Perempuan itu menamparku.
Sial!
Seorang Mr. Perfect seperti Drew Layn ditampar oleh seorang perempuan? Selama ini perempuan selalu bertekuk lutut di hadapanku, memohon agar aku tidak meninggalkan mereka.“Dasar laki-laki tidak bertanggung jawab!” seru perempuan itu.
Aku mundur selangkah sambil mengusap pipiku yang panas akibat tamparan ganasnya. Aku memperhatikannya dengan saksama untuk mengingat-ingat kembali siapa dia. Rambutnya hitam legam, panjang, dan bergelombang. Bola matanya berwarna hazel nut pekat. Bibirnya pink alami dan tipis. Dan yang paling utama, dia bertubuh pendek.
Tidak mungkin dia salah satu perempuan yang menjadi daftar urut untuk aku kencani, karena aku tidak suka perempuan pendek. Aku selalu mengencani perempuan-perempuan yang memiliki kaki jenjang memesona, seperti Emma. Kaki sekretarisku itu selalu terlihat bagus setiap kali mengenakan high heels. Dia pun sudah aku masukkan ke dalam daftar perempuan yang akan kukencani besok atau lusa, sebelum dia resign dari pekerjaanya.
“Apa maksudmu?” Aku mengernyit.
“Jangan berpura-pura!” serunya lagi. Ia terpaksa mendongak karena tubuhnya hanya sebatas pundakku.
“Apa sih, maksudmu Nona …,” kataku sembari menatap name tag yang masih tersemat di seragam kerjanya, “Daisy?”
Perempuan itu mengerutkan keningnya. “Kau juga tahu namaku?” Ia nyaris menampar pipiku lagi. Untung aku segera menangkis tangannya.
“Namamu ada di nametag-mu.”
Perempuan bernama Daisy itu langsung menjauhkan tangannya dan bersikap malu. “Oh, maaf.” Ia menunduk, menyelipkan sejumput rambutnya ke belakang daun telinga. Oke, dia bukan tipeku!
“Jadi Daisy, jelaskan keperluanmu datang ke rumahku? Kau tahu, rumahku ini sangat rahasia. Tidak ada perempuan yang boleh masuk ke kawasan rumahku, kecuali ibuku, si cerewet Alexa, dan anaknya si cerewet Carie.”
Daisy menarik napasnya dalam-dalam. “Akibat ulahmu, Kakakku depresi dan terus mengurung dirinya di kamar. Kenapa kau tidak mau bertanggung jawab terhadap kandungannya?!” Iamemakiku.
Aku jadi teringat sesuatu. Perempuan empat puluh tahun, berambut cokelat yang datang ke perusahaanku kemarin. Yang menuduh hal sama seperti yang dilakukan perempuan di depanku ini.
“Kau mencari Evans?”
“Ya!” perempuan itu berkacak pinggang. “Kau Evans, kan?”
“Aku bukan Evans.”
Perempuan itu terkekeh geli. “Kau mau menghindar lagi? Aku sudah mencari alamatmu dengan susah payah dan kau ingin menghindar? Aku akan laporkan kau kepada polisi!”
Perempuan itu mengancamku dan ingin berbalik pergi. Aku segera menarik tangannya kembali sehingga kami berhadap-hadapan. “Bagaimana kalau kau salah menuduh orang? Aku akan balik melaporkanmu kepada polisi.”
Perempuan itu diam, tapi masih melotot padaku seolah aku adalah musuh bubuyutannya. Aku merogoh saku celanaku untuk mengambil dompet, lalu mengeluarkan kartu tanda pengenalku yang langsung aku tunjukan padanya.
“Namaku Drew Layn. Di kartu sudah tertera jelas.”
Perempuan itu semakin melotot. Bukan marah, melainkan kaget.
“Jadi kau bukan Evans?”
“Nope.”
“Lalu rumahmu?”
“Ya … ini memang rumahku.”
Perempuan itu menatap ke sekitar seperti orang kehilangan arah. “Lalu dimana Evans bersembunyi?”
“Dia tidak bersembunyi, kau hanya salah alamat.”
“Beritahu aku alamatnya!” Perempuan itu menarik bajuku dengan paksa.
“Tidak akan aku beritahu.” Kali ini aku yang balik mengerjainya. Biar dia juga tahu rasa. Aku berbalik badan dan melangkah pergi meninggalkannya.
Dia terus mengikutiku. “Kau harus memberitahuku! Atau akan aku laporkan kalian semua ke polisi.”
“Silakan saja. Sebelum kau melaporkanku ke polisi, kau yang akan masuk penjara terlebih dahulu karena sudah masuk ke rumahku tanpa izin dan menuduhku yang tidak-tidak.”
Akhirnya perempuan itu berhenti melangkah. Sepertinya dia takut. Tak ingin berlama-lama lagi, aku segera masuk ke dalam rumah dan membanting pintu.
***
Aku kembali membaca surat pengunduran diri Emma. Dia sudah mengajukan surat ini sejak seminggu yang lalu. Namun,aku belum menyetujuinya karena belum mendapat pengganti. Emma bilang, dia akan menikah. Itu berarti, aku tidak bisa mengajaknya berkencan. Aku baru tahu kalau Emma menyukai hubungan yang serius. Jadi, aku sudah pasti bukan tipenya. Baiklah, mari lupakan Emma si kaki jenjang.
Aku mulai menandatangani surat pengunduran diri Emma dan harus mengikhlaskan kepergiannya. Lalu aku kembali berfokus pada beberapa surat lamaran pekerjaan dari beberapa wanita yang telah dikualifikasi oleh Emma untuk menggantikan posisinya sebagai sekretarisku. Aku hanya tinggal memilih bagian final dan mewawancarai mereka.
Baiklah, aku mulai mememanggil pelamar pertama. Perempuan berkaki panjang—seperti keinginanku—kulitnya sedikit gelap, rambutnya ikal, tapi sayang … dia tidak bisa bekerja dibawah tekanan.
Skip!
Aku memanggil pelamar ketiga. Kakinya jenjang, bibirnya sexy, dia mengusasai computer dengan baik. Tapi … aku tak sengaja melihat ada panu di daerah lehernya.
Oke Skip!
Lanjut pelamar keempat. Kaki jenjang, kulit putih bersih, menguasai bahasa Mandarin. Sepertinya aku akan memilih dia.
Tapi tunggu ….
Aku masih ada pelamar kelima. Wajahnya imut, rambut hitam bergelombang, jago menguasai bahasa asing dan mahir computer, tapi sayangnya dia memiliki kaki pendek. Tubuhnya hanya sebatas pundakku. Anehnya, justru hal itu membuatku tertarik. Karena ternyata, dia adalah wanita kemarin yang datang ke rumah dan menamparku. Yap, Daisy.
Dia menelan ludahnya, terlihat kaku dan gemetaran duduk di hadapanku. Aku tidak tahu apakah dia tahu atau pura-pura tidak tahu.
“Kau sengaja?” tanyaku.
Dia mendongak. “Apa maksudmu?”
“Kau sengaja mengikutiku sampai ke sini, kan?”
Dia mengernyit. “Aku tidak tahu kalau perusahaan ini milikmu.” Lalu dia menatap papan nama di mejaku.
Aku menyeringai geli sembari melipat kedua tangan di atas meja. “Kenapa? Kau baru percaya kalau aku bukan Evans?”
Dia memalingkan wajahnya, sementara aku kembali membaca data dirinya. “Kau baru saja resign di perusahaan elektronik. Kenapa?”
“Kontrakku baru habis kemarin,” jawabnya sekenanya.
“Tidak berniat untuk melanjutkan kontrakmu?”
Daisy menggeleng. “Aku ingin mencari suasana baru.”
Aku melempar kertas berisi data dirinya di meja, dan mencondongkan wajahku. “Kalau begitu, pilihanmu tepat. Kau akan mendapatkan suasana baru di sini.” Aku tersenyum miring.
Ia menelan ludah lagi. Ekspresinya berubah panik. Mungkin dia mulai merasakan ada ketegangan di antara kami. Lantas Daisy beranjak dari kursi. “Anggap saja aku gagal tahap wawancara bersamamu.” Daisy hendak pergi meninggalkan ruangan sambil membawa tasnya.
“Siapa bilang kau gagal? Kaulah yang akan menjadi sekretarisku,” kataku membuatnya berhenti melangkah.
Ia berbalik lagi menatapku. “Apa maksudmu?”
“Selamat datang di kantor barumu, Daisy ….”
“Kau sengaja? Apa niatmu sebenarnya?”
Aku bersandar di kursi. “Tidak ada niat apa-apa, aku hanya…” aku menatapnya dari atas kepala hingga ujung kaki, untuk membuatnya merasa tak nyaman. “Sepertinya aku mulai menyukai wanita berkaki pendek.”
Daisy tampak kikuk dan takut saat melihat senyumku yang mencurigakan. Bahkan dia tak seberani kemarin yang seenaknya memaki dan menamparku.
Dia belum tahu siapa aku ya? Aku bahkan bisa menaklukan wanita mana pun di dunia ini, termasuk dirinya yang hanya sebutir beras. Aku yakin dia tidak akan menolakku, dan akan masuk ke perangkapku dengan mudahnya.
Lihat saja nanti, kau akan jatuh bertekuk lutut di hadapanku sambil memohon uuntuk merasakan dekapan hangat dariku.
Tunggu saja nanti, Daisy….
“Aku—““Please sayang, jawab iya. Pleaseee….” Lagi dan lagi, hanya Daisy yang bisa membuat aku memohon seperti ini.Daisy tidak lagi menatapku. Sepertinya dia bingung memberi keputusan.“Aku janji tidak akan melukaimu kembali. Aku janjiii….” Aku terus membujuk Daisy.Daisu menarik napas panjang. “Oke!”“Oke? Apa maksud dari jawaban singkatmu itu.” Aku tak sabaran.“Aku akan menikah denganmu.”Jawabam Daisy membuat hatiku lega. Aku sampai berdiri dan lompat kegirangan. “Hei Drew, kalau kau menyakiti hati adikku lagi. Aku tidak akan segan-segan membunuhmu. Mengerti!” Calra mengancamku.Tapi aku tidak takut, karena aku tidak akan melakukan hal itu lagi. “Tidak akan.”***Selesai bicara mengenai pernikahan yang sudah disetujui oleh semua orang.Kami sekeluarga makan siang di rumah Daisy. Carla sudah menyiapkan makanan enak, berhubung dia sangat jago masak.Aku tidak berhenti membawa tangan Daisy ke bawah meja dan terus menggenggam tangannya.“Drew, lepasin tanganku. Gimana caranya aku bis
Aku keluar dari pintu dan berusah mengejar langkah Daisy. Lantas aku menggenggam tangannya agar kami terlihat romantis di depan semua keluarga.“Nah, ini dia calon pengantin kita sudah tiba,” ujar Ibu bersemangat.Melihat raut wajah mereka semua, sudah pasti kalau Kakaknya Daisy mengizinkan kami untuk menikah.“Hai, semuanya….” Aku menyapa hangat.“Kau habis dari mana?” Carla menatap Daisy. “Rambutmu kelihatan berantakan sekali.”Aku merasakan sentuhan tangan Daisy semakin erat. Mungkin dia gugup. “A-aku—““Tadi kami habis dari salon,” tukasku.Alexa langsung tertawa. Aku memelototi si nenek sihir itu.“Salon mana yang membuat rambutmu berantakan, Daisy?” Kreen melipat tangan di dada.“Ya ampun, memangnya ada yang salah dengan rambut Daisy? Kalian tidak lihat ya. Kalau ini adalah model rambut terbaru. Ini sedang trend!” Aku terus mengalihkan pembicaraan.Daisy mencubit perutku.“Lebih baik kalian duduk dulu,” ucap Ayah.Aku membawa Daisy duduk di sebelahku.“Jadi, setelah pembicaraan
TOK TOK TOK!Ciuman kami terlepas. Alexa sudah berada di sebelah mobilku.Sial!Daisy jadi salah tingkah dan kembali duduk di kursinya sambil mengancing semua kemejanya. Sedangkan aku membuka jendela mobil.“Apa?” Aku memelototi Alexa kesal.“Sabar lah, brody! Kenapa kau lakukan itu sekarang, di mobil. Dasar bodoh!” Alexa memukul kepalaku.“Aduh!” Aku meringis. “Kau kenapa sih?”“Kau yang kenapa? Kau lakukan itu di mobil? Kau harus cari kamar hotel yang mewah. Bukan di mobil, dan di depan rumah Daisy pula. Dasar tolol!” Alexa memukul kepalaku lagi.“Heeeei, kau ini!” Aku ingin sekali membalas Alexa. Tapi, dia sudah menjewer telingaku.“Aduh, aduh! Sakit.” Aku meringis lagi.“Alexa, maaf, aku tidak bermaksud—“ Daisy berusaha menjelaskan. Karena sepertinya, dia merasa tidak enak hati. Atau mungkin, dia merasa menyesal telah melakukan hal itu denganku tadi.“Tidak masalah cantik. Aku suka melihat adikku yang mulai ganas! Dan aku suka, kau membalas permainan ganas adikku juga. Yang menjad
Mobil yang aku kendarai akhirnya sampai di depan rumah Daisy.Selain itu, aku juga melihat ada mobil orangtuaku, dan mobil Alexa yang ikut terparkir di halaman rumah Daisy.Ternyata, mereka lebih cepat dari yang aku duga.Padahal, aku hanya ingin mengirimi pesan singkat di grup keluarga.[Drew : Keluarga-keluargaku yang terhormat dan tersayang. Aku ingin minta bantuan kalian untuk ke rumah Daisy dan membicarakan tentang pernikahan kami kembali dengan kakaknya. Karena, Daisy si keras kepala ini masih menolak menikah denganku. Um, sebenarnya, dia mau. Tapi malu-malu kucing. Jadi, mohon bantuannya. Aku dalam perjalanan]“Kenapa ramai sekali di rumahku?” Daisy menatap bengong rumahnya sendiri.“Yap. Karena ada keluargaku,” jawabku enteng.Daisy mengerutkan dahinya. “Keluargamu? Apa yang keluargamu lakukan di rumahku?”“Berdongeng.” Aku menatap wajah Daisy yang sudah serius. “Tentu saja ingin membicarakan acara pernikahan kita, sayang.”“Atas izin siapa? Kau selalu bersikap sesuai kehendak
“Drew, lepasin aku…. kemana kau akan membawaku pergi!” Aku terus membawa Daisy sampai masuk ke dalam lift. Daisy terus mengoceh tanpa henti, membuatku tidak tahan untuk tidak melumat bibirnya. Untunglah, hanya ada kami berdua saja di dalam lift ini. Daisy meremas kemejaku dan tidak bisa berkata apapun lagi. Ketika pintu lift terbuka, aku segera melepas ciuman dari bibir Daisy. Wajah perempuan itu bersemu merah karena malu. Hal itu membuatku jadi senyum-senyum sendiri melihatnya. Aku kembali menggenggam tangan Daisy dan membawanya keluar dari lift. “Lipstickmu berantakan.” Aku berbisik di telinga Daisy. Membuat wanita itu cepat-cepat menghapus lipsticknya dan memukul pundakku kencang. “Ini semua ulahmu, bajingan!” “Hahahah.” Aku tertawa kencang. “Habisnya, kau cerewet, sih.” Tibalah kami di depan ruangan Tuan Roy, dan aku mengetuk pintu sebelum masuk. “Maaf, aku ada masalah sedikit di bawah. Maaf membuatmu menunggu,” ujarku sunkan pada Tuan Roy. Tuan Roy tersenyum sambil memp
“Aku ….” Daisy menelan ludah. “Yah, kau benar. Aku lagi melamar pekerjaan di sini. Memangnya kenapa?” Kini Daisy balik berteriak padaku. Membuatku heran dan mengingat pasal satu. Jika wanita salah, maka yang marah tetap wanita. Jika wanita bikin kesalahan, wanita akan tetap menganggap lelaki itu salah. Aku berusaha mengontrol emosiku agar tidak mencium bibirnya karena gemas melihat tingkah Daisy. Lalu aku tertawa kencang. “Hahahah, untuk apa kau bekerja Daisy. Kehidupanmu sudah pasti terjamin jika menikah denganku. Kau lupa? Kau ini akan menikah dengan lelaki tertampan dan terkaya.” “Jangan geer!” Daisy menginjak kakiku. Ouch! “Memangnya aku sudah bilang akan menerimamu?” Daisy melangkah pergi. Tapi aku segera menahan lengannya. “Apa maksudmu dengan bilang begitu? Ada kemungkinan kau tidak menerimaku?” “Mungkin.” Daisy mengangkat bahu. “Please jangan begitu, aku betul-betul mencintaimu Daisy. Kalau kita tidak menikah, aku akan menikah dengan siapa?” “Bukankah kau lelaki pal