"Lho, Diana mana, Mih?" tanya Wijaya kepada istrinya. Mereka baru saja akan memperlihatkan putri mereka yang cantik kepada keluarga Hutama. Namun, gadis itu sudah menghilang.
"Tadi di belakang kita, kok," jawab Anisa.
Wijaya mencoba menghubungi putrinya melalui telepon. Akan tetapi nomor tidak aktif. "Gak aktif, Mih."
"Ke toilet mungkin. Aku sempet liat gadis pake baju pink di belakang kalian lari. Atau mungkin malu ketemu kita?" ujar Hutama.
"Anak itu memang selalu bikin ulah akhir-akhir ini," kata Wijaya.
Orang tua Diana begitu takjub melihat perubahan Arvan. Anak berusia delapan tahun yang dulu sering bermain dengan putrinya kini tumbuh menjadi pria tampan. Kemeja ketat yang digunakannya menunjukkan bahunya yang lebar.
"Apa kamu benar Arvan?" tanya Anisa.
"Iya, Tante." jawab Arvan dengan senyum yang begitu pelit.
"Diana pasti nyesel gak liat kamu, kamu masih ingat wajah Diana kan?"
"Lupa-lupa ingat, sudah dua puluh tahun berlalu, jadi agak lupa."
"Kapan-kapan kamu harus ketemu sama Diana ya!"
"Iya, Tante."
Acara makan malam berjalan lancar tanpa Diana. Kedua keluarga ini menghabiskan waktu bersama dengan membahas perusahaan masing-masing.
***
Heksa yang tadinya akan kencan buta dengan seorang wanita akhirnya membatalkan sepihak demi mengintai Diana. Diam-diam ia mengikuti taksi yang dinaiki gadis bergaun pink itu.
Pria muda jangkung dengan rambut mohawk itu terkejut ketika Diana berhenti di sebuah rumah besar, luas dan mewah. Ia juga melihat seorang security membukakan pagar dan menundukkan kepala kepada gadis itu.
"Mencurigakan. Pasti dia bukan OB biasa. Aku bakal cari tahu semua tentang kamu, Cantik!" Heksa melajukan mobil mewahnya dan pulang.
Pria tampan dengan penampilan badboy ini merebahkan tubuhnya di kasur yang berantakan. Selimut kusut, seprei tidak rapi, banyak benda di kasurnya yang sama sekali tidak enak dilihat mata. Ia masih terus memikirkan gadis bergaun pink itu. Kecantikannya benar-benar sudah membiusnya. Membuat sahabat dari Arvan ini senyum sendiri sambil menatap langit-langit kamar.
Keesokan paginya, Heksa memenuhi janjinya pada diri sendiri untuk menemui gadis yang membuatnya tidur tak nyenyak. Ia bergegas membersihkan diri dan berangkat menuju kantor Hutama Group sangat pagi. Benar saja, Heksa sampai di kantor ketika belum ada satu pun karyawan yang berangkat. Masih sangat sepi, hanya terlihat dua security berjaga di pintu masuk.
***
"Mih, Pih, aku udah selesai sarapan, aku pergi dulu!" ucap Diana setelah meneguk segelas susu yang disiapkan mbok Asih.
"Buru-buru banget, papih baru mau tanya, semalam kamu ngilang ke mana?"
"Mules, jadi aku pulang."
"Diana, Pak Ujang semalam udah dapat sepedanya. Ada di garasi," kata sang Mamih.
"Beneran? Ok, Diana pergi sekarang!" Gadis itu berlari menuju garasi. Senyum yang terpancar tiba-tiba memudar ketika yang ada di hadapannya adalah sepeda mini baru. Diana meniup poninya. Ia mencari batu dan membuat goresan di seluruh body sepeda hingga nampak seperti sepeda bekas.
"Sempurna!"
Diana mengayuh sepeda itu dengan kaku. Terakhir kali ia bermain sepeda ketika SMP. Dengan hati-hati, ia terus mengayuh hingga akhirnya sampai di perusahaan tempatnya bekerja.
Ketika memasuki halaman kantor, Diana tak bisa menjaga keseimbangan saat melihat Heksa melambaikan tangan dari jauh. Ia tak fokus dan tiba-tiba mobil sedan mewah berwarna hitam menyerempetnya hingga Diana terjatuh.
Heksa berlari dan segera menolongnya. Begitu juga pengemudi sedan itu yang membuka pintu mobil. Yang pertama dilihat Diana adalah sepatu fantovel hitam mengkilap menapak paving. Gadis itu menengadah dan menangis saat tahu bahwa yang menabraknya adalah si Es Batu.
"Hey, kamu gak apa-apa kan?" tanya Heksa sambil membantu Diana berdiri.
Gadis itu menundukkan kepala, seolah siap menerima ocehan sang CEO di pagi hari.
"Kamu lagi! Apa tidak bisa bertindak ceroboh sekali saja?" bentak Arvan.
"Van, jangan kasar sama pacar aku, dong!" bela Heksa yang mengaku menjadi pacar Diana. Pengakuan badboy yang mengejutkan ini hanya membuat Diana terperangah tak mengerti.
"Jadi dia pacar kamu?" tanya Arvan.
"Iya, jadi jangan kasar sama dia, Van." Heksa mencubit pinggang Diana sebagai kode agar ia juga mengakui bahwa mereka sepasang kekasih.
CEO dingin ini berjalan selangkah lebih dekat ke arah office girl yang baru saja ditabraknya. "Aku bakal perhatikan kamu karena kamu pacar Heksa. Jadi, siapa nama kamu?"
Diana begitu antusias dan mengulurkan tangannya, "Aku Diana."
Arvan hanya melirik ke tangan Diana. Ia berbalik meninggalkan sepasang kekasih palsu itu dan masuk lagi ke dalam mobilnya. "Ke napa setiap nama Diana selalu ceroboh!" gumam Arvan sambil menyetir.
Diana kesal, ia melepaskan tangan Heksa yang masih menyentuh lengannya. "Dasar es batu!" umpat gadis kurus ini sambil menggenggan kedua tangannya. Ia lalu mengambil sepeda yang masih terjatuh dan hendak pergi. Namun, Heksa tiba-tiba meraih tangannya.
"Tunggu, Diana!"
"Apa? Sana masuk ganti baju!"
"Ganti baju?"
"Semalam katanya kamu OB di sini? OB tapi kenapa akrab banget sama si es batu itu?"
"Aku bohong," jelas Heksa menunjukkan gigi gingsulnya.
"Terus ngapain kamu di sini?"
"Nungguin kamu, aku juga tau rumah kamu."
"Gak usah ngaco!"
"Beneran. Oh iya, kenalin aku Heksa mulai sekarang kita resmi pacaran ya!"
"What? Emang bener-bener ngaco kamu!"
"Mungkin aneh bagi cewek tiba-tiba denger aku ngomong gitu. Okelah, aku serius, kamu mau gak jadi pacar aku?"
"Gila kamu ya!" Diana menuntun sepedanya dan mengabaikan Heksa.
"Diana, i love you!" teriak Heksa yang mencuri perhatian karyawan yang mulai berdatangan.
"Dasar sinting!" gerutu Diana kesal.
Gadis cantik bermata sipit ini memarkirkan sepedanya di area parkir. Ia berpapasan dengan Malik yang juga baru saja tiba.
"Selamat pagi, Pak," sapa Diana.
"Pagi. Hebat kamu masih bisa bertahan."
"Iya, saya orang susah. Gak apa-apa saya diperlakukan seperti itu. Saya akan berusaha bekerja dengan baik di sini."
"Bagus. Lanjutkan!"
Diana membiarkan Malik berjalan mendahuluinya. Ternyata, Arvan masih ada di area parkir. Ia sengaja menunggu Malik, sahabat dan sekretarisnya itu.
"Woy, Van. Kamu nunggu aku?'' ucap Malik.
"Tolong mengerti tempat!"
"Maaf, Pak," jawab Malik.
Keduanya berjalan bersama menuju lobi. Diikuti Diana yang berjarak beberapa meter. Mereka melihat Heksa yang sudah berdiri di depan meja resepsionis. Ia melambaikan tangan yang disambut balik oleh Malik. Ketiga pria tampan ini adalah sahabat sejak masih sekolah. Heksa juga merupakan saudara sepupu CEO dari Hutama Group.
"Sa, ngapain kamu ...." pertanyaan Malik terpotong ketika pria berambut mohawk itu berjalan melewatinya. Sekretaris berkumis tipis ini menoleh ke belakang dan ternyata badboy itu tengah menghampiri Diana yang berlari ketika Heksa mendekat.
"Diana, i love you," teriak Heksa lagi yang membuat para karyawan yang mendengarnya tersenyum.
"Minggir! Dasar sinting!" jawab Diana yang berlari menjauh.
Malik berbalik dan mendapati bosnya sudah ada di depan lift. Ia berlari dan menanyakan hubungan Heksa dengan office girl ceroboh itu.
"Heksa kenal dia? Apa mereka pacaran?" tanya Malik yang sangat penasaran.
"Bukan urusanku!"
"Astaga! Nyesel aku tanya begitu sama kamu!" kata Malik lirih.
Heksa dikenal sebagai playboy. Para mantannya merupakan wanita berkelas semua. Hal itulah yang membuat Malik bertanya-tanya, mengapa badboy itu mencari target seorang office girl.
Bersambung....
Jam kerja baru saja dimulai. Malik dan Arvan tengah melihat berkas-berkas mengenai keuangan perusahaan. Tiba-tiba Heksa menerobos masuk tanpa permisi sambil menebar senyum yang menunjukkan gigi gingsulnya."Hey, aku udah senyum manis banget gini, lho! Kenapa kalian cuma liatin doang?" kata Heksa mendekat dan duduk di atas meja kerja si CEO dingin."Senyum? Yang ada aku mual tau gak?" jawab Malik."Astaga, punya temen kenapa pada kaku banget gini.""Kamu ngapain pagi-pagi ke sini?" tanya sekretaris berkumis tipis yang belum pernah merasakan hangatnya belaian seorang wanita."Aku mau lamar kerjaan ke Arvan."Jawaban dari Heksa membuat CEO muda ini meletakkan berkas yang ada di tangannya. Ia menyandarkan bahunya ke sandaran kursi dan menatap sepupu badboy-nya itu."Apa?" tanya Arvan dengan singkat."Aku mau jadi OB, please!" Heksa memohon dengan menyatukan kedua tangannya."Gak!""Kenapa?""Aku gak suka
Diana kembali ke ruangan khusus office girl dan office boy yang ada di lantai bawah. Raut wajahnya sangat murung. Pak Roni dan rekan-rekan cleaning service menduga jika teman baru mereka itu mendapatkan perlakuan buruk dari sang CEO seperti karyawan-karyawan sebelumnya yang tak mampu bertahan lebih dari satu hari."Kamu kenapa, Diana?" tanya Razen, salah seorang office boy."Gak apa-apa, Kak.""Kamu masih betah kan kerja di sini?""Iya, aku betah, kok."Pak Roni mendekat dan memberikan semangat kepada anak buah barunya itu. Ia mengatakan jika pekerjaan Diana lebih ringan dibandingkan teman-teman yang lain."Lebih ringan gimana, Pak?" tanya Diana tak mengerti."Jumlah kita yang dua puluh orang ini ada tugas masing-masing. Setiap orang bertugas di satu lantai. Kamu kan beda, Diana. Kamu cuma satu ruangan doang, lho." ujar Pak Roni."Iya, satu ruangan, tapi ruangan itu isinya beruang kutub,'' gerutu Diana kesal.Jam maka
Diana melihat kedua orang tuanya pulang membawa banyak belanjaan. Mereka berdua begitu antusias melihat Arvan. Begitu juga Arvan yang tersenyum ramah dengan bekas tetangga saat kecil itu."Di, Arvan kenal orang tua kamu?" bisik Heksa."Iya.""Tapi gak kenal kamu?""Kami temen waktu kecil, tapi Arvan udah lupa sama aku.""Sepertinya kamu sengaja jadi OB di kantor dia buat deketin Arvan 'kan?""Iya, udah jangan berisik, nanti ketahuan!"Heksa dan Diana kembali mengamati Arvan dari celah pintu lemari. Pertemuan yang sangat lama antara Arvan dan kedua orang tua Diana membuat gadis bermata sipit dan pria berambut mohawk ini tertidur di dalam lemari. Diana menyandarkan kepalanya pada bahu Heksa. Sedangkan sang badboy bersandar pada dinding lemari dengan telapak kaki yang sedikit keluar dan membuat pintu lemari sedikit terbuka."Diana belum pulang juga, kemana ya, Pih?" tanya Anisa."Entahlah, coba Mamih telepon," perintah Wija
Cahaya mentari pagi yang menerobos masuk melalui celah-celah jendela kaca membuat Diana terbangun. Ia menggeliat dan menyadari ponselnya masih ada di genggamannya.Mata yang malas untuk membuka tiba-tiba saja terbelalak ketika melihat dua pesan masuk tertera di layar ponselnya. Jemarinya mengusap layar benda pipih itu dan membuka pesan teratas. Sebuah pesan dari Heksa yang menagih janjinya semalam. Diana tak membalas pesan itu dan berlanjut membuka pesan kedua.[Kau ingat aku? Si baik hati yang selalu kau gandeng saat kecil.]Membaca balasan itu, Diana bingung dan akhirnya membaca kembali pesan di atasnya. Pesan pertama dari nomor itu adalah panggilan namanya. Senyum manis tersimpul di bibir gadis cantik ini. Ia tak menyangka jika Arvan akan mengiriminya pesan. Dengan lincah jemarinya menari di atas layar dan berpura-pura bertanya.[Apa kamu Arvan?]Hatinya terus berbunga-bunga w
Heksa menghentikan napasnya sejenak dan membuka telinga lebar-lebar ketika Diana akan menjawab pertanyaanya. Dengan jantung yang berdegup tak beraturan, Heksa terus memandang wajah ayu office girl yang terluka itu."Aku ... bakal coba, Sa. Tapi bagaimana kalau aku cuma buat kamu terluka?" kata Diana."Jangan pedulikan sakit hatiku. Aku sudah bahagia mendengar kamu menyetujui permintaanku. Terima kasih. Mulai besok, aku bakal antar jemput kamu kerja. Jangan nolak, ini salah satu cara biar aku lebih deket sama kamu.""Iya, maaf jadi ngerepotin.""Gak apa-apa, Sayang.""Jangan panggil sayang, dong!""Kenapa emang?""Aneh aja.""Kita kan udah jadian, Diana!""Baru juga lima menit. Pokoknya aku gak mau dipanggil sayang, titik!""Oke, titik.""Kok titik sih?"
Arvan tengah bermain ponsel dan mengabaikan pekerjaannya. Beberapa kali Malik mempertanyakan rapat dengan staf keuangan yang kemarin tertunda. Namun, CEO dingin ini seolah tak mendengar dan terus menatap layar ponselnya. Ia tengah menunggu balasan pesan dari Diana, teman kecilnya.Malik mulai kesal. Ia berdiri dari kursi di hadapan Arvan yang hanya berbatasan dengan meja kerja. Penasaran dengan apa yang dilihat bosnya, sekretaris berkumis tipis ini melangkah dan berdiri di belakang Arvan. Ia membaca pesan dengan nama kontak Diana.Malik mengusap matanya, mendekatkan wajahnya ke arah ponsel Arvan untuk memastikan nama yang ia baca. Malik menoleh ke wajah Arvan yang begitu serius menatap gawai hingga tak sadar akan keberadaannya yang tengah membaca pesan dari Diana itu."Astaga, sepertinya aku perlu ke dokter mata. Setelah keanehan yang dialami Heksa, sekarang Arvan. Jangan-jangan office girl itu pake susuk jaran goy
"Hua ... kamu pasti cari kesempatan ya!" teriak Diana setelah menyadari dirinya menindih Heksa."Aku gak ngapa-ngapain! Kan kamu yang tadi mukul-mukul aku, dorong aku sampe jatuh," jawab Heksa membela diri.Diana tak bisa berkata lagi. Ia merebut cup minumannya yang masih berada di tangan Heksa. Cup kosong itu dibalik dan meneteskan satu tetes cokelat dingin terakhir ke lantai."Abis," kata Diana lemas. Ia menjatuhkan tubuhnya ke sofa dengan wajahnya yang kusut."Jangan sedih gitu, dong!" Heksa memegang erat kedua pipi Diana. Membuat bibir tipis gadis itu maju seperti paruh burung yang terbuka."Aku mau lagi," kata Diana memelas."Kita keluar, yuk! Aku traktir kamu sepuasnya. Mau gak?""Mau.""Tante mana? Aku mau ijin dulu bawa anak gadisnya pergi.""Kayaknya di kamar. Aku panggilin ya! Sekalian a
"Siapa yang ngijinin bahas Chintya di sini?" kata Malik menirukan Arvan.Arvan melirik ke arah sekretarisnya. Tanpa kata, hanya sebuah tatapan tajam yang begitu menusuk."Sorry. Oke, aku ganteng aku diem." Malik merapatkan bibirnya."Bisa saja berita itu hanya isu," jawab Arvan singkat."Entah isu atau kabar nyata. Aku cuma nyaranin ke kamu, kalo kamu masih mencintainya, bukankah kesempatan untuk merebut hati Chintya kembali? Lagi pula sekarang Chintya sudah tahu kalau kamu pewaris tunggal Hutama Group kan?""Tidak perlu repot-repot ikut campur urusan pribadiku!" tegas Arvan."Stop, please! Waktu kumpul bertiga kayak gini tuh jarang terjadi. Gak usah bahas masalah gak penting gitu bisa gak?" tukas Malik melerai perdebatan antara Heksa dan Arvan sebelum masalah memuncak.Diana yang awalnya canggung semakin canggung dan tak berselera