik napas dalam-dalam. “Daisy itu adiknya Kareen. Kemarin, dia sempat menuduhku telah menghamili Kareen. Karena kau pakai identitasku!”

“Aku minta maaf, Drew. Tidak akan aku ulangi lagi.”

“Dan vespa butut adalah pacarnya Daisy. Dia membawa kabur uang Alexa. Mereka semua punya rencana untuk menguntit keluargaku dan menghancurkannya. Jadi aku pikir, kau adalah dalang di balik semua ini.”

Evans tampak terkejut mendengar ceritaku. “Sungguh, aku tidak tahu apa-apa tentang hal itu, Drew. Kau sudah mencari keberadaan Kareen?”

Aku mengangguk. “Mereka pindah, entah kemana.”

Evans menatap lurus ke depan sambil menghela napas panjang. “Maafkan aku atas kekacauan ini.”

“Hah, yasudahlah. Aku masih mencari tahu tentang keberadaan Vespa Butut. Dia harus membayar semua perbuatannya!” Aku memukul stir kemudi dengan kencang. “Kau boleh keluar dari mobilku,” aku membuka kunci pintu mobil.

Thanks,” sahut Evans. Lantas keluar dari mobilku dan bergegas pergi.

****

Keesokan harinya, aku dibuat terkejut dengan kehadiran Daisy di kantorku. Maksudku, dia sudah duduk di kursi singgasananya.

Tapi tunggu dulu, ada yang berbeda dari penampilan Daisy hari ini.

Daisy memotong rambutnya jadi pendek sebahu, dan memakai kacamata.

"Selamat pagi, Pak." Daisy menyapa ketika aku lewat di depannya.

"Pagi," balasku. Ada sesuatu yang aneh dari penampilan Daisy, dia tidak sekadar berubah dari segi fisik. Melainkan raut wajah, atau mata yang bengkak. Meskipun Daisy pakai kacamata, aku bisa melihat dengan jelas, kalau matanya bengkak.

Tunggu dulu, aku juga melihat jidatnya memar.

Daisy terlihat salah tingkah saat aku berhenti di depannya, hanya untuk memperhatikannya saja. Daisy langsung duduk di kursi kembali, sambil pura-pura berkutat di depan komputer.

“Kau kemana saja?” Tanyaku to the point.

“Bukankah aku sudah mengirimkan surat sakit dari Dokter, Pak?” Katanya dengan santai. Seolah-olah dia tidak merasa bersalah sama sekali atas perbuatan pacarnya. Atau, dia pura-pura tidak tahu kalau pacarnya telah membawa pergi uang Alexa?

Sepertinya, Daisy ini pandai berakting. Dan kali ini, aku tidak boleh tertipu.

“Sebenarnya, apa yang sedang kau rencanakan?”

Daisy mendongak menatapku sambil mengerutkan dahi. “Maksudnya?”

“Setelah kabur, kau berani kembali datang ke perusahaanku?”

“Siapa yang kabur? Aku tidak kabur. Sudah kubilang, kalau aku sakit. Aku sudah punya buktinya.”

Aku menyeringai hambar. Dan melipat tangan di dada. “Aku mencarimu sampai ke rumah. Tapi kau tidak ada. Kau berencana kabur sambil membawa uang kakakku, kan?”

Kursi berderit ketika Daisy berdiri. “Apa maksudmu?”

“Jangan pura-pura lagi, Daisy. Katakan saja yang sejujurnya, di mana pacarmu sekarang?” Aku memelototi Daisy.

“Kenapa dengan pacarku? Apalagi yang kau mau. Kau ingin menghina kami lagi? Kau ingin menghina pacarku lagi, karena dia cuma punya vespa?”

Wanita arogant ini terus membela diri dan pacarnya. Dia bersikap seolah-olah tidak punya kesalahan. Membuatku sangat geram.

“Si Vespa Butut sialan itu, udah membawa kabur uang kakaku! Di mana kau sembunyikan dia!?” Aku berteriak. Emosiku semakin kalut.

Sedangkan Daisy, masih saja memasang wajah tanpa dosa. Dia semakin bersikap arogant. “Uang apa maksudmu? Jangan fitnah orang sembarangan?” Daisy tak kalah berteriak.

Aku langsung mendorong Daisy, sampai ia terduduk di kursi. Lalu mengunci tubuh Daisy dengan kedua tanganku yang berada di sudut kursinya. “Pacarmu berani menipu kakakku dan membawa kabur uang Alexa sebanyak 35.000 USD.”

Seketika mata Daisy langsung terbelalak dan mulutnya menganga. Ia terlihat kaget.

Hal itu membuatku muak. Karena aku yakin, Daisy hanya pura-pura kaget, agar aku percaya kalau dia bukan dalang dari kebohongan pacarnya.

“Berhenti berakting, Daisy,” sindirku halus. Kali ini nadaku lebih rendah.

Daisy menggeleng. “Aku tidak akting. Dan aku….” Daisy tampak gagap. “Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi. Aku juga tidak tahu, kalau Tonny sudah membohongi kakakmu.”

“Kau masih berakting?”

“Tidak, Pak. Dua hari yang lalu, Tonny datang ke rumahku untuk pinjam uang di kantor. Tapi aku tidak bisa mengabulkan permintaan dia. Sampai akhirnya ….” Daisy membuka kacamata, dan membawa sejumput rambutnya ke belakang daun telinga. Lantas, aku melihat ada memar di mata kiri dan pipi kirinya. “Tonny memukulku. Dia mengancam akan membunuhku.” Daisy gemetaran. “Untungnya, kakaku, Clara, langsung mengusirnya.”

Jeda sejenak. Aku melepaskan Daisy di kursi dan melangkah mundur.

“Setelah itu, aku dan keluargaku memilih untuk pindah rumah agar Tonny tidak menemuiku lagi.” Bibir Daisy bergetar. “Maaf, Pak Drew. Aku tidak tahu, kalau ternyata Tonny mengincar kakakmu dan membawa kabur uangnya.” Daisy menututp wajahnya dengan telapak tangan dan menangis.

Aku kaget saat mengetahui kekerasan yang dilakukan Tonny pada Daisy. Tapi aku masih bingung, haruskah aku mempercayai Daisy dan air matanya?

“Sudah lama sebenarnya aku ingin menghindar dari Tonny. Tapi, dia terus datang dan datang lagi padaku. Aku tidak bisa pergi dari hidupnya,” jelas Daisy lagi, masih menangis.

“Kenapa?” Tanyaku singkat.

“Sebelum ayahku meninggal. Ayah punya hutang yang banyak pada Tonny. Sampai akhirnya ayah meninggal, dan kami tidak sanggup membayar hutang Ayah. Aku terpaksa menjadi tahanan Tonny dan harus menikah dengannya.”

“Tapi kau bilang, kau bahagia hidup dengan Tonny.”

“Awalnya aku pikir, yah … aku bahagia. Tapi, sejujurnya aku juga tersiksa. Di satu sisi, aku membenci Tonny. Tapi di sisi lain, aku mencintai Tonny. Aku berharap, dia bisa berubah dan mengikhlaskan semua hutang Ayahku. Ternyata, Tonny terus memaksaku untuk menebus semua hutang ayahku dan memaanfaatkanku.”

Daisy menarik napas dalam-dalam, dan coba untuk menghapus air matanya. “Maafin aku, seharusnya aku tidak menangis begini. Sebagai permintaan maaf, aku janji akan mengganti uang kakakmu.”

Alisku terangkat. “35.000 USD? Kemana kau ingin mencari uang sebanyak itu?”

“Potong saja gajiku. Dan aku akan bekerja denganmu seumur hidup sampai hutangku lunas,” kata Daisy sungguh-sungguh.

Aku menyeringai geli. “Dasar wanita arogant yang gila.”

Itu kalimat terakhirku, sebelum meninggalkan Daisy dan masuk ke dalam ruanganku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status