Sinar mengerjab, merasakan getaran pada saku kemeja Pras. Tersadar dan segera mengurai pelukannya, seraya mengusap cepat lelehan bening yang membasah di wajahnya dengan salah tingkah. Merasa bodoh atas hal yang baru saja dilakukannya.
Pras hanya menatap datar, merogoh saku jasnya dan melihat nama yang muncul di atas layar, kemudian mengangkatnya.
“Yes, Gin?”
Sinar menarik napas sangat dalam. Sudah bisa menerka, siapa yang menghubungi Pras saat ini. Memilih menjauh dengan perlahan, di saat Pras masih berbicara di telepon, lalu memutuskan untuk memesan taksi on-line.
Sementara Sinar duduk menunggu taksi yang telah dipesannya. Ponselnya bergetar, menampilkan nama Pras di sana. Sinar hanya menatap ponsel di genggamannya hingga getarannya berakhir. Tidak berniat mengangkat dan hendak mengakhiri semua hal dengan Pras.
Dengan berakhirnya masalah hukum yang melibatkan dirinya, Pras serta Bintang di dalamnya. Sinar rasa, sudah tidak ada lagi, ha
Sinar menunduk, memegang kedua lututnya dengan terengah. Kaos oblong yang dikenakannya sudah basah dengan peluh. Menatap pagar rumahnya dengan lelah, setelah melakukan lari pagi dengan berkeliling tanpa tujuan hanya untuk menghabiskan kekesalan yang tidak kunjung mereda.Kejadian di restoran kala itu memang sudah seminggu berlalu. Namun, rasa kesal di hati Sinar masih tidak kunjung hilang juga. Napasnya langsung tertarik begitu besar, tiap kali mengingat Pras yang duduk bercengkrama akrab dengan Daya. Harusnya, Sinar cakar saja sekalian wajah Pras ketika mereka berdebat di belakang restoran kala itu, biar pria itu tahu rasa.Ah! Geram sekali rasanya jika Sinar kembali mengingat itu semua.Sinar menegakkan tubuh. Melepas earbuds yang terpasang di telinga kemudian melangkah memasuki pagar. Melihat Delon yang baru saja keluar dari garasi, sembari memegang pisang goreng dan mulut pria itu juga tengah sibuk mengunyah.Sinar menghentikan langkahnya. Memutar tub
Sinar terjaga, masih enggan membuka mata. Tenggelam dalam rasa hangat yang membuatnya betah, berlama-lama di atas ranjang tanpa ingin beranjak pergi ke mana pun. Menghidu dalam-dalam aroma maskulin yang menggelitik indera penciumannya.Sinar mengendus, sembari mengumpulkan kesadarannya. Mengingat-ingat kejadian semalam kemudian memejam erat. Tubuh Sinar menegang seketika, saat menyadari bahwa dirinya kini tengah berbaring di pelukan seseorang. Memberanikan diri membuka sebelah mata. sembari mengangkat wajah dengan perlahan.“Pras?” Sinar membatin. Mengerjab berulang-ulang dan kembali mengumpulkan ingatan serta kesadarannya. Sejurus kemudian, maniknya membola, bukan karena telah mengingat kejadian tadi malam. Namun, karena baru menyadari bahwa dirinya ada di pelukan pria itu.“PRAS!” pekik Sinar seraya mendorong keras tubuh pria yang masih tertidur lelap bersama mimpinya. Sinar bangkit terduduk dan reflek menarik selimut untuk menutupi tub
Entah sudah berapa kali mulut Bira berdecak, dan menghela panjang di meja makan. Posisi duduknya juga sudah berkali pula ia ubah, tapi tidak kunjung merasa nyaman setelah mendengar kabar mengejutkan pagi ini. Bira tahu benar, kalau Sinar datang dan pergi meninggalkan Casteel High bersama Elang. Tapi mengapa, pagi ini berakhir satu kamar dengan Pras? Sungguh, semua di luar pemahaman Bira. Sesekali Bira melihat Sinar, yang juga duduk di satu meja makan dan selalu menunduk saat melahap makanannya. “Bundamu baru sampe nanti sore dari puncak, jadi besok pagi aja Mami datang ke rumahmu. Karena beliau pasti masih capek.” Sinar mengangkat wajah hampanya, menatap Aida. Wanita paruh baya itu, bahkan sudah mengubah panggilannya menjadi Mami di depan Sinar. Sungguh! Sinar masih berharap kalau semua ini mimpi. Menjadi bagian dari keluarga Raja, tidak pernah sama sekali terbersit di benaknya. Bahkan dengan Bira dahulu kala, Sinar juga tidak pernah membayangkannya. Meskipun
Vio terkikik tanpa suara, ketika punggung Sinar menjauh untuk pergi ke toilet. Menyikut pelan perut Pras yang duduk di sampingnya sembari menggeleng. Keduanya tengah melihat ballroom yang rencananya akan digunakan untuk pesta resepsi pernikahan Pras dan Sinar nantinya.“Untung orang rumah sudah kenal Sinar dan tahu watak kamu, Mas,” pungkas Vio memutar tubuh menatap Pras yang hanya diam. Enggan menanggapi perkataan adik perempuanya.“Kasihan Bira,” namun Vio terkekeh geli saat mengatakannya. “Padahal dari dulu tuh anak ngebet sama Sinar, tapi gak pernah digubris. Apa kabar hatinya, tahu-tahu Sinar mau nikah sama masnya sendiri.”Pras melirik datar, masih enggan berkomentar.“Kamu tuh sebenernya kejam tahu, gak, Mas. Aku denger dari mami, kamu yang udah buat Sinar cerai, terus mecat dia juga dari Metro. Kamu juga kan yang ngelaporin ayahnya korupsi? Ckckck … sekarang anaknya mau dinikahin. Pdkt mu tuh, anti
Sinar buru-buru turun ke bawah, setelah seorang office boy mengatakan, bahwa sang bunda kini berada di posko dan ingin menemuinya. Perasaannya sudah tidak nyaman. Sinar tahu, sang bunda pasti syok setelah pagi ini kedatangan Aida ke rumahnya. Saat itu, bertepatan dengan Sinar yang akan berangkat bekerja. Hingga ia tidak tahu menahu, apa saja yang telah dibicarakan sang bunda dengan Aida.“Di mana bunda bisa bicara?”Benar saja, wajah July datar dan sangat tidak sedap dipandang mata.“Bu-bunda naik apa ke sini?” Sinar sedikit tergagap, merasa gugup serta diliputi rasa bersalah.“Mobil! sama Jonas, nunggu di luar.”“Ki-kita bicara di mobil aja.”Sinar menelepon rekan kerjanya yang berada di atas, sembari mengikuti sang bunda untuk memasuki mobil yang terparkir di depan pagar. Memberitahu kalau Sinar tengah ada tamu dan akan menemaninya sebentar.“Apa-apaan ini, Nar? kenapa semalam ka
Pras menyatukan telapak tangannya di depan wajah, dengan kedua siku yang bertumpu di atas meja. Menatap tajam sekaligus dingin pada Sinar, karena ucapan wanita itu. “Yakin?” “Ya—kin …” namun intonasi yang dilontarkan Sinar sungguh tidak meyakinkan sama sekali. Apa yang diucapkan, sungguh tidak sejalan dengan hatinya yang masih saja gamang. “Tanggal sudah ditetapkan, gedung dan dekorasi sudah dirancang. Undangan juga sudah meluncur di percetakan. Cobu buka hapemu, hitung dengan kalkulator, berapa biaya yang sudah dikeluarkan sejauh ini. Kamu mau ganti itu semua?” Sinar berdecak pasrah dengan wajah memberengut. Menyandarkan tubuhnya pada punggung kursi dengan perasaan kesal. Tidak bisa membayangkan, berapa uang yang sudah digelontorkan Pras untuk membiayai semuanya. Terlebih, acara mereka akan berlangsung dalam sepuluh hari lagi, pastinya, uang yang dikeluarkan juga lebih extra karena tenggat waktu yang sangat sempit. “Tapi, Mas. Orang nikah itu
Hari pernikahan keduanya hanya tinggal menghitung hari. Namun, Pras masih betah berlama-lama di Singapura. Sedangkan Sinar,menguatkan diri untuk tidak menghubungi pria itu, meskipun pikirannya penuh dengan semua rasa curiga. Entah mengapa, Sinar yakin, kalau calon suaminya itu tengah berkangen ria dengan Gina di sana.Rasa gengsinya yang begitu besar itu lah, yang membuat Sinar enggan menghubungi Pras. Lagi pula, hal yang sama juga dilakukan oleh pria itu. Selama berada di Singapura, Pras juga tidak pernah sekali pun menghubungi Sinar.Jadi wajar, kan, kalau pikiran Sinar sudah berlarian ke mana-mana."Aww! Bund, kecucuk!" Sinar mengeliatkan tubuhnya, untuk menghindari tusukan jarum pentul yang tidak sengaja menyentuh kulit pinggulnya.Sinar tengah melakukan fitting gaun pengantin yang akan dikenakan di hari pernikahan nanti. Kalau dulu, ketika menikah dengan Bintang, baik akad maupun resepsi, Sinar mengenakan kebaya modern yang sangat elegan.
Begitu Pras menurunkan tubuh Sinar di kamar hotel khusus pengantin baru, yang akan mereka tempati, manik wanita itu langsung mengarah pada beberapa paper bag yang berjejer di sofa. Menyingkap tinggi rok gaun pengantinnya lalu menghampiri, dan melihat isi paper bag tersebut, satu persatu.“Yang lainnya, sudah dibawa pulang ke rumah,” ujar Pras menghampiri Sinar dan berdiri di sebelahnya. Melihat sang istri membolakan maniknya, ketika mengangkat secarik kain tipis berenda yang sangat tipis menerawang.“Apa aku harus pake ini?” Sinar meletakkan kembali lingerie yang baru saja di ambilnya ke dalam paper bag yang berwarna ungu. Kemudian, Sinar merogoh paper bag di sebelahnya, dan mengambil barang yang sama, hanya saja dengan model dan warna yang berbeda.Karena Sinar sudah pernah menikah sebelumnya, maka, ia tidak awam dengan gaun seksi seperti itu. Tentunya, dahulu kala, Sinar juga memiliki beberapa koleksi gaun tidur seperti itu di lemarinya