Share

Sembunyi

Diana kembali ke ruangan khusus office girl dan office boy yang ada di lantai bawah. Raut wajahnya sangat murung. Pak Roni dan rekan-rekan cleaning service menduga jika teman baru mereka itu mendapatkan perlakuan buruk dari sang CEO seperti karyawan-karyawan sebelumnya yang tak mampu bertahan lebih dari satu hari.

"Kamu kenapa, Diana?" tanya Razen, salah seorang office boy.

"Gak apa-apa, Kak."

"Kamu masih betah kan kerja di sini?"

"Iya, aku betah, kok."

Pak Roni mendekat dan memberikan semangat kepada anak buah barunya itu. Ia mengatakan jika pekerjaan Diana lebih ringan dibandingkan teman-teman yang lain.

"Lebih ringan gimana, Pak?" tanya Diana tak mengerti.

"Jumlah kita yang dua puluh orang ini ada tugas masing-masing. Setiap orang bertugas di satu lantai. Kamu kan beda, Diana. Kamu cuma satu  ruangan doang, lho." ujar Pak Roni.

"Iya, satu ruangan, tapi ruangan itu isinya beruang kutub,'' gerutu Diana kesal. 

Jam makan siang sudah tiba. Razen dan Pak Roni mengajak Diana makan siang bersama. Namun, gadis berambut hitam ini menolak dengan halus. Ia masih kesal dan membuatnya malas untuk makan.

Semua orang di bagian cleaning service sudah pergi. Kecuali Diana dan Pak Miko yang merupakan OB senior. Lelaki tua itu terlihat membawa bekal nasi dengan lauk semur tahu.

"Pak Miko bawa bekal?" tanya Diana.

"Iya, Di. Saya gak bisa seperti teman-teman yang setiap istirahat makan di luar. Saya harus hemat."

"Bapak sudah menikah?"

"Sudah. Istri saya meninggal ketika melahirkan anak ketiga. Anak sulung saya bahkan tidak bisa melanjutkan sekolah karena harus menggantikan posisi ibunya mengurus dua adiknya."

"Usia berapa anak sulungnya, Pak?"

"Empat belas tahun, yang kedua sembilan tahun, yang bungsu empat tahun."

Gadis kaya yang pura-pura miskin ini merasa iba. Ia tak kuasa menahan air matanya. Di saat ia hidup bergelimang harta, di sisi lain ada orang yang benar-benar berjuang untuk bertahan hidup. 

"Pak Miko, kapan-kapan Diana boleh ketemu sama anak-anak?"

"Bolehlah, tapi kontrakan saya jelek, di pinggir kali."

"Gak apa-apa, rumah saya juga jelek, kok."

Tiba-tiba perut Diana berbunyi. Cacing-cacing dalam perutnya menggeliat meminta makanan. Gadis cantik ini pun meninggalkan Pak Miko dan memilih untuk pergi ke kantin kantor untuk makan siang.

Diana baru saja keluar dari ruangannya. Ia hendak menuju pintu utama. Dirinya menyadari jika si Es Batu dan asistennya baru saja keluar dari lift. Diana menunduk, seolah tak melihat keberadaan dua makhluk itu. 

Kepalanya yang terus menunduk membuat Diana hanya melihat lantai. Ia hampir saja menabrak dinding kaca. Namun, telapak tangan Arvan yang lebar melindunginya.

"Aw," rintih Diana ketika dahinya mengenai telapak tangan Arvan.

"Kaca ini sudah bersih, jangan kau kotori dengan make up dari dahimu itu! Dasar ceroboh." ucap Arvan lirih namun menusuk. 

Diana menghela napas panjang sambil menyaksikan Arvan dan Malik keluar melewati pintu kaca yang berputar. Ia memegang dahinya yang meninggalkan aroma tangan sang CEO.

"Hari ini aku gak akan cuci muka, gak akan mandi," ujar Diana dengan tersenyum dan mengelus dahinya.

Ia melangkah keluar dengan girangnya setelah mendapat sentuhan dari teman kecilnya. Bibirnya yang tipis tak kuasa menahan senyum. 

Diana yang tengah berjalan santai dikagetkan dengan tangan yang menepuk bahunya. Ia menoleh dan mendapati Heksa berada di belakangnya.

"Kamu lagi! Ngapain di sini? Kamu bohongin aku ya? Ngaku jadi OB, ternyata temen si Es Batu," kata Diana kesal.

"Es batu? Aku aduin lho ke Arvan!"

"Jangan!"

"Ok, aku gak bakal aduin asalkan kamu traktir aku makan siang."

"Setuju."

Diana dan Heksa menuju kantin kantor. Mereka memesan mie ayam dan es teh manis. Keduanya duduk berhadapan dengan Pak Roni dan Razen yang hampir selesai makan.

"Katanya gak laper?" tanya Razen.

"Tadi belum laper, sekarang laper banget," jawab Diana sambil meremas perutnya.

"Kenalin, saya pacar Diana." Dengan super percaya diri Heksa mengulurkan tangan kepada atasan Diana. Gadis cantik ini menarik tangan Heksa dan memintanya agar tidak berulah jika ingin lebih dekat dengannya.

"Galak banget sama pacar," sindir Pak Roni.

"Bukan pacar aku, Pak. Dia aja ngaku-ngaku."

"Sebentar lagi jadi pacar maksudnya, kan?" tanya Heksa sambil menunjukkan gigi gingsulnya di depan Diana. Membuat gadis itu hampir saja terpesona dengan karisma yang dipancarkan badboy ini.

"Astaga, manis juga orang gila ini," batin Diana.

***

Diana baru saja sampai di halaman rumah dengan sepeda baru yang terlihat butut. Kebetulan ayah dan ibunya tengah menikmati waktu sore dengan secangkir teh manis di teras depan.

"Sore, Mamih, Papih," sapa Diana dengan ceria.

"Sepedanya kenapa jadi begitu?" tanya sang Mamih.

"Diana kan udah bilang ke Mamih, beliin sepeda bekas, kenapa dibeliin sepeda baru?"

"Susah nyarinya, Sayang."

"Ya udah, aku giniin deh, jadi kayak bekas kan?"

"Terserah kamu sajalah, Papih mau ajak Mamih belanja, mau ikut gak?" ajak tuan Wijaya.

"Gak, Diana mau istirahat di rumah."

"Beneran? Sekalian makan malem lho!"

"Gak, Pih." Gadis bermata sipit ini berlalu masuk ke dalam rumah.

Pukul tujuh malam, Diana tengah bersantai di ruang keluarga sambil menikmati keripik kentang sendirian. Ia memakai celana pendek sebatas lutut dan kaus pink bergambar kucing. Gadis manis ini tengah membayangkan ketika tangan Arvan menyentuh dahinya di kantor.

Lamunan Diana buyar saat mbok Asih mengagetkannya. Wanita paruh baya itu mengatakan jika ada tamu yang sudah menunggunya di ruang tamu.

"Siapa, Mbok?"

"Gak kenal. Mbok bikinkan minum dulu, ya!"

"Ok, Mbok." Diana menemui tamu yang dimaksudkan asisten rumah tangganya. Betapa terkejutnya gadis ini melihat Heksa duduk menyilangkan kaki sambil tersenyum.

"Heksa! Darimana kamu tau rumah aku?" 

"Aku ini detektif, gampang buat cari tau tentang kamu, Diana."

Gadis berambut pendek ini berlari ke arah pintu. Ia melihat halaman dan terparkir sebuah sepeda gunung milik Heksa.

"Kamu naik sepeda?"

"Iya."

"Sendirian, kan?"

"Iya, emang harus datang sama orang tua aku, gitu?"

Lampu sorot sebuah mobil menyilaukan pandangan Diana. Heksa yang penasaran pun berdiri dan mendekati Diana di depan pintu.

"Arvan?" kata Heksa.

Mata Diana membulat, terkejut, tak menyangka jika CEO dingin itu akan bertandang ke rumahnya. Dengan cepat ia menarik tangan Heksa dan mengajaknya sembunyi di sebuah lemari kosong di bawah tangga.

"Apaan sih, Diana?" Heksa bingung dengan tingkah Diana. 

"Diem! Ikut aku, jangan berisik!"

Keduanya berada di ruangan gelap dan sempit. Mereka melihat ke arah ruang tamu dari lubang kecil pada pintu lemari berwarna cokelat itu.

Mbok Asih keluar membawakan dua cangkir teh manis. Wanita paruh baya itu terheran-heran ketika seorang pria yang duduk di ruang tamu itu menghilang. Namun, muncul pria baru di depan pintu.

"Lho, kok tamunya beda?" gumam mbok Asih.

"Apa benar ini kediaman om Wijaya?" tanya Arvan.

"Ya, benar. Tapi tuan sama nyonya lagi pergi."

"Iya, saya barusan telepon om Wijaya dan dia dalam perjalana pulang. Diana ada?"

"Tadi ada, sekarang ilang sama temen cowoknya."

"Pacar?"

"Saya gak tau, mungkin saja pacar."

"Boleh saya tunggu om Wijaya di dalam?"

"Ya, silakan duduk!"

Di dalam lemari, Heksa dan Diana merasa kegerahan. Badboy berjaket hitam itu meminta keluar dari persembunyiannya. Namun, Diana memohon agar ia membantunya sekali saja.

"Bantu aku sekali saja, nanti aku bakal nurutin apapun permintaan kamu," kata Diana lirih.

Bersambung....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status