Boy meraih kotak bekalku dengan santai, lalu membuka tutupnya dan berkata dengan nada antusias.
"Wah, kamu masak menu kesukaanku ya, Sayang? Makasih ya."Aku hampir pingsan ketika menyaksikan Boy mengambil sendok dan memakan nasi serta tumis kangkung dan telur mata sapi di kotak bekal itu.
Masa sih, seorang Boy doyan makan makanan rakyat jelata sepertiku? Dengar-dengar, Boy anak seorang CEO salah satu perusahaan ternama di negara ini. Tidak mungkin 'kan, menu makannya sehari-hari berupa tumis kangkung dan telur mata sapi? Tapi, barusan kok dia bilang menu bekalku itu menu kesukaannya?
Terus..., dia juga memanggilku 'Sayang'. Pasti aku yang salah dengar, 'kan?
"Yang bener aja, Boy! Masa kamu bilang kamu pacaran sama cewek kampungan kayak gitu? Liat aja tuh, makanan yang dia bawa aja menu kampung," cetus Cinta seraya memelototiku dan tersenyum sinis.
"Mendingan kamu pergi aja deh. Jangan ganggu orang lagi pacaran kayak gini." Boy menggerak-gerakkan tangannya seperti mengusir seekor ayam.
"Kamu ngusir aku, Boy?" komplain Cinta dengan nada dramatis.
"Apa aja deh sebutannya," kata Boy datar. Cinta langsung mengentakkan kaki dan membalikkan badan dengan geram.
"Oh, ya. Jangan pernah nyebut pacarku kampungan lagi, kalau kamu nggak mau aku sebut cewek receh," ultimatum Boy. Cinta hanya mendengkus kesal menanggapinya tanpa menghentikan langkah.
Aku hendak mengucapkan berbagai pertanyaan pada Boy, namun yang ada hanya suara 'ah-uh' yang keluar dari mulutku.
"Kamu mau ngomong apa sih?" celetuk Boy sembari menertawakan kegagapanku.
"Ma... Maksud kamu apa, bilang aku pacarmu?" Aku bertanya pada Boy tanpa menatap matanya.
"Oh, itu. Kirain kamu mau protes bekalmu aku makan. Ngomong-ngomong, ini enak lho. Makasih ya."
oy menaruh kotak bekal yang sepertinya telah kosong itu di depanku, lantas berdiri.
"Kamu jangan ke mana-mana ya. Aku mau pergi dulu sebentar, nanti ke sini lagi. Kalau kamu nggak keliatan lagi di sini, aku bakal kejar kamu sampai ke rumah sekalipun," ancam Boy sebelum dia meninggalkanku yang melongo.
Sepeninggal Boy, aku terus menunggunya kembali. Walau sudah setengah jam lebih dia pergi, dan lambungku sudah terasa sangat perih, aku tetap tak berani beranjak karena takut dia melaksanakan ancamannya.
"Maaf ya, aku lama. Tadi aku ketemu temen SMP di jalan, jadinya ngobrol dulu. Ini, buat kamu."
Tahu-tahu Boy berdiri di dekatku sambil mengulurkan sebuah tas kertas dengan logo restoran cepat saji terkenal.
"Nggak apa-apa kok. Aku... Hueekkkk!" Mulutku membuka dan menghasilkan suara orang muntah tanpa benar-benar ada muntahan yang keluar.
"Kamu punya penyakit maag ya?" Boy segera menaruh kantong plastik itu ke lantai, kemudian duduk di sampingku.
"Kenapa nggak bilang dari tadi kalau kamu punya penyakit maag? Bekalnya pasti nggak jadi aku makan. Lagian, ngapain sih kamu nurut banget aku suruh nunggu di sini, padahal perut kamu jelas-jelas udah kesakitan kayak gitu?" ucap Boy. Terdengar merasa bersalah, sekaligus menyalahkan kelalaianku.
"Maaf..." kataku spontan.
"Nih, minum ini dulu. Aku juga punya penyakit maag, jadi sering bawa-bawa obat ini." Tangan Boy menyodorkan satu sachet obat maag cair sekali minum kepadaku.
"Mm... Makasih..." Aku menerima obat darinya itu, kemudian cepat-cepat meminumnya.
"Kamu mesti nunggu sekitar 30 menit dulu, baru boleh makan. Tapi, nunggunya sendiri aja ya. Kalau ada aku, bisa-bisa leher kamu bakal sakit gara-gara nunduk melulu," kata Boy seraya melangkah menjauhiku seraya tertawa usil.
Rupanya sejak tadi dia memperhatikan tingkahku yang aneh ya? Duh, jadi tambah malu...!
"Makasih..." kataku dengan muka yang terasa panas. Tetapi sosok Boy sudah terlanjur menghilang dari tempat itu.
** "Hati-hati ya, Pak." Aku berpesan kepada Bapak yang sedang memutar arah sepeda motor bututnya di jalan depan kampus.Bapak hanya menggumam menanggapiku, lalu melaju begitu saja bersama kendaraannya.
"Hai, Ris. Kemaren kamu nggak kesepian 'kan nggak ada aku?" ledek Nava yang ternyata sudah sudah duduk manis di salah satu bangku di dalam kelas.
Tumben sekali jam segitu dia sudah berada di kampus. Biasanya 'kan dia datangnya mepet jam masuk kelas.
"Nggak juga kok. 'Kan ada bacaan." Aku membalas gurauan Nava sambil mengempaskan diri di bangku kosong di sebelahnya.
"Hmm...., mentang-mentang suka baca novel online. Nggak ada temen nggak masalah, tapi kalau aplikasi novel onlinenya dihapusm pasti nangis. Kamu gitu banget deh sama aku." Nava mencibirkan bibirnya ke arahku.
"Bukan gitu, lah. Lagian yang kemaren kondangan ke luar kota sekalian liburan ke pantai siapa sih?" sindirku.
"Iya, itu aku, bawel." Nava terkekeh sembari mencubit pipiku dengan gemas tetapi sebenarnya sama sekali tidak keras.
Aku berpura-pura mengaduh kesakitan karena perbuatannya itu. Kami tertawa, sementara Nava melepaskan pipiku dan mengeluarkan sebuah tas plastik biru dari tote bag miliknya.
"Maaf aku cuma bisa bawain ini buat kamu, Ris." Nava menyerahkan bungkusan itu kepadaku yang menerimanya seraya tersenyum.
"Makasih, Va," kataku.
"Sama-sama." Nava membalas senyumanku dengan ekspresi senang.
Di saat yang sama, segerombol teman memasuki ruang kelas. Entah kenapa, perasaanku tidak enak ketika mereka melirik ke arahku sambil berbisik-bisik namun tetap terdengar olehku.
"Yang itu bukan sih orangnya?" tanya seorang cewek berambut lurus sebahu kepada temannya yang berambut ikal yang juga sebahu.
"Iya. Kemaren aku liat sendiri dia turun dari atap setelah Boy turun dari sana. Cinta juga liat mereka berduaan di sana, udah gitu Boy bilang mereka pacaran."
Aku menundukkan kepala dengan bingung sekaligus sedih mendengar gunjingan mereka. Aku tidak menyangka, kejadian kemarin tersebar ke mana-mana dan menimbulkan masalah.
"Yang barusan itu apa, Ris? Kok mendadak mereka bilang yang aneh-aneh gitu sih soal kamu dan Boy?" selidik Nava.
"Gimana rasanya?" Mendadak sebuah suara menginterupsiku saat hendak menjawab pertanyaan-pertanyaan Nava.
"A... Apanya?" tanyaku balik pada Prima. Dia adalah cowok populer selain Boy yang seangkatan dan sekelas denganku.
"’Gininya’ sama Boy." Prima menyeringai lebar sambil menggerak-gerakkan kedua tangannya memperagakan kegiatan mesum. Aku menundukkan kepala lagi karena jijik dan juga syok, sementara banyak yang tertawa melihat tingkah Prima.
"Risa bukan cewek murahan kayak gitu. Jangan ngomong sembarangan!" Nava berusaha membelaku, walau aku yang duduk di sebelahnya dapat melihat badannya yang gemetaran.
"Dari mana kamu tau temen kamu itu bukan cewek murahan? Karena dia keliatan kalem ya? Justru, yang keliatan kalem itu yang sebenernya liar dan nakal, 'kan."
Prima mendengkus keras menanggapi pembelaan Nava. Sementara suara tawa dan celetukan-celetukan yang memerahkan telinga terdengar dari segala arah. Membuatku semakin tertekan.
"Aku bukan cewek seperti itu!" teriakku marah. Kepala yang semula menunduk rendah, kini ku tegakkan untuk menatap mereka satu per satu. Walau gemetar di badanku sudah selevel gempa.
"Ada apa nih, Yang? Pagi-pagi udah ada yang ramai aja."
Suara bernada santai tetapi tajam milik Boy membuat semua kepala menoleh ke arahnya. Tak terkecuali diriku.
"Yang?" tanya Prima dan gerombolannya hampir bersamaan. Mata mereka tampak terperangah seraya menatap syok kepada Boy, lalu kepadaku.
Bahkan, Nava menatapku dengan tatapan dan mimik muka yang sama seperti mereka.
BERSAMBUNG"Capek ya, Dek?" kataku pada Xander yang berada di gendongan Boy. Kami baru saja keluar dari wahana It's A Small World Tokyo Disneyland. "Kita makan dulu. Habis itu naik kereta keliling taman ini, mau nggak?" tanya Boy kepadaku dan Xander sekaligus. "Oke," timpalku. Ku ikuti saja langkah Boy yang panjang-panjang menuju ke sebuah restoran yang ada di taman hiburan tersebut. "Enak nggak waffle-nya?" Boy menanyai Xander yang tengah menggigit waffle berbentuk kepala Mickey Mouse dengan topping mangga kocok dan saus maple. "Enak," jawab Xander. "Lebih enak waffle itu atau kue pancong?" tanyaku iseng. Xander pernah makan kue pancong dan bilang kue itu enak sekali. Aku ingin tahu penilaiannya sekarang. Apakah kue pancong masih jadi kue favoritnya? "Kue pancong," kata Xander. Sontak aku dan Boy tertawa mendengar jawabannya yang bernada polos itu. "Emang ya, lidah lokal." Boy mengacak-acak rambut Xander dengan sayang.
Boy membukakan pintu kamar kami menggunakan key card. Mataku sukses dibuat terbeliak lebar begitu berjalan memasuki ruangan yang super mewah itu, yang sepertinya merupakan kamar yang termewah dan termahal di Java Star Hotel.Aku melewati mini bar dan berbagai fasilitas eksklusif yang ada di kamar itu dengan batin yang tak kunjung berhenti mengagumi. "Mau minum sesuatu?" Boy membuka pintu kulkas yang berada di dapur. Aku menggelengkan kepala pelan. "Aku udah banyak minum cocktail di ballroom tadi."Boy menenggak isi minuman kaleng di tangannya, kemudian dia bergabung duduk denganku di sofa yang ada di seberang meja TV. Kami berdua menonton film dokumenter mengenai kehidupan sekelompok gajah di Afrika dalam keheningan yang terasa aneh dan sedikit mencekam. Sampai-sampai, ketika laki-laki di sampingku mengatakan sesuatu, hampir saja badanku melonjak karena kaget. "Besok kita ke makam Bapak sama Ibu ya," kata Boy. Aku terpana men
Acara pemberkatan dan penandatanganan surat nikah sudah usai. Para tamu undangan bergiliran naik ke atas panggung untuk menyalamiku dan Boy yang berdiri diapit para orang tua. Kebanyakan dari mereka merupakan orang-orang yang tak ku kenal sama sekali. Sepertinya mereka adalah rekan bisnis Papa dan kenalan Mama. Hanya Nava, beberapa tetangga, dan teman-teman dari Yogyakarta yang merupakan tamu dari circle-ku. Bahkan, Boy juga cuma mengundang Riga. Selebihnya, dia bilang dia tak mempunyai teman dekat lain.'Seandainya Bapak sama Ibu hadir di sini sekarang.' batinku sedih.Di urutan terakhir dari antrean tamu sepanjang rel kereta api itu, Febri cs menyapaku dengan heboh begitu mereka sampai di hadapanku. "Hai, Risaaa! Selamat ya, Ris! Btw, kamu cantik bangeettt pake gaun kayak gituuu!" Febri menjabat tanganku dan mencium kedua belah pipiku dengan kalap.Wawa, Devi, Nella, dan Marwah mengikuti apa yang dilakukan oleh Febri itu dengan gaya yang sama persis. Bahkan, Nella yang pendiam sepe
"Emangnya mau dipanggil apa lagi selain 'kak'?" Seorang laki-laki muncul di belakang Kak Valerie. Badannya lebih tinggi dari Boy, tetapi lebih berisi dibandingkan badan adiknya. Soal wajah, mereka berdua mirip sekali, bahkan sampai ke tingkah-lakunya. "Dari mana aja kamu?" sentak Kak Valerie dengan ekspresi muka bak emak-emak menginterogasi anaknya yang baru pulang subuh. "Dari ruang makan. Tadi ada telpon dari pak hakim," jawab laki-laki itu dengan nada acuh tak acuh. "Oh," timpal Kak Valerie singkat. Dia kembali ke setelan anggunnya, kemudian mengalihkan pandangan kepada Xander. Badannya sedikit dia bungkukkan agar bisa sejajar dengan anak itu. "Kalau kamu namanya siapa? Aunty boleh tau nggak?" tanya Kak Valerie ramah. Namun Xander bukannya menjawabnya, malah bergegas bersembunyi di balik kaki Boy. "Dia takut tuh sama kamu. Kamu sih, nakutin." Kakaknya Boy meledek istrinya dengan bicara sok serius, padahal tanpa sepengetahuan wanita itu dia meringis lebar seraya mengulurka
Aku keluar dari ruang ganti dengan wajah tertunduk. Rasa malu menyerangku, padahal aku tengah memakai gaun pengantin yang ku impi-impikan sejak aku baru mengenal cinta monyet. Gaun berbahan tile berwarna putih dengan hiasan payet-payet dan renda, dengan model kerah Sabrina yang menampakkan kedua bahuku. Belum lagi ekor gaun yang panjang menjuntai di lantai, serta tak lupa kerudung dari bahan veil yang melengkapi gaun itu. Cantik, bukan? Tapi aku merasa tak nyaman memakainya karena terlalu terbuka. Kalau aku yang dulu memakainya, pasti bakalan suka. Berbeda sekali dengan aku yang sekarang. Kejadian yang sudah menjungkirbalikkan kehidupanku itu telah mengubah seleraku juga dalam hal berpakaian. "Cantik banget kamu, Ris!" cetus Mama. Otomatis kepalaku terangkat menatapnya. Dan secara tak sengaja pula, aku dan Boy jadi bersirobok mata.Boy memperhatikanku hampir tanpa berkedip. Tatapannya begitu sulit ku artikan. Yang jelas, efeknya membuatku serasa dikuliti. "Ya 'kan, Boy?" Mama menole
"I... ini... maksudnya apa ya, Tan?" kataku penuh rasa terkejut luar biasa ketika Tante Merry berhenti di depan sebuah boneka manekin yang memakai gaun pengantin kepadaku. Tante Merry tersenyum menatapku. "Tanya aja sendiri sama calon mama mertua kamu. Itu orangnya."Aku menengok ke arah yang ditunjuk oleh Tante Merry lewat kerlingan matanya. "Ma..." panggilku dengan nada bingung. "Maafin Mama ya, Ris. Mama pikir, lebih baik kalian cepet-cepet nikah aja dibandingkan tunangan dulu. Kelamaan nanti. Mama udah nggak sabar pengin jadiin kamu menantu Mama, Sayang. Nggak apa-apa, 'kan? Toh, Xander juga udah akrab sama Papa dan Mama. Apa lagi yang mau kalian tunggu?" jawab Mama dengan raut wajah polos versi anggunnya. Dia menggandeng tangan Xander selagi mendekatiku, kemudian menyunggingkan senyuman terlembutnya. "Tapi kalau Risa nggak mau sama aku habis ini, berarti itu salah Mama ya." Boy tahu-tahu muncul dari balik tirai ruang ganti. Penampilannya sangat-sangat berbeda jauh dibandingka