Eric berada dirumah Allen selama 3 hari untuk penyembuhan. Hingga akhirnya Eric dihubungi anak buahnya untuk segera pergi dari tempat itu karena musuh sudah mengetahui rumah Allen dan mengelilinginya. Eric dan Allen bicara empat mata mencari cara untuk keluar karena sudah dikepung.
“Ayah, kita dikepung,” kata Ghea yang terdengar khawatir namun berusaha menenangkan diri dan memaksakan berani. “Aku akan….” “Ghea…”Panggil Allen dengan serius. Baru kali ini ayahnya memanggil langsung dengan namanya. Biasanya selalu memanggil ‘sayang’ ataupun ‘Ghea sayang’. Jika seperti ini, berari ayahnya sungguh memberi peringatan pertama agar ia menuruti perkataannya tanpa bertanya-tanya. Ghea mendekat. “Ikuti Eric! Percayai dia!” Alis Eric berkerut. “Ayah, kita pergi sama-sama.” “Ayah tidak ada waktu untuk menjelaskan, sayang. Ayah harap kamu baik-baik saja.” Tanpa menunggu jawaban putrinya, ia menoleh pada Eric. “Jaga dia!” Eric mengangguk. Eric menggandeng Ghea keluar melewati pintu belakang. Sebenarnya juga cukup merepotkan karena harus melewati rumah orang lain. Eric sudah menghubungi anak buahnya untuk menunggu depan restorant yang cukup jauh dari kompleks. Namun, sepanjang perjalalan memang sangat ramai jadi mereka dapat berbaur dan sulit ditemukan. Tidak memungkinkan juga jika memasuki kompleks itu dengan mobil karena jalanan disana sempit dan banyak anak kecil. Dengan langkah agak cepat Eric terus menggandeng tangan Ghea. Sampai berkali-kali gadis itu hampir tersungkur karena langkahnya yang lebar. Gadis itu juga terlihat sangat lelah karena bergumul dengan ketegangan dan tenaga ekstra untuk mengimbangi langkah Eric. “Eric, bisakah agak pelan?” mohon gadis itu. Eric bukan tak peka melihat peluh gadis itu yang sudah mengalir di wajahnya. Jaraknya kini dengan lokasi tadi memang sudah cukup jauh. Namun kemungkinan terkejar masih besar. Jadi ia tak bisa lengah begitu saja. Ia berada diambang bimbang. “Kita akan istirahat di mobil,” katanya menenangkan. Ghea mendengus pelan. Ia menatap Eric lamat-lamat disela langkahnya yang memelan. ‘mengapa ayahnya begitu percaya pada lelaki ini?” batinnya. “Tidak ada waktu untuk melamun, Ghea.” Eric menarik tangannya cepat menuju lorong kecil kemudian jongkok dibalik tumpukan tong-tong dan plastic. Eric mengamati sekitar dengan cermat. Jika ia tak salah duga, perempatan ini pasti tempat penyergapan paling tepat. Berjajar rumah besar yang kosong, jalanan yang sepi, dan satu-satunya jalan terobosan yang menghubungkan ke jalan raya. Jadi kemungkinan besar musuh banyak yang berada di sekitar sini. Dan dugaannya benar, beberapa lelaki serba hitam dengan senjata lengkap berseliweran disana. Eric menoleh kebelakang memastikan gadis yang dibawanya ini aman. Ya, aman. Namun kini hatinya yang tak aman. Tatapan gadis itu tertuju padanya dengan sangat intens. Terlebih keduanya sangat dekat hingga Eric dapat melihat bayangannya dalam bola mata hitam Ghea. “Bukan saatnya melamun!” ucapnya bercampur kikuk. Ia kembali mengamati sekitar. Musuh masih saja berkeliaran. “Aku beri kamu waktu lima menit menetralkan nafasmu dan mengembalikan kondisi tubuhmu. Setelah itu kita akan berlari secepat mungkin keluar dari tempat ini.” Tanpa babibu, Ghea menarik nafas dalam-dalam, lalu mengeluarkannya dari mulut. Terus berulang dengan suara yang cukup untuk masuk ke telinga Eric. Karena ia sendiri juga tak mau menyia-nyiakan waktu sedetikpun dari sedikit menit yang diberikan Eric. Bahkan ia juga membuka mulutnya lebar-lebar agar bisa mengeluarkan karbondioksida dari paru-parunya dengan lepas. Eric yang mendengar nafas gadis itu merasa agak geli. Respon gadis itu sungguh konyol dimatanya. Usai lima menit berlalu, barulah Eric kembali menoleh pada Ghea. “Siap?” Gadis itu itu terlihat ragu-ragu dan takut. Apalagi berkali-kali ia melihat orang-orang yang berseliweran itu membawa pistol. “Kalau menjawab belum siap, boleh?” Ghea nyengir. Bibir Eric terbuka sedikit. Ia sungguh tak menyangka kalau anak seorang mafia terganas adalah gadis yang sangat kekanak-kanakan. Ia mendengus lalu menatap Ghea dengan muram nan tajam. “Ini serius,” desisnya. “Ini juga serius,” sanggah Ghea. Eric sungguh malas jika harus meladeni tingkah Ghea. Ia mengeluarkan sebuah pistol kemudian meletakknya ditelapak tangan Ghea. “Pakai ini! Jangan sampai seseorang menembakmu.” Mata Ghea terbelalak. Kemudian menatap Eric dengan kesal. “Ayah menyuruh kamu buat jaga aku kan?”ia mengembalikan pistol itu ke tangan Eric. Lelaki 25 tahunan itu geram dengan perkataan Ghea. “Tapi aku bukan bodyguardmu. Jadi jangan berkata seolah-olah aku bawahan ayahmu.” Jika Ghea tahu dulu ia memang bawahan ayahnya, mungkin ia kan sewenang-wenang dengannya. Mata bening Ghea berubah suram penuh penyesalan. Ia menatap Eric dengan bersalah. “Maaf…” Eric tak mengerti mengapa gadis itu begitu mudah berubah karakternya. Ia takkan berlama-lama memikirkan itu. Ia segera menghubungi anak buahnya untuk menyerang ke tempat penyergapan, beberapa saat kemudian barulah eric berdiri menembak seseorang. Lalu ia menarik cepat Ghea, merangkulnya dan berlari. Beberapa kali menembak, dan saat ada seseorang yang akan menembak Ghea, ia membalikkan badannya hingga peluru melesat mengenai punggung kanannya. Belum semenit ia beraksi, anak buahnya datang membantu. Mereka saling menembak melindungi pemimpin mereka. Eric dan Ghea berlari dengan keras dan cepat dikelilingi anak buaknya unutk berjaga. Saat keduanya akan memasuki mobil, Eric merintih kesakitan tepat di punggungnya yang terkena peluru hingga tubuhnya bersandar ke mobil. “Cepat masuk!” perintah Eric pada Ghea. Ghea sangat khawatir melihat keadaan Eric yang kesakitan namun masih menyuruhnya untuk masuk mobil dulu. Tadi ia juga tahu saat Eric tertembak. Saat ia memeluk Eric, ia merasakan merah hangat dan kental mengenai tangannya. Ingin rasanya ia menawarkan agar lelaki itu yang duluan masuk mobil. Namun, ia takut itu malah melukai perasaannya. “Cepat…” Dor… Belum sempat perintah kedua selesai diucapkan, Ghea berdiri didepan Eric menghalangi sesuatu yang masuk kedagingnya. Lebih tepatnya mengenai bahu kanannya. Mata Eric terbelalak marah, tangannya dengan segera menangkap tubuh Ghea yang sudah melemas. Kemudian ia menembakkan beberapa orang dari musuhnya dengan ganas. “Bunuh mereka semua!” perintahnya bak titah seorang raja. Satu mobil melesat pergi membawa Eric dan Ghea yang terluka parah. Eric terus berusaha tetap sadar agar ia dapat menjaga Ghea dipangkuannya. Ia merasa sangat menyesal, merasa gagal, dan merasa bersalah hingga membuat Ghea terluka. Fikirannya kembali mengingat ulang apa kata ibunya dulu, “Apa kamu kira bisa jatuh cinta dengan mudah? Suatu saat wanita yang kamu cintai itu akan menjadi target musuh-musuhmu.” “Tuan…” An membuyar lamunan Eric. “Ke markas. Panggil Al!” An mengangguk mengerti. Eric kembali hanyul kedalam lamunannya. Ia menatap wajah Ghea yang mulai memucat. Gadis itu jelas sedang dalam keadaan kekurangan darah. Untuk mempercepat mobilnya juga tak bisa. Karena ini adalah batas maksimal. “Tuan, Al sedang menangani kasus di California. Apakah kita perlu memanggil dokter dari rumah sakit?” Eric diam tanpa suara. Memanggil dokter rumah sakit bisa membocorkan lokasi markasnya. sejak dulu kelompok mafianya tak pernah ditangani oleh dokter luar demi menjaga identitasnya. Dulu ia kuliah jurusan kedokteran. Seandainya ia menangani orang yang terkena tembak, itu memang bukan hal yang sulit baginya. Namun, bertindak sendirian juga bukanlah kepribadiannya. “Suruh Fin membeli barang-barang yang dibutuhkan untuk mengobati luka tembak. Untuk mengambil pelurunya, aku akan mengambilnya sendiri dari tubuh Ghea,” katanya. An terkejut dengan keputusan tuannya. “Tuan, peluru tuan…” “Aku akan meminta bantuan Fin.” Fin merupakan anak buahnya yang juga lulusan kedokteran. An mengangguk.Markas kelompok mafia ‘Eagle’ ini memiliki tempat steril. Bukan tanpa alasan disana juga ada rumah sakit kecil yang digunakan anggotanya untuk berobat dan menyembuhkan luka. Disana juga ada doter yang biasa menangani mereka. Namun hari ini doter Al tidak ada ditempat. Jadi ruangan itu sedang kosong. Anak buah Eric tak berani membantah saat pemimpinnya menyuruhnya menyiapkan segala yang diperlukannya. “Eric, kamu terluka. Gadis ini biar aku yang menangani,” ucap Fin yang melihat darah mengucur dari punggung Eric. Ia merupakan anak buah Eric, juga teman akrabnya. Jadi wajar jika ia menggunakan bahasa santai pada Eric. “Jangan urus aku dulu,” jawab Eric cepat. Ia mul
Eric berdiri merenggangkan ototnya sejenak di balkon kamarnya. Hari ini ia merasa sangat baik moodnya. Melihat langit yang cerah, burung-burung membentuk barisan sedang berimigrasi, dan suasana yang sangat tenang seolah ia tak memiliki beban ataupun musuh yang slalu diwaspadai. “Sejak kapan aku tidak pernah merasa selepas ini?” dialognya yang ditujukan pada dirinya sendiri. Tanpa sengaja matanya menangkap sebuah balkon yang sebenarnya sangat tak ada rasa special-spesialnya sama sekali. Ia yang sering diam di balkonnya setiap hari, dan pastinya tanpa dipandangpun, balkon kamar sebelahnya selalu ada. Namun hari ini berbeda. Balkon itu seolah memiliki muansa yang mengunci pandangannya. Bukan balkonnya, tetapi seseorang didalam kamar itu.
Eric sibuk menelfon Fin untuk datang kerumahnya lagi. Sebenarnya tempat tinggalnya berada disamping markas. Namun markasnya yang sangat besar dan rumahnya juga lumayan besar juga takkan mungkin untuk menyuruh orang memanggilnya. Lelaki itu barusan kembali ke markas karena ada anak buahnya yang menemukan sebuah petunjuk. “Eric, kamu bukan sedang sakit hati kan sampai memanggilku dua kali dalam satu jam?” cecar Fin dengan bersungut-sungut. Lelaki yang memanggilnya itu hanya diam tak memedulikannya. Ia ingin mengatakan sesuatu yang sangat krusial bagi kelompok eagle nya. Tetapi lagi-lagi keyakiannya diterkam keraguan yang membayanginya. Tatapannya tak menentu kesegala penjuru halaman taman. Di tempatnya ia memandang lurus ada Ghea yang berlarian mengejar Boush, a
Beberapa harir Eric tak ada dirumah. Dan beberapa hari pula Ghea merasa bebas karena sejak ia sadar, lelaki itu mengawasinya dengan ketat. Hidup di rumah mewah tanpa seorangpun yang bisa diajak bersenang-senang membuatnya sangat bosan. Ingin keluar sebantar saja, tetapi ia tak bisa. Gerbang dijaga ketat oleh anak buah Eric. Bahkan ada beberapa orang yang setiap 3 jam sekali berkeliling menyusuri luar rumah maupun dalam rumah. Semua itu membuat Ghea tak bisa berkutik. Karena mereka selalu ready lapor pada tuannya jika ada sesuatu yang aneh. Dan hal yang paling menyebalkan adalah ia tak diijinkan memiliki ponsel demi keamanan, katanya. Keamanan apanya? Ghea berdecih soal itu. Hari ini adalah hari ke sepuluhlelaki itu tak pulang karena ada kepentinga. Ghea ingin keluar hanya untuk refreshing ke mall atau kemanapun.&
Eric tersenyum tipis. Ghea terlalu meremehkan pantauan Eric. Tanpa sepengetahuan gadis itu, jam tangan yang diberikan kepadanya ada sebuah titik terpenting yang membuat gadis itu takkan bisa lepas dari pengawasannya.Flashback on Eric menyambar tangan Ghea paksa dan memakaikannya arloji putih yang sangat indah-menurut Ghea. Gadis itu memandangi jam itu kagum. “Jangan sekali-kali melepas arloji ini,” kata Eric penuh ketegasan Ghea masih larut memandangi jam itu. Tersenyum. “Kenapa kamu tidak bertanya aku menyukainya atau tidak?” Tanyanya polos. “Itu pertanyaan tidak penting. Suk
Eric memejamkan mata menenangkan diri. Ada sesal ynag kini bersarang dalam dirinya. Tetapi, kaburnya Ghea sungguh membuatnya tersulut emosi hingga tak memikirkan hal lain selain menyiksa gadis itu agar tak mengulang kelakuannya. Tidak tahukah gadis itu, kalau orang yang ditujunya malah musuk yang seharusnya dijauhi. Usai tadi gadis itu mimisan, ia langsung memanggil dokter dari rumah sakit terdekat saking khawatirnya. Padahal sejak dulu rumahnya tak pernah diinjak sedikitpun oleh seorang dokter. Alasannya adalah ada banyak musuh yang kemungkinan menyamar. Selain itu, jika ada banyak orang yang keluar masuk rumahnya, itu lebih membahayakan. Namun karena gadis, prinsip itu seolah tersingkirkan. “Eric, dia akan baik-baik saja,” kata Fin menenangkan. Baru ka
“Apakah ayah baik-baik saja? Kenapa kamu tidak menjemputnya juga?” Tanya Ghea yang sontak membuyar lamunan Eric saat menonton TV. Sebenarnya jika dikatakan menonton TV, Eric lebih banyak melihat ponselnya dan melamun. Televisi seolah menjadi pengisi suara ruangannya yang sedang hening. Mengenai kabar tentang Tuan Allen masih dalam pencarian, tetapi Eric sengaja tidak sekalipun menyinggung beliau pada putrinya. Keberadaan Tuan Allen masih misteri dan belum tahu seperti apa keadaannya. Kemungkinan dibawa musuh, karena tidak ada tanda-tanda darah di lokasi. Pertanyaan pertama kalinya selama Ghea bersama lelaki itu kini terlontar juga. Awalnya Ghea ingin Eric yang berterus terang tentang ayahnya. Namun lelaki di dekatnya ini memilih bungkam.&nb
Tangan Ghea basah saking nervousnya. Kini ia sedang deperbaiki make upnya usai mengenakan gaun putih yang cukup merepotkan baginya. Gaun yang kini dikenakan memang sangat indah, permata yang menghiasi gaun itu kerlap kerlip sangat jernih dan kainnya juga bisa berubah warna dengan mempesona, ia menyukainya. Hanya gaun ini yang murni dari pilihan Eric sendiri usai kemarin perang debat di butik. Rambut Ghea dibiarkan menjuntai dengan diberi mutiara dan mahkota yang membuat seua orang pasti takjub. Lehernya juga dipakaikan kalung emas putih. Ia menyentuh kalung itu.keindahan kalung itu seolah mengunci pandangannya. Ia tersenyum kecil. “Ayah, putrimu menikah hari ini. Apakah ayah hari ini bahagia? Semoga ayah baik-baik saja. Kata orang terpercayamu ini, jika suatu saat ayah kembali, dia juga mau menikahiku untuk mengulangnya. Jadi ayah b