“Shit! Kenapa semua orang selalu ikut campur urusanku?” geram Keenan frustrasi. Dia memikirkan motif Erza yang tiba-tiba mengadukannya pada ibu tirinya itu. “Berengsek! Awas saja kalau kamu punya motif tersembunyi, Erza!” Dan malam ini Keenan lewati dengan perasaan marah yang menjalar hampir di sekujur tubuhnya.
Keesokan harinya dia berangkat ke kantor diantar oleh Pak Toni, supir pribadinya. Kemarin malam Giselle mengirimkan pesan, bahwa Gladys tak bisa untuk masuk kantor. Itu salah satu alasan Keenan memberang. Padahal urusan dengan gadis itu belum selesai, tapi dia tak bisa bertemu dengannya. Sialan! Memang ini gara-gara Erza.
Sesampainya di tempat kerjanya, Keenan langsung menuju ruang kerjanya. Dia melihat sosok Erza yang sudah stand by di posnya. Laki-laki itu nampak sibuk membaca berkas.
“Erza,” panggil Keenan. Sontak laki-laki itu mendongak ke arah laki-laki yang berdiri tepat di depan meja kerjanya.
“Ya?” Buru-buru Erza berdiri dan memberikan
“Biar aku bawa Gladys pulang ke rumah!” Terdengar sayup-sayup suara seorang laki-laki saat Gladys mulai membuka matanya perlahan.“Biar dia di sini dulu. Kondisinya belum stabil!” sentak seorang perempuan yang berdiri di hadapan laki-laki itu. Gladys bisa melihat kedua orang tersebut sedang berdebat. Walau pandangannya itu masih sedikit kabur.“Ma, di sini pun kondisi dia tidak berubah menjadi lebih baik. Lihat, dia ping—” Laki-laki itu menghentikkan ucapannya saat melihat ke arah Gladys yang sudah membuka matanya. Buru-buru dia menghampiri Gladys dengan wajah yang khawatir. “Gladys, kamu sudah sadar?” tanyanya.‘Ada apa ini? Kenapa ada Keenan? Kenapa juga mereka berdebat?’Gladys melirik secara bergantian ke arah Keenan dan Giselle. Dia masih belum sadar dengan apa yang menimpanya tadi siang.“Gladys, apa yang sakit? Bilang sama Tante,” ucap Giselle yang tak kalah khawat
“Hai, kamu Keenan, kan? Kamu masih mengingatku?”Mimpi apa Keenan semalam? Kenapa dia malah bertemu dengan perempuan menyeramkan ini? Seketika laki-laki itu mematung, darahnya pun seolah membeku. Dia benar-benar tidak bergerak sedikit pun. Matanya menatap takut perempuan yang umurnya mungkin sekitar empat puluhan.“Apa kabar?” tanya perempuan itu lagi. Tatapannya itu seolah mengintimidasi Keenan.“Maaf, Bu. Anda siapa? Dan ada keperluan apa?” sela Gladys sambil menghalangi perempuan itu.Tatapan perempuan itu berpindah, kini menatap Gladys. Dia memandang Gladys dari atas sampai bawah. Jujur, di sana Gladys merasa risih dengan sikap perempuan yang tidak dia kenali.“Saya? Saya Monica. Keperluannya? Saya hanya ingin melihat Keenan, memastikan anak ini baik-baik saja,” jawabnya dengan nada sedikit mendesah.Ah, sungguh menjijikan! Perempuan yang sudah berumur berucap demikian. Gladys mendeng
“Apa-apaan main ngancem! Memangnya dia siapa, huh? Mentang-mentang orang kepercayaan Keenan jadi seenaknya. Ish!” Gladys merutuki Excel sambil berjalan menuju mobil. Di sana Toni sudah menunggu untuk bertugas seperti biasa.“Mas Keenan nggak berangkat, Mbak?” tanya Toni yang hanya melihat Gladys berjalan sendirian, dengan wajah masamnya.Gladys menghela napas. “Nggak, lagi gak enak badan katanya. Pak Toni tidak keberatan untuk mengantar saya ke kantor, kan?” tanya Gladys segan.“Tidak apa-apa, Mbak Gladys. Jangan sungkan seperti itu. Mari saya antarkan.” Toni mempersilakan Gladys untuk memasuki mobil. Kemudian mereka segera berangkat menuju tempat kerjanya.“Pak Toni,” panggil Gladys. Sepertinya ini waktu yang tepat baginya untuk bertanya.“Ya, Mbak?” sahutnya sambil melirik ke arah spion di atasnya.&
Lima belas tahun lalu ….“Om, kita mau ke mana? Mama nggak ikut?” tanya seorang anak laki-laki yang berumur tiga belas tahun. Ia sedang berada di sebuah mobil bersama dengan seorang laki-laki, yang ternyata adalah pamannya.“Mama nanti nyusul, ya. Kamu ikut sama Om dulu,” jawab laki-laki itu cepat. Matanya masih fokus menatap jalan, mobilnya pun dipacu dengan cepat. Sepertinya mereka sedang terburu-buru, atau … mereka sedang dikejar seseorang? Entahlah, anak kecil itu hanya diam dan menuruti apa kata pamannya itu.Tiba-tiba saja mobil yang sedang dinaiki sang anak berhenti disebuah toko. Pamannya melepaskan seatbelt dan segera keluar.“Keenan, tunggu di sini sebentar. Ada sesuatu yang harus Om beli. Jangan ke mana-mana, ok?” pesannya sebelum dia benar-benar keluar dan meninggalkan sang anak sendirian.Anak itu hanya mengangukkan kepalanya. Dia diam di mobil sambil membaca buku pelajara
Keenan tak kuat jika harus melihat kakak tirinya disakiti seperti itu. Walau sempat dia tak menyukai Nathan, karena ayahnya lebih sayang pada kakak tirinya itu. Tapi ketika dia harus melihat Nathan yang disakiti karena dirinya, Keenan benar-benar tidak kuat.“Hentikan, Tante! Jangan sakiti Kak Nathan!” seru Keenan sambil menangis. Dia merangkak memohon pada perempuan jahat itu untuk menghentikkan aksinya.“Aku mohon, bukan salah Kak Nathan. Aku yang tidak menghabiskan makanan itu,” rengek Keenan.Monica melirikkan matanya pada Keenan, menatap tajam anak yang sedang merengak seperti bayi. Dia merasa jijik dengan tatapan memelas Keenan. Sedetik kemudian dia menendang anak laki-laki itu. Keenan tersungkur, dia tergeletak, dan meringis menahan rasa sakit.“Jadi kamu yang tidak menghabiskannya, Keenan?” tanya Monic sinis.Buru-buru Nathan berbalik. “Bukan, Tante. Aku yang tidak menghabiskannya,” sanggah Na
Harap bijak dalam membaca~Happy reading~***Lumatan ini terasa sangat lembut dan membuat Gladys merasa terbang. Perasaannya kini sangat senang dan bahagia. Gladys membalas ciuman itu, sampai lidah mereka pun saling beradu di dalam.Tangan Keenan sini sudah menjamah bagian sensitif milik Gladys, membuat gadis itu melenguh karena geli. Keenan pun mulai membuka pakaian Gladys dan gadis itu mengizinkannya.“Aku janji, tidak akan menyakitimu lagi,” bisik Keenan disela-sela jeda ciuman mereka.Senyuman gadis itu merekah, dia senang ketika mendengar bahwa Keenan tak akan menyakitinya. Iya, Gladys akan rela jika Keenan memperlakukannya dengan lembut. Karena pada dasarnya para pempuan ingin diperlakukan lembut oleh laki-laki, bukan? Bahkan di atas ranjang sekali pun.Keenan terus menyusuri setiap inci tubuh polos Gladys dengan mulutnya. Lidahnya menari-nari di atas perut Gladys. Membuat gadis itu mengg
Giovani. Nama itu benar-benar tak asing di telinga Gladys. Rasanya nama itu sangat familiar di telinganya, tapi seingatnya dia tidak memiliki teman bernama Giovani. Namun, entah kenapa mendengar nama itu membuat hati Gladys sedikit terusik.“Ah ….”Lagi. Gladys merasa kepalanya berdenyut. Dia mencoba menarik napas dalam dan mengalihkan perhatiannya. Dia tidak boleh banyak mengingat. Sebenarnya ada apa dengan dirinya? Kenapa setiap kali dia berusaha mengingat masa lalunya, kepalanya sakit? Bukannya Gladys sudah sembuh dari traumanya?“Kamu kenapa?” tanya Erza, ketika gadis itu baru selesai meeting dengan Dewan Direksi.“Nggak papa, hanya sedikit pusing,” jawab Gladys. Ia kemudian duduk di samping Erza.“Tapi pipi kamu merah,” kata Erza khawatir. Laki-laki itu menyadari ada cap tangan pada pipi mulus Gladys.Buru-buru Gladys memegang pipinya. Memang masih terasa sedikit panas dan sakit. &l
“Pilih! Kamu jujur padaku, atau aku kembali menyiksamu, hah?” Pupil Gladys membulat. Ancaman itu lagi? Lelah rasanya ketika Keenan kembali mengancamnya. Ia kira laki-laki ini sudah berubah, ternyata tidak. Memang sulit, ya, bagi perempuan untuk mengubah sifat pasangannya. “Cepat jawab!” sentak Keenan. Tatapan matanya sangat menusuk, membuat dada Gladys sedikit sakit. “I-iya,” timpal Gladys. “Aku … tadi bertemu dengan Tante Giselle.” Gladys menundukkan kepalnya, dia tak ingin melihat wajah menyeramkan Keenan. Semakin lama dia memandang Keenan, semakin lemas lututnya. Keenan mendengus ketika mendengar jawaban jujur dari Gladys. “Tante? Kalian sudah sedekat itu, ya?” Tangan Keenan kini menarik dagu Gladys. Mau tidak mau, gadis itu mendongak, menatap wajah Keenan. ‘Oh, Tuhan. Kenapa dia selalu tiba-tiba hilang kendali seperti ini?’ Gladys hanya bisa membatin. Badannya kini mulai terasa dingin. Wajah Keenan benar-benar mengerikan. “Ti-tidak