Beranda / Romansa / My 'Bad' Boyfriend / BAB 3 - Bagaimana Bisa?

Share

BAB 3 - Bagaimana Bisa?

Penulis: Kanita Faraya
last update Terakhir Diperbarui: 2023-12-09 10:30:49

"Nggak usah pada kaget gitulah. Kayak nggak pernah aja manggil pacarnya 'Sayang'."

Boy mendengkus geli sambil menyeruak maju, dan mendudukkan diri di bangku sampingku yang tak ditempati Nava.

"Kamu pacaran sama cewek ini, Boy? Serius?" tanya Prima yang mendadak jadi seperti monyet kena lemparan batu.

"Ya seriuslah," tukas Boy santai. Sementara aku tak berani menatap wajahnya sama sekali.

"Berarti kemaren kamu sama dia bener-bener habis gini di atap?" Prima memperagakan adegan favoritnya dengan ekspresi mesumnya yang dari tadi dia pakai untuk menghinaku.

Boy mendecih sembari tertawa kecil, "Nggak semua orang barbar kayak kamu."

"Oh ya?" dengkus Prima pongah.

"Kalau nggak mau ngaku nggak apa-apa kok. Bukan urusanku," timpal Boy tenang sambil meyandarkan salah satu lengannya ke sandaran bangku di balik punggungku.

Kini aku menunduk semakin dalam. Kekuatanku untuk mengatasi perasaan gugup ini sepertinya sudah mencapai batasnya.

"Tapi, kamu beneran suka sama dia nggak nih?" celetuk cowok yang berdiri di belakang Prima. Nada bicaranya menusuk.

"Kok kamu kepo, Le?" balas Boy ringan, namun tak kalah tajamnya dibandingkan ucapan cowok tadi.

"'Kan kamu tinggal bilang iya atau nggak," sambar satu suara cowok lain.

"Kalau nggak suka mana mungkin jadian 'kan?" cetus Boy.

"Masalahnya, waktu itu di atap..."

"Bu Geraldine dateng, woey!" seru seseorang.

Sontak semua orang yang mengitari kami bubar. Menyisakan aku yang gugup maksimal setelah menjadi pusat perhatian, apalagi karena satu gosip buruk yang jelas-jelas penuh fitnah.

Tapi..., soal Boy yang konsisten mengakuiku sebagai pacarnya.... Aku tak bisa memahami apa tujuan Boy.

Kalau yang kemarin di depan Cinta, aku pikir dia hanya sedang bertengkar dengan Cinta dan mengerjai cewek itu sebagai bentuk kemarahannya. Semacam merajuk manja begitu.

Tapi, kalau Boy sampai mengaku-aku kami berpacaran di depan banyak orang seperti tadi itu, rasanya jadi semakin tak beres. Aku tak bisa mencegah diriku untuk tidak curiga padanya.

Yah..., walau aku deg-degan juga mendapatkan perlakuan istimewa dari cowok itu. Duh! Kok aku jadi terbawa perasaan begini?

Aku menggeleng-gelengkan kepala agar logikaku jalan untuk dapat menetralisir perasaan melambung tinggi gara-gara mulai menikmati jadi objek akting Boy.

"Ngapain geleng-geleng kayak gitu?" tegur Boy. Untuk sesaat rupanya aku lupa jika dia duduk di sebelahku.

"Ng... Nggak," bantahku malu. Pasrah karena Boy menertawakan keculunanku.

Aku menoleh pada Nava. Dia bergeming, tampak fokus mendengarkan Bu Geraldine yang tengah menerangkan materi mata kuliah Manajemen Sumber Daya Manusia di depan kelas. Hatiku mencelos, karena dia mengacuhkanku pasca kejadian tadi.

"Aku mau tidur dulu. Nanti bangunin aku kalau dosennya mau ganti ya," kata Boy.

"Y... Ya," jawabku.

Sepi.

Aku memberanikan melayangkan pandangan ke arah Boy. Betapa terkejutnya aku sewaktu mata kami bersirobok.

"Aku nggak bisa tidur," ucap Boy sembari nyengir lebar.

Wajahku memanas seperti terbakar saking malunya. Lagipula, ini sudah ke sekian kalinya aku ditertawakan oleh Boy karena bertingkah konyol di depannya.

"Apa kamu nggak capek nunduk terus kayak gitu?" ceplos Boy.

Aku diam saja. Tidak tahu apakah harus menjawab pertanyaan Boy itu dengan jujur atau bohong.

"Kamu 'kan pacarku. Mulai sekarang kamu mesti terbiasa deket-deket sama aku terus," tambah Boy.

Terus?

Jadi, dia ingin aku berada di dekatnya terus-menerus? Bagaimana bisa?

"K... Kok gitu?" tanyaku.

"Ya iyalah. Masa kamu mau deket-deket sama cowok lain sih? Nanti aku cemburu lho," kata Boy sembari mendekatkan mulutnya ke dekat telingaku. Aku yang merasakan embusan napasnya bergidik karena ada rasa geli yang menjalar di area sekitar indera pendengaranku itu.

"Oh ya. Nama kamu siapa? Nggak lucu 'kan kalau aku nggak tau nama pacarku sendiri?" lontar Boy. Lengannya masih tetap bersandar di kepala bangkuku.

"Ri... Risa," sahutku.

"Oke. Ririsa," kata Boy.

Kok Ririsa? "Risa," ralatku. Agak kesal dengan keusilan makhluk tampan di sampingku itu.

"Oh..., Risa. Kirain Ririsa," celetuk Boy.

"Ya," timpalku lemas. Tak berdaya jika harus berlama-lama mengobrol dengan posisi mesra dan suara setengah berbisik-bisik begini.

"Kamu pernah satu sekolah sama aku, 'kan? Pas SMP atau SMA?" tanya Boy.

"Pas SMP," jawabku cepat.

"Pernah satu kelas juga?" tanya Boy lagi.

"Ya... Dari kelas satu sampai kelas tiga," ungkapku pelan.

"Pantesan muka kamu familiar," komentar Boy.

Kalau mukaku familiar, kenapa Boy tidak mengatakannya padaku saat aku mengambilkan pulpennya yang terjatuh waktu itu ya? Itu bukti, bahwa aku memang benar-benar 'tidak terlihat' di matanya.

‘Iyalah, aku sadar diri kok,’ batinku.

"Kamu punya pacar nggak?" Boy mengajukan pertanyaan lagi kepadaku.

"Ng... Nggak," sahutku.

"Kok nggak punya?" sanggah Boy. Membuatku bingung. "Harusnya kamu jawab punya," ralatnya.

"Ta... Tapi, aku beneran nggak punya," kataku.

"Masa sih?" cecar Boy.

Apakah dia mau mengerjaiku? "Ya," jawabku lirih. Merasa terintimidasi oleh bad boy di bangku sebelah.

Boy mengembuskan napas dengan keras, "Gini ya, Risa. Lain kali, kalau kamu ditanya udah punya cowok atau belum, kamu harus jawab udah, ya. Kalau kamu jawab belum, terus aku ini kamu anggap siapamu?"

"Hahh?" Spontan aku terperangah mendengar ucapan Boy yang sangat absurd itu. Untung saja aku masih bisa mengontrol volume suaraku.

"Maaf..." lirihku sambil memandang ke sekeliling kami dengan muka tersipu-sipu karena merasa suaraku barusan mungkin sudah mengganggu teman-teman.

"Minta maaf gara-gara nggak nganggap aku pacar kamu atau minta maaf ke yang lain? Kalau ke mereka, barusan nggak ada yang denger suara kamu kok. Tenang aja, nggak perlu minta maaf," kata Boy geli.

Aku menggigit bibir melawan rasa malu yang tak tertahankan. "Tadi kita sampai mana?" ujar Boy.

"Pacar..." jawabku tertekan. Hampir saja aku melesak ke dalam bangku, jika saja benda itu bukan terbuat dari kayu keras.

"Jadi... Kamu punya pacar nggak?"

"Y... Ya."

"Apa? Aku nggak denger," kejar Boy.

"Ya," ucapku lebih tegas dan jelas. Dan terpaksa.

"Siapa pacar kamu?"

"Ka... Kamu."

"Kamu?" ulang Boy dengan nada yang ditekan.

"Ya..."

"Bukan itu. Maksudku, kamu sebutin aja namaku," sela Boy sembari tertawa kecil.

"Oh! Maaf..." cetusku. Merasa diri paling bodoh sedunia.

"Nggak apa-apa. Asal kalau mereka yang tanya, kamu bisa tepat jawabnya," kata Boy tenang. Namun, lagi-lagi dia bicaranya di dekat telingaku.

"Tapi... Kenapa aku harus bilang ke mereka kalau kita pacaran?" tanyaku.

Boy terdiam sebentar sebelum akhirnya menjawab.

"Kalau aku bilang aku suka kamu, gimana?"

Jantungku serasa hampir jatuh menggelinding di lantai kelas saking syoknya mendengar kata-kata Boy itu.

Apa Aku tidak salah dengar?

Boy... bilang suka padaku???

“….”

"Kamu sendiri suka nggak sama aku?" tanya Boy balik.

BERSAMBUNG

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • My 'Bad' Boyfriend   Bab 117 - I Love You

    "Capek ya, Dek?" kataku pada Xander yang berada di gendongan Boy. Kami baru saja keluar dari wahana It's A Small World Tokyo Disneyland. "Kita makan dulu. Habis itu naik kereta keliling taman ini, mau nggak?" tanya Boy kepadaku dan Xander sekaligus. "Oke," timpalku. Ku ikuti saja langkah Boy yang panjang-panjang menuju ke sebuah restoran yang ada di taman hiburan tersebut. "Enak nggak waffle-nya?" Boy menanyai Xander yang tengah menggigit waffle berbentuk kepala Mickey Mouse dengan topping mangga kocok dan saus maple. "Enak," jawab Xander. "Lebih enak waffle itu atau kue pancong?" tanyaku iseng. Xander pernah makan kue pancong dan bilang kue itu enak sekali. Aku ingin tahu penilaiannya sekarang. Apakah kue pancong masih jadi kue favoritnya? "Kue pancong," kata Xander. Sontak aku dan Boy tertawa mendengar jawabannya yang bernada polos itu. "Emang ya, lidah lokal." Boy mengacak-acak rambut Xander dengan sayang.

  • My 'Bad' Boyfriend   Bab 116 - Percaya

    Boy membukakan pintu kamar kami menggunakan key card. Mataku sukses dibuat terbeliak lebar begitu berjalan memasuki ruangan yang super mewah itu, yang sepertinya merupakan kamar yang termewah dan termahal di Java Star Hotel.Aku melewati mini bar dan berbagai fasilitas eksklusif yang ada di kamar itu dengan batin yang tak kunjung berhenti mengagumi. "Mau minum sesuatu?" Boy membuka pintu kulkas yang berada di dapur. Aku menggelengkan kepala pelan. "Aku udah banyak minum cocktail di ballroom tadi."Boy menenggak isi minuman kaleng di tangannya, kemudian dia bergabung duduk denganku di sofa yang ada di seberang meja TV. Kami berdua menonton film dokumenter mengenai kehidupan sekelompok gajah di Afrika dalam keheningan yang terasa aneh dan sedikit mencekam. Sampai-sampai, ketika laki-laki di sampingku mengatakan sesuatu, hampir saja badanku melonjak karena kaget. "Besok kita ke makam Bapak sama Ibu ya," kata Boy. Aku terpana men

  • My 'Bad' Boyfriend   Bab 115 - Bahagia

    Acara pemberkatan dan penandatanganan surat nikah sudah usai. Para tamu undangan bergiliran naik ke atas panggung untuk menyalamiku dan Boy yang berdiri diapit para orang tua. Kebanyakan dari mereka merupakan orang-orang yang tak ku kenal sama sekali. Sepertinya mereka adalah rekan bisnis Papa dan kenalan Mama. Hanya Nava, beberapa tetangga, dan teman-teman dari Yogyakarta yang merupakan tamu dari circle-ku. Bahkan, Boy juga cuma mengundang Riga. Selebihnya, dia bilang dia tak mempunyai teman dekat lain.'Seandainya Bapak sama Ibu hadir di sini sekarang.' batinku sedih.Di urutan terakhir dari antrean tamu sepanjang rel kereta api itu, Febri cs menyapaku dengan heboh begitu mereka sampai di hadapanku. "Hai, Risaaa! Selamat ya, Ris! Btw, kamu cantik bangeettt pake gaun kayak gituuu!" Febri menjabat tanganku dan mencium kedua belah pipiku dengan kalap.Wawa, Devi, Nella, dan Marwah mengikuti apa yang dilakukan oleh Febri itu dengan gaya yang sama persis. Bahkan, Nella yang pendiam sepe

  • My 'Bad' Boyfriend   Bab 114 - Langkah

    "Emangnya mau dipanggil apa lagi selain 'kak'?" Seorang laki-laki muncul di belakang Kak Valerie. Badannya lebih tinggi dari Boy, tetapi lebih berisi dibandingkan badan adiknya. Soal wajah, mereka berdua mirip sekali, bahkan sampai ke tingkah-lakunya. "Dari mana aja kamu?" sentak Kak Valerie dengan ekspresi muka bak emak-emak menginterogasi anaknya yang baru pulang subuh. "Dari ruang makan. Tadi ada telpon dari pak hakim," jawab laki-laki itu dengan nada acuh tak acuh. "Oh," timpal Kak Valerie singkat. Dia kembali ke setelan anggunnya, kemudian mengalihkan pandangan kepada Xander. Badannya sedikit dia bungkukkan agar bisa sejajar dengan anak itu. "Kalau kamu namanya siapa? Aunty boleh tau nggak?" tanya Kak Valerie ramah. Namun Xander bukannya menjawabnya, malah bergegas bersembunyi di balik kaki Boy. "Dia takut tuh sama kamu. Kamu sih, nakutin." Kakaknya Boy meledek istrinya dengan bicara sok serius, padahal tanpa sepengetahuan wanita itu dia meringis lebar seraya mengulurka

  • My 'Bad' Boyfriend   Bab 113 - Impian

    Aku keluar dari ruang ganti dengan wajah tertunduk. Rasa malu menyerangku, padahal aku tengah memakai gaun pengantin yang ku impi-impikan sejak aku baru mengenal cinta monyet. Gaun berbahan tile berwarna putih dengan hiasan payet-payet dan renda, dengan model kerah Sabrina yang menampakkan kedua bahuku. Belum lagi ekor gaun yang panjang menjuntai di lantai, serta tak lupa kerudung dari bahan veil yang melengkapi gaun itu. Cantik, bukan? Tapi aku merasa tak nyaman memakainya karena terlalu terbuka. Kalau aku yang dulu memakainya, pasti bakalan suka. Berbeda sekali dengan aku yang sekarang. Kejadian yang sudah menjungkirbalikkan kehidupanku itu telah mengubah seleraku juga dalam hal berpakaian. "Cantik banget kamu, Ris!" cetus Mama. Otomatis kepalaku terangkat menatapnya. Dan secara tak sengaja pula, aku dan Boy jadi bersirobok mata.Boy memperhatikanku hampir tanpa berkedip. Tatapannya begitu sulit ku artikan. Yang jelas, efeknya membuatku serasa dikuliti. "Ya 'kan, Boy?" Mama menole

  • My 'Bad' Boyfriend   Bab 112 - Will You?

    "I... ini... maksudnya apa ya, Tan?" kataku penuh rasa terkejut luar biasa ketika Tante Merry berhenti di depan sebuah boneka manekin yang memakai gaun pengantin kepadaku. Tante Merry tersenyum menatapku. "Tanya aja sendiri sama calon mama mertua kamu. Itu orangnya."Aku menengok ke arah yang ditunjuk oleh Tante Merry lewat kerlingan matanya. "Ma..." panggilku dengan nada bingung. "Maafin Mama ya, Ris. Mama pikir, lebih baik kalian cepet-cepet nikah aja dibandingkan tunangan dulu. Kelamaan nanti. Mama udah nggak sabar pengin jadiin kamu menantu Mama, Sayang. Nggak apa-apa, 'kan? Toh, Xander juga udah akrab sama Papa dan Mama. Apa lagi yang mau kalian tunggu?" jawab Mama dengan raut wajah polos versi anggunnya. Dia menggandeng tangan Xander selagi mendekatiku, kemudian menyunggingkan senyuman terlembutnya. "Tapi kalau Risa nggak mau sama aku habis ini, berarti itu salah Mama ya." Boy tahu-tahu muncul dari balik tirai ruang ganti. Penampilannya sangat-sangat berbeda jauh dibandingka

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status