“Di mana? Di mana lelaki itu?”
Pintu lift baru saja terbuka. Aku melangkah penuh percaya diri melewati sekretarisku, si sexy Emma yang sedang beradu mulut dengan perempuan berambut pendek dan berwarna cokelat. Aku perkirakan umurnya sekitar empat puluh tahun.
“Good morning, Pak,” sapa Emma padaku, badannya setengah membungkuk seolah memberikan penghormatan untuk si tampan yang akan lewat di depannya. Oh, Girl, betapa indahnya duniaku sekarang sejak ayah mengizinkanku menguasai perusahaan miliknya.
Aku, Drew Layn. Anak laki-laki satu-satunya, kesayangan Ibu dan ayahku yang akan menjadi pewaris perusahan The Layn. Gedung pencakar langit yang punya 28 lantai. Si cerewet, maksudku, Kakakku Alexa, dia tidak berhak mengambil alih perusahaan milik Ayah karena dia sudah menikah dengan lelaki kaya. Dia hanya akan mendapatkan harta jika seandainya kedua orang tuaku tiada. Tapi aku tidak akan berharap hal itu, karena kami keluarga kaya raya yang bahagia.
“Good Morning, Emma.” Aku membalas sapaan Emma dengan ramah seperti biasa. Tak akan aku lewatkan untuk tidak menatapnya setiap pagi.
“Jadi kau orangnya ….” Perempuan berambut pendek yang tadinya sedang beradu mulut dengan Emma, kini menyerangku dan menghadangku untuk memasuki ruangan. Perempuan gila itu merogoh tasnya dan mengambil cutter yang lalu dia sodorkan padaku.
“Aku akan membunuhmu kalau kau tidak mau bertanggung jawab.”
Aku mundur selangkah. Dia sudah gila. Apa yang dia bilang dengan kata ‘bertanggung jawab’? Maksudnya aku harus bertanggung jawab kepada siapa? Setelah aku ingat-ingat, aku tidak pernah mengencani wanita tua sepertinya. Dia jelas bukan tipeku garis keras.
“Maaf, Bu ….”
“Kau sebut aku apa?” Dia semakin menyodorkan cutter di hadapanku. “Memangnya aku Ibumu! Kalaupun aku jadi Ibu, aku tidak sudi punya anak sepertimu! Kau adalah pria yang tak bertanggung jawab. Adikku, Kareen, sekarang sedang sekarat di rumah. Dia tidak mau makan, bahkan minum. Dia terus mengurung dirinya di kamar. Siapa yang akan bertanggung jawab terhadap kehamilannya?” Perempuan itu berbicara tanpa rem, dan terus menudingku.
Aku mencoba untuk mengingat-ingat kembali, apakah aku punya perempuan yang aku kencani bernama Kareen? Ah, mendengar namanya saja sudah kampungan. Sudah pasti orangnya juga bukan tipeku. Bahkan aku lupa siapa saja nama wanita yang sudah aku kencani. Selain itu, aku selalu menggunakan pengaman.
“Emmaa.” Aku memberikan Emma kode keras untuk segera menghubungi security atau memanggil ambulan untuk membawa perempuan ini ke rumah sakit jiwa. Emma segera mengerti maksudku, dan menghubungi security. Itu baru wanitaku.
Tak lama kemudian tiga orang security datang dan membawa paksa perempuan tersebut. Perempuan itu tak berhenti mengeluarkan segala caci makinya di hadapanku dan berteriak, “Aku bersumpah, kau akan merasakan sakit hati seperti yang dirasakan oleh Kareen.”
“Heh? Apa katanya? Sakit hati?” Aku menoleh ke arahEmma. Ada-ada saja, bahkan sekelas Emma tidak mungkin menolak pria tampan sepertiku. Bagaimana bisa aku merasakan yang namanya sakit hati? Ngomong-nomong, apa itu sakit hati?
Emma terkekeh geli. Dan itu terlihat sangat manis.
“Siapa yang dia cari?” tanyaku lagi pada Emma.
“Evans, Pak.”
Dan mendengar nama Evans, adik sepupuku yang tidak tahu diri itu membuatku ingin segera membunuhnya. Karena untuk kesekian kalinya, dia membuat kekacauan di perusahaanku. Dia menggunakan namaku, nama perusahanku, bahkan alamatku. hanya untuk membuatnya terlihat sempurna di depan para wanita yang akan dia kencani.
Evaans! Awas kau!
***
Sore ini rumahku terlihat lebih ramai dari biasanya. Si cerewet Alexa dan suaminya datang sambil membawa kue tart. Anak perempuannya yang masih berusia empat tahun, Carie, membawa kado dan diberikan kepadaku.
“Selamat ulang tahun, Paman Drew!” ucapnya tulus dengan mata berbinar.
Ulang tahun? Aku mengangkat alis. Aku bahkan lupa kapan hari ulang tahunku. Tapi sejak kecil, Alexa selalu mengingat ulang tahunku dan merayakannya. Dia selalu berharap mendapat balasan dariku untuk memberikannya surprise, tapi tidak pernah kulakukan. Karena kataku tadi, dia itu kakak cerewet. Jika aku baik sedetik saja padanya, dia akantetap cerewet berjam-jam padaku.
“Terima kasih, Carie.” Aku membelai lembut kepala gadis kecil di depanku, lalu mengambil hadiahnya.
“Ibu sudah masak sesuatu yang special di hari ulang tahunmu, Drew.” Ibu membawaku dan Carie menuju dapur. Alexa, suaminya yang kaya raya, dan juga Ayah sudahberkumpul di meja makan. Mereka sudah mengambil posisi masing-masing. Aku melihat Ibu masak banyak makanan kesukaanku.
“Terima kasih, Ibu.” Aku memeluk dan mencium pipi Ibu sebelum bersalaman dengan Ayah dan mengucapkan terima kasih juga. Setelah itu, aku duduk di kursi untuk bergabung bersama mereka.
Beginilah keluarga kami, kaya raya, bahagia, dan sejahtera. Aku menikmati hidupku yang terlalu sempurna tanpa cela. Kelak, aku juga ingin punya keluarga bahagia seperti ini. Itulah sebabnya, aku masih mengencani ribuan wanita. Karena aku belum siap menikah, aku juga belum mendapatkan sosok yang tepat yang bisa mendampingiku untuk hidup bahagia. Semua wanita yang aku kencani mencintaiku karena aku lelaki sempurna dan kaya raya.
“Jadi, Drew, kau ulang tahun yang keberapa? Aku lupa.” Alexa mengawali percakapan saat kami mulai menyantap makanan bersama.
“Tiga puluh,” Jawabku singkat.
“Ouch! Kalau begitu umurku sebentar lagi 34 tahun, dong. Ya ampun, sayang ….” Alexa menatap suaminya. “Apa kau akan tetap mencintaiku, meski aku sudah keriput dan tua?” Alexa mulai dramatis. Dan itu menjijikkan.
“Tentu saja, sayang .…”
Dan mereka berciuman di depan kami semua. Ewh!
“Bagaimana pekerjaanmu, Drew?” Ayah sekarang bertanya padaku.
“Baik, aku semakin suka bekerja di perusahaan itu semenjak Emma menjadi sekretarisku.” Aku menjawab apaadanya. Aku sudah bilang pada Ayah, kalau aku suka dengan pilihan Ayah yang mengangkat Emma menjadi sekretarisku,karena dia sexy, dan … aku tak perlu menjelaskan banyak hal pada kalian, kan?
“Ewwh! Dasar playboy!” Alexa mencibirku.
“Mommy, playboy itu apa?” Carie melihat Alexa dengan rasa ingin tahunya.
Alexa langsung kelabakan, dan tentu saja aku mencibirnya diam-diam karena lagi-lagi dia harus bingung menjawab pertanyaan anaknya yang sekarang mulai serba ingin tahu. Bisa aku tebak, kalau carie akan cerewet seperti ibunya ketika dewasa nanti.
“Tanyakan pada Paman Drew!” Alexa melempar jawaban padaku. Dan Carie jadi menatapku.
“Paman.” Mata Carie berbinar.
“Carie, kau akan tahu ketika dewasa nanti. Oke?”
“Um, baiklah.” Carie menunduk sedih. Sedangkan Alexa tertawa puas.
“Drew .…” Ibu menyebut namaku. “Umurmu sudah tiga puluh tahun, bukan? Dan sepertinya, sudah waktunya kamu mencari wanita yang tempat untuk kau nikahi.”
Aku nyaris menyembur minumanku keluar dari mulut. “Oh, tidak Bu, aku belum siap menikah.”
“Kau sudah tua, playboy! Kau harus segera taubat dan menikah.” Alexa mulai ikut campur.
“Diam kau Alexa!”
“Aku punya kenalan jika kau mau.” Andreas, suami Alexaikut berbicara. “Perempuan ini cowok untukmu.”
“Oh tidak, terima kasih. Aku akan mencari sendiri.”
“Mau sampai kapan? Sampai kau tua?” Ayah mencibirku.
“Secepatnya, Ayah. Tapi, bukan untuk tahun ini, tahun depan, atau dua tahun lagi. Aku masih belum siap menikah, belum siap serius dengan wanita, dan belum siap punya baby seperti Carie.”
“Drew, punya anak itu menyenangkan!” Alexa tampak bersemangat. “Kau akan rindu rumah jika sudah punya anak.”
“Nope.”
Tiba-tiba asisten rumah tanggaku, Elen, muncul di hadapan kami dengan wajah panik. Ia menatapku seolah aku ini buronan yang harus segera ditangkap.
“Tuan Drew,” panggilnya.
“Ya?”
“Ada perempuan yang mencarimu, Tuan.”
Seketika semua orang yang ada di meja makan ini menatapku, tentu saja mereka curiga. Kenapa? Aku tidak pernah membawa perempuan mana pun ke rumahku.
“Apa?” Aku melihat mereka semua yang menatapku curiga.
“Ternyata kau mengundang perempuan di hari ulang tahunmu, ya .…” tebak Alexa.
“Aku tidak pernah mengundang siapa pun ke rumahku, termasuk di hari ulang tahunku. Buat apa? Tidak penting!”
“Ah, tidak perlu berpura-pura, Drew, sayang… mukamu memerah.” Alexa menggodaku. Sialan si cerewet, berani sekali dia membuatku kikuk di depan suami, ayah, ibu, dan Carie.
“Dasar gila!” Kursi berderit, aku beranjak dan segera mengikuti Elen menuju halaman depan rumah.
Belum sempat aku memulai kalimatku atau bertanya siapa dia, perempuan itu sudah berjalan cepat mendekatiku dan menampar wajahku.
“Dasar laki-laki tidak bertanggung jawab!”
Ouch! Sial!
“Aku—““Please sayang, jawab iya. Pleaseee….” Lagi dan lagi, hanya Daisy yang bisa membuat aku memohon seperti ini.Daisy tidak lagi menatapku. Sepertinya dia bingung memberi keputusan.“Aku janji tidak akan melukaimu kembali. Aku janjiii….” Aku terus membujuk Daisy.Daisu menarik napas panjang. “Oke!”“Oke? Apa maksud dari jawaban singkatmu itu.” Aku tak sabaran.“Aku akan menikah denganmu.”Jawabam Daisy membuat hatiku lega. Aku sampai berdiri dan lompat kegirangan. “Hei Drew, kalau kau menyakiti hati adikku lagi. Aku tidak akan segan-segan membunuhmu. Mengerti!” Calra mengancamku.Tapi aku tidak takut, karena aku tidak akan melakukan hal itu lagi. “Tidak akan.”***Selesai bicara mengenai pernikahan yang sudah disetujui oleh semua orang.Kami sekeluarga makan siang di rumah Daisy. Carla sudah menyiapkan makanan enak, berhubung dia sangat jago masak.Aku tidak berhenti membawa tangan Daisy ke bawah meja dan terus menggenggam tangannya.“Drew, lepasin tanganku. Gimana caranya aku bis
Aku keluar dari pintu dan berusah mengejar langkah Daisy. Lantas aku menggenggam tangannya agar kami terlihat romantis di depan semua keluarga.“Nah, ini dia calon pengantin kita sudah tiba,” ujar Ibu bersemangat.Melihat raut wajah mereka semua, sudah pasti kalau Kakaknya Daisy mengizinkan kami untuk menikah.“Hai, semuanya….” Aku menyapa hangat.“Kau habis dari mana?” Carla menatap Daisy. “Rambutmu kelihatan berantakan sekali.”Aku merasakan sentuhan tangan Daisy semakin erat. Mungkin dia gugup. “A-aku—““Tadi kami habis dari salon,” tukasku.Alexa langsung tertawa. Aku memelototi si nenek sihir itu.“Salon mana yang membuat rambutmu berantakan, Daisy?” Kreen melipat tangan di dada.“Ya ampun, memangnya ada yang salah dengan rambut Daisy? Kalian tidak lihat ya. Kalau ini adalah model rambut terbaru. Ini sedang trend!” Aku terus mengalihkan pembicaraan.Daisy mencubit perutku.“Lebih baik kalian duduk dulu,” ucap Ayah.Aku membawa Daisy duduk di sebelahku.“Jadi, setelah pembicaraan
TOK TOK TOK!Ciuman kami terlepas. Alexa sudah berada di sebelah mobilku.Sial!Daisy jadi salah tingkah dan kembali duduk di kursinya sambil mengancing semua kemejanya. Sedangkan aku membuka jendela mobil.“Apa?” Aku memelototi Alexa kesal.“Sabar lah, brody! Kenapa kau lakukan itu sekarang, di mobil. Dasar bodoh!” Alexa memukul kepalaku.“Aduh!” Aku meringis. “Kau kenapa sih?”“Kau yang kenapa? Kau lakukan itu di mobil? Kau harus cari kamar hotel yang mewah. Bukan di mobil, dan di depan rumah Daisy pula. Dasar tolol!” Alexa memukul kepalaku lagi.“Heeeei, kau ini!” Aku ingin sekali membalas Alexa. Tapi, dia sudah menjewer telingaku.“Aduh, aduh! Sakit.” Aku meringis lagi.“Alexa, maaf, aku tidak bermaksud—“ Daisy berusaha menjelaskan. Karena sepertinya, dia merasa tidak enak hati. Atau mungkin, dia merasa menyesal telah melakukan hal itu denganku tadi.“Tidak masalah cantik. Aku suka melihat adikku yang mulai ganas! Dan aku suka, kau membalas permainan ganas adikku juga. Yang menjad
Mobil yang aku kendarai akhirnya sampai di depan rumah Daisy.Selain itu, aku juga melihat ada mobil orangtuaku, dan mobil Alexa yang ikut terparkir di halaman rumah Daisy.Ternyata, mereka lebih cepat dari yang aku duga.Padahal, aku hanya ingin mengirimi pesan singkat di grup keluarga.[Drew : Keluarga-keluargaku yang terhormat dan tersayang. Aku ingin minta bantuan kalian untuk ke rumah Daisy dan membicarakan tentang pernikahan kami kembali dengan kakaknya. Karena, Daisy si keras kepala ini masih menolak menikah denganku. Um, sebenarnya, dia mau. Tapi malu-malu kucing. Jadi, mohon bantuannya. Aku dalam perjalanan]“Kenapa ramai sekali di rumahku?” Daisy menatap bengong rumahnya sendiri.“Yap. Karena ada keluargaku,” jawabku enteng.Daisy mengerutkan dahinya. “Keluargamu? Apa yang keluargamu lakukan di rumahku?”“Berdongeng.” Aku menatap wajah Daisy yang sudah serius. “Tentu saja ingin membicarakan acara pernikahan kita, sayang.”“Atas izin siapa? Kau selalu bersikap sesuai kehendak
“Drew, lepasin aku…. kemana kau akan membawaku pergi!” Aku terus membawa Daisy sampai masuk ke dalam lift. Daisy terus mengoceh tanpa henti, membuatku tidak tahan untuk tidak melumat bibirnya. Untunglah, hanya ada kami berdua saja di dalam lift ini. Daisy meremas kemejaku dan tidak bisa berkata apapun lagi. Ketika pintu lift terbuka, aku segera melepas ciuman dari bibir Daisy. Wajah perempuan itu bersemu merah karena malu. Hal itu membuatku jadi senyum-senyum sendiri melihatnya. Aku kembali menggenggam tangan Daisy dan membawanya keluar dari lift. “Lipstickmu berantakan.” Aku berbisik di telinga Daisy. Membuat wanita itu cepat-cepat menghapus lipsticknya dan memukul pundakku kencang. “Ini semua ulahmu, bajingan!” “Hahahah.” Aku tertawa kencang. “Habisnya, kau cerewet, sih.” Tibalah kami di depan ruangan Tuan Roy, dan aku mengetuk pintu sebelum masuk. “Maaf, aku ada masalah sedikit di bawah. Maaf membuatmu menunggu,” ujarku sunkan pada Tuan Roy. Tuan Roy tersenyum sambil memp
“Aku ….” Daisy menelan ludah. “Yah, kau benar. Aku lagi melamar pekerjaan di sini. Memangnya kenapa?” Kini Daisy balik berteriak padaku. Membuatku heran dan mengingat pasal satu. Jika wanita salah, maka yang marah tetap wanita. Jika wanita bikin kesalahan, wanita akan tetap menganggap lelaki itu salah. Aku berusaha mengontrol emosiku agar tidak mencium bibirnya karena gemas melihat tingkah Daisy. Lalu aku tertawa kencang. “Hahahah, untuk apa kau bekerja Daisy. Kehidupanmu sudah pasti terjamin jika menikah denganku. Kau lupa? Kau ini akan menikah dengan lelaki tertampan dan terkaya.” “Jangan geer!” Daisy menginjak kakiku. Ouch! “Memangnya aku sudah bilang akan menerimamu?” Daisy melangkah pergi. Tapi aku segera menahan lengannya. “Apa maksudmu dengan bilang begitu? Ada kemungkinan kau tidak menerimaku?” “Mungkin.” Daisy mengangkat bahu. “Please jangan begitu, aku betul-betul mencintaimu Daisy. Kalau kita tidak menikah, aku akan menikah dengan siapa?” “Bukankah kau lelaki pal