Keenan sedang membaca dan memahami isi file dalam hardisk, yang menjadi peninggalan sang ayah. Namun pikirannya sedikit terganggu. Tiba-tiba saja dia memikirkan gadis yang selama ini tinggal di rumahnya. Walau Erza menjamin bahwa Gladys akan baik-baik saja. Tapi entah kenapa perasaan Keenan mengatakan sebaliknya, sebut saja perasaan khawatir. Lebih tepatnya dia tak ingin miliknya itu terluka bahkan seujung kuku pun. Laki-laki itu langsung menyambar ponselnya dan mengirimkan pesan pada sahabatnya.
Keenan: Di mana? Gladys bersamamu, kan? Kamu tidak membiarkan dia bersama staff lain?
Setelah mengirimkan pesan itu, dia mencoba fokus kembali pada pekerjaannya. Sialnya, pikiran Keenan kini didominasi oleh Gladys. Beberapa kali dia melirikkan pandangannya ke arah gawai yang terletak tepat di samping mouse yang sedang dia pegang. Tapi Erza belum juga membalas pesannya.
Ting.
Mendengar notifikasi ponselnya berbunyi Keenan langsung menya
Harap bijak dalam membaca. Happy reading~ *** Akal sehat Gladys benar-benar hilang sekarang. Dia sudah seperti perempuan murahan yang menginginkan sentuhan dari seorang laki-laki. Gladys benar-benar gila sekarang, dia tak bisa menahan hasratnya sendiri. Karena semakin dia berusaha menahannya, maka dorongan itu semakin kuat. Terlebih di sampingnya sedang duduk seorang laki-laki yang benar-benar tampan dan menggoda. Soal bagaimana perlakuan laki-laki itu pada Gladys, tiba-tiba saja dia melupakannya. Saat ini dia tak peduli dengan hal-hal itu. Dia ingin perasaan aneh yang sedari tadi mendorong dirinya ini segera berakhir. “Jangan salahkan aku, karena ini permintaan langsung darimu,” bisik Keenan. Oh, Tuhan! Entah kenapa mendengar bisikan Keenan itu membuat Gladys semakin bergairah. Mata sayunya terus mengikuti pergerakan Keenan. Laki-laki itu turun dari mobil dan membuka pintu lalu menggendong Gladys. M
“Cepat masuk ke kamarmu! Besok kita harus pulang,” perintahnya pada Gladys yang masih terkejut dengan kalimat yang baru saja diucapkan oleh Keenan.“Kenapa kamu selalu seenaknya sih, Keenan?” sergah Gladys. Dia tak langsung menuruti perintah Keenan.“Aku tidak menerima pertanyaan apa pun darimu. Sekarang kamu masuk ke dalam!” perintahnya lagi dengan nada tegas. Sejurus kemudian, Keenan langsung meraih kunci yang sedang dipegang oleh Gladys, membukakan pintu itu dan segera mendorong Gladys dengan paksa.Gladys hampir saja tersungkur. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Keenan langsung menutup pintunya dan mengunci dari luar. Gladys mengepalkan tangannya, lalu memukul pintu dengan keras.“Keenan, buka!” teriaknya dari dalam.“Tak usah melawan. Atau kau ingin hukumanmu besok lebih kejam!” ucap Keenan dari balik pintu. Lalu terdengar suara pintu di samping kamar Gladys di buka dan sedetik kemu
“Keenan, kamu mau apa?” tanya Gladys terkejut, ketika mendapati tangannya diborgol untuk kedua kalinya.“Diam! Jangan banyak bicara!” Keenan memerintah Gladys sambil melayangkan tatapan tajam pada gadis itu. Kemudian dia menutup pintu mobil dan langsung berjalan menuju kursi kemudi.Gladys mencoba untuk melepaskan tangannya. Dia mengguncangkan tangannya berharap borgol itu bisa lepas dari tangan mungilnya. Saat Keenan sudah duduk di sampingnya, Gladys menoleh ke arah laki-laki itu dengan tatapan tajam.“Lepaskan aku! Aku bukan seorang tersangka!” raung Gladys. Dia sangat tidak terima dengan perlakuan Keenan saat ini.Keenan tak memedulikan ucapan Gladys sama sekali. Dia menstarter mobil dan langsung menginjak pedal gas. Membawa mobilnya keluar dari parkiran basement.Kesal karena tak mendapatkan respon dari laki-laki dingin itu. Gladys memukul lengan Keenan sambil terus memanggil namanya. Berharap laki-laki itu m
Harap bijak dalam membaca chapter ini, ya.Happy reading~***Keenan mengunci pintu besi itu dan melihat Gladys yang mulai ketakutan melihat tempat ini. Dia menyeringai puas, ini lah akibatnya jika Gladys sering melawan pada Keenan. Namun di satu sisi, dia merasa senang akhirnya bisa membawa Gladys ke tempat ini.“Keenan, tempat apa ini?” tanya Gladys gemetar, matanya menatap sekeliling ruangan.Ruangan ini hampir mirip dengan tempat pertama kali sang gadis di sekap. Tapi … tempat ini lebih terlihat menyeramkan. Di pojok ruangan, dia melihat sebuah ranjang. Selain itu terdapat peralatan aneh yang menggantung di dinding ruangan itu. Gladys menyipitkan matanya, mencoba menatap ke arah benda aneh itu. Oh, Tuhan! Apa itu? Kenapa ada ... ah, Gladys tak sanggup untuk melihatnya lagi. Buru-buru dia memejamkan matanya.Keenan tak menjawab, dia menghampiri Gladys dengan membawa beberapa tali berwarna mer
Karena terlalu asyik dengan tubuh Gladys, sampai-sampai dia melupakan satu hal yang penting. Padahal Keenan tak melakukan aktivitas di atas ranjang bersama Gladys, tapi tubuhnya itu memang membuat Keenan candu. Sayangnya Keenan harus meninggalkan karya seni yang baru saja dia buat itu. Agak sedikit kesal, tapi tamunya ini sangat penting dan tak mungkin dia lewatkan begitu saja.Suara hentakan sepatu pantofel yang sedang dikenakan oleh Keenan mendominasi ruangan besar dan kosong itu. Dia baru saja masuk ke sebuah ruangan yang tepat berada di depan ruang Gladys berada. Terdapat dua orang laki-laki di sana. Satu orang berdiri dengan mengenakan kemeja berwarna hitam. Sedangkan yang satunya lagi sedang berlutut dengan posisi tangan terikat dan kepala tertutup kain.“Selamat siang, Mas. Maafkan jika saya mengganggu Anda,” ucap laki-laki yang sedang berdiri itu dengan rasa tak enak.Keenan tersenyum sungging sambil mengibaskan tangannya. Laki-laki itu hanya
Gladys membuka matanya secara perlahan. Dengan pandangannya yang masih kabur, dia berusaha memindai sekelilingnya. Tempat yang terasa asing baginya. Kemudian dia mendapati seseorang tertidur tepat di tepi ranjang.“Keenan?” gumam Gladys, saat dia yakin orang yang tidur di sampingnya itu adalah laki-laki yang tadi mengikatnya dengan tak berperasaan.Seketika hati Gladys bergejolak panas. Dia masih tidak terima dengan perlakuan Keenan padanya. Ingin rasanya menikam laki-laki ini sekarang juga. Tapi … Gladys tak mempunyai keberanian untuk menyakiti seseorang.Gadis itu masih memandangi wajah Keenan yang masih tertidur. Ternyata laki-laki bengis itu sangat polos ketika tertidur. Sungguh, jika orang yang tidak tahu bagaimana tabiat Keenan aslinya, pasti akan mengira bahwa laki-laki ini adalah laki-laki yang hangat dan baik.Untuk sepersekian detik Gladys pun terpesona dengan visul Keenan. Kulit wajah Keenan terlihat sangat terawat untuk ukur
“Ah, sial!” gerutu Gladys sambil mengacak rambutnya. Perasaannya kini tak tenang, mungkin lebih tepatnya dia sedang merasa ketakutan.Sekarang sudah pukul delapan, tapi Keenan tak kunjung datang ke rumah sakit. Gladys ingat betul, tadi Keenan bilang akan pulang sebentar ke rumah. Tapi … sekarang sudah hampir tiga jam dan dia belum juga datang ke rumah sakit.Eh, sebentar. Kenapa Gladys mengharapkan kedatangan Keenan? Padahal bagus bukan jika laki-laki itu tidak ada di dekatnya. Mengingat perlakuan Keenan padanya hari ini cukup membuatnya terkejut. Selama 23 tahun hidupnya, dia belum pernah dipermalukan seperti tadi.Tapi … entah kenapa disaat seperti ini Gladys mengharapkan Keenan ada di sampingnya. Apalagi saat tadi laki-laki itu meminta maaf padanya. Hati Gladys terasa hangat mendengar satu kata maaf yang keluar dari mulut laki-laki berengsek itu. Kata maaf yang terdengar sangat tulus walau terkesan malu-malu. Dan Gladys, bisa merasak
“Sedang apa kamu di sini?” tanya Keenan pada laki-laki yang sedang bersama dengan Gladys. “Menemani Gladys. Tadi dia meneleponku dan meminta untuk menemaninya,” ucap laki-laki itu santai. Keenan melirik ke arah Gladys, seolah meminta penjelasan dari gadis itu. Gladys tersentak ketika ditatap dingin oleh Keenan. “Anu … aku menelepon Mas Erza soalnya kamu tidak mengangkat teleponku,” ucap Gladys sedikit ragu. “Benarkan? Dia yang menelponku, tenang saja aku tidak macam-macam padanya kok,” timpal Erza. “Kenapa kamu tidak sabar menungguku datang?” Keenan kini sudah berdiri di depan Gladys dan Erza yang sedang duduk di sofa. Perasaannya sedikit kesal ketika mendapati Gladys bersama dengan laki-laki lain. Walaupun gadis itu bersama dengan sahabatnya yang sudah dia percaya. “Karena aku terlalu takut sendirian di sini. Dan bayangkan kalau aku menunggumu? Kamu baru datang jam segini, yang ada aku keburu mati ketakutan,” dengus Gladys kesal