Akhirnya, acara resepsi pernikahan Bima dan Tiara selesai digelar ketika matahari sudah meredup. Wajah-wajah lelah terbingkai nyata dari paras kedua keluarga.
“Pak, saya berencana langsung memboyong Tiara, untuk tinggal di rumah saya malam ini juga.”
Bima memulai percakapan saat mereka tengah berkumpul di ruang keluarga melepas lelah setelah acara resepsi dengan berbagai insiden yang sengaja diciptakan Tiara.
“Eh, enggak bisa begitu dong. Aku kan belum kemas-kemas.” Tiara protes sambil memonyong-monyongkan mulutnya yang justru membuat Bima semakin gemas dengan istrinya yang kecil mungil itu.
“Semua pakaianmu sudah ibu bereskan, juga boneka beruang kesayanganmu,” ucap Bu Tardi yang tiba-tiba muncul sambil menyeret koper berisi pakaian Tiara.
Tiara menatap sedih ibunya. Mengapa dia merasa seolah-olah ibunya ingin dia cepat-cepat pergi dari rumah, terasa sekali bahwa kehadirannya benar-benar tak diharapkan.
Tanpa sadar, setetes bening berhasil keluar dari sudut matanya yang segera dihapus karena tak ingin terlihat cengeng.
Tiara menerima boneka beruang yang disodorkan ibunya. Dia teringat kenangan saat memperoleh boneka itu dulu.
Boneka hadiah ulang tahunnya yang ke empat, saat semua kasih sayang ayah dan ibunya masih menjadi miliknya seorang, karena setelah itu, dia bahkan lupa kapan terakhir kali ibunya mengecup kening dan mendongeng untuknya sebelum tidur.
Suara kentut disertai bau yang benar-benar mengotori udara membuat semua mata tertuju pada satu fokus, Tiara!
Suara tawa membahana memenuhi ruangan. Papa Bima terbahak-bahak melihat kelakuan menantunya.
Di sudut lain, orang tua Tiara menggeram marah menahan malu di hadapan besannya.
Mamanya Bima mendekati Tiara, merangkul pundak gadis itu.
“Enggak apa-apa, Sayang. Mama dulu juga waktu nervous tak sengaja kentut terus-menerus.” Tawa papa Bima semakin menggelegar mendengar kata-kata istrinya.
Lalu, mengalirlah cerita bagaimana dulu mama Bima tak sengaja mengeluarkan gas beracun saat duduk di pelaminan dan banyak tamu yang ingin menyalami mereka. “Sama seperti tadi saat Tiara juga mengeluarkan gas beracun saat banyak orang ingin berfoto,” ucap papa Bima, masih dengan tawanya yang membuat bahunya berguncang.
Keluarga Tiara yang sebelumnya khawatir besannya akan tersinggung akhirnya ikut tertawa, membuat Tiara justru salah tingkah. Ternyata usahanya untuk membuat keluarga Bima illfeel ditanggapi santai oleh orang tua Bima.
Benar-benar keluarga yang unik.
Bima menatap istrinya dengan perasaan ... entah.
Dia berharap, tak akan butuh waktu lama untuk menaklukkan gadis keras kepala itu.
Tiara memang gadis yang unik dan langka.
Di saat gadis-gadis yang dikenalnya berusaha menarik perhatian Bima, Tiara justru melakukan hal sebaliknya. Dia berusaha membuat Bima illfeel, tetapi bukan Bima namanya jika ia terpengaruh gaya pecicilan gadis yang usianya delapan tahun lebih muda darinya itu.
Tak ingin kemalaman sampai rumah, Bima akhirnya berpamitan setelah acara cipika cipiki dan pelukan yang membuat air mata Tiara semakin menganak sungai di pipi mulusnya.
Dengan berat hati, Tiara masuk ke dalam mobil sport yang dikendarai Bima, sedang kedua mertuanya menaiki mobil yang lain bersama seorang sopir.
Mobil melaju perlahan meninggalkan halaman rumah Pak Tardi diiringi lambaian tangan kedua orang tua Tiara dan senyum Dara.
Tiara menggigit bibir bawahnya, menyembunyikan isak yang sedari tadi ingin meledak keluar. Terbiasa tersisihkan dan diabaikan, membuatnya pantang membuang-buang air mata dan memilih tegar.
“Kalau mau nangis, boleh kok, enggak usah malu.” Suara bariton Bima membuat Tiara tersadar dari lamunan yang menyeretnya dalam kenangan menyesakkan.
Tiara sedang malas berdebat. Dia memilih membuang pandangan dan menatap bintang-bintang dari kaca mobil yang sengaja dibiarkan terbuka.
“Halo, hai … kembali bersama saya, Magdalena di radio kesayangan Anda, 102,5 FM. The credible station in town.”
Suara penyiar radio memecah hening di antara mereka.
“Yang mau cerita-cerita atau sekadar berkirim lagu buat seseorang yang disayang, bisa menghubungi line telepon 08123456789 ini, ya.”
Kemudian terdengar suara telepon tersambung yang segera diangkat.
“Halo, siapa, di mana?” Suara Magdalena menyapa si penelepon.
“Halo, saya Bima, lagi ondewey,” jawab Bima.
Tiara spontan menoleh saat menyadari penelepon ke saluran radio lokal itu adalah Bima yang sedang memegang kemudi di sebelahnya.
“Oh, ondewey ke mana nih Mas Bima, mau cerita-cerita atau kirim lagu nih?” tanya Magdalena lagi.
“Mau kirim lagu buat seseorang yang baru beberapa jam jadi istri saya,” jawab Bima mantap.
“Hei, god bless you both. Pengantin baru nih. Semoga langgeng dan segera dapat momongan ya, Mas Bima,” ucap Magdalena terdengar tulus.
Tiara mendelik tak percaya. Tak menyangka seorang Bima mampu melakukan hal konyol dan memalukan itu.
Puluhan telepon kemudian berebutan masuk ke line telepon itu untuk mengucapkan selamat diiringi berbagai macam doa tulus untuk kebahagiaan mereka berdua.
“Oke, Guys. Sekarang kita dengerin bareng-bareng dulu lagu pilihan Mas Bima untuk istrinya, Tiara. Sebuah lagu dari miliknya Virzha dengan judul Aku Lelakimu, akan menemani kalian semua.”
Tanpa sadar, perasaan Tiara menghangat. Apalagi sejak lagu yang di-request Bima mulai mengalun. Dia terharu dan kesal di waktu bersamaan.
Tiara menahan napas, menyimak lagu yang sedang mengalun pelan. Volume yang cukup keras tak mampu menyamarkan gemuruh yang mulai bertalu di relung hati terdalam, membuatnya merasa tak nyaman.
Mungkin pelukku tak sehangat senja
Ucapku tak menghapus air mata
Tetapi ‘ku di sini, sebagai lelakimu.
Akulah yang tetap memelukmu erat
Saat kau berpikir, mungkinkah berpaling
Akulah yang nanti menenangkan badai
Agar tetap tegar, kau berjalan nanti.
Mobil memasuki pekarangan yang sangat luas dengan rumah mewah berdiri kokoh. Terlihat sekali kalau rumah itu dibangun dengan desain khusus yang konsepnya pun sudah dipikirkan oleh empunya rumah.
Mobil berhenti.
“Kita sudah sampai, turun yuk,” ucap Bima sambil mengusap lembut pipi Tiara.
Tiara yang tak sadar memejamkan mata sepanjang jalan tadi, mulai mengumpulkan kesadaran. Mencoba memindai setiap sudut yang akan menjadi rumahnya mulai malam ini.
Bima segera turun dari mobil, membukakan pintu untuk Tiara lalu membuka kap belakang, mengeluarkan koper kecil milik Tiara dan menentengnya masuk.
“Ayo, masuk! Atau kamu mau diam di sana saja semalaman,” ucap Bima saat melihat Tiara mematung.
Tiara segera berlari-lari kecil demi menyejajarkan langkah Bima.
Bima membuka sebuah kamar yang langsung membuat Tiara terpesona.
Untuk ukuran laki-laki, kamar Bima termasuk sangat apik. Nuansa hitam putih lebih mendominasi. Warna favorit Tiara.
Hanya ada sedikit sentuhan oranye di salah satu sudut yang menimbulkan kesan hidup.
Selebihnya, warna-warna alam mendominasi.
Kamar ini menghadap ke halaman belakang, tepat ke taman dan kolam ikan koi dengan air mancur buatan yang menimbulkan gemercik menghadirkan rasa tenang.
Tak terasa, sudah sekitar tiga puluhan menit Tiara berdiri di teras kamar menikmati damai yang disodorkan gemercik air dan bintang-bintang dari kursi malas yang terdapat di situ.
Hawa dingin yang mulai menggelitik tulang, membuatnya beranjak masuk ke kamar.
Matanya berserobok dengan mata elang milik Bima, yang sedang sibuk mengatur bantal untuk mereka berdua.
“Eh, mau ngapain?” Cicitan melengking khas suara Tiara membuat aktivitas Bima yang akan merebahkan diri di kasur urung dilakukan.
“Mau tidurlah.” Bima menjawab dengan polosnya.
“Enggak! Kamu tidur di luar!”
Bima mendelik tak percaya. Astaga, Tiara! Ternyata gadis ini masih saja ingin menguji kesabarannya di tengah malam begini.
“Kita kan sudah menikah, kenapa aku enggak boleh tidur sekamar denganmu?”
“Aku memang enggak bisa tidur dengan orang asing!” jawab Tiara cuek. “Atau kalau kamu mau tetap tidur di kamar ini, biar aku yang pindah kamar!” Tiara mengancam.
Lelah di sekujur tubuh membuat Bima memilih mengalah.
Dibawanya bantal dan selimut keluar kamar dan tidur di kamar sebelah.
“Yaaay …” Tiara berjingkrak senang, merasa menang.
“Aku akan membuatmu menyesal sudah menikahiku, Bima!” ucap Tiara sambil tertawa jahat, merasa puas berhasil mengerjai Bima.
Bagi Bima, hal tersulit memahami Tiara karena wanita itu begitu tertutup. Tiara hampir tak pernah menceritakan dirinya sendiri dengan sukarela. Bahkan pertanyaan-pertanyaan Bima pun seringnya hanya dijawab sambil lalu. Sejujurnya, Bima hampir tak pernah benar-benar tahu apa yang dirasakan Tiara setiap kali mereka bertengkar, pun saat insiden malam itu.Tiara seperti bawang yang harus dikupas Bima selapis demi selapis untuk mengenal wanita itu. Tak masalah bagi Bima. Hanya saja dia ikut merasa lemah dan tak berdaya saat Tiara menenggelamkan diri dalam lautan luka dan sama sekali enggan menerima uluran tangannya.Sudah seminggu sejak insiden malang itu, seminggu pula tawa dan keceriaan Arjuna tak terdengar di rumah sejak Bima membawa bocah polos itu menginap ke rumah kakek neneknya, papa mama Bima. Lelaki itu sengaja melakukannya agar Tiara bisa menenangkan diri dan fokus kepada Anisa.Tiara juga semakin pendiam. Tidurnya menjauh dan enggan disentuh Bima. Namun be
“Astagfirullah… Den Juna!” "Non Tiara! Nyonya!" Sambil berteriak memanggil Tiara dan Bu Tardi, Bik Yam bergegas mengangkat bantal yang menutup wajah Anissa. Di sampingnya, Arjuna terlihat kesal melihat adiknya ternyata masih bisa menangis. Bocah empat tahun itu beringsut ke pojokan, melihat Bunda dan neneknya yang masuk. Dia memang belum memahami apa yang terjadi, tetapi instingnya sepertinya memberi isyarat bahwa dia harus waspada. "Ada apa, Bik?" Tiara bertanya sambil mengambil Annisa dari dekapan Bik Yam. Melihat napas Annisa tersengal, Tiara mendadak panik. “Ya Allah, Nissa… kamu kenapa, Nak?” "Bik, Nissa kenapa?" Suara Tiara mulai meninggi. "Anu, Neng. Tadi wajah Anissa ketutup bantal!" Dengan sedikit takut dia memberanikan diri menceritakan kondisi Anissa saat tadi ia temukan. Mata Tiara langsung nyalang. Sepertinya dia dapat menduga bahwa itu perbuatan Arjuna. "Juna! Kamu apakan adikmu, hah!" Samb
"Arjuna! Hentikan suara mobil-mobilan kamu itu. Apa kamu nggak lihat kalau adikmu sedang istirahat?""Tidur sendiri sana di kamarmu. Bunda harus tidurin Anissa sekarang.""Handuk baru itu bukan punya kamu, Arjuna! Itu punya adikmu! Kembalikan!"Rasanya Bima sekarang tak asing lagi dengan suara Tiara dalam nada tinggi, marah-marah dan mengomel sepanjang hari. Kehadiran Anissa merampas kewarasan bundanya. Tiara sering uring-uringan. Terutama kepada Arjuna.Bima memutuskan mengambil cuti panjang agar bisa menemani Tiara di rumah dan menjaga Arjuna. Laki-laki kecil berusia empat tahun itu pasti sudah menyadari kalau perhatian bunda kini tidak lagi utuh untuk dirinya. Ada adik Anissa tempat bunda melimpahkan semua sayang. Dan Arjuna mulai merasa kehilangan.Suasana rumah mulai terasa tidak senyaman dulu. Anissa dengan kondisi fisik kecil dan lemah, membuat Tiara over protektif dalam menjaga Anissa sehingga Arjuna merasa terabaikan.Hanya saat Bim
Dua garis.Tiara menyodorkan test pack pada Bima dengan lesu."Aku nggak mau punya anak lagi, Bim.""Tapi kita nggak akan membuangnya, Tiara. Ini hadiah cinta kita. Jangan ditolak ya, Sayang."Tiara menghela napas dalam. Tak berdaya.Hari berganti minggu, pada kehamilan kali ini Bima harus benar-benar menyimpan banyak stok kesabaran untuk menghadapi Tiara.“Bimaaa! Mandi sana! Kamu bau jengkol. Aku gak su- ....” Belum kalimat itu selesai, Tiara sudah menunduk dan memuntahkan kembali segelas susu ibu hamil yang sebelumnya susah payah diteguk untuk mengisi perut.“Tapi aku hari ini enggak nginjak kebun apalagi pegang pohon sama buah jengkolnya, Sayang!” Bima menciumi tangan, pakaian hingga rambutnya sendiri.“Keluaaar!” pekik Tiara keras meski tubuhnya sebenarnya tak berdaya. “Kamu pilih aja, mau ngurus jengkol atau ngurusin aku!”Pasrah, Bima melangkah keluar kamar sebelum T
Bulan madu yang kedua, demi membiarkan Tiara beristirahat dan menghibur diri Bima sengaja menitipkan Arjuna pada kedua orang tuanya. Bima bertekad akan menyembuhkan luka yang telah diberikannya pada Tiara. Tiara tampak lebih segar sejak sampai. Meski beberapa kali sempat mengkhawatirkan Baby Juna, tapi Bima selalu berhasil meyakinkannya untuk cukup bersenang-senang selama liburan mereka. Berbeda dengan honeymoon sebelumnya, kali ini Tiara lebih antusias untuk menikmati kebersamaan dengan raksasa yang berhasil melelehkan gunung es di hatinya. Berbagai rencana telah disusun jauh-jauh hari dengan perasaan bahagia. Di hari pertama, Bima akan mengajak Tiara untuk melihat pianemo sesuai keinginan Tiara. Dengan berbekal ransel, pria itu mengikuti langkah istrinya yang bersemangat saat menaiki anak tangga. Keringat membasahi wajah wanita yang terlihat mungil jika bersanding dengan sang suami. “Biiim, cape!” keluh Tiara saat mereka sudah melewati lebi
"Aku tak boleh bermain ke luar agar kulitku tak berubah kusam. Sedang Tiara, bebas berlarian di luar bersama teman-temannya. Saat aku tak tahan gerah karena rambut yang senantiasa tergerai, ayah ibu melarangku untuk memotongnya. Mereka bilang wanita cantik itu yang rambutnya panjang." Tangan yang tadi terkepal, perlahan tergerak menarik rambutnya yang tergerai. Dililitkannya rambut itu kemudian menarik keras, membuat helai demi helainya berjatuhan ke lantai. Dara benci Tiara yang bahkan tetap terlihat cantik meski dengan rambut pendek!Tiara menatap tak percaya pada apa yang baru saja didengarnya, saat ayah dan ibu selalu memuji kecantikan Dara, kulitnya yang senantiasa putih bersih dan rambut yang tergerai panjang. Kenyataannya ...."Saat Tiara boleh membeli apa yang dia sukai, aku diatur sedemikian rupa. Ayah ibu bilang wanita cantik itu yang anggun penampilannya. Ibu juga bilang berpenampilanlah yang menarik, jangan sampai ketinggalan zaman. Nyatanya, seperti rok bu