Share

Bab 7. Kau Merasa Hebat?

Deondra sedang tersenyum sendiri di balkon kamarnya, menatap langit biru yang menampilkan cuaca cerah hari ini. Dia sedang menunggu, menunggu datangnya gadis itu dan menggodanya. Bukankah selama ini itu yang dia dapatkan? Walaupun tak pernah menyentuh para wanita, tapi dirinya selalu di kejar-kejar, membuatnya congkak. 

Empat tahun lalu dia adalah Deondra yang menyenangkan. Mudah tersenyum dan tertawa bersama dengan para teman dan rekan kerjanya. Dia juga baik hati, penuh perasaan dan juga rendah diri. Hal itulah yang membuat para wanita mengejarnya, memujanya dan mendambakannya. Tapi semua sikap baiknya itu di injak-injak oleh Anne, wanita yang pernah masuk kedalam relung hatinya dan bertahta di sana. 

Dua tahun dia menjalin hubungan kasih dengan wanita itu. Bahagia dan menghabiskan waktunya dengan ceria. Deondra mencintai Anne sepenuh hati, tak pernah menyangka bahwa gadis itu adalah musuh dalam selimut. Tak pernah Deondra sadari, bahwa Anne selalu membawa pisau tajam yang siap menusuknya dari belakang. Cintanya terlalu tulus, hingga akhirnya tersakiti. 

Anne hampir mengambil alih kekuasaan dan perusahaan besar ayahnya. Wanita rakus dan gila harta itu hampir mendapatkan semuanya saat membawa kedua orang tuanya berlibur. Dia sengaja, sengaja menabrakkan mobil yang dikemudikannya kesebuah mobil minibus dan tak menyangka akan berakibat fatal. Mobil dirinya dan orang tua Deondra nyaris tewas di sana, kalau tidak datang para pengemudi yang membantu mereka keluar dari mobil. Ayah ibu Deondra sempat di rawat di rumah sakit ternama, dan Deondra masih mempercayai Anne untuk menjaga perusahaan sementara dia sendiri merawat dan menjaga kedua orang tuanya. 

Kejadian miris itu terjadi secara berurutan. Sebelumnya Anne pernah meminta Deondra untuk segera menikahinya dan menyerahkan separuh saham milik Deondra padanya. Merasa hal itu tak masuk akal, Deondra menolak. Bagaimanapun harta dan saham-saham itu masih milik ayahnya, dia tak punya hak untuk memberikannya. Anne yang tak terima sempat menghilang beberapa hari, sebelum akhirnya datang lagi  sebagai pahlawan sekaligus pengkhianat dan juga pembunuh kedua orang tua Deondra. 

Masa berkabung Deondra membuatnya mempunyai kesempatan untuk mengambil alih sebagai pimpinan perusahaan. Bahkan sempat dia mengambil alih beberapa anak perusahaan sebelum akhirnya Alrix memergoki ulahnya dan melaporkan hal itu pada pihak berwajib. 

"Empat tahun Anne ...." Deondra berkata datar, teringat perbuatan sang mantan kekasih yang entah ada di belahan bumi sebelah mana. 

Dia menghela napasnya. "Empat tahun kau menimbulkan luka ini di dalam hatiku. Dan sekarang sudah mulai mengering."

Sesak, itu yang Deondra rasakan sejak kepergian orang tuanya dan juga pengkhianatan Anne. Hal itu yang membuatnya berubah drastis, dari Deondra yang berwajah penuh senyum menjadi Deondra yang angkuh dan menyebalkan bagi semua orang, termasuk Alrix. 

Terkadang, sifat Deondra yang penuh kuasa, sering kali membuat beberapa pengusaha kecil kehilangan usahanya. Seperti saat dia mengambil alih kekuasaan orang-orang yang mengusiknya dan tanpa menunggu lama Deondra menghancurkan perusahaan-perusahaan menjadi debu. Hal itu membuatnya menjadi sosok yang di takuti, semua orang di kota menaruh rasa segan padanya. Namun walaupun begitu, tak sedikit juga orang-orang menjadikannya sebagai seorang pria yang penuh inspirasi. Terlepas dari kehebatan dan juga kebaikannya dulu yang telah berhasil memberikan dampak positif bagi anak-anak muda dan orang tua. 

"Disaat luka ini mulai mengering, aku menimbulkan luka pada orang lain." Deondra berkata lagi, lebih pelan, wajahnya menimbulkan raut bersalah sesaat.

Tapi langsung hilang karena senyum miring yang terbit. Wajah angkuhnya mulai terlihat, disertai kilatan mata penuh kebencian. 

"Aku membencimu, Anne. Bahkan jika Tuhan mengutukmu menjadi batu, aku tetap membencimu! Kau yang sudah membunuh kedua orang tuaku," ujar Deondra jijik, matanya menatap nanar kearah samping rumahnya. 

Bayangan percintaan yang di lakukannya dengan Arinda kembali hadir. Membuat tangannya terkepal entah sedang memikirkan apa. Jiwanya yang tinggi, tak akan pernah mengakui bahwa itu kesalahannya. Semua wanita pasti akan menyukainya, termasuk Arinda, begitulah pemikirannya. 

Dia memang menjadi seseorang yang tak peduli apapun sejak empat tahun lalu. Kebenciannya yang mendarah daging pada Anne, membuatnya membenci semua wanita. Tapi, tidak dengan Arinda. Dia seakan tak bisa membenci pelayan itu. Walaupun Deondra tak menyadarinya, karena sifatnya yang tak pernah mau mengakui kelemahan atau sesuatu yang mulai salah dalam hatinya. 

"Tuan Muda." Suara Alrix yang memanggilnya tak dia pedulikan, tubuhnya tetap berdiri tegak membelakangi sekretaris yang sudah membuatnya menodai Arinda. 

Tapi itu tak dia sadari juga, Deondra tak pernah tahu bahwa dia sedang cemburu dan tak pernah mempedulikan keadaan hatinya yang mulai berubah saat ini. 

"Ada yang Anda butuhkan?" Alrix bertanya, tapi Deondra tak segera menjawab. 

Pikirannya teringat sesuatu. "Sudahkah kau menemukannya?" 

Alrix yang paham arah pembicaraan Deondra tersentak. Sejak kapan Tuan Muda nya itu mau membahasnya lagi? Selama ini dia ingat betul, jangankan membahasnya langsung, teman-temannya yang lain menceritakannya pun Deondra sudah murka. 

"Kenapa Tuan Muda bertanya hal ini?" tanya Alrix pelan, takut jika Tuan mudanya kembali terluka. 

Deondra terdiam, tersadar sesuatu yang salah dari ucapannya. Alrix yang menyadari hal itu juga diam, berpikir bahwa mungkin Tuan Mudanya salah bicara atau ada arti lain. 

"Lupakanlah," ucapnya datar, lalu berbalik sambil bersedekap. 

"Kau sudah menemuinya?" Wajah angkuh dan penuh ejekan timbul, mengusir kesedihan yang sempat menghampirinya.

Alrix menatap Deondra dengan wajah jengah, tapi kemudian dia menunduk sopan. 

"Saya tidak bisa bertanya padanya, Tuan Muda. Wajahnya seperti kelelahan, dia masih menangis saat saya menemuinya tadi." Alrix berkata membuat Deondra tertegun sejenak, tapi tetap tak ingin mengakui bahwa itu kesalahannya. 

"Biarkan saja, aku tak jadi memecatnya saja sudah bagus." Deondra melangkah, mendekati Alrix. 

"Tubuhnya juga panas Tuan Muda. Maaf, saya ingin bertanya. Apakah saat Anda memintanya membersihkan pecahan kaca di kamar, sudah kelihatan bahwa dia sedang sakit?" tanya Alrix membuat langkah Deondra terhenti. 

Dia menatap Alrix yang tampak cemas, hal itu membuat sedikit rasa kesal menghampiri dadanya. 

"Tidak," tukasnya datar. 

Mata Deondra menyipit, menatap Alrix dengan wajah penuh selidik. 

"Kau bilang tadi tubuhnya panas?" tanyanya yang langsung di angguki oleh Alrix. 

"Apakah kau menyentuhnya, Alrix? Kau menyentuh seorang pelayan?" tanya Deondra angkuh, tak sadar diri bahwa dia sendiri bahkan sudah lebih dari kata menyentuh. 

Mata Alrix terbelalak, tak paham akan ucapan Tuan Mudanya yang entah mengartikan apa. Tapi kemudian dia punya cara untuk membalaskan ucapan sok angkuh dan penuh ejekan dari seorang Deondra itu. 

"Iya, saya menyentuh dahinya dan juga lehernya untuk mengecek suhu tubuhnya, Tuan. Karena saya 'kan bukan Anda, yang membenci para wanita." Alrix berkata membuat Deondra menatapnya kesal. 

"Dia merasa sok hebat begitu hanya karena sudah menyentuh dahi dan lehernya? Haha, aku bahkan sudah menyentuh hampir seluruh dari tubuhnya," batin Deondra, tak tahu malu. 

"Kau merasa itu adalah hal yang hebat?" tanyanya dengan wajah dan suara mengejek. 

"Apa hebatnya menyentuh tubuh dan kulit seorang wanita yang bekerja sebagai pelayan? Apakah kamu tidak malu pada dirimu, Alrix?" tambahnya membuat Alrix seakan terpojok. 

Tapi, meladeni Tuan Mudanya yang congkak dan angkuh, adalah kesehariannya. Dia sudah sering mendapatkan hinaan dan juga ejekan dari Deondra empat tahun terakhir. 

"Tuan Muda, dengarkan saya." Alrix berkata, ingin menyadarkan Deondra agar masalah ini tak berlarut-larut. 

"Apa? Kau ingin mengakui bahwa dirimu hebat?" Deondra berkata datar, walaupun sudut hatinya seakan tak terima jika Arinda di sentuh orang lain. Cih! 

"Saya memang sudah menyentuhnya, saya bahkan biasa bersentuhan secara tak sengaja dengan beberapa wanita rekan bisnis kita. Tapi, bagaimana dengan Anda? Bukankah Anda sudah bersumpah tak akan menyentuh wanita lagi? Tapi, kenapa Anda malah menyentuh Arinda?" 

Bola mata Deondra melebar saat mendengar ungkapan Alrix. Wajah angkuhnya tiba-tiba menghilang tanpa sadar. Deondra menatap bola mata Alrix yang tampak tenang itu dalam, mencari tahu sesuatu dari sana. 

"Apakah Alrix tahu apa yang sudah kulakukan padanya tadi malam?"

Bersambung! 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status