Suara tawa Gita menggema di dalam kamar hotel yang masih ditempatinya bersama sang suami. Tawa itu terus menggema, sementara Alan yang duduk di sofa yang jadi tempatnya tidur terlihat sangat cemberut.
"Bisa berhenti ketawanya?" tanya lelaki itu dengan kesal. "Habisnya pipimu bengkak gitu. Tenaga Bapak luar biasa ya." Gita masih tidak bisa berhenti tertawa. "Akting luar biasaku tidak sia-sia karena bisa melihat wajah lucumu.""Saya heran kenapa Bu G … amu gak jadi aktris saja." Alan melangkah ke arah kamar mandi dengan kesal, meninggalkan istrinya yang masih tertawa. Hari ini pasangan suami istri itu akan pulang ke rumah. Ke rumah orang tua Gita lebih tepatnya dan Alan sudah menduga hal ini. Tapi tetap saja dia merasa tidak nyaman. Padahal Gita sudah punya rumah sendiri, tapi Alex bersikeras pengantin baru ini akan tinggal bersamanya. Mau tidak mau Gita dan Alan harus setuju. Tentu saja mereka jadi harus lebih sering mesra-mesraan ketika di rumah. Saking malasnya terus berakting, Gita sempat memberi ide untuk lembur tiap hari, tapi ide itu langsung tenggelam ketika Alex melarang sang putri untuk lembur bahkan sebelum perempuan itu mengutarakan niatnya. Alex bahkan sudah mempersiapkan beberapa posisi yang bagus untuk Alan di kantor. Sayangnya, Alan menolak tawaran itu dan hanya mengucapkan terima kasih. Dia tidak mau naik jabatan hanya karena koneksi dan Alex menyukai sifat menantunya yang satu itu. "Hei siAlan, kau akan pergi ke apartemenmu kan?""Ya." Alan hanya menjawab istrinya dengan singkat, enggan mengundang perang. "Good. Aku ada urusan jadi kau pergi dan pulang sendiri.""Terserah.""Kurasa sekarang kau jadi lebih kurang ajar ya?" Gita menatap Alan dengan tatapan dingin. "Saya bicara santai dibilang kurang ajar. Bicara sopan dibilang gak bisa akting. Jadi saya harus gimana?""Itu urusanmu untuk mencari tahu. Kalau sudah selesai kita check out sekarang." Gita melenggang keluar dari kamar tanpa mempedulikan Alan lagi. ***Alan tiba di apartemen yang disewanya selama beberapa tahun terakhir sebelum jam makan siang. Alan tidak berniat membawa banyak barang, karena nanti salah satu adiknya akan tinggal di sana. Alan langsung melangkah ke satu-satunya kamar yang ada di sana. Mengambil koper dan mengemasi baju-bajunya. Alan menatap bajunya dengan miris. Sangat berbeda dengan yang digunakannya sekarang. Kemarin Alan memang meminta seseorang membelikannya baju, tapi tidak pernah menyangka dia akan dibelikan kemeja bermerk dengan harga jutaan. Harusnya Alan tidak meminta aspri mertuanya untuk beli pakaian, hanya karena mereka berteman. “Aku gak mungkin belikan menantunya Pak Alex baju murahan kan?” Itu yang dikatakan sang sahabat padanya.Ketika Alan masih sibuk dengan melipat pakaian, dia bisa mendengar bunyi bip pelan dari arah pintu. Jelas saja seseorang baru saja masuk ke apartemennya. "Mas Alan?" suara lembut seorang wanita yang dikenal Alan menyapa teinganya, membuat lelaki itu mengumpat dalam hati. Derap langkah terburu-buru yang didengarnya, membuat Alan bergerak lebih cepat. Dia tidak lagi melipat pakaiannya dengan rapi dan hanya memasukkannya asal ke dalam koper. "Mas Alan?" Isabella kini telah berdiri di depan kamar dengan wajah sendu dan mata sedikit bengkak. Wanita itu menatap Alan yang buru-buru mengepak pakaiannya. Alan lupa kalau Isabella juga bisa masuk ke apartemennya seenak hati. Perempuan itu kadang-kadang malah sampai menginap. Hanya menginap saja, tanpa melakukan hal lain selain tidur. Benar-benar hanya tidur sambil berpelukan. Karena itulah Alan merasa marah. Disaat Isabella selalu menolak jika disentuh Alan, wanita itu malah menjajakan tubuhnya ke banyak orang. Bukan Alan yang tidak bisa menahan diri, tapi pria mana yang mau diperlakukan seperti itu? Terlebih lagi, setelah sang sahabat memberitahu bahwa Isabella itu sebenarnya simpanan om-om kaya. Sebenarnya sudah sejak sebulan lalu sang sahabay memberitahunya, tapi Alan tidak percaya. Setelah dia memergoki mantannya di lift tempo hari, barulah Alan percaya dan dia juga sudah mendapat bukti tambahan lain dari sahabatnya."Mas Alan mau ke mana?" Isabella bertanya dengan raut sedih. "Dua hari ini Mas Alan nginap di mana. Aku datang, tapi tidak ada orang di sini" perempuan itu berjalan mendekati Alan. "Jangan mendekat." Alan menjulurkan tangannya untuk menghentikan sang mantan."Mas. Mas Alan boleh marah sama aku, tapi jangan kayak gini. Jangan tinggalin aku.""Kamu yang duluan ninggalin aku Bell.""Aku gak ada niatan seperti itu Mas. Itu semua hanya kerjaan saja, gak lebih.""Lalu bagaimana dengan yang namanya Erik?" Alan menghentikan kegiatannya dan menatap sang mantan dengan tajam. "Bagaimana Mas Alan .... " Isabella menggantungkan kalimatnya karena merasa terkejut."Let's say, saya punya teman baik yang mau memberi tahu saya kalau kamu itu gak benar. Tukang selingkuh." Untuk fakta yang satu ini, Alan tidak kegeratan untuk memberibtahu."Sumpah Mas, aku... Aku gak bermaksud seperti itu. Tadinya aku mau berhenti Mas.""Tapi tidak kan?" Alan segera menyela, sebelum mantannya berbicara lagi. "Bukan hanya wanita yang gak suka diduakan Bel. Lelaki juga gak suka. Terutama aku." Saking marahnya Alan melupakan sikap formalnya pada sang mantan.Isabella tidak mampu lagi membalas mantan kekasihnya dan Alan bersyukur dengan itu. Bagaimana pun juga Alan tidak suka berdebat dengan mantannya itu. Itu membuatnya kembali mengepak barangnya dengan gerakan lebih cepat. "Mas, please. Kasih aku kesempatan sekali saja. Aku pasti berhenti kerja, aku akan ninggalin Mas Erik. Aku bahkan sudah pergi cari kerjaan tadi Mas.""Sayangnya semua itu sudah terlambat. Kamu gak punya kesempatan lagi."Setelah apa yang terjadi dengan ibunya dulu, Alan sama sekali tidak bisa mentoleransi yang namanya perselingkuhan. Tidak akan pernah, apa pun itu alasannya.Setelah Alan selesai, dia dengan sangat cepat berjalan melewati Isabella. Tak butuh waktu lama untuk perempuan itu untuk mengejar dan mencengkram lengan Alan."Lepas Bel, jangan sampai saya kasar sama kamu.""Gak, Mas. Aku gak akan lepas sampai Mas Alan mau maafin aku.""Ok Fine. Kamu dimaafkan." Alan menjawab cepat, enggan tinggal berlama-lama di sana. Perlahan Isabella melepas pegangannya pada Alan. "Terima kas ...." Belum sempat menyelesaikan perkataannya, Alan sudah memotong. "Dimaafkan tidak berarti diberi kesempatan. Kamu sudah terlambat." Alan kembali menegaskan dan segera keluar dari unitnya. Isabella terdiam tak berkutik sama sekali. Ketika perempuan itu mendengar bunyi pin yang ditekan dari pintu, senyumnya kembali mengembang. Alan kembali padanya, dia tahu lelaki itu tak mungkin hidup tanpanya, begitu pula sebaliknya. Isabella menunggu penuh harap. Semenit kemudian pintu kembali terbuka dan Alan ada di sana. Sesuai dengan dugaan Isabella, otomatis membuat senyumnya makin mengembang. Tapi baru juga perempuan itu mau melangkah, Alan sudah duluan bersuara. "Tolong bereskan semua barang-barangmu yang ada di sini. Tempat ini akan ditinggali oleh orang lain, jadi tolong jangan datang lagi. Aku juga sudah mengubah sandi pintunya barusan." Alan berhenti sesaat, sebelum melanjutkan, "Dan jangan pernah mencariku lagi."Setelah menyelesaikan kalimatnya, Alan membanting pintu dan segera pergi. Meninggalkan Isabella yang sudah tidak bisa menahan air matanya. ***To be continued***Haduh, Isabella.😭
“Siapa yang punya ide bodoh, untuk mengumpulkan anak-anak ini di sini?” Gita hanya bisa menghela napas, ketika mendengar adiknya mengeluh. Bagaimana tidak, sekarang rumah orang tua mereka tiba-tiba saja berubah menjadi taman bermain anak-anak. Bukan hanya ada anak-anak Gita dan saudara perempuannya, tapi ada juga anak-anak Eza di sana. Total, ada sembilan anak kecil yang sedang berteriak dan berlari di ruang tengah rumah besar itu. “Maaf.” Pada akhirnya, Gita yang mengatakan hal itu. “Aku tidak benar-benar berpikir kalau Eza akan benar-benar membawa semua anak-anaknya.” “Hei, kau mengundang semua anakku,” hardik Eza terlihat agak kesal. “Memangnya apa yang akan kau dapatkan, ketika mengadakan pesta ulang tahun untuk anak-anak?” Gita kembali menghela napas karena mendengar pembelaan diri yang sangat benar itu. Tapi dia sama sekali tidak berniat untuk membuat acara besar untuk ulang tahun pertama putra keduanya. Rencananya hanya makan-makan bersama dengan keluarga besar
“Wah, kau benar-benar luar biasa.” Eza baru membuka pintu rumahnya, dan sudah langsung disambut kalimat bernada ejekan dari sang sahabat. Gita Bramantara, baru saja tiba di depan pintu rumahnya. “Berhenti menatapku dengan pandangan mencemooh seperti itu sialan,” desis Eza merasa sangat kesal. “Tunggu saja giliranmu nanti, Ta.” “Maaf, tapi aku tidak ingin punya banyak anak.” Gita mengangkat kedua tangannya. “Lagi pula, akan sulit kalau aku tidak benar-benar berusaha.” Eza menghela napas mendengar apa yang dikatakan sahabatnya barusan. Dia sebenarnya masih ingin memprotes, tapi merasa tidak tega juga. Biar bagaimana, Gita memang agak kesulitan mendapat anak. “Bagaimana keadaan Teddy?” Pada akhirnya, Eza mengalihkan pembicaraan saja. Tentu setelah mempersilakan tamunya masuk ke dalam rumah. “Dari pada menanyakan keadaan anakku yang sedang tertidur pulas, bagaimana kalau aku yang menanyakan keadaanmu saja? Apa kau baik-baik saja?” Eza meringis mendengar pertanyaan sahabatnya itu.
“Akhirnya kau bangun juga?” Dina mengembuskan napas lega begitu melihat Eza terbangun. Eza mengerjap beberpa kali untuk memastikan apa yang dilihatnya bukan ilusi. Syukurnya bahkan setelah Eza mengucek matanya, Dina masih terlihat. Ini bukan ilusi, tapi apakah ini mimpi lagi? “Dina? Apa yang kau lakukan di rumahku?” Eza bertanya dengan nada bingung. Eza makin terlihat bingung ketika menyadari Dina berada di kamar tidurnya dan Danny tidak terlihat dimana pun. Bagaimana Dina bisa tahu tentang rumah barunya? “Tenang saja, suamimu ada di lantai bawah. Dia tidak lari kok dan pernikahan kalian kemarin itu nyata.” Dina tersenyum melihat kebingungan di wajah saudara kembarnya itu. Eza yang tadinya masih berbaring, kini sudah duduk di pinggir ranjang dan meminta Dina duduk di sebelahnya. “Kenapa kemarin kau tidak hadir? Aku menunggumu loh.” Eza memprotes Dina yang tidak terlihat dimana-mana saat acaranya kemarin. “Kata siapa? Aku datang kok, kau saja yang tidak melihatku.” “Benar
"Mary? Kok cemberut sih?" Danny sedang mencoba melihat wajah tunangannya itu. Sudah sejak kemarin malam Mary-nya cemberut. Dia selalu memalingkan wajah saat berbicara dengan Dann,dan hal itu membuat Danny jadi frustasi. Bahkan saat sedang berdua di dalam mobil seperti ini pun, Mary tetap memalingkan muka. Membuat Danny meminggirkan mobilnya. Sebenarnya Danny sudah bisa menebak apa yang membuat kekasihnya itu cemberut. Dia pastinya kecewa dengan keputusan semalam. Semua orang memaksanya untuk menikah dalam bulan ini juga. Alasan Attha memang cukup masuk akal dan Xavier juga sudah setuju dengan hal itu. Apalagi Danny yang sudah tidak sabar bisa berduaan saja dengan Mary sesuka hatinya. Tapi sepertinya Mary tidak terlalu setuju dengan hal itu. "Apa segitu tidak cintanya kau padaku sampai tidak mau cepat-cepat menikah denganku?" Danny mengeluh frustasi. Takut jika Mary meninggalkannya. Mendengar pertanyaan tunangannya, Eza refleks berbalik ke arah Danny. Keningnya berkerut, ti
Eza bersenandung riang di depan cermin. Dia sudah mengenakan bajunya dan makeup-nya juga sudah terasa sangat sempurna. Sekarang hanya tinggal menungggu anak-anak siap dan mereka akan berangkat ke acara peluncuran produk baru Mar. “Sudah siap, Za?” Fika muncul dari balik pintu. “Anak-anak sudah siap?” Eza balik bertanya. “Udah.” “Kalo gitu ayo pergi,” seru Eza tidak sabar. Eza tiba sedikit lebih awal dari waktu yang direncanankan. Kru Eza juga sudah lebih dulu sampai untuk menyiapkan beberapa hal. Dan tentu saja mereka semua disambut dengan baik. Apalagi karena Eza sudah dikenal oleh semua karyawan Mar. Pada awalanya semua berjalan norma saja. Tidak ada hal yang aneh dan kata-kata Gita kemarin malam tentang ‘lamaran’ juga tidak mempengaruhi Eza sama sekali. Eza sibuk berkeliling tempat acara untuk melakukan live. Tidak terlalu lama karena dia tidak mau meninggalkan anak-anak terlalu lama. Dia yang belum mau memperlihatkan wajah anak-anaknya di depan kamera, juga mendapat
“Bisa gak sih, jangan menghela napas terus? Bikin sial tahu gak,” Ian berseru kesal. Bagaimana tidak? Entah sudah berapa kali Danny bolak balik seperti setrikaan rusak sambil mendesah atau menghela napas. Itu benar-benar membuat Ian pusing. “Aku gugup.” Danny mengaku pada sahabatnya itu. “Lalu apa dengan kau menjadi gugup seperti ini masalahmu akan selesai?” Ian bertanya dengan gemas. “Tidak akan, Dan. Jadi berhentilah mondar-mandir seperti itu.” Danny akhirnya menuruti kata-kata Ian. Dia duduk di kursi kosong di sebelah Ian, tapi jelas masih merasa gugup. Danny makin gugup ketika pihak dari EO mengatakan acaranya sudah bisa dimulai. Intinya acara berjalan sesuai rencana. Pertama-tama Danny dan Ian menyapa beberapa tamu dan influencer, sebelum masuk ke acara utama. Termasuk Eza yang sedang live. Eza hari ini memilih memakai halter dress berwarna hijau zamrud dengan bahan brokat dan hanya menutupi setengah pahanya. Pilihan pakaian Eza jelas membuatnya terlihat makin cantik dan