“Tolong, jangan kayak gini,” ucapku seraya menarik tangan yang masih Boy genggam. Kecemasan dalam diri saya semakin meningkat, meskipun saya berusaha menenangkan diri. "Kenapa? Apa kamu sudah ada orang lain sekarang?" Tuka Boy. Dia akhirnya melepaskannya. "Aku berharap iya. Tapi berkat seseorang, aku jadi takut sekaligus semakin melindungi sama lawan jenis," sahutku sarkastis, untuk menyembunyikan salah tingkah di baliknya. "Aku harus apa biar bisa nebus semua yang udah aku lakuin ke kamu?" kata Bocah. "Nggak ada. Aku juga nggak tau. Karena semuanya udah terlanjur rusak," timpalku dengan pandangan yang diabur oleh air mata. "Aku nggak tau, dengan minta kamu nikah sama aku, itu bisa nebus semuanya atau nggak. Yang jelas, aku cuma kepengin deket sama kamu dan Xander terus. Lagian, itu juga wasiat bapak kamu, 'kan?" tutur Boy. "Ya. Tapi, dulu 'kan kita sudah sepakat kalau kamu tidak terikat sama pesan terakhir bapak itu," tanggapku."Dulu aku bilang aku mau kok nikah sama kamu. Itu
"Apa aku kepagian?" cetus Boy sembari mengamati Xander yang baru selesai aku mandikan. "Nggak juga. Dibanding dulu," kataku. Dengan cepat aku menyisir rambut Xander. "Dulu pas aku jemput kamu ke kampus? Kamu masih inget ya," timpal Boy dengan seringai lebar menghiasi wajahnya. "Ya," sahutku sambil berjalan melewatinya untuk mengembalikan sisir dan handuk Xander ke tempatnya semula. "Sayang kamu nggak pakai daster itu lagi sekarang," celetuk Boy. Aku memilih tak menanggapi gurauan usilnya itu. "Om. Ayo, jalan-jalan," kata Xander. "Boleh. Tapi kita tunggu ibu kamu selesai mandi dulu, ya," jawab Boy ketika bertemu pandang denganku yang baru keluar dari kamar. Aku langsung membuang muka karena dia bisa menebak aku belum mandi. Pasti gara-gara rambutku yang ku ikat asal-asalan ini, 'kan? Atau malah mukaku terlihat kusut sekali di matanya sehingga dia bisa mengatakan hal yang sangat tepat tersebut? 'Kenapa aku jadi inse
Boy tertawa renyah melihat reaksiku. "Nggak usah tegang gitu. Aku cuma pengin kita santai sedikit di depan Xander," katanya. Aku hanya memalingkan wajah dari laki-laki tampan di sebelahku itu sambil mendengkus lirih. Ya. Lirih saja. Tapi rupanya Boy mendengarnya. "Kok gitu reaksinya?""Bukan apa-apa," jawabku. Sebisa mungkin aku berusaha menekan rasa gugup yang sering aku rasakan setiap kali bersama Boy dulu.Boy tak mengatakan apapun lagi. Dia sibuk memfokuskan diri menyetir selama beberapa saat lamanya sembari sesekali menyahut kalau Xander melontarkan komentar-komentar mengenai objek apapun yang kami lihat di sepanjang jalan yang kami lalui. Dia menerangkan hampir semua hal yang dipertanyakan oleh Xander kepadanya dengan bahasa yang lugas dan efektif. Bahkan, dia terlihat amat sabar menghadapi sikap serba ingin tahu anak itu tanpa sedikitpun tampak terbebani. Diam-diam aku memujinya di dalam hati. "Jam segini playground di daerah X
"Pagi, Bu. Maaf saya terlambat.” Sekitar 15 menit usai kelas dimulai, seorang cowok berjaketvarsity berwarna biru-putih mengetuk pintu. Semua orang menoleh ke arah cowokitu, yang berjalan memasuki ruangan dengan gaya santai bercampur tengil. Cowok bernama Boy itu malah tersenyum manis menghadapi dosenwanita yang dikenal galak—Bu Asri, yang kini tengah menatapnya dengan ekspresimuka marah.“Tadi ban belakang motor saya bocor di tengah jalan, jadisaya ke bengkel dulu," kata Boy pada dosen dengan sopan namun penuhkeberanian. Senyum manisnya masih terulas di bibir, yang entah kenapaterlihat seksi di mata para cewek di kampus ini. Aku tidak paham mengapa bibirBoy dibilang seksi. Apakah yang mereka maksud seksi itu, karena bibir Boysering menyunggingkan senyuman yang membuat mereka deg-degan setiap kalimelihatnya?Kalau memang itu definisi seksi, aku setuju. Karena akupernah begitu deg-degan melihat senyum manis Boy dari jarak dekat. Walau cumabeberapa detik, momen tersebut s
Boy meraih kotak bekalku dengan santai, lalu membuka tutupnya dan berkata dengan nada antusias. "Wah, kamu masak menu kesukaanku ya, Sayang? Makasih ya."Aku hampir pingsan ketika menyaksikan Boy mengambil sendok dan memakan nasi serta tumis kangkung dan telur mata sapi di kotak bekal itu.Masa sih, seorang Boy doyan makan makanan rakyat jelata sepertiku? Dengar-dengar, Boy anak seorang CEO salah satu perusahaan ternama di negara ini. Tidak mungkin 'kan, menu makannya sehari-hari berupa tumis kangkung dan telur mata sapi? Tapi, barusan kok dia bilang menu bekalku itu menu kesukaannya? Terus..., dia juga memanggilku 'Sayang'. Pasti aku yang salah dengar, 'kan?"Yang bener aja, Boy! Masa kamu bilang kamu pacaran sama cewek kampungan kayak gitu? Liat aja tuh, makanan yang dia bawa aja menu kampung," cetus Cinta seraya memelototiku dan tersenyum sinis."Mendingan kamu pergi aja deh. Jangan ganggu orang lagi pacaran kayak gini." Boy menggerak-gerakkan tangannya seperti mengusir seekor aya
"Nggak usah pada kaget gitulah. Kayak nggak pernah ajamanggil pacarnya 'Sayang'." Boy mendengkus geli sambil menyeruak maju, dan mendudukkandiri di bangku sampingku yang tak ditempati Nava."Kamu pacaran sama cewek ini, Boy? Serius?" tanyaPrima yang mendadak jadi seperti monyet kena lemparan batu."Ya seriuslah," tukas Boy santai. Sementara akutak berani menatap wajahnya sama sekali."Berarti kemaren kamu sama dia bener-bener habis ginidi atap?" Prima memperagakan adegan favoritnya dengan ekspresi mesumnyayang dari tadi dia pakai untuk menghinaku.Boy mendecih sembari tertawa kecil, "Nggak semua orangbarbar kayak kamu.""Oh ya?" dengkus Prima pongah."Kalau nggak mau ngaku nggak apa-apa kok. Bukanurusanku," timpal Boy tenang sambil meyandarkan salah satu lengannya kesandaran bangku di balik punggungku.Kini aku menunduk semakin dalam. Kekuatanku untuk mengatasiperasaan gugup ini sepertinya sudah mencapai batasnya."Tapi, kamu beneran suka sama dia nggak nih?"celetuk cowok
"Kamu sendiri mau nggak jadi pacarku?" tanya Boy.Lidahku serasa diikat tapi tak terlihat. Aku susah sekalimengucapkan keraguanku pada pernyataan Boy.Dia bilang suka padaku?Masa sih?Kalau dia betul-betul suka padaku, pasti dia akan menyadarikeberadaanku sebelumnya.Aku memang gugup sekali jika sedang bersamanya,sampai-sampai sering mengatakan dan melakukan hal yang konyol. Namun, aku jugaorang yang bisa berpikir rasional. Apalagi, aku sangat menyadari siapa diriku.Tidak mungkin cewek culun dan berpenampilan biasa-biasa sajasepertiku bisa membuat seorang Boy suka padaku."Kalau susah, nanti aja jawabnya. Atau nggak usah kamujawab sama sekali juga nggak masalah kok," kata Boy.Selama keseluruhan jadwal mata kuliah kami di hari itu, Boyterus saja duduk di sebelahku. Dia sepertinya tak punya minat untuk sekedarbergeser sedikitpun dari bangkunya. Boro-boro pindah ke bangku lain sebagaiselingan.Setelah kami sibuk mengobrol di sela-sela kelas BuGeraldine, Boy justru terlihat l
"Udah pulang?" Bapak melontarkan pertanyaanretoris kepadaku yang baru masuk ke rumah."Iya. Bapak udah makan atau belum? Aku bawainmakanan," kataku sambil mengangkat tas plastik yang isinya kotak styrofoamberisi nasi dan ayam bakar serta lalapan."Bapak udah makan kok barusan. Itu buat kamu aja,"tolak Bapak."Aku juga baru makan, Pak. 'Kan tadi makan sama Nava dirumah makannya langsung." Aku memasang muka cemberut.Bapak menatapku geli, "Buat nanti 'kan bisa."Aku menyerah, tak mendebat bapak lagi. Biasanya aku yangakan kalah. Selain ada saja jawabannya—dan tepat, pula—aku juga tak inginmelawan orang tua.Aku menaruh bungkusan plastik itu ke atas meja makan.Sekalian ku buka tudung saji yang ada di meja itu, untuk mengecek apakahlauknya sudah bapak habiskan. Tadi subuh aku memasak oseng tempe yang dicampurdaun kemangi, sayur asam, dan rempeyek kacang. Sekarang tinggal rempeyek kacangdi stoples yang tersisa. Aku bersyukur Bapak mau memakan menu yang ku sajikan hariini. Bebe