This is thriller where the killer murders with put leaving a detail and you wont ever feel bored i guess all of you guys will enjoy reading this
View More“Nona, tunggu!”
Sebuah genggaman tangan itu membuat Oliv menghentikan langkah dan menoleh ke belakang. Keningnya mengkerut ketika mendapati tangan pria yang memakai jas dengan setelan celana itu seperti sedang meminta bantuan.
Kening Oliv mengkerut. “Ya, kenapa ya?”
“Jadilah istri pura-pura saya. Saya akan memberikan kamu tiga miliyar jika menerima tawaran saya,” kata pria itu.
Perempuan itu hanya diam sambil membawa tas orderan makanan di sana. Dia melihat dari bawa ke atas penampilan pria tersebut.
“A–aku?” tanya Oliv menunjuk diri sendiri untuk memastikannya.
“Ya,” jawab pria itu dengan enteng.
“Maksudnya gimana ya? Kamu kira aku cewe murahan gitu? Makanya kami nawarin aku jadi istri pura-pura kamu?” kata Oliv dengan nada tidak terima. “Gila ya kamu! Kenal aja nggak!”
Pria itu tersenyum evil. “Saya tau semuanya dan seharusnya kamu menerima tawaranku barusan.”
Oliv menatap pria itu dengan tatapan tidak percaya Pria tersebut kini memberikan kartu nama di hadapannya. “Beneran gila ya ini cowo?” batin Oliv.
“Apa itu? Kamu kira kamu bisa nyogok aku dengan kartu itu gitu, hah?”
“Mungkin saja kamu membutuhkannya. Cepat ambil dan dapatkan hadiah nantinya.”
Sebenarnya Oliv ragu. Namun, sepertinya ia akan membutuhkannya nanti. Akhirnya perempuan itu mengambil kartu itu dan membaca kartu nama itu. “Nicholas Alexander?” gumamnya. Dia menatap pria itu yang sudah menghilang dari hadapannya.
***
Disetiap perjalanan Oliv hanya diam memandangi kartu nama itu. Bahkan di halte sampai masuk ke dalam bus dirinya hanya memandangi kartu itu. “Dia sangat tampan, masa iya dia nawarin aku jadi istrinya? Otaknya emang agak-agak,” gumamnya.
“Nicholas, apa dia orang kaya? Apa aku harus memanfaatkan dia untuk berobat ibu?” gumamnya.
Ya, beberapa menit kemarin Oliv sudah sampai di rumah kediamannya dan sekarang dia berada di kamarnya. Perempuan itu duduk di tepi kasur dan memikirkan apa yang dikatakan oleh pria tadi. “Terus? Kenapa dia menyuruh aku buat jadi istrinya? Apa dia nggak waras? Atau ... dia nggak mau menikahi seseorang pilihan orang tuanya?” katanya dengan pelan.
Sepertinya ada alasan pria itu untuk ini. Oliv menggelengkan kepala cepat karena terlalu memikirkan alasan dari pria tadi. “Astaga, mending aku buatin makanan ibu dulu.”
Perempuan kfu segera meletakkan kartu nama itu di meja. Kemudian ia beranjak dari sana dan keluar dari kamar.
“Oliv? Kamu sudah balik? Kamu tidak kerja?” tanya Lauren, selaku mama Oliv yang baru keluar dari kamar.
Oliv menoleh ke sumber suara dan mendekat ke mamanya itu. “Oliv libur Ma. Oliv buatin makanan buat Mama, ya?”
“Mau Mama bantu?”
Oliv menggelengkan kepala. “Mama istirahat aja ya? Dokter nyuruh apa kemarin, hah?”
“Hum, okey. Mama tunggu di kamar saja ya? Jangan capek-capek kamu.”
Oliv mengangguk kecil dan segera melangkahkan kaki ke dapur. Kemudian ia menyiapkan beberapa bahan di sana. Seperti yang dipikir-pikir dia harus ke rumah pria tadi untuk menyari tambahan berobat untuk mamanya itu. “Kayaknya aku harus ke sana nanti sore. Kalau nggak, siapa yang membayar biaya berobat nanti? Sedangkan uang aku juga pas-pasan buat berobat Mama, belum buat beli kebutuhan pokok aku sama mama juga,” gumamnya.
Setelah siap, Oliv segera membawa nampan ke kamar yang berisi sup dan nasi, tidak lupa dengan air putih yang berada di gelas. “Ma, ayo makan dulu. Habis itu Mama minum obat,” katanya sambil meletakkan di meja.
“Maaf ya, andai aja Mama nggak sakit. Pasti Mama nggak nyusahin kamu,” ucap Lauren dengan wajah tidak enak.
Oliv mengulas senyuman kecil, ia duduk di tepi kasur dan mengambil makanan itu. “Udahlah, Ma. Mama makan dulu ya,” katanya sambil menyuapi makanan untuk mamanya sendiri.
Perempuan itu merasa senang karena mama sudah bisa menelan makanan meskipun cuma sedikit. Dia berharap jika mamanya itu cepat sembuh dari penyakitnya. Itu saja yang ia harap.
***
Sore ini, Oliv bersiap-siap untuk menemui seseorang. Pastinya dirinya harus mempersiapkan dengan penampilan yang menarik. Dress putih menutupi tubuhnya dengan cantik, rambut yang digurai rapi, dan juga make-up yang sangat natural. Kemudian ia memakai sandal heels pendek yang menurutnya cocok dengan dressnya.
“Sudah siap!” Oliv berkaca di depan cermin dan menatap dirinya sendiri. “Perfect! Sepertinya sudah pantas buat ketemu sama cowo tadi,” katanya dengan percaya diri.
Perempuan itu mengambil ponsel yang berada di meja dan mencatat nomor yang ada di kartu nama tadi.
“Apa aku harus menelpon dia? Sopan nggak sih? Takutnya ganggu,” ucapnya dengan ragu. Dia duduk ditepi kasur sambil menatap ke layar ponsel sambil mengigit bibirnya sendiri.
Tak mau berpikir panjang, akhirnya ia menelpon nomor yang sudah disimpan tadi.
‘Hallo? Siapa?’
“Hallo, ini ... saya Oliv.”
‘Oh, okey. Temui saya di cafe dekat kantor saya. Saya kirim lokasinya.’
Oliv melirik ke ponselnya itu. Sepertinya pria itu sudah paham. “Baik, Pak.”
Setelah itu, pria tersebut mematikan telepon dari sana. Oliv segera mengambil tas selempangnya dan keluar dari kamar.
Tak mau menunggu lama, Oliv segera masuk ke dalam mobil dan menjalankan mobilnya. “Kalau memang kurang nantinya. Terpaksa aku harus menjual mobilku ini,” gumamnya.
Setelah sampai di tempat lokasi yang dikirim Nick. Oliv segera masuk ke dalam cafe tersebut sambil melihat kanan-kiri. Ya, ternyata pria itu ingin bertemu di cafe.
Oliv duduk di salah satu kursi di sana dan menunggu di tempat itu. “Sumpah lama banget sih dia,” gumamnya.
Merasa bosan menunggu seorang pria yang ditunggunya. Akhirnya, perempuan itu mengambil ponselnya dan mengirim pesan ke pria tersebut.
[Oliv]
Aku sudah sampaiKamu di mana?Setelah mengirimkan pesan, ia meletakkan ponsel itu kembali di meja.
“Sudah lama?” kata pria itu yang tiba-tiba nongol, sebelum duduk di hadapan Oliv.
Tentunya membuat Oliv terkejut dan merasa kikuk. “Menurut kamu aja gimana? Nggak usah banyak omong deh.”
Nick mendesis kecil dan memberikan sebuah berkas di meja itu. “Tanda tangan.”
Perempuan melirik ke berkas itu, kemudian membuka berkas tersebut. Ternyata banyak aturan di dalam sana. “Apa sebanyak ini aturannya?” tanya Oliv.
“Ya, memang itu aturannya. Kalau kamu ingin mendapatkan uangnya.”
Oliv menghela napas pelan. Ia memejamkan matanya sekilas sebelum menanda tangani kontrak itu.
“Jadi, kamu akan melakukannya kan?”
Oliv meletakkan pulpen itu dan menutup berkas kembali. “Ya,” jawabnya dengan yakin.
Nick mengulurkan tangannya di depan perempuan itu. “Deal?”
Oliv melirik ke tangan pria itu. Demi apapun, apa dia akan bahagia karena kontrak ini. Tapi, kalau tidak ikut kontrak dengan pria kaya ini. Kemungkinan dirinya tidak bisa membantu berobat mamanya sendiri.
Perempuan itu menghela napas kasar, ia mengulurkan tangan dan membalas jabatan tangan pria itu. “Deal!”
Nick melepaskan jabatan Oliv. “Kalau begitu, saya mau balik, kalau ada yang ingin bertemu saya, langsung tanya saja. Asisten saya yang akan membalas pesan darimu,” kata pria itu sebelum beranjak dari duduknya.
Kening Oliv mengkerut seketika, apa pria itu sudah gila? Perasaan baru saja dirinya duduk dan belum memesan apapun.
“Kenapa melihat saya seperti itu?”
Oliv menerjapkan mata dan menggelengkan kepala cepat. “Eng–enggak,” ucapnya dengan nada kikuk.
Nick meringis kecil, pria itu melihat jam yang melingkar ditangan. “Waktu saya sudah habis. Saya duluan,” kata pria itu sebelum pergi dari hadapannya sambil membawa berkas tadi.
Oliv terdiam di tempat itu, ia menatap punggung Nick yang sudah menghilang dari pandangannya. Tangannya mengepal di sana. “Beneran tuh orang nggak ada niatan buat beliin tamunya? Gila banget,” gumamnya.
Perempuan itu segera bangkit dari duduknya dan bergegas untuk keluar dari cafe tersebut. “Nggak modal banget tuh cowok. Kelihatannya sih kaya, tapi nggak beliin makanan sama sekali. Minimal harusnya minuman kan bisa? Ini nggak sama sekali?” gumamnya. Ia terus menggerutu di setiap perjalanannya.
Pranav lay on his bed, head on a pillow and a cigarette burning in his right hand. Children’s voices drifted through the open window. The curtains were drawn, and the room was semi-dark. Pranav’s motionless eyes were fixed on the ceiling. He was feeling something – what it was, he wasn’t sure. There was no simple way to describe it. Losing something you felt was yours and then getting it back. But, more importantly, he simply couldn’t fathom why he was forced to give up something which was truly his?You will make a very good director, son. Pranav could hear his father’s empty promise hanging in the silence around him.He felt a hot sting between his index and middle finger.He jerked himself up, threw the cigarette on the floor and watched it burn.The feeling of indignation fanned across his chest like a forest fire. He had done everything he possibly could to gratify his idealistic father. He worked with the labourers at the kiln, repaired cracks, carried buckets of h
The air was uncharacteristically crisp for January.The gruesome image of his sister’s dead body replayed involuntarily in Rishabh’s mind as he walked over a bed of manicured grass, crossed the cobblestone path and sat on the wooden bench under the Peepal tree. Arya sat by his side.The blue envelope is gone.The sun was straight above them, the cool wind skimmed through Arya’s long hair as he watched Rishabh’s movements attentively. Rishabh’s eyes were fixed on the glistening snow that capped the mountains in front of them, but Arya knew that behind those dark grey eyes, the brain was processing a lot of information.‘What’s in your mind Rishabh?’ Arya looked uncertain.Rishabh exhaled but did not offer an answer.‘What is it? Are you not going to tell me?’ The uncertainty on Arya’sface rapidly turned into annoyance. ‘Are you w-worried that since I am not studying Engineering like you, I w-wouldn’t be able to process the stuff going on in that big brain of you
Meera’s left hand was trembling badly.She had a fleeting vision from the time when Mr Vishal Arora and his first wife had brought Esha into the family. Meera was standing at the door, her eyes fixed on the smiling baby, whose tiny fingers were extended towards her. The image was involuntarily replaced by Esha’s lusterless body gazing aimlessly into the emptiness of the room.She dried her eyes with the edge of her turmeric stained blue sari.‘You want to know what I was doing?’ asked Meera slowly. ‘I was in the kitchen with Jyoti. I was making tea and she was distributing it to the guests. She was supposed to make some snacks too. But she got engaged in a conversation with Mr Dhruv and I was getting late ... You might ask what I was getting late for ... TV serial, mother, son and daughter-in-law – big drama – I watch it every day at 5 pm. When Jyoti was back ... I dashed into the living room. The glass entrance door was open ... So, I closed it.’ She paused. ‘You might ask
The door opened and Naina walked in. She was lean and graceful, her long black hair, tipped with golden streaks, floated in waves till her midriff. Her sharp nose and mascara-coated lashes accentuated her allure and her tight blue top accentuated her firm body.‘Hello ...’ She almost whispered. Her voice soft yet clear like a small silver bell. The inspector almost rose to offer her the chair.‘Thank you, Miss Naina for coming in,’ the inspector smiled, something Rishabh and Arya saw for the very first time.‘It is not a problem at all. This setup Mr Inspector,’ she smiled, ‘looks exactly like an employment interview. Three people staring at a nervous candidate while she rummages her brain for a pre-rehearsed answer. It is actually quite intimidating.’ She smiled like an air hostess welcoming the passengers on board.‘Are you feeling intimidated, Miss Naina?’ the inspector shot his first question.‘No,’ she smirked. ‘Why should I be? Interviews are dicey affairs. Most
The inspector played the different techniques he could employ to handle Jyoti in his mind. He had two lines of attack; one was through the expensive piece of shopping she had done at Solan, and the other about the last evening when she went snooping near Esha’s room. But, he was not going to confront her directly. The idea was to scare the truth out of the young housemaid. He did this twice every day in the police station. Fear was his ally.With a little help from Rishabh, the inspector had converted his room into an interrogation room. Four chairs with a small coffee table at the centre was placed right in front of the window. The room was blazing with winter sunlight and tiny worm-like particles could be seen against the rays, floating in midair. The variety of glass items sparkled from all the corners like secondary sources of light.I must squeeze a confession out of her, the inspector thought, biting his lip.Arya walked in through the open door and occupied the chair
The inspector stopped short in front of the glass door at the Arora Mansion.Thoughts were swirling around inside his head ... the sub- inspector’s observations about Anubhav ... his wife’s sizzling tale about Jyoti ... His own views based on the timings and alibis. Nothing was convincing enough. A sense of urgency was rising within him. On the other side of the glass door, Rishabh and Arya got up from their seats, their tired eyes distant but their minds keen and ready to assist the inspector. In the next moment, the inspector rapped his knuckles on his forehead, pushed the door sideways, walked in and took a left. The decision was made. Forget everything and follow your instincts. And, the very first thing his instinct told him was – Pranav, stepbrother. Possible motive – Control of the company.He knocked on his door.‘Come in,’ Pranav bellowed from inside.The inspector hurried towards Pranav with his arm extended. Pranavturned around on his rotating chair in fro
Murderer is a mystery/thriller novel by Kokku that follows the story of a killer who wants nothing but to kill Esha Arora and is not planning to stop until that goal is reached. But why does the killer want to murder her so much? Did she do something wrong that made the murderer go after her? Can she even survive? Read the novel to find out all the answers you are looking for.
Comments