Share

Perkara Handuk

"Lho, kenapa?" selidik lelaki tersebut sembari mengambil sepotong ayam goreng.

Pieter masih tidak menyadari kesalahan yang telah dia perbuat. Padahal Cyenna jelas-jelas memberikan banyak kode padanya.

"Handuknya belum dikembalikan," balas gadis itu seraya meletakkan lalapan di atas meja makan.

Pieter mengernyit heran, "Kamu minjemin handuk ke orang?"

Walau kesal, Cyenna tetap tersenyum. Dia berkata, "Lebih tepatnya diambil tanpa sepengetahuan saya."

"Lah, siapa yang mencuri? Ck ck ck. Nggak modal banget. Handuk pun diembat," komentarnya sembari menciduk nasi.

Kali ini, Cyenna tak tahan lagi. Dia menjawab dengan tegas, "Tuan adalah orang yang mengambil, sekaligus memakai handuk saya."

"Ooh," sahutnya singkat sambil mengangguk-angguk.

Tapi kemudian, dia merasa ada yang janggal. Ditatapnya ART tersebut dengan mata membelalak sempurna, "Heh, barusan kamu bilang apa?"

"Handuk Cyenna dipakai sama Tuan!" teriak gadis itu dengan kedua tangan di dekat mulut.

Pieter kaget. Ingatannya langsung melayang pada handuk putih di dekat kamar mandi. "Jangan sembarangan! Memang, itu beneran handuk kamu? Terus, punyaku ke mana?"

"Mana saya tahu, Tuan. Na nggak pernah nemu handuk di kamar atas," balasnya sembari menepuk jidat.

Lelaki yang sudah menyuap sepotong kecil ayam goreng itu pun merutuki kesalahannya. Mau ditaruh mana mukanya kalau sampai orang-orang tahu kalau mereka berbagi handuk yang sama? Terlebih Xela, dia pasti langsung cemburu. Ah, menyebalkan sekali.

"Nanti handuknya kukembalikan. Tapi ingat, kamu nggak boleh menceritakan hal ini ke siapa pun! Oke?" tawar Pieter.

Gadis berambut hitam merengut. "Ih, nggak mau. Udah bekasnya Tuan. Bau keringat, kena burung pula."

"Cyenna!" teriak Pieter yang hampir tersedak karena mendengar penuturan gadis itu.

ART tersebut langsung kabur ke sembarang arah. Dibentak Pieter membuat jantungnya berpacu dengan waktu. Nasib, nasib.

Pieter sendiri mengunyah ayam dengan pipi yang memerah. Dia tak habis pikir. Bagaimana Cyenna bisa mengatakan hal sensitif dengan sangat santai?

"Menyebalkan!" rutuknya sembari memukulkan sendok ke meja.

***

Selesai makan, Pieter mencari keberadaan Cyenna. Mendengar suara mesin cuci yang sedang beroperasi, dia langsung mendekat. Pasti gadis itu sedang mencuci.

Tebakan Pieter meleset. Cyenna tak ada di tempat. Mungkin, gadis itu sedang mengerjakan hal lain.

"Na, Cyenna!" teriak Pieter supaya dapat memangkas waktu.

Tak lama, terdengar sahutan, "Iya, Tuan. Sebentar."

Membuka pintu sembari bertanya, "Ada yang bisa saya bantu, Tuan?"

Pieter mengulurkan sejumlah uang, "Nih, buat beli handuk baru. Cukup, nggak?"

Cyenna menatapnya ragu. Apakah boleh dia menerima uang dari Tuannya selain gaji bulanan? Bagaimana kalau ada ART lain yang tahu? Apa dia takkan dianggap pemeras?

"Malah bengong. Mau enggak?" tanya Pieter yang kesal. Padahal, dia sudah berbaik hati ingin mengganti handuk Cyenna.

Gadis berkemeja putih menggeleng, "Enggak usah, Tuan. Biar Cyenna beli pakai uang sendiri."

Pieter jadi gemas dan meletakkan uang tersebut di tangan ARTnya. Dia mengancam, "Kalau kamu nggak terima, aku pecat sekarang juga! Mau?"

"Jangan pecat saya, Tuan. Belum gajian," ujarnya memelas.

Sesaat kemudian, Pieter bertanya, "Bentar. Memang, di dekat sini ada toko?"

Menggeleng pelan, "Adanya warung, Tuan. Itu pun nggak jualan handuk. Paling makanan, minuman, sama alat pertanian."

Pieter mengusap mukanya kasar, "Nanti, ada ART lain yang datang, enggak?"

Cyenna mengangguk, "Paling sebentar lagi, Tuan. Kenapa memangnya?"

"Mau anterin kamu beli handuk. Sarapan dulu, sana. Biar nggak kelaparan di jalan," balas lelaki berbaju biru.

Gadis itu kembali menggelengkan kepala, "Nanti kalau pacarnya Tuan cemburu, gimana?"

"Nggak usah mikirin hal itu. Lagian, dia nggak bakalan tahu. Masih sakit perut. Nggak boleh keluar rumah," balas Pieter santai.

Cyenna bertanya lagi, "Beneran gapapa, Tuan?"

"Iya, gapapa. Asal kamu nggak bertingkah macam-macam."

"Oke, Tuan," setuju Cyenna, kemudian beranjak ke meja makan.

Tinggallah Pieter di depan mesin cuci. Lelaki tersebut menggeleng-gelengkan kepala. Berbicara dengan Cyenna ternyata membuat pusing kepala.

Bandel sekali ART satu itu. Punya seribu satu alasan untuk menolak Pieter. Sudah seperti lomba debat saja.

Usai sarapan, gadis itu berganti pakaian. Dia mengenakan kemeja rosemary dipadukan jeans longgar warna biru. Itu adalah pakaian yang biasa dia gunakan saat akan berjalan-jalan. Sudah seperti template saja.

"Na, udah gantinya?" bawel Pieter dari arah tangga.

Gadis itu pun buru-buru membuka pintu, "Sudah, Tuan. Gini gapapa?"

Memandang penampilannya dari atas sampai bawah. "Kamu nyaman enggak pakai itu?"

"Nyaman-nyaman aja, Tuan. Tapi barangkali, nggak cocok buat belanja handuk," balas gadis berambut hitam tersebut.

"Menurutku cocok-cocok aja," komentar Pieter asal.

Tak ingin membuang banyak waktu, dia pun mengajak Cyenna ke mobil. Gadis tersebut menurut. Kebetulan, sudah ada dua ART yang datang. Jadi, tak perlu risau untuk meninggalkan villa.

"Jangan lupa pakai sabuk pengaman," ujar Pieter. Barangkali gadis itu tak mengerti. Salah-salah, bisa ditilang polisi.

Cyenna mengangguk patuh. Dengan cekatan, dia memasang sabuk pengaman. Itu bukan perkara sulit baginya. Karena sebelum menjadi ART, dia merupakan anak seorang pengusaha kaya raya. Keserakahan dan perebutan harta membuat gadis malang itu terpaksa keluar dari rumah untuk menghidupi dirinya sendiri.

Sepanjang perjalanan, gadis berkemeja rosemary menutup mata. Dia membayangkan sedang berkendara dengan sopir pribadinya, Rendra. Sudah lama sekali semenjak keduanya harus berpisah gara-gara lelaki tersebut terpaksa menikahi sepupu Cyenna, Erleana Gaffine.

Sebutir air mata yang nyaris jatuh itu pun ditahannya. Pura-pura menggeliat, tapi sejatinya menghapus buliran bening yang sudah tampak di sudut mata.

Pieter tak menyadari hal itu. Bahkan ketika sampai di sebuah mall mewah, lelaki tersebut langsung menyuruh Cyenna untuk segera turun.

"Baik, Tuan," ucap gadis itu sembari membuka pintu.

Dia menatap sayu pada mall mewah yang dahulu miliknya. Lamour's Mall.

"Kenapa, Na?" tanya Pieter kemudian.

Menggelengkan kepala, "Tidak apa-apa, Tuan. Bangunannya bagus. Pasti harga barangnya mahal-mahal."

"Kamu bisa aja," balas lelaki tersebut seraya melangkah masuk.

Mau tak mau, Cyenna mengikuti. Perasaannya bercampur aduk. Ingin pergi ke tempat lain, tapi takut menyinggung perasaan Tuannya. Bila diteruskan, bagaimana kalau bertemu Bibi, Eleana, atau bahkan Rendra? Sungguh dilema yang nyata.

Tanpa butuh waktu lama, keduanya sampai di bagian perlengkapan mandi. Seorang pelayan toko langsung mengenali Cyenna. Perempuan itu hampir melonjak kegirangan. Tapi takut kalau aksinya ketahuan Bosnya.

"Nona mau beli apa?" tanya pelayan tersebut dengan suara gemetar.

Tersenyum tipis, "Bisa pilihkan handuk untuk saya, Mbak?"

Mengangguk, "Tentu. Biar saya carikan yang paling bagus."

Tangan perempuan tersebut langsung bergerak mencari handuk bermotif floral dengan warna dasar merah muda. Dia tahu benar kalau Cyenna menyukai warna itu.

"Terima kasih, Mbak," ucap gadis berambut hitam.

Mengangguk pelan, "Silakan menuju kasir, ya Mbak."

Cyenna tersenyum tipis. Kemudian, keduanya berjalan beriringan. Saat menunggui ARTnya membayar, netra Pieter melihat sosok yang dia kenal.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status