Melihat pemandangan luar biasa di depanku, aku seperti orang bodoh. Tapi aku tidak mau terlihat bodoh. "Silakan lanjutkan, aku salah jalan!" tandasku dan berbalik. Aku tidak tahu apa reaksi Lola saat tahu aku memergoki dia dengan pria lain. Aku tidak ingin menoleh lagi. Kejutan luar biasa kembali kuterima hari ini. Langkahku tidak jelas lagi ke mana. Tidak kupikirkan apakah aku menuju rombongan murid atau tidak. Aku hanya ingin keluar dari area kampung wisata itu dan kembali ke bis. Pak Harjo sedang duduk di dalam bis sendirian, di kursi sopir. Dia memperhatikanku yang masuk bis dengan tergesa dengan wajah kesal. "Pak Avin?! Kok sudah balik? Ah, Pak Avin sakit?" Pak Harjo bertanya dengan tatapan cemas. Aku menyandarkan punggung, sedikit miring, agar bahuku tidak menyentuh sandaran kursi. "Mulai terasa, Pak. Makanya aku balik ke bis saja. Pulang baru aku cek kondisi seperti apa." Aku menjawab sambil perlahan tangan kananku meraba bahuku. "Boleh saya lihat, Pak? Maaf, kalau ga keb
Tatapan mata sayu itu membuat aku tak bisa mengalihkan pandanganku ke arah lain. Beberapa saat mataku dan mata Josie masih saling menatap. Josie mengerjap beberapa kali, lalu dia menunduk dan kembali memperhatikan ponselnya. Aku menghela nafas dalam, menoleh lagi keluar jendela bis. "Ya Tuhan, ada apa denganku? Aku makin ga bisa kontrol hatiku. Kenapa jadi begini?" Degupan mulai melanda di dada ini. Benar-benar tidak masuk di akalku. Aku suka muridku sendiri? Gila! Ting! Ponselku kembali berteriak menunjukkan ada pesan masuk. Dengan cepat aku mengeluarkannya dan membuka pesan itu. Aku makin degdegan, yakin pesan itu dari Josie. Ah, ternyata ... Lola ... - Avin, aku tunggu di rumah. Kita harus bicara. Aku tersenyum getir. Aku tahu apa yang Lola inginkan. Dia pasti akan klarifikasi kejadian di lorong kampung wisata itu. Aku tidak ingin sama sekali menjawab pesan Lola. Aku memegang ponselku dengan tangan kanan, sementara pandanganku balik ke jalanan di luar bis yang tidak bisa terlal
Rasanya tak bisa kupercaya apa yang aku dengar dari Lola. Dia tidak mau putus? Lalu apa arti semua yang dia lakukan di belakangku? Apa artinya aku buat dia? Kalau boleh, aku ingin menampar pipinya dan menjambak rambut pirangnya! Kedua tanganku terkepal. Dan sayang sekali, tangan kiriku terasa lemah, mengepal saja tidak mampu dengan benar. Aku sudah habis kata-kata membalas Lola. "Kalau memang putus, aku yang akan melakukannya, bukan kamu! Jadi, aku ga terima kamu putusin aku, tanpa mendengar penjelasan dariku!" Lola menatapku dengan kedua mata menyala. Aku tidak bereaksi. Mau menjawab, tidak ada gunanya, mau mengiyakan sudah tidak mungkin. Aku memilih duduk di sofa dan meletakkan ransel di sebelahku. Aku mengeluarkan ponsel dari saku ranselku. "Sekarang, kamu harus dengar semua yang harus kamu dengar." Lola maju beberapa langkah dan duduk di depanku. Aku masih tidak ingin menjawab. Ponselku menyala, ada panggilan masuk di sana dari Kak Lili. "Ya, Kak?" Aku menerima panggilan kaka
Sebuah gambar dengan diri Josie. Josie memegang selembar kertas di tangan, sedang senyum manis mengembang di bibirnya. Tulisan di kertas yang Josie pegang membuat aku makin lebar tersenyum. 'You're the hero for me, Sir. Thank you.' Aku segera mengirim balasan ke nomor Josie. - lagi ngapain? Sempat bikin foto gini, ya? Aku tak bosan memandangi wajah Josie. Sangat berbeda dengan saat pertama aku mengenalnya. Wajah tegang, cuek, dan tak peduli apapun hampir tak terlihat lagi di sana. Semakin terbayang wajah Josie yang dihiasi senyum, meskipun matanya masih saja sayu. Namun sayu yang dia tunjukkan bukan menyimpan kesedihan. Ting! Jawaban masuk lagi dari Josie. Tak sabar aku membaca pesannya. - Mau belajar malam, Pak. Semangat, cepat sehat lagi. Ada project kelas musik, kan? Pingin cepat mulai. Oh, tidak ... Ini penghiburan yang aku harapkan. Secepat itukah Tuhan menjawab doaku? Semua kekesalan karena Lola seperti tidak ada artinya. Kalimat biasa dari seorang murid yang menyukai pela
"Hetty, teman-teman kamu benar. Pulang saja, jangan sampai telat balik asrama. Makasih sudah berkunjung. Ya?" Aku menengahi. Lebih baik mereka segera pergi. Aku tidak ingin drama Lola akan lebih panjang lagi. "Baiklah. Pak Avin janji, kalau ada apa-apa, tinggal bilang minta bantuan saja." Hetty masih menegaskan kata-kata yang sama. "Oke, thank you. Hati-hati di jalan." Aku mengangguk dan tersenyum. "Oh, jadi ga usah minum, nih!?" Lola menimpali. Kembali senyum manis dia lemparkan. "Ga usah, Tan. Ga haus juga, kok!" Lagi-lagi Doan menarik kedua temannya agar bergegas. "Ih, kok aku dipanggil Tante? Aku setua itu?" Lola cemberut sambil terus memperhatikan ketiga muridku yang beranjak keluar rumah. Aku tidak menjawab. Aku sangat ingin hari ini tidak terjadi. Sampai kapan aku akan berurusan dengan Lola? Aku mulai muak dengan semua yang terjadi di antara aku dan mantanku itu. "Avin, aku ga bisa nunggu lebih lama. Aku harus jelaskan apa yang tertunda yang aku mau bilang hari itu. Besok
"Jangan jual mahal. Aku akan ajak kamu bersenang-senang, Neng!" Salah satu pria itu , yang bertato di kedua tangannya, berkata dengan nada sinis dan terkesan mengejek. "Aku akan teriak kalau kamu ga pergi," sahut di gadis, dengan suara medok. "Hei, sok alim banget. Cewek kalau udah masuk kafe ini, Neng, pasti tujuannya mau happy-happy. Aku dengan senang hati lo, ngajakin kamu, hee ... hee ..." Pria yang satu lagi, yang sedikit gondrong ikut bicara. Dadaku seketika terasa penuh, seperti mau meledak. Aku belok ke sisi kiri dan dengan cepat menghampiri mereka. "Kalian ngapain di sini?" Aku menatap tajam kepada kedua pria itu. Tanganku terkepal di sisi badanku, bersiap kalau terjadi sesuatu. Kulihat dengan jelas, si rada gondrong masih memegang kuat lengan si gadis. Mendengar pertanyaanku yang bernada marah, keduanya menoleh padaku. Si gadis pun melihat ke arahku dengan mata yang langsung melebar. "Kak Avin!?" Kedua pria itu menyebut namaku serempak. Wajah mereka jelas sangat terkeju
Aku jadi salting di depan Josie. Kenapa gadis itu menatapku begitu? Aku meneguk lagi jusku, yang tinggal setengah, tiga kali teguk saja. "Minum jusnya, kok dianggurin," tukasku. Tidak nyaman juga dilihat begitu rupa. Senang, meletup, tapi sisi lain hatiku berseru yang kurasakan salah. "Aku ingat kata-kata papa. Kayak yang Pak Avin bilang," kata Josie masih dengan dagu ditopang dan pandangan menghujam ke bola mataku. "Apa katanya?" tanyaku penasaran. "Hidup harus berguna. Kupikir itu hanya untuk orang-orang tertentu saja. Aku ga yakin. Aku hidup ga karuan, isinya cuma melow, mau berguna dari mana. Tapi pas dengar kisah Pak Avin, aku ... bisa jadi papa benar," jawab Josie. Lagi-lagi, Josie menyamakan aku dengan papanya. Aku makin bisa merasa Josie tidak menahan diri untuk terbuka padaku. Bagus, tapi kenapa aku mulai takut? Aku melirik ke arloji di tangan kiriku. Sudah hampir setengah tujuh malam. "Kamu harus segera balik, atau kamu akan telat sampai di sekolah," ujarku. Josie men
Josie melangkah masuk melewati gerbang sekolah. Tidak sampai sepuluh meter dia berbalik dan melambai. Senyumnya lebar, lepas, tampak begitu gembira. "Makasih, Pak!" Suaranya kembali terdengar. Aku membalas lambaiannya, juga melempar senyum buat Josie. Ah, kenapa aku segembira ini melihat senyum gadis belia itu? "God, help me ..." bisikku, memohon agar hatiku tidak berjalan terlalu jauh ke sisi yang tidak semestinya.Aku memutar motor, aku lebih baik segera pergi. Aku tidak boleh membiarkan perasaanku terus melebar. Josie adalah muridku. Titik. Motorku kembali melaju di jalanan. Masih padat, meski tidak sepadat sebelumnya. Aku tidak bisa menampik, hatiku terus berpetualang, mengingat Josie, Josie, dan tidak mau beralih ke tempat lain. Sampai di rumah Kak Lili menyambutku. Makan malam kesukaanku yang kebetulan sama dengan Bang Edo tersedia di meja. Tapi aku tidak bersemangat melihatnya. Pikiranku galau. Carut marut karena Josie. "Avin! Ayo, makan! Lihat, semua kesukaan kita siap di