Share

Gantikan Bajuku

Theodore tertawa terbahak-bahak, "Cincin itu udah bener buat gue. Soalnya, Xela yang lo maksud itu pacar dari asisten pribadi gue."

"Hah? Pacarnya Hans?" tanggap Cyenna terkejut.

Lelaki berambut kecoklatan itu mengangguk mantap, "Nah, lo tahu, 'kan Hans cowok model gimana? Cyenna, bilang ke Tuan lo buat putus sama Xela. Barangkali, tuh cewek cuma mau duitnya aja."

"Nggak! Itu gak mungkin! Paling cuma akal-akalanmu biar bisa dapetin cincin itu, 'kan?" tolak putra sulung keluarga Rowlerie dengan tegas.

Menghirup napas panjang, "Gue udah beberapa kali ngeliat mereka di depan kantor. Dan udah dua hari ini, Hans izin sakit."

"Xela juga sakit perut," batin Pieter, mulai curiga.

Theo berdecak sebentar, "Lo samperin aja ke rumahnya Xela. Barangkali, asisten pribadi gue ada di sana. Bye."

"Heh! Cincinnya jangan dibawa!" teriak lelaki berkemeja biru.

Teman kuliah Cyenna itu akhirnya memutar bola mata ke atas. Menyerahkan cincin yang dipersengketakan ke tangan gadis bersurai hitam.

"Kalau Xela selingkuh, kembaliin cincin ini! Kalau enggak, gue yang bayar cincin ini buat lamaran Tuan lo," pesan Theodore.

Sebelum benar-benar meninggalkan toko, lelaki tersebut melunasi cincin tersebut di kasir. Cyenna hanya memandangnya tanpa kedip. Apa Theodore bersungguh-sungguh membayar cincin seharga satu miliar?

"Theo, lo masih waras, nggak?" teriak Cyenna sebelum lelaki itu membuka pintu keluar.

Menoleh sebentar sembari tersenyum miring, "Otak gue sedikit miring gara-gara ditonjok Tuan lo."

Pieter sendiri asyik merenungi perkataan Theodore. Benarkah yang dikatakan lelaki itu? Sampai membayarkan cincin seharga satu miliar rolla.

(Note: 1 miliar rolla = 2 miliar rupiah)

"Xela, apa kamu sungguh berselingkuh dariku?" batinnya galau.

***

"Tuan, kita mau ke rumah sakit, atau bagaimana?" tanya Cyenna setelah siap mengemudi.

Lelaki yang berada di kursi tengah tersebut rupanya tak mendengarkan. Dia masih memikirkan tentang Xela. Apa benar kekasihnya itu berselingkuh dengan Hans?

"Tuan," panggil gadis itu lagi ketika tak mendapatkan jawaban.

Kali ini, Pieter tersentak. Dia balas bertanya, "A-apa?"

"Mau ke rumah, villa, atau rumah sakit, Tuan?" jawab Cyenna, mencoba bersabar.

Lelaki berkemeja biru itu langsung menjawab, "Villa aja. Biar aku yang panggil dokter pribadi. Malas kalau ditanyain Papa sama Mama."

Cyenna mengangguk paham. Dia pun segera melajukan mobilnya di jalanan Kota Scenara. Tanpa butuh waktu lama, gadis itu menemukan jalan untuk pulang.

Di sinilah, Pieter mulai curiga dengan ARTnya. Bagaimana bisa gadis itu saling mengenal dengan Theodore? Sejauh gosip yang ia dengar selama ini, lelaki tersebut hanya mau bertemankan orang-orang kaya. Kemudian, Cyenna juga hafal jalan pulang meski baru kali ini dia membawa gadis itu ke kota.

"Semua orang pasti merahasiakan sesuatu," simpul Pieter pada akhirnya.

Dengan bantuan dari satpam, lelaki itu sampai di kamarnya. Tak lama kemudian, Cyenna masuk. Gadis berambut hitam tersebut membawa secangkir teh hangat.

"Tuan bisa membunyikan bel bila membutuhkan bantuan," ujar gadis itu saat meletakkan tehnya di meja.

Pieter tidak menjawab. Cyenna yang kesal itu pun langsung pergi. Malas berurusan dengan Tuannya.

Kring!

Lelaki tersebut membunyikan bel, tepat ketika Cyenna akan membuka pintu kamar. Gadis itu pun menoleh. Mencoba bersabar.

"Ada apa, Tuan?" tanyanya seraya tersenyum lebar.

Pieter menyeringai, "Aku butuh bantuanmu. Katanya kalau butuh bantuan, suruh membunyikan lonceng."

Cyenna yang sudah tak bisa mengontrol emosi pun bertanya, "Maksud saya, bantuan apa yang Tuan butuhkan?"

"Obati lukaku! Kamu bisa, 'kan?"

Menggeleng, "Maaf. Sebaiknya, Tuan memanggil dokter. Saya takut kalau lukanya bertambah parah."

"Nggak akan! Ngirit, ah. Aku nggak mau dokter pribadiku laporan ke Mama. Mulutnya tuh, lemes banget," ujar Pieter.

Dia memang baru sadar kalau dokter itu selalu memberitahu orang tuanya. Padahal laki-laki. Dokter kepercayaan, sih. Hal sekecil apa pun harus dilaporkan.

Cyenna mengalah. Gadis itu menjawab, "Baik, Tuan. Saya ambil kotak P3K dahulu."

Walau agak dongkol, ART berkemeja rosemary berjalan menuju tempat penyimpanan kotak obat. Diambilnya obat merah dan kapas. Itu cukup, 'kan?

"Ah, biarlah. Salah sendiri, nggak mau ke dokter. Lagian kenapa kalau ketahuan Papa sama Mama? Kena marah?" gerutu Cyenna seorang diri.

Gadis itu tak rela jika melewatkan acara televisi kesukaannya. Sebentar lagi mulai. Tapi Pieter malah menyuruhnya untuk mengobati luka. 

"Pelan-pelan," ujar Pieter saat Cyenna membuka pintu dengan kasar.

"Iya, Tuan," balas gadis itu seraya duduk di dekat lelaki berkemeja biru.

Cyenna kemudian menyapukan obat merah ke atas kapas putih. Perlahan, gadis itu mengoleskannya ke sudut bibir Pieter. Darahnya sudah mengering.

"Auw," pekik lelaki berkemeja biru.

Gadis itu tidak menghentikan kegiatannya, "Tahan sedikit, Tuan."

"Sakit!" balas Pieter.

Cyenna tak peduli. Dia terus saja menutulkan kapas ke bagian wajah Pieter yang lecet. Tak peduli dengan jerit kesakitan lelaki itu.

"Sudah selesai, Tuan. Apa ada lagi yang berdarah? Tangan, misalnya," ucap gadis berkemeja rosemary.

Pieter mengangkat tangannya. ART itu pun langsung menggulung lengan baju perlahan-lahan. 

"Oh, ini yang sakit, Tuan?" tanya Cyenna berbasa-basi saat melihat luka cakar di pergelangan tangan Tuannya.

"Hm," balasnya singkat.

Dalam hati, Pieter membatin, "Sudah kelihatan begitu, pakai nanya segala."

Dengan cekatan, Cyenna membubuhkan obat merah di luka Pieter. Terdengar jerit kesakitan dari mulut pria itu. Tapi seperti biasa, Cyenna tidak peduli.

"Sudah selesai, Tuan," beritahu gadis berkemeja rosemary sembari bangkit dari duduknya.

Karena kesemutan, gadis itu kehilangan keseimbangan. Cyenna yang tak mau berakhir dengan menabrak tubuh Pieter pun memilih untuk menjatuhkan obat merah yang dipegangnya. Tangan itu ia gunakan untuk menopang di tembok.

"Maaf Tuan, nggak sengaja," ucap Cyenna sebelum kena marah.

Pieter menarik napas panjang, "Bawakan baju ganti! Kemejaku ketumpahan obat merah."

"Baik, Tuan. Mau pakai yang warna apa?" tanya gadis itu seraya meraih obat merah yang sempat menggelinding di atas seprai.

"Terserah. Kau saja yang pilihkan," ucap Pieter sambil memandang ke arah pintu.

Cyenna menurut. Diambilnya sebuah kemeja warna kelabu. Kemudian, dia serahkan untuk Tuannya.

"Pakaikan," ucap Pieter seraya merentangkan kedua tangan.

Gadis di hadapannya langsung melotot, "Tuan barusan bilang apa?"

"Apa aku harus berbisik di telingamu, hm?" ujar Pieter seraya memandang indra pendengaran Cyenna.

ART tersebut langsung menjawab, "Sembarangan!"

"Ya udah, buruan pakaikan bajuku! Tanganku sakit kalau ditekuk," perintah Pieter dengan nada yang kurang mengenakkan.

Walau ragu, Cyenna akhirnya melepas kancing kemeja Pieter satu per satu. Gadis itu menarik napas lega saat mengetahui Tuannya memakai kaus dalam. Aman, kulitnya tidak akan kelihatan.

"Gantikan yang dalam juga," ucap Pieter, menghalau kesenangan Cyenna.

ARTnya refleks menjawab, "Nggak mau!"

Melangkah pergi seraya berkata, "Biar saya panggilkan Bi Rosa. Nanti, beliau yang menggantikan baju Tuan. Saya permisi."

"Cyenna! Kamu berani melangkahkan kaki melebihi pintu kamar itu, gajimu kutahan seumur hidup!" ancam Pieter.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status