Berkali-kali Astro memandang rumah yang pintunya terbuka lebar itu, dari dalam mobil. Mentari terlihat semakin meninggi, tapi dirinya masih saja sibuk menarik napas dalam-dalam dan menghelanya. Tidak tahu apa yang akan dibicarakan ketika nanti bertemu dengan Aya.
“Mas, ayo! Kapan ketemunya kalau di dalam mobil terus!”
Seruan Joko itu, mendadak memecah lamunan Astro. Ia pun menegakkan tubuh untuk meregangkan semua saraf ototnya yang kaku.
Astro berdehem sejenak untuk menetralisir semua rasa. “Pak Joko, tunggu di sini bentar ya, saya gak lama.”
“Lama juga gak papa, Mas. Sante ae! wong libur kok.”
Sudut bibir Astro tertarik datar, kemudian keluar dan langsung menuju ke depan pintu rumah untuk menekan bel. Karena hunian cluster yang didatanginya memang tidak ada yang memakai pagar dari ujung ke ujung.
“Sebentaar …” Soera yang sibuk di dapur, berjalan ke luar sambil berteriak. Kemudian tertegun sejenak melihat sosok yang begitu membuatnya t
Putus asa karena Aya tidak kunjung keluar, dan mau berbicara dengannya. Ditambah, dengan sikap seorang gadis galak yang semakin menyudutkannya. Akhirnya Astro menyerah, mungkin yang dilakukannya saat ini sangat menjatuhkan harga dirinya. Tapi Astro tahu, kalau hal itu tidak akan pernah sebanding dengan apa yang telah dilakukannya kepada Aya. Merenggut sebuah kehormatan yang tidak akan pernah bisa kembali seutuhnya. Luka yang diberinya mungkin akan terus membekas seumur hidupnya. Astro membuang napas dengan pipi yang menggembung. Tubuhnya merosot dengan kedua kaki yang menekuk ke belakang. Astro berlutut di depan pintu. Membuang seluruh ego dan rasa malunya. Pada dasarnya Astro merupakan pria yang lurus, punya satu cinta yang hanya ditujukan kepada Zetta. Selalu bersikap jujur dan adil dalam menggeluti profesinya. Namun, tidak ada yang sempurna di dunia ini. Semua kebaikan tersebut selalu akan tetap berdampingan dengan sebuah nafsu, yang bisa saja menj
Kedua pria itu saling melempar pandang dengan sengit. Keramahan yang dulu selalu tercipta, kini sudah pergi entah kemana. Saling menuduh dan melempar argumen untuk saling menyalahkan pun sempat terjadi. Mungkin kalau tidak ada Langit yang menengahi, keduanya pasti sudah baku hantam. Yasa tentu saja menumpukan semua kesalahannya kepada Astro. Kalau Astro tidak datang menemu Aya, hal seperti ini tidak akan pernah terjadi. Sedangkan Astro, menyalahkan Yasa karena tidak becus dan tidak pantas menjadi suami Aya. Pikiran Yasa yang sempit itulah, yang membuat Sinar akhirnya menjauhkan Aya, dari suami seperti Yasa. Flora akhirnya keluar dari ruangan VVIP tempat Aya dirawat setelah mendapatkan penangan cepat dari dokter. Wanita itu menggeleng, memandang ketiga pria yang berdiri tegang untuk menunggu kabar, dengan bergantian. “Aya gak mau ketemu kalian berdua sama sekali,” telunjuk Flora mengarah pada Yasa dan Astro secara bergantian. “Dan Tante harap patuhi it
Asa bersedekap, bersandar miring pada separuh bingkai pintu yang sudah ditutup rapat olehnya. Maniknya memandang Yasa dan Astro bergantiang dengan tatapan dingin.Sungguh, tangan Asa terasa sangat gatal ingin membuat wajah keduanya itu lebam. Sedikit darah yang mengucur melalui hidung mereka, bisa menjadi bonus dan kepuasan tersendiri bagi Asa.“Kapan kalian mau pergi dari sini?”“Aku masih suami Aya, Sa.” Yasa melirik Astro kemudian, menunjuk menggunakan dagu. “Harusnya dia yang pergi dari sini, gak ada kepentingan dia di sini. Bahkan dia yang bikin ISTRI-ku hampir keguguran lagi.”Astro bergeming, seolah tidak peduli dan tidak mendengar ucapan Yasa. Ia hanya ingin bertemu Aya, berbicara empat mata dan meluruskan semua hal yang telah membelenggu hatinya selama ini. Sampai kapanpun itu, ia akan menunggunya.Satu hal yang membuat Astro, merasa masih punya kesempatan. Meskipun samar, tapi Astro yakin kalau ia mende
Derap langkah yang menghampiri tempat tidur Aya itu terlihat ragu. Sepasang mata tajam itu masih saja tidak meredupkan luka yang terlukis di dalamnya. Hingga jarak mereka hanya tersisa tidak sampai setengah meter. “Kamu masih marah?” Pertanyaan dari Yasa tersebut, hanya disambut tatapan datar oleh sang istri, yang duduk bersandar dengan bantal di balik punggungnya. Beberapa saat yang lalu, setelah Sinar berbicara kembali dengan Aya tentang kehidupan pernikahaan putrinya. Akhirnya Aya memutuskan mau bertemu dan berbicara lagi dengan Yasa. Sinar memilih keluar dan meninggalkan keduanya. Apapun nanti yang akan diputuskan oleh Aya, Sinar hanya bisa memberi dukungan dan akan selalu ada untuk putrinya. “Cahaya … bisa kita mulai semuanya dari awal lagi? Kita tutup, buku masa lalu itu di belakang. Buka lembaran baru dan menjalani semuanya dari nol.” Yasa masih berdiri di samping tempat tidur, enggan duduk pada kursi yang berada tepat di sampin
Sementara Yasa tengah mengakrabkan diri dengan Aya di kamar rawat inap. Saat ini, Astro tengah menempuh ketegangan, karena sedang duduk berhadapan dengan Sinar di kafetaria rumah sakit.Tatapan Sinar sangat tajam dan tidak bersahabat sama sekali. Tidak ada lagi pancaran keibuan yang biasa ia layangkan kepada anak kandung Aster tersebut. Meskipun Sinar sangat mengerti, kalau awal mula semua masalah yang terjadi, bukan Astro yang menjadi penyebabnya. Semua hanyalah kesalahan masa lalu orang tua mereka, yang masih belum bisa dewasa dalam bersikap dahulu kala.“Lebih baik, kamu pulang, Astro.” Sinar mengusir namun masih dalam taraf sewajarnya. “Gak ada lagi yang bisa kamu perbaiki di sini. pergilah.”Astro bergeming, air mukanya nampak memelas, lelah. “Aku, perlu bicara dengan Aya, Bund. Kasih aku satu kesem—”“Mau apa lagi?” potong Sinar. “Kamu tahu benar bagaimana perasaan tulus Aya sama kamu sedar
Dua slice pizza dilahap Yasa dengan cepat, hampir tanpa jeda sama sekali. Ternyata perutnya memanglah benar-benar lapar, dan tidak dirasakannya sejak menginjakkan kaki di Surabaya pagi tadi. “Rakus!” ledek Aya dengan kekehan geli melihat suaminya yang makan begitu lahap. Yasa ikut terkekeh dengan mulut yang masih mengembung penuh. “Perutku laper ternyata.” kepalanya menoleh sebentar pada meja yang berada di depan sofa. Ada sebuah kotak pizza lagi di sana. “Itu yang di meja, masih ada isinya gak? Aku masih laper kayaknya.” Aya tergelak hingga kepalanya terhempas sekilas ke belakang. “Masih, tapi itu punya Asa, dia gak mau tadi, malah pengen cari makan di luar.” “Aku makan ya?” Aya mengangguk-anggukkan kepalanya. Merasa kasihan dengan sang suami yang ternyata belum mengisi perutnya sejak pagi. Lalu terlintas bayangan Astro. Apa pria itu juga sama? Belum makan sedari pagi karena menunggunya di luar ruangan. “Belajarlah mencin
Tatapan tajam Aya langsung menyapu tubuh Yasa, saat sudah selesai membersihkan diri di kamar mandi. Baju serta celana pendek Asa yang melekat ditubuh suaminya, tampak memamerkan lekuk otot yang terbentuk di seluruh penjuru lengan, dada dan turun ke perut. Postur tubuh Yasa memanglah lebih besar dari Asa, pun tingginya. Mungkin sudah keturunannya seperti itu. Asa adalah produk yang 100 persen lokal sedangkan Yasa, suaminya itu memiliki darah campuran Arab yang memang diturunkan dari Abraham. Sedangkan ibu kandung Yasa, ternyata juga berdarah campuran Uzbekistan dan Indonesia. Tampan, suaminya itu memang luar biasa tampan. Meskipun Aya belum menautkan seluruh hatinya pada Yasa, namun, ia tidak menampik, kalau fisik sang suami membuat dirinya terkadang membayangkan semua hal liar diluar batas warasnya. Sinar yang melihat ekspresi putrinya itu hanya menyematkan senyum tipis. Tapi sudah bisa bernapas lega, karena keduanya tampak sudah berbaikan. Apapun yang terjad
“Yasa …” “Hem, apa?” “Badanmu tuh gede, bisa gak tidurnya di ranjang satunya. Sempit! Aku takut infusku lepas gara-gara tanganmu yang gak bisa diatur itu.” Hembusan napas Yasa yang menerpa puncak kepala Aya terasa kencang. Baru saja hendak melepas kerinduan dengan memeluk Aya semalaman seperti biasa, kini istrinya itu kembali bertingkah. Padahal, posisi saling memeluk seperti yang saat ini tengah mereka lakukan, sudah berangsur sedari tadi. Tapi Aya baru protes sekarang. “Infusnya kapan bisa di lepas?” “Ya tanya dokter kalau itu.” Lidah Yasa berdecak kecil, tidak ingin kesenangannya ini berlalu begitu saja. Rugi sekali rasanya, sudah berada satu ruang dengan sang istri, tapi masih harus berpisah tempat tidur. Tapi, Yasa juga sebenarnya tidak menampik kalau saat tidur, tangannya bisa saja menjelajah ke mana-mana. Pada akhirnya, ia memikirkan ucapan Aya, bagaimana jika tanpa sengaja, tangan jahilnya itu pergi ke mana-mana dan men