Seo Joon menatap Nari dengan ratapan kesedihan. Ia menyandarkan tubuhnya pada pintu kamar Nari. Di tempat tidur Nari terlihat damai dan tenang. Seo Joon menghela napasnya lalu meninggalkan Nari yang terlelap.
Seo Joon membuat segelas kopi untuk menemaninya, aromanya memberi ketenangan pada dirinya. Perlahan ia berjalan menuju jendela kaca yang besar terpasang di ruang tamu apertemennya. Ia menatap langit begitu mendung seakan hujan akan turun dengan deras. Seo Joon menyesap kopinya, ia begitu menikmati setiap kali kopi melewati lidah dan tenggorokan.
Di sisi lain Marvel tengah berada di kafetaria rumah sakit. Pikirannya dipenuhi dengan awan mendung yang gelap. Marvel menyesap kopinya hujan pun turun membasahi bumi tiba-tiba buliran air mata berjatuhan tanpa terkendali.
“Ah, kenapa ini?” Marvel mengusap air mata yang membasahi wajahnya. Ia menatap kaca, di sana ada bayangan wajahnya. Seketika Marvel menutup wajahnya dengan satu tangannya
Di ruang dokter Lukas senantiasa mendengarkan apa yang tengah dijelaskan oleh dokter. Setelah mendapat penjelasan penjelasan dari dokter tentang kondisi kaki Christian Lukas dapat bernapas dengan lega karena cedera yang didapat tidak terlalu parah.“Christian hanya perlu menggunakan gips di kakinya, dan jangan terlalu banyak membebani kakinya. Selebihnya semua baik-baik saja.” Perkataannya tegas, jelas, singkat dan padat. Sehingga Lukas dapat mengerti dengan cepat.“Sudah kukatakan, semuanya akan baik-baik saja.” Dokter Anand menepuk pelan bahu Lukas. Tiba-tiba ponsel Dokter Anand berdering. Ia melirik layar pnselnya.“Bangsal IGD?” Dokter Anand menjawab panggilan.“Dokter Anand. Conan Jiang jatuh pingsan.” Ia membelalakan kedua matanya, lalu melirik ke arah Lukas yang kebetulan menatap dirinya.“Baik, aku akan segera ke sana!” ujarnya sembari menutup teleponnya.“Ada apa?&rdq
Di bangsal IGD Conan tengah terbaring lemah, Claris begitu cemas hingga dia melupakan putranya Christian yang juga sedang sakit. Dari pintu masuk datang Lukas dengan wajah yang begitu cemas. Ia melihat Conan di ranjang, dan Clarisa duduk di sampingnya sembari memegang tangan kurus dengan jarum infus menacap. “Apa yang terjadi?” Lukas bertanya. Tetapi tak ada yang bisa menjawabnya. Lukas menatap Gerald tetapi, Gerald hanya menggelengkan kepalanya. Mereka tidak tahu apa yang telah terjadi pada Conan. “Suamiku,” Clarisa memanggilnya dengan mata yang telah berkaca-kaca. “Tenanglah,” Lukas memegang tangan Clarisa. Berusaha menenangkannya. Ia berbalik lalu mendekati Conan yang terbaring. “Conan,” Lukas berusaha memanggilnya dengan pelan di salah satu telinganya. Tetapi, tetap tidak ada jawaban. Di sisi lain dokter Anand sedang berbicara pada staf yang bertugas di bangsal IGD. Ia bertanya tentang apa yang terjadi pada Conan. Setela
Di koridor rumah sakit Seo Joon duduk termenung, ia mencoba menggali pikirannya. Kepalanya menengadah ke atas sembari memejamkan matanya lalu kambali menunduk.“Bagaimana aku bisa membiarkanmu menderita sendirian?” batinnya.Marvel berlari sekuat tenaga mencari keberadaan Seo Joon. Hingga akhirnya ia melihat Seo Joon menunggu sendirian. sejak awal ia berniat untuk menghampirinya. Tetapi, ia mengurungkan niatnya saat mendapati Seo Joon tengah terisak buliran air mata itu perlahan jatuh tanpa henti.“Seo joon!” seketika ia mengangkat kepalanya. Raut wajahnya dipenuhi kesedihan dan rasa bersalah.“Apa yang terjadi?” Marvel kembali bertanya padanya.“Nari... dia...” Seo Joon tak sanggup mengatakan apa yang terjadi pada Marvel.“Ada apa? Apa yang terjadi pada Nari?” Marvel semakin tidak sabar menunggu jawaban darinya.Seo Joon menghirup udara lalu mengeluarkannya, setelah s
Conan tertidur dengan tenang, ia terlihat begitu damai. Samar-samar suara tangisan terdengar di telinganya. Perlahan Conan membuka kedua matanya yang terlihat pertama kali adalah Ibunya Clarisa. Napasnya sedikit berat dengan masker oksigen yang asih terpasang di wajahnya. “Ibu,” Suaranya pelan dan tertahan. Sesekali ia menarik napas panjang. “Sayang, kau sudah sadar?” Clarisa dengan berlinang air mata ia memegang tangan kecilnya. “Mengapa Ibu menangis?” Conan mencoba meraih pipi ibunya. Namun, tangannya masihlah lemah. “Apa aku membuat Ibu sedih,” Conan memejamkan matanya. Berusaha meredam rasa sakitnya Suaranya masih tertahan dan berat hingga Clarisa harus mendekatkan telinganya pada Conan yang sedang berusaha mengeluarkan suaranya. “Christian! Dimana dia?” napasnya naik turun terlihat begitu berat. “Apa?” Clarisa berusaha mendengarkannya dengan baik.
Di ujung koridor terdengar suara langkah kaki. Lukas yang berada di ambang pintu melirik ke arah datangnya suara. Dari sana nampak Athes tengah mendorong kursi roda Christian. Raut wajah Christian begitu tenang layaknya Conan. Lukas tersenyum saat melihat putra keduanya datang lalu berjalan menghampirinya dengan sedih dia berkata. “Christian maafkan Ayah,” Lukas memeluk Christian dengan erat ia bahkan tidak berniat melepaskannya. “Ayah,” Christian sedikit tidak nyaman dibuatnya. Ia menepuk punggung Lukas agar ia mau melepaskan pelukannya. “Ayah, maafkan aku. Seharusnya aku tidak pergi tanpa pamit lebih dulu padamu atau pun pada Ibu.” Christian menundukkan kepalanya tidak berani menatap mata Lukas. “Tidak apa-apa, yang harus meminta maaf adalah Ayah. Karena tanpa sadar Ayah sudah menyakitimu.” Lukas meminta maaf dengan segenap hatinya. Christian tersenyum. “Apa yang kau pikirkan Ayah? Aku bahkan baik-baik saja.” Christian menatap wajah Lukas.
Di sebuah kamar VIP Seo Nari tengah terbaring lemah. Masker oksigen dan peralatan medis lainnya terpasang di tubuhnya. Seo Joon dengan putus asa menemaninya, tiada henti ia terus memanjatkan doa pada Tuhan untuk kesembuhan adiknya. Seo Joon duduk bersimpuh menengadahkan kedua tangannya ke atas. Memohon dengan sungguh dan berlinang air mata.“Tuhan, mengapa begitu berat ujian yang kau berikan kepada Adikku?”“Jika Pria yang dicintai Adikku bukanlah jodohnya. Maka biarkanlah dia bahagia dengan yang lain!”“Mengapa Engkau terus menguji seberapa besar cinta keduanya? Mereka berdua begitu menderita karena terus saling menyakiti.” Buliran air mata turun tanpa henti membasahi wajah tampannya.“Tuhan, aku sangat berharap jika Adikku dapat bahagia dalam menjalani hidupnya.”“Aku mohon dengan sangat padamu,” Seo Joon menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan dan menangis dengan sesenggukan
Di tengah kegilaan Seo Nari Yo Han hanya terdiam membeku, ia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya ini. Buliran air mata perlahan menetes dari kedua mata indahnya. Tubuhnya bergetar hebat. Raymond meraih ponselnya ia menghubungi seseorang untuk membantunya. Yang terdengar hanya teriakan darinya. “Cepat datang kemari Bos!” “Nari, kenapa kau jadi seperti ini?” batinnya. Yo Han mencoba bangkit dari duduknya namun kedua kakinya masih sangatlah lemah hingga membuatnya jatuh dari kursinya. Namun ia tidak putus asa Yo Han merangkat untuk mendekati Nari dengan susah payah. Sedangkan Raymond masih membeku ia tak sanggup bergerak. Di Luar Marvel tengah berjalan dengan gontai, seketika ia mendengar teriakan yang cukup keras. Marvel menyadari jika suara itu berasal dari kamar Nari sehingga ia pun langsung berlari menuju kamarnya. Marvel membelalakan matanya melihat Nari yang histeris melukai dirinya. Ia juga melihat Yo Han yang merangkak maju menuju ran
Sepanjang perjalanan menuju kamar Yo Han tak ada yang membuka pembicaraan, keduanya fokus berjalan, yang terdengar hanya langkah kaki dan suara kursi roda yang tengah di dorong. Sesampainya di depan pintu Raymond segera membukakan pintu agar Yo Han bisa masuk. “Mengapa suasana jadi canggung seperti ini?” Raymond terus mendorong kursi roda Yo Han. Raymond menggelengkan kepalanya kala melihat kaki Yo Han yang mulai mengeluarkan darah, dari balik baju pasiennya juga ada bercak darah, menunjukkan lukanya kembali terbuka. “Lihatlah lukamu itu kembali terbuka. Tampak begitu menyakitkan bagiku.” Ujar Raymond tetapi Yo Han tidak bereaksi sama sekali. Raymond menghela napasnya karena diabaikan oleh Yo Han. “Aku akan membantumu berbaring selagi menunggu dokter datang.” Raymond bersiap untuk mengangkat dan memindahkan tubuh Yo Han ke ranjangnya. Tanpa suara rintihan atau apa pun Yo Han tetap bungkam meski lukanya tertekan atau pun kakinya yang terbentur ujung ra