FAZER LOGIN“Sel.”
“Selene.”
“SELENE!”
Panggilan terakhir itu membuat Selene sedikit tersentak.
“Hah!
Selene akhirnya menatap Fiona yang sedari tadi sudah memanggilnya beberapa kali semenjak dosen sudah keluar kelas. Saat ini kelas yang tadinya dipenuhi mahasiswa cuma tertinggal Selene, Fiona dan beberapa anak yang terlihat ingin melanjutkan tugas kelompok.
“Are you okay? Kamu dari tadi kelihatan banyak pikiran”
Selene menghela nafas sejenak.
Memang benar, sejak makan malam semalam pikiran Selene langsung kemana-mana. Memang benar makan malam itu awalnya ditujukan untuk Leonard Romano agar bisa menemukan calon istrinya. Tapi tetap saja, Selene tidak menyangka di antara dirinya dan Rosetta, dirinya lah yang akan dipilih.
Selene menggelengkan kepalanya untuk menjernihkan pikiran lalu menatap Fiona yang sedari tadi hanya terdiam menatap Selene dengan tatapan aneh.
“Sel, what’s wrong?”
‘What’s wrong? A lot!’
Itu yang dipikirkan Selene tapi sekali lagi gadis itu hanya menghela nafas.
“Ayo pergi dulu…”
Selene melirik beberapa orang yang masih berada di ruang kelas itu. Karena berita ini privasi Selene tidak mau ada seseorang selain orang terdekatnya yang mendengar.
Mendengar itu Fiona menghela nafas.
“Baiklah, kita juga masih ada waktu sebelum lanjut ke kelas struktur beton, eh? Kalau kelas Inter masih di jam yang sama kan?”
“Masih kok”
Selene bersiap dan memasukkan tab-nya ke dalam totebag cream kesayangannya, lalu berdiri.
“Ayo ke cafe Arcadia, aku belum nyobain cheesecake barunya mereka.”
Mendengar itu Fiona mengernyit.
“Bukannya udah pernah? Waktu itu kan kamu ngirim gambarnya ke chat?”
Selene terdiam sejenak.
‘Ah… aku belum cerita tentang itu juga ya?’
Waktu yang dimaksud Selene adalah yang waktu ia tiba-tiba diputusin Matteo saat mau mengumumkan keberhasilannya saat diterima kompetisi karya tulis ilmiahnya.
Kepala Selene mendadak berdenyut.
“Itu, nanti aku ceritain sekalian deh…”
Fiona menatap Selene sebentar lalu mengangguk, tampak seperti mengerti apa yang akan diceritakan.
“Kalau gitu ayo, sebelum masuk.”
Keduanya pun lanjut berjalan ke arah parkiran.
“Kamu kesini naik mobil?”
“Iya.”
“Naik motorku aja yuk! biar bisa nyalip, kan nanti kesini lagi.”
Selene yang mendengar itu mengiyakan.
“Boleh.”
Motor Fiona meluncur keluar parkiran kampus, menyelip di antara mobil dengan lincah. Selene duduk di belakang, satu tangan berpegangan di jaket Fiona, satu lagi sibuk menahan pikirannya sendiri supaya tidak lompat ke mana-mana.
Angin siang menerpa wajahnya, tapi kepala Selene dipenuhi kejadian di atas kejadian lainnya yang menimpanya minggu ini.
Cafe Arcadia muncul di ujung jalan, sebuah bangunan dua lantai dengan logo emas kecil yang terasa homey, cafe tersebut bernuansa cozy-green, dengan banyak tanaman dan cahaya alami yang membuatnya terasa sangat nyaman.
Begitu mereka masuk, pendingin udara langsung menyapu kulit. Musik lembut mengalun, cukup pelan untuk tidak mengganggu percakapan. Siang hari membuat kafe itu tidak terlalu penuh. Beberapa mahasiswa duduk dengan laptop terbuka, memang tempat ini merupakan tempat hidden gem bagi para mahasiswa yang ingin bersantai dengan tenang. Tempatnya sedikit tersembunyi namun tenang, minuman dan dessert yang disajikan pun enak.
Saat memasuki cafe tersebut terlihat satu meja kosong di sudut dekat jendela membuat Fiona langsung menuju meja itu.
Mereka duduk. Fiona menyandarkan punggungnya ke kursi, menatap Selene dengan ekspresi menunggu. Selene melepas totebag-nya, meletakkannya di kursi sebelah. Keduanya memesan minuman dan dessert, lemon cheesecake dan caramel latte untuk selene dan matcha pudding dan juga green tea latte untuk Fiona.
Selene menatap pesanan temannya itu.
“Kamu maniak matcha.”
“Enak tahu! By the way…”
Fiona memulai dan menumpukan sikunya keatas meja, kedua tangannya bertaut dibawah dagu dan menatap Selene lurus.
“What is going on with you?”
Selene menghela nafas lalu meminum caramel lattenya sedikit sebelum berbicara.
“Aku putus dengan Matteo.”
“AKHIRNYAAA!!!”
Seruan Fiona itu membuat Selene mengerjapkan matanya, wajah gadis itu tampak bingung. Belum selesai dengan kebingungannya Fiona sudah menangkup tangan gadis berambut ash brown itu.
“Sel, asal kamu tahu, aku sama Hana udah nungguin banget kamu putus sama makhluk itu!”
‘Makhluk itu?’
“Kamu sadar ga sih Sel, kalau kamu itu dimanfaatin doang sama cowo beban itu?”
“Hah?”
“Ih! Asal kamu tahu Alex kemaren cerita dia nyesel udah ngenalin parasit berkaki dua itu.”
‘Ini perasaanku aja, apa hinaannya makin kreatif ya?’
“Kamu ingat ga? Yang waktu itu mobilmu mogok? Tapi si babi itu malah bilang ga bisa bantu karena lagi nganterin si Rosette Rosette itu pulang?”
Tentu saja Selene ingat. Hari itu Selene pulang malam sehabis kerja kelompok, untung saja Fiona masih dekat dan belum jalan jauh dari kampus. Akhirnya Fiona memanggil beberapa orang dan membantunya menyalakan kembali mobilnya yang ternyata aki mobilnya kena karena gadis itu lupa mematikan headlight mobilnya.
“Sel, kamu tuh terlalu baik…”
Selene hanya bisa diam mendengar ucapan Fiona.
“Terus kamu seharian ini begitu karena si Mattai itu?”
“Matteo Fi…”
“Kebagusan namanya, Mattai aja lebih cocok.”
Selene menggelengkan kepalanya sambil tertawa pelan.
“Ya… itu salah satunya sih, tapi ada lagi.”
“Kenapa? Dia ketahuan selingkuh sama Rosette?”
Ucapan itu membuat Selene kaget.
“Kamu tahu?”
Fiona terlihat memutar bola matanya.
“Itu sudah rahasia umum Sel! Astaga! Kamu jarang ngeliat gosip kampus sih…”
“Aku baru tahu kemarin,” Jawabnya pelan. “Pas siang kita dapat email keterima lomba, waktu mau ngajak dia ngedate disini aku tiba-tiba diputusin.”
Fiona mendengus.
“Let me guess? Dia lagi bareng Rosette?”
Selene mengangguk.
“Yah… baguslah kalian putus, jadi kamu ga disedot makhluk itu lagi.”
Selene mengangkat alisnya.
“Disedot? Apanya?”
“Energi, duit, waktu, perhatian.”
Fiona menghitung di jarinya.
“Paket lengkap.”
Selene tertawa kecil, kali ini dengan alasan yang lebih pahit.
“Iya juga.”
Fiona menyandarkan punggungnya, lalu menatap Selene lagi, lebih tajam. “Tapi tadi kamu bilang ‘salah satunya’. Artinya ada lagi yang ada dipikiranmu?”
Selene menghela napas panjang. Kali ini lebih berat.
“Ada.”
“Oke… kenapa Sel?”
Selene menarik nafas.
“Aku mau dijodohin.”
Kalimat itu membuat Fiona yang sedang meminum matcha lattenya tersedak.
“HAH?!”
Selene hanya mengangguk.
“Bohong.”
“Ngapain aku bohong masalah gini?”
“Oh Shit! Ini seperti yang di drama-drama itu bukan? Yang perjodohan antar pewaris.”
Selene mengernyitkan dahinya, bingung antara ingin tersinggung atau tidak karena yang diucapkan Fiona memang benar.
“Ya begitulah…”
Mata Fiona tampak berbinar-binar.
“Sudah kuduga! Kamu tuh cocoknya memang sama yang sama-sama kaya Sel!”
Selene semakin menyipitkan matanya.
“But he’s older than me!”
“Bagus dong! Dewasa, tidak seperti Mattai!”
“10 tahun Fi…!”
“Daddy dong!”
Selene menepuk jidatnya.
“Fi!”
“Apa? Bener kan? Ganteng gak?”
“Fiona!”
Selene tidak habis pikir dengan pikiran temannya yang satu ini.
“Itu penting tahu Sel!”
“Ga lucu!”
“Lucu tahu!” Bantah Fiona. “Setelah ketemu sama Matteo langsung dijodohin sama pewaris kaya raya.” Lanjutnya.
Selene hanya diam dan memakan cheesecakenya yang sedari tadi belum dimakan.
“Salah aku cerita ke kamu.” Ucap Selene sedikit memanyunkan bibirnya.
Fiona akhirnya tersenyum.
“Oke… Serious talk, siapa calonmu?”
“...Leonard Romano.”
Fiona tampak memiringkan kepalanya.
“Romano… Romano… Seperti pernah dengar tapi dimana ya?”
“Dia CEO Romano Engineering Group, memang bukan ranah kita sih tapi-”
“Ah!”
Fiona tampak menjentikkan jarinya sebelum Selene sempat selesai menjelaskan.
“Itu perusahaan yang terkenal banget di antara Fakultas Teknik Kelautan kan?”
“Hah?”
“Iya! Aku kenal sama anak dari teknik perkapalan, katanya itu salah satu perusahaan top yang favorit banget!”
“...”
“Sering kerja sama dengan kampus kita juga katanya!”
“Fi… kamu kayaknya kenal sama semua orang ya?”
“Kebetulan, kemarin aku ngobrol sama orang di fotokopian depan kampus sambil nungguin.”
Selene kembali geleng-geleng kepala, memang di antara teman-teman kampusnya Fiona lah anak paling ekstrovert yang Selene kenal.
“Ya, intinya begitu.”
“Pertanyaanku belum dijawab Sel,”
“Hah?”
“Ganteng gak?”
Ingin sekali rasanya Selene menjitak kepala temannya ini, tapi gadis itu hanya bisa menghela nafas.
Selene langsung mengingat rupa pria itu, rambut blondenya yang tertata rapi, mata birunya yang tajam, garis rahang yang tegas. Walau umurnya sudah memasuki umur tiga puluhan, pria itu tak tampak se tua yang Selene pikirkan malah…
“Ganteng…”
Pipi Selene memanas, karena ia tiba-tiba mengingat kecupan di punggung tangannya. Gadis itu menatap punggung tangannya sendiri.
“Gentleman juga…”
“Oh…”
Selene tersentak lalu mendongakkan kepalanya menatap Fiona yang berada di seberangnya. Dan benar saja sebuah senyuman yang menyebalkan muncul disitu.
“Fi.”
“Emangnya pas ketemu, kalian ngapain aja?” Tanya Fiona dengan nada keponya.
“Gak ngapa-ngapain, cuma dinner terus nanya-nanya kesibukan, habis itu…”
“Habis itu?”
Selene meletakan tangannya di atas pangkuannya dan melihat ke arah lain selain ke arah Fiona.
“Habis itu pulang, nothing special.”
“Nothing special?” Fiona mengulang, jelas nggak percaya dengan apa yang dikatakan temannya itu.
Selene mengangguk cepat.
“Iya. Nothing Special.”
Fiona menyipitkan mata, jelas menyadari kebohongan teman introvert yang telah ia adopsi itu.
“Cara kamu ngomong ‘nothing special’ itu mencurigakan.”
“Perasaanmu doang kali.”
Fiona ingin membantah ucapan Selene lagi namun mata gadis berambut pendek tersebut tak sengaja melirik ke arah pintu depan cafe, raut wajahnya yang sedari tadi terlihat santai mendadak berubah, ekspresi yang tadinya menunjukkan wajah ingin meledek tiba-tiba mengeras. Bibirnya langsung mengkerut, matanya menjadi tajam dan tangannya yang sedari tadi dengan santai memegang cup matcha latte atau menyendokkan puding langsung mengepal.
Selene yang melihat perubahan raut wajah Fiona mendadak bingung dan mulai membuka mulutnya, hendak bertanya namun satu suara membuyarkan pikirannya.
“Selene.”
Oh no.
Selene mengenal suara ini, suara yang sudah hampir selama setahun lebih memenuhi pikirannya. Selene menutup matanya dan menarik nafas panjang untuk menenangkan dirinya. Matanya terbuka saat tangan Fiona menggenggam tangannya dari bawah meja. Mata tajam gadis itu tampak masih memelototi pria yang saat ini berdiri di sebelahnya.
Selene Akhirnya menoleh menatap pria berambut hitam yang memanggil namanya tadi. Pria yang saat ini seharusnya sudah tak memiliki hubungan apa-apa dengannya lagi.
“...Matteo.”
“Sel.”“Selene.”“SELENE!”Panggilan terakhir itu membuat Selene sedikit tersentak.“Hah! Selene akhirnya menatap Fiona yang sedari tadi sudah memanggilnya beberapa kali semenjak dosen sudah keluar kelas. Saat ini kelas yang tadinya dipenuhi mahasiswa cuma tertinggal Selene, Fiona dan beberapa anak yang terlihat ingin melanjutkan tugas kelompok.“Are you okay? Kamu dari tadi kelihatan banyak pikiran”Selene menghela nafas sejenak. Memang benar, sejak makan malam semalam pikiran Selene langsung kemana-mana. Memang benar makan malam itu awalnya ditujukan untuk Leonard Romano agar bisa menemukan calon istrinya. Tapi tetap saja, Selene tidak menyangka di antara dirinya dan Rosetta, dirinya lah yang akan dipilih. Selene menggelengkan kepalanya untuk menjernihkan pikiran lalu menatap Fiona yang sedari tadi hanya terdiam menatap Selene dengan tatapan aneh.“Sel, what’s wrong?”‘What’s wrong? A lot!’Itu yang dipikirkan Selene tapi sekali lagi gadis itu hanya menghela nafas. “Ayo pergi du
“Fyuhhh katanya 30 menit malah lanjut hampir sejam-an”“Kau telat sih!”“Lah? Orang Prof. Adrian yang buat janji dadakan!”“Jangan berantem di depan sini…” Ucap Selene sambil menatap tiga teman setim-nya Pintu ruang dosen tertutup pelan di belakang Selene. Koridor kampus sudah sepi. “Kita ke resto ramen yang di simpang tiga depan yuk?” Ajak Fiona.“Boleh” kali ini Hana nyeletuk, dan Alex mengangguk.“Maaf guys… aku skip dulu ya? Aku ada janji” Jawab Selene dengan sedikit rasa bersalah.Untung saja teman temannya ini mengerti.“Kalau acaranya bagi-bagi warisan, aku minta jatah ya?” Celetuk Fiona dengan nada bercanda.Selene hanya terkekeh sambil melambaikan tangannya ke arah tim karya ilmiahnya, karena pamit terlebih dahulu karena ada janji penting. Gadis itu masih memegang catatan revisi saat langkahnya berhenti mendadak. Karena refleks melihat jam tangan.18:41.Makan malam Romano dijadwalkan jam 19:00. Dari kampus ke restoran saja sudah 20 menit dan itupun jika normal traffic, kal
Jendela kaca setinggi langit-langit membentang memenuhi satu sisi ruang kerja. Dari jendela yang membentang itu, pelabuhan utama kota terlihat seutuhnya. Dari atas situ, terlihat kesibukan pekerja serta peralatan peralatan berat dari Romano engineering corp.Kontainer satu persatu ditarik seperti bidak catur, pekerja berhelm tampak serupa titik-titik putih, serta percikan api las berkedip seperti kunang-kunang.Seorang pria dengan setelan hitam melekat sangat pas pada tubuh tinggi ramping. Mata biru itu menyapu pemandangan dari atas tower Romano, satu tangannya menggenggam mug berisi kopi.Pria itu, Leonard Romano CEO of Romano Engineering Corp.“Pak,” Robert, sekretaris pribadi Leonard membuka suara, “Para eksekutif masih mempertanyakan keputusan anda untuk melakukan pernikahan politik dengan Blackwood Corporation.”Leonard dengan tenang meminum kopinya.“Saya yang nikah kenapa mereka yang nolak?” Mendengar itu Robert berkata jujur.“Mereka ingin mendorong putri mereka untuk menjadi
Selene terdiam sejenak di depan beberapa potret yang terpampang di tembok kediaman keluarga Cromwell saat memasuki rumah mewah tersebut.Ada banyak potret di situ, dan hampir di setiap potret terdapat wajah Oliver Cromwell, kepala keluarga Cromwell dan CEO Cromwell corp saat ini.Selene berjalan menyusuri lorong tersebut dan melirik sebuah potret baru seorang wanita dengan riasan dan perhiasan yang terkesan mewah.Rietta Cromwell, Istri kedua Oliver.Disebelah potret itu terdapat potret seorang laki-laki berambut hitam, Ronan Cromwell. Anak pertama Rietta. Dibawahnya terdapat potret keluarga yang membuat Selene mendengus. karena potret itu hanya terdapat Oliver, Rietta, Ronan dan juga Rosetta, Adik tiri Selene.Adik tiri yang baru saja memungut sampah miliknya. Yah memang sama-sama sampah sih jadi cocok.Selene kembali berjalan dengan lebih cepat, tak sudi melihat potret keluar bahagia itu. seluruh tembok galeri itu dipenuhi oleh potret mereka.Namun dari sudut matanya, Selene melihat
"Ayo kita putus."Selene terpaku, ponsel dengan case berwarna lilac masih menempel di telinga, suara kafe berdengung samar di sekitarnya.Kalimat itu datang tanpa peringatan, membuat nafas Selene tercekat."Semua tentang kamu, kamu, kamu! Aku capek dengernya!"Lanjut suara di seberang, yang sampai pagi tadi masih ia sebut pacar."Terus terang... kamu gak nganggap aku pacar kan?"Detik itu, Selene terpaku, mata hazel-nya memanas dan pandangannya sedikit mengabur. Padahal lima menit sebelumnya, gadis itu masih tersenyum dengan penuh kebahagiaan.Gadis itu baru saja menerima email bahwa karya ilmiahnya terpilih untuk ajang kompetisi nasional, suatu hal yang ia kejar berbulan-bulan tanpa tidur yang cukup."Apa... maksudmu?"Padahal ia hanya ingin berbagi berita baik dengan orang yang seharusnya menjadi sandaran dan orang terdekatnya, Matteo Hickins, pacar yang sudah setahun lebih bersamanya.Sayang, dunia nyata tak seindah bayangannya."Kamu bahkan nggak sadar kalau kamu itu egois" ujar pr
Saat awal bertemu dulu, Selene mengira ia akan menikahi pria yang berbahaya dan harus diwaspadai. Pria dengan rambut pirang dan bermata biru itu terkenal dingin, to the point dan tidak suka basa-basi.. Orang-orang mengenal Leonard Romano sebagai pria yang hidup sesuai dengan nama yang diberikan padanya sejak lahir. Leonard, yang memiliki arti singa, dan juga simbol kekuatan, keberanian, dan kepemimpinan. Tidak salah... Tapi apakah kalian tahu jika singa itu masih satu keluarga dengan kucing? . . . Malam itu, dari dalam sebuah penthouse luas yang bernuansa monochrome seorang wanita berambut ash brown bergelombang sedang duduk santai di atas sofa berwarna abu-abu. Pendingin udara berdengung lembut, bercampur dengan aroma kopi yang baru saja diseduh gadis itu. Selene Romano dengan santai mengotak atik tablet yang berada di tangannya, sibuk menyelesaikan laporan penelitian yang belum ia selesaikan. Beberapa menit berlalu sampai pria yang katanya “berbahaya” itu muncul dari ar







