Share

Bab 4. Pecat Dia!

Dengan menahan semua rasa sakit dan air mata. Arinda mengenakan pakaian dan jubahnya, lalu segera meninggalkan kamar itu. Sampai di kamarnya, dia menjatuhkan tubuhnya di lantai kamar, menangis tersedu. 

"Ayah, Bunda .... Arin sudah mengecewakan kalian ... Arin sudah kotor," ujarnya dengan suara serak, suaranya habis saat dia berusaha berontak ketika sang majikan melampiaskan hasrat padanya. 

Sesenggukan dengan perasaan yang menyayat di dalam hatinya. Arinda bahkan tak mampu menggerakkan tangannya untuk mengusap bahu. Tangisnya amat menyedihkan, seakan putus asa dan juga lelah. 

"Apakah ini yang kudapatkan setelah menerima gaji tiga kali lipat itu? Ini tidak ada dalam perjanjian kerja itu 'kan? Tapi kenapa dia lakukan?"

Pertanyaan yang tak dia ketahui apa jawabannya keluar, tapi kamarnya membisu takkan mampu ataupun bisa menjawab. 

Perlahan Arinda bangkit dengan susah payah, lalu melangkah ke kamar mandi. 

"Belum saatnya kamu menyerah Arin, tidak saatnya kamu rapuh hanya karena kejadian ini. Kamu harus bangkit agar Ayahmu tetap mendapat perawatan. Ini memang tidak baik, ini hal buruk yang pernah kamu alami. Tapi yakinlah bahwa ada Tuhan yang melihatnya, dia akan membantumu untuk kuat. Demi Ayahmu," ucapnya pada dirinya sendiri, seakan memberi semangat. 

Air matanya keluar lagi saat melihat banyak tanda merah di area lehernya. Sakit, itu yang dia rasakan. Kenapa harus dia yang menjadi pelampiasan Deondra? Apa penyebabnya pun, Arinda tidak tahu. Sekarang, hatinya semakin remuk, tapi tujuannya masih harus tetap berlanjut.

Arinda tak bisa menyerah sekarang. 

"Jika Ayahku bangun, dia pasti akan mengobati semua rasa sakit yang kualami saat ini ...."

***

Arinda bangun saat matahari belum menampakkan sinarnya. Tubuhnya seakan kaku, seluruhnya terasa sakit dan pegal. Mungkin karena kejadian yang menimpanya tadi malam. 

Air mata mengalir lagi dari mata cantiknya. Dia merasa hancur kembali. Ingin mengadu pun tak tahu kemana. Tidak ada sandarannya lagi, hanya tinggal Ayahnya itupun tengah koma. 

Perlahan dia bangkit, lalu menyibak selimut. Sakit, rasanya tulangnya remuk. Bergegas di ambilnya sebuah kotak obat yang tersedia di setiap kamar dan mengeluarkan obat pereda nyeri dari sana. 

"Aku harus kuat, demi melihat Ayah bangun lagi," ucapnya menahan tangis, dia meremas obat yang di genggamnya. 

Meraih gelas di atas lemari pendek, lalu meminumnya. 

"Semua rasa sakit ini akan hilang, Arinda. Semua akan hilang, semua akan baik-baik saja," ujarnya terisak, menatap dirinya dengan kepala tertunduk. 

Cobaan demi cobaan menimpanya. Seakan dia adalah seorang yang jahat, hingga Tuhan memberikan semua rasa sakit yang tiada henti. Kenapa dia? Kenapa diusia semuda ini dia harus menanggung semuanya? Apakah dia pernah berbuat salah? Apakah pernah dia menjadi orang yang jahat? Hingga Tuhan seakan membencinya. 

"Dia melakukannya tanpa sadar, dia tak mungkin bertanggung jawab. Jika kelak aku hamil akibat perbuatannya, aku akan menjadi orang yang paling hina di dunia ini." Sesenggukan Arinda berkata, dia merasakan sesak yang amat luar biasa. 

"Arinda." Sebuah suara di sertai ketukan pintu terdengar. 

Arinda buru-buru menyeka air matanya sambil melangkah ke pintu. Walaupun tubuhnya sakit, tapi dia berusaha untuk menggapai handle pintu dan membukanya. 

"Ada apa, Bu?" tanyanya dengan suara serak. 

Wanita paruh baya, teman sesama pelayannya itu menatapnya lurus. Untung saat ini Arinda memakai jaket hoodie, jadi tanda kissmark di sekitar lehernya itu tak bisa di lihat oleh temannya. 

"Wajah kamu pucat, mata kamu sembab dan merah. Ada apa, Nak?" tanyanya lembut, membuka pintu kamar Arinda lebih lebar. 

Wanita itu masuk dua langkah membuat Arinda mengusap matanya yang hampir meneteskan air lagi. Wanita di hadapannya mengingatkan Arinda pada sosok ibunya. 

"Arinda sakit, Bu. Sepulang dari Makam kemarin sore," ucapnya sambil menggigit bibir, menahan agar tak menangis lagi. 

"Ya ampun, perlu ke dokter? Ibu akan minta izin pada Tuan Alrix, bagaimana?" Arinda menggeleng. 

"Tidak perlu, Bu." Arinda terisak, dia merasa malu jika harus menampakkan diri pada orang lain. 

"Arinda hanya perlu mandi, nanti juga baik sendiri dan bisa kembali bekerja. Ibu jangan khawatir, Arinda kuat kok." 

Wanita di hadapannya itu menatapnya sendu, seakan paham akan hal yang dirasakan Arinda, tapi tak tahu apa penyebabnya. 

"Yasudah, kalau kedinginan kamu boleh pakai jaket. Hari ini jadwal kita cuma menyiapkan makan pagi untuk Tuan Muda. Setelahnya kamu bisa beristirahat," ucapnya membuat Arinda mengangguk. 

"Arinda mandi dulu, Bu." 

"Iya, ibu tunggu di dapur, ya?" 

Wanita itu berlalu, Arinda langsung menutup pintu kamarnya dan menyandarkan diri di sana. Di tatapnya langit-langit kamar dengan mata di penuhi air mata. 

"Tuhan, kuatkanlah aku, demi Ayah ...."

***

Deondra bangkit dengan wajah kusut, dia masih terbayang-bayang tentang kejadian yang dia lakukan tadi malam. 

"Seharusnya aku tak melakukannya pada orang yang memang ku cintai," desisnya kesal, masih duduk menyandar. 

"Tapi 'kan, aku belum tentu mencintainya. Bukannya dia pelayan, ya? Dia sudah semestinya melayani semua permintaanku."

Tangannya menyibak selimutnya yang terdapat bercak merah di sana. 

Hatinya seakan diremas dengan kuat saat melihatnya, tanpa sadar dia merutuki kesalahannya yang sudah keterlaluan. Selama ini tak pernah dia menyentuh wanita hingga sejauh itu. Dia selalu bisa menahan dirinya pada siapapun, tapi kenapa dengan Arinda tidak? 

"Aku harus apa jika melihatnya? Pura-pura tidak tahu?" Dia menggeleng sendiri. 

"Apa aku harus minta maaf padanya? Tidak! Aku harus bertanggung jawab? Ah, tidak! Mengusirnya? Itu bisa di pertimbangkan. Atau membiarkannya tetap disini?" 

Wajahnya acuh, walaupun merasa bersalah, dia bangkit mengambil sprei di lemari dan menimpa spreinya yang lama, menutupi bercak darah di sana. 

"Atau aku harus menikahinya? Tidak mungkin! Dia hanya pelayan biasa. Lagipula perasaanku masih terlalu dangkal, aku juga tidak mau kecewa lagi dengan yang namanya cinta dan perempuan. Itu benar-benar ide gila!" Deondra memasang wajah datar, walaupun merasa bersalah jiwa angkuhnya tetap melambung tinggi. 

Sama seperti Arinda, Deondra sebenarnya merasa amat sangat gusar. Sedih juga dia rasakan saat seorang wanita polos yang tak tahu apa-apa, menjadi korban kekurangajarannya. Tapi dia tak boleh luluh, anggap saja itu adalah balasan atas pengkhianatan mantan kekasihnya dulu. 

Deondra langsung menatap kearah pintu, saat seseorang mengetuknya. 

"Masuk!" 

Dia sudah tahu itu Alrix, tanpa bicara Deondra mengambil kausnya yang tergeletak dan berjalan kearah sekretarisnya itu. 

"Kamu lihat itu?" tanyanya angkuh sambil menunjukkan pecahan kaca dengan dagu. 

Alrix mengikuti arah tunjukkan Deondra, lalu menatap lagi wajah Tuan Mudanya itu. 

"Apa yang terjadi, Tuan?" tanyanya bingung. 

"Arinda tak becus melakukan pekerjaannya. Aku memintanya membereskan kaca itu kemarin malam, tapi dia malah meninggalkannya di sana," ucapnya kesal,  sengaja membohongi Alrix. 

Mata Alrix melebar, lalu menggeram kesal. "Maafkan saya Tuan Muda. Akan saya tegur dia sekarang juga."

Sudut hati Deondra tertampar keras, saat dengan mata kepalanya sendiri dia melihat Alrix yang langsung marah dan berbalik. Apakah mereka memang tak punya hubungan apa-apa? Shit! 

"Alrix," panggilnya membuat langkah Alrix terhenti, dia berbalik dan menunduk sopan. 

"Ada yang Tuan butuhkan lagi?" tanyanya membuat Deondra mendekat.

"Pecat dia, aku juga tak ingin semakin terikat perasaan dengan gadis ceroboh sepertinya." 

Alrix langsung mengangguk membuat jiwa Deondra meradang. "Akan saya lakukan Tuan. Maaf, mungkin dia ceroboh begini karena semalam baru mengunjungi Ayahnya yang tengah koma." 

Telapak tangan Deondra mengepal kuat penuh rasa bersalah. Tapi dia sama sekali tak mempedulikannya, walaupun matanya mulai memerah saat mendengar ucapan Alrix. 

"Tunggulah disini, setelah aku selesai mandi kita akan bertemu dengannya di meja makan." Alrix kembali mengangguk. 

"Baik Tuan. Saya akan keluar untuk meminta pelayan membersihkan ini." Deondra mengangguk acuh, langsung berjalan menuju kamar mandi. 

"Aku harus bersikap datar padanya, nanti juga dia akan mulai menerima dan memuja diriku yang sempurna ini." Deondra bergumam, masuk ke dalam kamar mandi. 

***

Tubuh Arinda sudah bergetar saat melihat Deondra yang datang bersama dengan Alrix. Tanpa sadar, tangannya terangkat dan menaikkan kerah jaket hoodie yang di pakainya. Bahkan hal itu tak luput dari perhatian Deondra yang sudah di dekatnya. 

"Apakah di sana ada kissmark yang ku tinggalkan?" batinnya mengingat-ingat, dia bahkan menatap wajah Arinda yang sembab dan memucat. 

"Pergilah bantu yang lain, Bu. Ada hal penting yang harus kami bicarakan dengan Arinda." Alrix berkata sopan, meminta pelayan wanita paruh baya itu menjauh. 

Mendengar itu Arinda langsung bergerak memegang tangan wanita itu, matanya sudah mulai mengeluarkan air. 

"Jangan tinggalkan saya, Bu." 

Deondra yang mendengar suara parau dan serak dari Arinda tanpa sadar meninju meja makan di hadapannya. Melampiaskan kekesalan atas dirinya, tapi hal itu malah di salah artikan oleh wanita paruh baya dan Arinda yang seketika memucat. 

"Maaf, Arinda. Saya harus membantu yang lain. Setelah ini kamu bisa beristirahat agar cepat sembuh, ya?" Wanita itu mengusap air mata gadis sebelum berlalu, meninggalkan Arinda dengan tubuh yang gemetar hebat bersama dengan kedua pemuda di hadapannya. 

"Kamu sudah melakukan kesalahan dengan meninggalkan pekerjaan di kamar Tuan Muda, Arinda." Suara Alrix yang datar membuat Arinda meremas ujung pakaiannya. 

"Kesalahan yang mana ya, Tuan?" Pelan suaranya terdengar, kepalanya tertunduk dalam. 

"Pecahan kaca di kamar Tuan Muda. Kenapa kamu tidak membuangnya?" Arinda menahan tubuhnya yang hampir terhuyung kaget, dia mendongak menatap Alrix yang kembali bicara. 

"Kamu tidak bisa melakukan kesalahan sekecil apapun di rumah ini. Karenanya, kamu dipecat!" 

Bersambung! 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status