"Kamu tidak bisa melakukan kesalahan sekecil apapun di rumah ini. Karenanya, kamu dipecat!"
Bak tersambar petir, tubuh Arinda langsung melemas mendengar ucapan itu. Matanya bahkan sudah berkaca-kaca, dia beringsut mendekati Alrix dengan langkah perlahan. Arinda merasa takut jika harus mendekati Deondra, hingga langkahnya memilih Alrix untuk memohon.
Arinda menangkup kan kedua tangannya di depan wajah, memohon.
"Saya mohon, Tuan Alrix. Jangan pecat saya, saya mohon. Bagaimana saya bisa membiayai pengobatan ayah saya jika saya di pecat?" Sesenggukan Arinda berkata membuat Alrix merasa iba.
Deondra yang melihat hal itu, ingin rasanya langsung menonjok wajah Alrix. Entah apa penyebabnya, yang pasti dengan melihat Arinda menangis sudah cukup membuat jiwanya tercabik. Dia mendekati mereka dan menatap Arinda dengan ekspresi angkuh dan sulit di artikan.
"Semuanya ada pada kekuasaan Tuan Muda. Saya hanya melakukan perintah," ucap Alrix tak dapat melakukan apapun.
Hal itu membuat Arinda langsung membalik sedikit tubuhnya dan menjatuhkan diri di bawah kaki Deondra yang baru mendekat. Dia menangis terisak, bersimpuh di hadapan Deondra yang sudah mulai merasa sesak. Kali ini Deondra tak bisa menelisir perasaan apa yang menghampirinya.
"Kasihanilah saya, Tuan .... Ayah saya membutuhkan uang untuk biaya pengobatan. Saya ... saya minta maaf atas kecerobohan saya .... Anda bisa menghukum saya, asalkan jangan ... jangan pecat saya. Saya mohon ...." Isakannya terdengar, disertai dengan air mata Arinda yang berjatuhan ke lantai.
Alrix yang melihat itu hanya dapat meremas telapak tangannya. Dia tak tega, kasihan dan juga merasa bahwa keputusan Tuan Mudanya yang tidak tepat. Tapi bagaimana lagi, jika Tuan Mudanya sudah bertitah, sulit untuk membuatnya menarik perintah.
"Saya mohon, Tuan. Saya hanya akan bekerja disini hanya sampai Ayah saya bangun. Ketika ayah saya bangun, saya akan berhenti dan tak akan lagi bekerja di sini. Saya mohon maaf atas kesalahan saya, saya berjanji tidak akan melakukannya lagi. Hukum saya ..., asalkan tetap izinkan saya bekerja di sini. Sulit mencari pekerjaan di luar sana, Tuan. Saya mohon ...." ujarnya lagi, hatinya semakin sakit.
Kenapa dia yang harus memohon? Bukankah Arinda yang sudah kehilangan mahkota kesuciannya? Bukankah karena Deondra yang melakukan hal itu, makanya Arinda melupakan pekerjaan awal yang membuatnya sampai di kamar Deondra. Kenapa harus Arinda yang meminta maaf dan bersimpuh di bawah kakinya?
Tanpa Alrix duga sekalipun, Deondra berjongkok di depan Arinda yang bersimpuh. Diraihnya dagu wanita yang sudah mengaduk-aduk perasaannya sebulan terakhir, lalu senyum tipis di wajah datarnya terlihat.
"Lakukanlah pekerjaanmu," ucapnya santai seakan tak pernah melakukan kesalahan.
Tatapan hancur Arinda dan air mata yang ada di pipi dan matanya membuat Deondra tak sanggup menatapnya lama. Dia langsung menarik bangkit tubuh Arinda dan mengusap air matanya.
"Tuan Muda?" Alrix tercengang, tak percaya dengan apa yang di lihatnya.
"Benarkah ini Tuan Deondra? Tuan Deondra yang empat tahun ini membenci setiap wanita? Apakah benar, Tuan Muda sudah jatuh cinta padanya?" Alrix bahkan harus mengerjabkan matanya berulang, agar yakin dengan apa yang dilihatnya.
"Jangan pecat saya Tuan .... Saya punya tanggungan, Ayah saya sedang koma." Arinda berkata lagi, patah-patah saat Deondra mengusap air matanya.
"Siapa yang memecatmu? Alrix? Dia hanya mengada-ada, itu tadi hanya prank!"
Alrix menatapnya dengan wajah tak terima. "Prank katanya? Apa-apaan!" serunya dalam hati.
"Benarkah? Saya, saya tidak di pecat?" Deondra menghela napasnya dalam, lalu melepaskan tangannya dari wajah Arinda.
"Pergilah ke kamarmu, istirahat di sana. Wajahmu panas, kau kurang sehat. Biar yang lain yang melayani makan pagiku," ucapnya datar, berjalan kearah meja makan.
Arinda mengangguk pelan, lalu melihat kearah Alrix yang sedang terdiam. Lalu berjalan menuju arah belakang. Hatinya lega, walaupun sudah hancur tak berbentuk. Namun hikmahnya, Deondra tak jadi memecatnya.
"Seharusnya aku memeluknya, jika perlu merawatnya. Dia seperti ini karena ulahku," batin Deondra, mengikuti langkah pelan Arinda yang menjauh dengan tatapan matanya.
"Tuan Muda, apakah ini adalah diri Anda? Anda sudah kembali seperti dulu?" Alrix bertanya sambil mendekati Deondra yang sudah duduk menyandar.
"Cih, caramu tidak tepat sekali! Seharusnya kamu memecatnya dengan lebih manusiawi!" Alrix terperangah, dia menatap Deondra yang sudah menatapnya tajam.
"Terserahlah! Tapi perlu Anda ketahui Tuan Muda, ucapan 'pecat' akan tetap menyakitkan di dengar walau selembut apapun di ucapkan," ucapnya dalam hati, tak berani mengatakannya langsung.
"Maafkan saya Tuan Muda, bukankah Anda melihat saya sudah berkata lembut tadi?" tanyanya membela diri.
"Mana? Aku hanya melihatnya yang rapuh dan langsung jatuh bersimpuh. Tangisannya itu membuatku semakin sesak, kenapa dia bisa membuatku terpikat seperti ini?" desis Deondra kesal, mengantukkan kepalanya ke sandaran kursi.
Alrix tersenyum. "Mungkin Anda sedang jatuh cinta, Tuan Muda."
Deondra menoleh lagi, menatap Alrix tajam. Wajah tampannya tertutupi dengan keangkuhannya yang terpampang.
"Kamu tahu apa penyebab utama aku ingin memecatnya tadi?" Alrix terdiam sesaat, lalu mengangguk.
"Karena pecahan kaca alkohol Anda, bukan?" tanya Alrix tapi Deondra menggeleng.
"Lalu apa? Apakah karena perasaan Anda yang terusik dengan kehadirannya? Jika begitu, saya bisa membuat Arinda pindah tugas ke rumah Anda yang ada di luar kota." Alrix berkata, menawarkan.
"Dia akan kesulitan mengunjungi ayahnya!" tukas Deondra, membuat tubuh Alrix tersentak.
"Sejak kapan Tuan Peduli? Apakah benar Anda sudah jatuh cinta?" batin Alrix menatap Tuan mudanya yang menghela napas.
Deondra menghempaskannya tubuhnya kesadaran kursi, lalu memijit pelipisnya yang berdenyut. Bingung sekaligus merasa bersalah, haruskah dia mengatakannya pada Alrix? Sekretarisnya yang sudah sembilan tahun bekerja di sampingnya? Tapi, apa tanggapan Alrix padanya?
"Kau tahu aku kalau sudah jatuh cinta, bukan?" Alrix mengangguk.
"Saya tahu, Tuan."
"Apakah sama seperti saat ini?" tanyanya lagi, membuat Alrix tersenyum.
"Hampir mendekati," jawab Alrix jujur.
Deondra terdiam, menghela napasnya dalam. "Aku sudah menghancurkannya."
Bayangan kejadian tadi malam kembali melintas, membuat jemarinya terkepal erat. Seharusnya Deondra tak melakukannya, tapi bagaimana lagi? Semuanya sudah terjadi. Mungkin itulah cara awal yang tertulis untuknya agar dapat mengubah dirinya yang membenci wanita.
Alrix menatap wajah Tuan Mudanya dengan senyuman. Walaupun Deondra mengucapkannya pelan, tapi dia tetap dengar.
"Memangnya apa yang sudah Anda lakukan?"
Deondra menatapnya malas. "Apa yang sudah kulakukan? Bukankah kamu yang memecatnya tadi?"
Alrix diam, berpikir bahwa tadi dia salah mendengar dan juga salah mengartikan perlakukan Deondra yang tak sengaja mengklarifikasi bahwa Tuan Mudanya sudah berubah.
"Aku harus menemuinya nanti. Meminta maaf dan memberinya sejumlah uang untuk membayar biaya rumah sakit ayahnya. Kasihan jika dia harus bekerja banting tulang seperti ini. Di tambah lagi karena perbuatanku tadi malam. Pasti tubuhnya sakit semua. Cih, ini hal yang paling aneh yang pernah kulakukan. Diluar sana para wanita justru memujaku." Deondra bergumam kesal yang hanya dia sendiri yang mendengar.
"Cari tahu saja dimana ayahnya di rawat Alrix, dan apa penyakitnya. Aku hanya ingin tahu informasi itu," ujarnya membuat Alrix mengangguk.
"Baik, ada lagi Tuan?" Deondra menghela napasnya.
"Salah bukan, jika aku jatuh cinta padanya? Dia hanya seorang pelayan," ungkap Deondra, lalu terdiam lagi.
"Dia pelayan, tapi aku sudah berani menyentuhnya bak istriku sendiri." Deondra berteriak dalam hatinya, lalu meninju meja makan dengan keras.
"Tidak salah, Tuan. Hanya aneh saja, sekarang pilihan Anda sangat jauh berbeda dari yang dulu, ya?"
Bersambung!
"Tidak salah, Tuan. Hanya aneh saja, sekarang pilihan Anda sangat jauh berbeda dari yang dulu, ya?"Deondra menatap wajah Alrix datar, lalu menyunggingkan senyum miring."Dia hanya seorang pelayan, kata siapa dia pilihanku? Yang cocok itu, jika dia menjadi pilihan para petani di perkebunan teh. Aku? Memilih dia? Kamu pasti sudah gila!" Deondra bangkit, tak jadi makan karena sudah kehilangan selera.Alrix tersenyum kecut, tapi kemudian tersenyum tipis. "Jika begitu, saya ada niat untuk mendekatinya. Saya merasa Arinda memiliki daya tarik dan sikap seperti seorang putri kerajaan."Deondra yang mendengarnya hampir berbalik dan mencengkram kerah Alrix yang berjalan di belakangnya. Tapi, itu tak dia lakukan demi menjunjung tinggi harga dirinya."Cih, lakukan saja. Kamu dan dia 'kan sama. Sama-sama pelayanku!" Deondra berkata acuh, padahal tangannya sudah terkepal erat.
Deondra sedang tersenyum sendiri di balkon kamarnya, menatap langit biru yang menampilkan cuaca cerah hari ini. Dia sedang menunggu, menunggu datangnya gadis itu dan menggodanya. Bukankah selama ini itu yang dia dapatkan? Walaupun tak pernah menyentuh para wanita, tapi dirinya selalu di kejar-kejar, membuatnya congkak.Empat tahun lalu dia adalah Deondra yang menyenangkan. Mudah tersenyum dan tertawa bersama dengan para teman dan rekan kerjanya. Dia juga baik hati, penuh perasaan dan juga rendah diri. Hal itulah yang membuat para wanita mengejarnya, memujanya dan mendambakannya. Tapi semua sikap baiknya itu di injak-injak oleh Anne, wanita yang pernah masuk kedalam relung hatinya dan bertahta di sana.Dua tahun dia menjalin hubungan kasih dengan wanita itu. Bahagia dan menghabiskan waktunya dengan ceria. Deondra mencintai Anne sepenuh hati, tak pernah menyangka bahwa gadis itu adalah musuh dalam selimut. Tak pernah Deondra sadari, bahwa
"Apa maksudmu? Kapan aku menyentuhnya?" sentaknya kasar membuat Alrix tak berani lagi untuk melanjutkan ucapannya.Dia menunduk. "Maaf Tuan Muda, saya sudah berkata lancang."Deondra menatapnya, lalu membuang wajahnya dengan tatapan datar. Tapi tak bisa di pungkiri Deondra tengah mendesah sedikit lega, dia amat yakin, pasti Alrix tidak akan tahu apa yang sudah dia perbuat."Aku akan keluar malam ini, siapkan mobil." Deondra berkata, langsung melangkah dengan memasukkan kedua tangannya di saku celana.Alrix berbalik, mengikuti Deondra yang berjalan memasuki kamarnya. Deondra menuju kearah rak, mengambil satu botol alkohol melangkah menuju sofa."Anda mau kemana?" Alrix bertanya, wajahnya terlihat cerah.Selama ini Tuan Mudanya itu selalu mengurung dirinya di kantor ataupun kamarnya. Tak pernah Deondra pergi ke tempat hiburan malam ataupun ber
Seketika seluruh isi Bar yang dimasuki oleh Deondra hening. Padahal tadi musik berdentum memekakkan telinga. Bahkan para bartender dan juga wanita penghibur yang awalnya meliuk-liukkan tubuh seksinya di lantai dansa juga ikut melihat kearah pintu. Tak percaya dengan tatapan mata mereka yang menampilkan sosok Deondra. Pria dewasa yang amat berpengaruh di seluruh kota. Perusahaannya yang besar dan bercabang-cabang, cukup membuat namanya tersohor dan sosoknya amat di kenali di seantero kota.Kabar tentang Deondra yang menjauhkan diri dari hiburan malam, para wanita dan dunia luar cukup besar hingga sampai ke telinga masyarakat yang mengenalinya. Bahkan ada yang menyebarkan berita bahwa Deondra bersumpah untuk tak lagi ingin jatuh cinta. Sikapnya yang berubah 180° itu berhasil membuat orang-orang yang mengaguminya menjadi kecewa. Pasalnya dulu Deondra adalah seumpama malaikat tak bersayap yang rajin menyebarkan kebaikan dan juga tatapan penuh kasih sayangnya pada
Arinda menjatuhkan tubuhnya ke ranjang miliknya setelah menyelesaikan tugas akhir. Diraihnya ponsel yang dia charger di atas meja kecil di sebelah tempat tidur, memeriksanya sebentar. Karena tak ada yang penting, diletakkannya ponsel itu sembarangan lalu menatap langit-langit kamar."Kapan Ayah bangun? Sudah sebulan lebih sejak kejadian itu, tapi tidak ada perubahan sama sekali," ungkapnya sedih, dia menghela napasnya pelan.Termenung sendirian sampai tak sadar air matanya sudah mengalir melewati pelupuk. Seharian ini dia berusaha kuat, berusaha terlihat kuat saat ada pelayan senior yang menyapa dan berbincang dengannya. Arinda masih berusaha memancarkan senyum, menampilkan bahwa dia baik-baik saja. Padahal, seluruh hatinya hancur dan pikirannya sedang bertengkar dengan semua bayangan malam itu yang selalu bergentayangan di kepalanya.Arinda hanya seorang gadis rapuh, manja dan juga mudah merasa hancur. Kasih sayan
"Siapa?" batin Alrix.Tapi Alrix tak berani menanyakannya langsung. Dia tak ingin membuat hati Tuan Mudanya berubah lagi. Saat ini, dia sudah dapat melihat bahwa Deondra mulai tenang, mungkin sebentar lagi akan tertidur."Keluarlah Alrix, aku ingin sendiri." Deondra berkata membuat Alrix akhirnya mengangguk."Baik Tuan, jika anda butuh sesuatu saya ada dibawah," ucapnya."Hmm," sahut Deondra malas.Saat Alrix sudah terdengar menutup pintu, matanya terbuka lagi. Dia menatap pintu itu dengan tatapan mata yang menyiratkan sesuatu. Kesedihan, itulah yang dapat di lihat dari sorot mata itu. Sorot mata yang selama ini selalu dia rahasiakan."Biarlah, aku tetap ingin menjadi seperti ini. Aku ingin menunjukkan padanya, aku tidak selemah dulu."Deondra bangkit dari duduknya, berjalan kearah balkon. Dia berdiri mematung, menatap pijar
Alrix membopong Deondra keluar dari mobil, dia mabuk dan tak sanggup membuka matanya. Namun dia masih sadar, seluruh tubuhnya dia berikan pada Alrix karena rasa malas yang menggerogoti dirinya. Di tambah rasa pening di kepalanya, membuatnya sedikit sempoyongan saat berjalan."Hati-hati, Tuan Muda."Alrix menaiki tangga penghubung antara halaman dan juga teras, sekalian memastikan kaki Deondra benar menaikinya. Setelahnya mereka masuk kedalam rumah.Pagi hari, para pelayan sudah hilir mudik mengerjakan isi rumah. Wajah mereka terlihat ingin tahu kenapa dengan Tuan mudanya? Tapi tak ada yang berani bertanya. Karena hal itu adalah sesuatu yang amat di larang di dalam peraturan rumah utama.Menaiki tangga, Alrix masih bersusah payah untuk membantu Deondra. Hingga tak lama kemudian seorang pelayan pria lewat membawa sapu panjang untuk membersihkan sarang laba-laba. Di belakangnya Arinda mengikuti sambil
Deondra keluar dari kamar mandi dengan memakai jubah handuk berwarna putih. Tubuhnya tampak segar, tetesan air di rambutnya, mengalir turun ke leher dan juga tengkuknya, menambah pesonanya yang semakin terlihat. Dia memang tampan, tubuhnya gagah dan juga memiliki pesona yang mengagumkan. Tidak hanya orang lain, Deondra sendiri mengakui hal itu.Ditariknya sebuah laci nakas, mengeluarkan map dari sana. Dia mengusap rambut basahnya sekilas, sebelum menjatuhkan tubuhnya ke ranjang lebar miliknya yang sudah tertata rapi. Spreinya sudah berganti warna, membuat pupil matanya membesar saat menyadari hal itu.Tanpa aba-aba, Deondra bangkit, meletakkan map yang di pegangnya di atas nakas lalu mulai menyingkap selimut untuk mencari sesuatu. Hilang! Bercak merah itu sudah tidak ada lagi di sana. Siapa yang sudah mengganti spreinya?Tanpa berpikir dua kali, Deondra langsung memencet remote pemanggil kepala pelayan, pasalnya Al