Nadya sudah berdiri di loby apartemen dengan koper besar miliknya. Ia tengah menantikan taksi online yang dia pesan untk mengantarkan dirinya ke bandara. Ia membalikkan badan, menatap nanar apartemen yang merangkap hotel bintang lima di kota ini.
Baru sebentar dia tinggal di sini dan dia harus segera pergi, sungguh rasanya masih begitu berat untuk Nadya pergi. Tapi mau bagaimana lagi? Masa depan dan kelangsungna hidupnya dipertaruhkan.
Tak perlu waktu lama, mobil minibus putih itu berhenti di depannya, menurunkan kaca mobil dan sosok laki-laki muda itu tersenyum ke arahnya.
“Dengan Mbak Nadya Anggranesia?”
“Ya itu saya, Pak.”
Sosok itu segera turun dari mobilnya, membuka bagasi belakang dan membawa koper yang Nadya masuk ke dalam bagasi.
Sekali lagi Nadya menoleh, menatap gedung itu untuk terakhir kalinya. Apakah kelak ia masih bisa kesini? Apakah Tuhan masih akan memberinya kesempatan untuk hidup lebih lama lagi? Har
“Maafkan saya, Sel.” Desis Nadya lirih ketika ia melepaskan pelukan itu, air matanya menitik, ia benar-benar merasa bersalah pada gadis itu. “Saya mengerti, Dokter. Sudah lupakan yang sudah terjadi. Sekarang fokus pada pengobatan Dokter di sana, saya percaya sejawat yang ada di sana bisa membantu Dokter untuk sembuh.” Nadya menyeka air matanya, ia mengangguk pelan. “Sel, panggil saja Nadya. Jangan sekaku itu kepadaku,” Nadya tersenyum, tidak salah kalau kemudian Anggara jatuh hati pada Selly, dia begitu manis. “Oke baik, semua atas permintaan Kakak, ya?” Selly ikut menyeka air matanya, tawanya lepas. Nadya ikut tertawa, ia kemudian melepas gelang mutiara yang dulu ia beli dari Lombok, mutiara asli laut Lombok yang begitu cantik, ia melingkarkan gelang itu di pergelangan tangan Selly, menatap manik mata Selly dan kembali tersenyum. “Maaf bukan barang baru, tapi itu salah satu barang kesayangan aku, Sel. Aku percaya kamu bisa jaga itu ba
“Seorang laki-laki usia 52 tahun datang dengan keluhan sesak nafas. Sesak sudah dua jam dan memberat dengan aktivitas. Pemeriksaan TD 190/100, FN 130x/i, FP 30x/i dengan saturasi oksigen 88%. Apakah diagnosis yang paling mungkin?” Anggara menatap sang isteri yang nampak berpikir keras. Semenjak beres melaksanakan kewajiban koasnya, kini Anggara dengan rutin memberi pelatihan soal dan penjelasan menjelang sang isteri ujian UKMPPD dan OSCE demi mendapatkan gelar dokternya. Sebuah rutinitas yang membuat Anggara harus banyak sekali flashback dengan materi-materi UMKPPD dan kasus-kasus tersering yang pernah muncul di IGD dulu ketika dia koas, internship dan sewaktu masih berstatus dokter umum. “Edem paru akut.” Jawab Selly mantab yang diikuti anggukan kepala Anggara. “Lanjut!” ujarnya kemudian yang sontak membuat Selly kembali fokus menyimak sang suami. “Seorang perempuan usia 30 tahun, dibawa suaminya ke klinik bidan dengan keluhan mules dan kelua
"Belajar dari mana?"Tanya Anggara ketika Selly muncul dari kamar mandi. Baru tahu dia ternyata sang isteri bisa dan cukup jago melakukan itu, padahal selama ini rasanya Anggara tidak pernah memaksa Selly melakukan hal itu."Menurutmu?" Guman Selly balik bertanya, ia duduk di depan meja riasnya, menatap bayangan dirinya di cermin."Nggak diajari orang lain, kan?" Anggara kini berdiri di belakang sang isteri, menatap pantulan cermin yang menampilkan siluet mereka dengan begitu sempurna.Selly tekekeh, "Aku bisa belajar secara mandiri masalah itu, jadi jangan khawatir."Anggara tersenyum, mengelus lembut kepala sang isteri, mengecup puncak kepalanya penuh cinta."Terima kasih banyak," desis Anggara tulus."Untuk?""Semuanya yang tidak bisa aku sebut satu per satu, Sayang."***"Benarkah aku masih punya harapan hidup?" Tanya Nadya dengan suara tertahan.Jujur ia pesimis, terlebih dia bergelut dengan dunia medis
"Astaga!" Selly hampir memekik ketika melihat ruang tamu dan ruang tengahnya sudah penuh dengan balon warna biru dan putih di lantai, ini serius balon yang dipakai sebanyak itu?"Bagus, kan?" Anggara nyengir lebar, tampak ya masih begitu serius dengan alat pompa balon dan balon-balon yang tercecer di meja.Sementara Felicia tampak begitu riang bermain dengan balon-balon yang sudah di pompa Anggara."Ini buat apa sebanyak ini, Ko?" Selly hampir histeris, kan cuma ulangtahun kecil-kecilan, hanya keluarga yang diundang dan balon yang dipakai sebanyak ini?"Ah sudahlah, lihat saja nanti hasilnya." Anggara kembali serius dengan pompa dan balon di tangannya, sementara Selly membawa Gilbert kembali naik ke lantai atas, daripada pusing melihat balon-balon yang tengah dipompa sang suami, balon yang hampir memenuhi ruang tengah mereka yang ada di lantai bawah itu.Anggara hanya tersenyum, bakat terpendamnya dalam hal dekorasi sepertinya hari ini harus dia pa
“Siap?”Anggara tersenyum, ia menatap sang isteri yang sudah rapi pagi ini. Nampak wajah itu begitu tegang, bagaimana tidak tegang kalau setelah ini ia harus berjuang mengerjakan soal-soal itu demi lulus dan memperoleh gelar dokternya secara resmi.Orang-orang pikir, begitu lulus sarjanan kedokteran, para dokter langsung otomatis dapat gelar mereka? Gelar dokter dan langsung bisa bukan praktek? Tidak semudah itu kawan!Mereka harus koas, ujian-ujian lagi, lulus koas masih harus UKMPPD, OSCE, dan baru lah gelar dokter itu tersemat di depan nama mereka.Namun tidak seketika mereka langsung bisa bekerja, untuk bisa mendapatkan STR (Surat Keterangan Registrasi) dan SIP (Surat Izin Praktek), mereka masih harus internship, atau bahasa awamnya magang, dimana sebagaian besar dari mereka tidak mendapatkan gaji.Ada pun beberapa dari dokter internship mendapatkan bantuan biaya hidup, semua tergantung dari daerah tempat internship masing-masing. J
"Jangan ngajak bahas soal tadi!" Salak Selly sambil memanyunkan bibirnya, tampak matanya memerah, ia benar-benar khawatir dengan hasil ujiannya tadi.Anggara tersenyum, meraih sang isteri ke dalam dekapan lalu mengecup lembut kening Selly yang nampak masih terbawa suasana dengan ujiannya hari ini."Sudah lah, aku percaya isteriku bisa, kamu pasti lulus, Sayang." Guman Anggara mencoba menghibur sang isteri.Selly melirik sang suami, menatapnya lekat-lekat, "Kalau ternyata nggak lulus?"Anggara tersenyum, meraup wajah Selly dengan kedua tangan."Masih ada ujian UKMPPD batch selanjutnya."Selly sontak menggebuk gemas lengan sang suami, air matanya menitik. Terserah mau dikatakan lebay atau apa, dia tidak peduli, yang jelas dia benar-benar takut tidak lulus.Walaupun tadi ia yakin sudah mengerjakan semua dengan benar, tapi tidak ada yang tahu dan menjamin bahwa dia akan lulus, bukan?Pasalnya beberapa soal tadi Selly sadar betul ba
Sosok dengan snelli lengan panjang itu melangkah menyusuri koridor rumah sakit. Mata birunya tampak begitu tenang, begitu dalam dan tampak sangat cantik jika pemiliknya adalah seorang perempuan, namun sayang dia adalah laki-laki. Sedikit tidak pantas menyematkan kata ‘cantik’ sebenarnya, namun mau bagaimana lagi? Mata biru itu benar-benar begitu cantik. Ia melangkah menghampiri nurse station dan meraih beberapa map di sana. “Jadwal operasinya sudah di tentukan oleh dokter Raineer, Dok.” Lapor salah seorang perawat ketika sosok itu tampak membaca lembar map status pasien yang terhantar di meja. “Kapan?” tanya sosok itu begitu irit. “Lusa.” Sosok itu tampak menghela nafas panjang, ia hanya mengangguk, mengembalikan map status itu dan melangkah pergi tampa berkata-kata apapun lagi. Beberapa perawat hanya menatap nanar langkah dokter bedah saraf itu tanpa berkata-kata. Sosok satu itu memang terkenal dingin, tidak banyak b
Sosok dengan mata biru itu tersenyum ketika mendapati wanita itu juga melakukan hal yang sama ketika ia melangkah masuk ke dalam ruangan inap itu. Meskipun kondisinya sangat memprihatinkan sekarang, namun itu sama sekali tidak membuat Wilhem merasa aneh dan tidak nyaman dengan raut wajah yang menggambarkan penderitaan yang tengah ia alami.“Bagaimana dengan hari ini, Babe?” sapanya lalu menjatuhkan sebuah kecupan di kepala yang begitu polos, sangat polos bahkan sehelai rambut halus pun tidak ada di sana.“Seperti yang kamu lihat, bagaimana menurutmu?” balasnya sambil tersenyum getir.“You are great, Nad!” desisnya lirih sambil tersenyum, meraup wajah itu dengan satu tangan dan tersenyum begitu manis ke arahnya.Nadya menatap nanar wajah yang terpahat begitu indah di hadapannya ini. Dulu Nadya pikir pahatan yang begitu indah dan paripurna itu hanya menempel pada wajah Anggara saja, nyatanya ada yang lebih sempurna dan ya