"Untuk apa berharap pada akar yang lapuk? Tak ada rotan, akar pun jadi. Tak ada akar? Masih ada rotan, bukan?"
***
Nadya menatap nanar lalu lalang orang-orang yang ada di sekitarnya, ia sudah mendaftar ke poli saraf, bukan untuk melanjutkan pemeriksaan seperti yang sudah dokter Ridwan sarankan, melainkan untuk meminta segala macam data rekam medisnya untuk di bawa ke Jerman.
Sudah saatnya Nadya memikirkan dirinya sendiri, setidaknya Natasya benar, siapa yang akan memikirkan dirinya kalau bukan Nadya sendiri.
Sekali lagi ia mengalami penolakan. Anggara dengan tegas menolaknya, bahkan ajakan untuk semalam tidur bersamanya pun dia tolak mentah-mentah. Padahal apa susahnya sih menuruti apa yang Nadya mau? Bukankah beberapa pria sangat menyukai aktivitas itu, sampai terkadang kucing-kucingan dengan pasangan mereka, membohongi pasangan mereka, dan lain sebagainya.
Dan Anggara, Nadya menawarkan tubuhnya,
Nadya menitikkan air mata, dokter Budiyanto menghela nafas panjang, ia sudah selesai meneliti satu persatu dokumen hasil pencitraan yang Nadya sodorkan pada mejanya. Kebetulan di radiolog, jadi ia paham betul dengan apa arti dari hasil yang terhantar di mejanya itu."Saya ikut prihatin dengan apa yang terjadi pada Anda, dokter Nadya. Sayang sekali dokter harus mundur dari jajaran dokter yang rumah sakit ini miliki.""Saya mohon maaf, Dok. Semua diluar kendali saya, saya jujur syok dengan hasil pemeriksaan saya sendiri." Nadya menyeka air matanya, matanya memerah dan basah."Saya mengerti, Dokter. Belum jadi biopsi ya berarti?" Dokter Budi tidak menemukan lembar laboratorium yang menerangkan hasil biopsi sejawatnya itu."Belum, karena keluarga meminta saya pergi besok itu juga, Dokter."Kembali dokter Budi hanya mengangguk, kemudian memasukkan kembali print out hitam putih itu ke dalam tempatnya. Menyusunnya dengan rapi di atas meja."Saya do
"Eh-eh ... Kenapa sih Sayang?" Anggara terkejut luar biasa ketika malam itu Selly menariknya paksa dan membuatnya jatuh ke atas ranjang, ia langsung memeluk Anggara erat-erat."Capek nggak malam ini?" Tanya Selly yang kemudian merangkak naik ke atas tubuh Anggara yang sontak terbengong melihat tingkah isterinya malam ini."Kalau capek kenapa, kalau enggak kenapa?" Ujar Anggara balik bertanya yang sontak membuat Selly mencebik kesal."Jawab dulu apa susahnya sih?" Ia sontak mencubit hidung Anggara, mendadak kesal dengan suaminya itu."Ya kamu jawab dulu, nanti baru aku jawab." Anggara tersenyum menggoda, melipat dua tangannya dibawah kepala sambil menatap sang isteri lekat-lekat."Kan aku duluan yang bertanya!" Selly menggebuk lengan Anggara, wajahnya berubah manyun."Ya aku baru mau jawab kalau kamu jawab duluan!"Selly memutar bola matanya dengan gemas, ia sontak turun, menarik celana Anggara dengan paksa."Eh apaan? Nggak!" A
“Jika kamu mencintai sesuatu, maka biarkan lah dia pergi. Jika dia kembali, maka dia milikmu, jika tidak, maka memang tidak akan pernah.” *** Nadya menatap nanar koper besar yang berisi baju-bajunya itu. Baru sebentar di tiba di sini, Nadya harus rela kembali pergi dan sekarang pergi lebih jauh lagi. Bukan hanya beda kota, tetapi juga beda negara dan benua. Padahal ia dulu dengan begitu susah payah dan sabar menantikan posisi dokter anestesi RSUD itu kosong, sehingga ia bisa mendaftar dan bertemu kembali dengan Hermes-nya. Tapi apa boleh buat? Tuhan seolah tidak mengizinkan Nadya dekat dengan sosok itu, bahkan kini Dia hendak mengirim Nadya begitu jauh, sangat jauh malah kalau kemudian semua usaha Nadya berobat sia-sia. Nadya menutup kopernya, menyeret benda besar itu ke sudut ruangan. Ia hanya akan membawa baju dan beberapa berkas dokumennya, karena apartemen ini dia sewa sekaligus dengan furniture di dalamnya, jadi ia tidak
“Bahagia itu tentang aku dan kamu, bukan tentang hal yang lain lagi.”***Anggara tersenyum ketika sang isteri mendekapnya erat-erat setelah berhasil ia buat memekik keras beberapa saat yang lalu. Keringat mereka banjir, sedikit membuat gerah dan lengket namun itu tidak membuat Selly lantas melepaskan diri dari Anggara.“Kenapa sih? Nempel mulu?”Anggara menyentil hidung sang isteri, ia benar-benar gemas kalau dia bertingkah seperti ini.“Tidak ada undang-undang atau perpu yang melarang seorang isteri memeluk dan menempel terus pada sang suami, mengerti?”Anggara sontak tertawa terbahak-bahak.“Jadi sekarang pakai perpu dan undang-undang?” tanyanya sambil mengelus dahi Selly yang penuh keringat.Selly tidak menjawab, menikmati aroma tubuh Anggara yang baginya seperti aromatherapy yang menenangkan. Ia sangat suka aroma alami tubuh Anggara, entah mengapa, y
“Jika kau tahu, memisahkan kadang bukan semata-mata karena ingin menyiksa, namun karena ingin melihat kamu bahagia tanpa bayang-bayang dia!”***Natasya tersenyum, ia meletakkan lembar status pasien itu di meja. Hari ini sang kakak akan pergi ke Jerman sesuai apa yang sudah Natasya rencanakan dan persiapkan. Sebenarnya bukan hanya dia seorang yang merencanakan semua ini, karena kedua orang tuanya pun ikut serta dalam upaya penyembuhan sang kakak, Nadya.Bukan hanya penyembuhan penyakitnya, tetapi juga penyembuhan hatinya. Yang mana dia sudah cukup lama membelenggu diri hanya demi mencintai laki-laki yang sama sekali tidak pernah mencintai dirinya.Laki-laki yang selama ini hanya menganggap dia sebatas sahabat. Tidak pernah memiliki perasaan yang sama, seperti yang Nadya miliki untuk dia.Tidak ... Natasya tidak bisa menyalahkan Anggara juga dalam hal ini. Karena tidak ada yang berhak memaksa dia membalaskan cin
Nadya sudah berdiri di loby apartemen dengan koper besar miliknya. Ia tengah menantikan taksi online yang dia pesan untk mengantarkan dirinya ke bandara. Ia membalikkan badan, menatap nanar apartemen yang merangkap hotel bintang lima di kota ini.Baru sebentar dia tinggal di sini dan dia harus segera pergi, sungguh rasanya masih begitu berat untuk Nadya pergi. Tapi mau bagaimana lagi? Masa depan dan kelangsungna hidupnya dipertaruhkan.Tak perlu waktu lama, mobil minibus putih itu berhenti di depannya, menurunkan kaca mobil dan sosok laki-laki muda itu tersenyum ke arahnya.“Dengan Mbak Nadya Anggranesia?”“Ya itu saya, Pak.”Sosok itu segera turun dari mobilnya, membuka bagasi belakang dan membawa koper yang Nadya masuk ke dalam bagasi.Sekali lagi Nadya menoleh, menatap gedung itu untuk terakhir kalinya. Apakah kelak ia masih bisa kesini? Apakah Tuhan masih akan memberinya kesempatan untuk hidup lebih lama lagi? Har
“Maafkan saya, Sel.” Desis Nadya lirih ketika ia melepaskan pelukan itu, air matanya menitik, ia benar-benar merasa bersalah pada gadis itu. “Saya mengerti, Dokter. Sudah lupakan yang sudah terjadi. Sekarang fokus pada pengobatan Dokter di sana, saya percaya sejawat yang ada di sana bisa membantu Dokter untuk sembuh.” Nadya menyeka air matanya, ia mengangguk pelan. “Sel, panggil saja Nadya. Jangan sekaku itu kepadaku,” Nadya tersenyum, tidak salah kalau kemudian Anggara jatuh hati pada Selly, dia begitu manis. “Oke baik, semua atas permintaan Kakak, ya?” Selly ikut menyeka air matanya, tawanya lepas. Nadya ikut tertawa, ia kemudian melepas gelang mutiara yang dulu ia beli dari Lombok, mutiara asli laut Lombok yang begitu cantik, ia melingkarkan gelang itu di pergelangan tangan Selly, menatap manik mata Selly dan kembali tersenyum. “Maaf bukan barang baru, tapi itu salah satu barang kesayangan aku, Sel. Aku percaya kamu bisa jaga itu ba
“Seorang laki-laki usia 52 tahun datang dengan keluhan sesak nafas. Sesak sudah dua jam dan memberat dengan aktivitas. Pemeriksaan TD 190/100, FN 130x/i, FP 30x/i dengan saturasi oksigen 88%. Apakah diagnosis yang paling mungkin?” Anggara menatap sang isteri yang nampak berpikir keras. Semenjak beres melaksanakan kewajiban koasnya, kini Anggara dengan rutin memberi pelatihan soal dan penjelasan menjelang sang isteri ujian UKMPPD dan OSCE demi mendapatkan gelar dokternya. Sebuah rutinitas yang membuat Anggara harus banyak sekali flashback dengan materi-materi UMKPPD dan kasus-kasus tersering yang pernah muncul di IGD dulu ketika dia koas, internship dan sewaktu masih berstatus dokter umum. “Edem paru akut.” Jawab Selly mantab yang diikuti anggukan kepala Anggara. “Lanjut!” ujarnya kemudian yang sontak membuat Selly kembali fokus menyimak sang suami. “Seorang perempuan usia 30 tahun, dibawa suaminya ke klinik bidan dengan keluhan mules dan kelua