Share

Bab 6. Bekas Luka?

"Tidak salah, Tuan. Hanya aneh saja, sekarang pilihan Anda sangat jauh berbeda dari yang dulu, ya?"

Deondra menatap wajah Alrix datar, lalu menyunggingkan senyum miring. 

"Dia hanya seorang pelayan, kata siapa dia pilihanku? Yang cocok itu, jika dia menjadi pilihan para petani di perkebunan teh. Aku? Memilih dia? Kamu pasti sudah gila!" Deondra bangkit, tak jadi makan karena sudah kehilangan selera.

Alrix tersenyum kecut, tapi kemudian tersenyum tipis. "Jika begitu, saya ada niat untuk mendekatinya. Saya merasa Arinda memiliki daya tarik dan sikap seperti seorang putri kerajaan."

Deondra yang mendengarnya hampir berbalik dan mencengkram kerah Alrix yang berjalan di belakangnya. Tapi, itu tak dia lakukan demi menjunjung tinggi harga dirinya. 

"Cih, lakukan saja. Kamu dan dia 'kan sama. Sama-sama pelayanku!" Deondra berkata acuh, padahal tangannya sudah terkepal erat. 

Alrix yang melihatnya hanya menyeringai. 

"Saya akan mencobanya, Tuan. Oh iya, saya akan menemuinya sekarang. Permisi," ucapnya sopan membuat langkah Deondra terhenti dan langsung berbalik. 

"Apa yang akan kamu lakukan, hah?" 

Menggelegar suara Deondra bertanya, wajah angkuhnya yang tanpa sadar tengah cemburu terlihat lebih menakutkan. Padahal tadi dia sudah menjunjung tinggi lagi harga dirinya, merasa bahwa Arinda pasti akan menerima perlakuannya itu tanpa perlu repot-repot meminta maaf. Selama ini dia tahu, banyak wanita yang mendambakan nya, dan itu cukup menjadi sebuah pemikiran bahwa semua wanita itu sama. Nanti juga Arinda akan datang dan menggodanya, itulah pemikiran Deondra. 

"Saya mau menemui Arinda, Tuan Muda." Alrix berkata, sedikit bingung akan ulah Tuan Mudanya yang aneh sejak tadi pagi. 

"Untuk apa? Cih, harga dirimu rendah sekali ya? Sampai kamu langsung akan menghampirinya begitu? Kemana rasa malumu selama ini?" Angkuh Deondra bertanya, matanya menatap remeh Alrix yang sudah biasa mendapatkan perlakuannya itu. 

Dengan senyuman manis Alrix menatapnya, lalu menghela napas sebelum bicara. 

"Tuan Muda, saya hanya ingin bertanya tentang ayahnya. Kemarin saya sudah mendapatkan informasi pertama bahwa ayahnya sakit dan tengah koma. Kalau tidak salah ibunya-"

"Aku sama sekali tidak percaya! Kalau kamu ingin mendekatinya, pakai pesonamu. Jangan blak-blakan seperti itu. Cih, sekretarisku ternyata tak sesempurna itu!" 

Deondra berbalik, kembali melanjutkan langkahnya ke ruang kerja. Tak peduli bagaimana tatapan mata Alrix yang sudah tampak lelah mendengar hinaannya. Memutar tubuhnya, Alrix kembali melanjutkan tujuannya untuk menemui Arinda di kamar. 

***

"Tuan-" Remasan Deondra yang semakin menguat di bahunya membuatnya panik, apalagi saat Deondra mengunci tatapannya dengan sebuah senyuman miring. 

"Lebih baik kau mengobati luka yang lebih parah dari kakiku, Arinda. Karena dirimu, aku hampir menjadi gila!" 

Arinda berteriak ketika Deondra melemparnya keatas ranjang. Lalu tanpa aba-aba Deondra sudah menghimpitnya sambil membuka kasar jubah hitamnya. 

"Tuan, jangan! Saya mohon!" Ratap Arinda sambil berusaha memberontak.

Arinda mengacak-acak tempat tidurnya kala mengingat kejadian itu. Tercabik, hatinya sakit saat mendapatkan perlakuan dari Tuan Mudanya sendiri. Bayangan percumbuan paksa yang dilakukannya pada Arinda membuat gadis itu sudah hampir menjadi gila. 

"Kenapa ...? Kenapa dari sekian banyak wanita, aku yang menjadi pelampiasannya?" Arinda berteriak lirih, setelah menuangkan emosinya dengan menghancurkan tempat tidur. 

Dia jatuh terduduk di sudut bawah ranjang, menangis lagi, itu yang dia lakukan sejak tadi malam. Hatinya bertambah sakit, apalagi tadi Deondra berniat memecat dirinya. Menampakkan sekali bahwa Deondra tak ingin melihatnya sejak kejadian tadi malam. 

"Sebenarnya apa yang terjadi pada Tuan Muda yang selalu terlihat angkuh itu? Kenapa tadi malam dia mengatakan padaku untuk mengobati lukanya yang lain? Bukankah kami baru bertemu saat ini? Apa salahku padanya?" Arinda terdiam sejenak, tapi kemudian air matanya kembali mengalir. 

Tangis Arinda baru berhenti saat ada yang mengetuk pintu kamarnya. Bingung dan juga sedikit pusing Arinda menatap tempat tidurnya yang acak-acakan. Dengan langkah perlahan dia menggapai handle pintu. 

"Siapa?" tanyanya saat membuka pintu. 

Arinda terperangah, saat di sana Alrix tengah berdiri dengan mata memandanginya tajam. Raut wajahnya entah mengartikan apa yang pasti Arinda sedang bingung.

Kenapa Alrix ada di depan kamarnya? 

"Ada apa, Tuan?" tanyanya pelan, suaranya serak akibat tangis. 

Mata Alrix menelisik wajah sembab dan pucat Arinda, mencari tahu apa sebabnya Arinda menangis. Saat ini mata gadis muda itu memerah, lingkar hitam terlihat sangat jelas dibawah matanya. 

"Ada apa denganmu? Kamu baik-baik saja 'kan?" Alrix akhirnya bertanya, setelah tak dapat menyimpulkan mengapa Arinda menangis. 

Arinda menggeleng gugup, dia mengusap air matanya. 

"Saya baik-baik saja Tuan, hanya saja saya sedang sakit," jawabnya membuat Alrix maju selangkah lebih dekat. 

Punggung tangannya menempel di dahi Arinda, membuat sang empunya terperangah. Namun, dia sadar selama ini bahwa Alrix lebih perhatian pada para pelayan daripada Tuan Mudanya, Deondra. Mungkin sifat Deondra yang angkuh dan datar itu membuat sekretarisnya berinisiatif untuk menjadi seseorang yang lebih menyenangkan daripada Tuan Muda diantara mereka, agar tetap ada yang nyaman bekerja sama dengan Tuan Mudanya. 

"Panas," desis Alrix pelan, lalu menurunkan tangannya dan merogoh saku untuk mengeluarkan ponsel. 

"Kenapa tidak bilang kalau kamu sedang tidak enak badan? Katakan saja pada ketua pelayan, dia akan memberimu obat." Alrix berkata, menatap layar ponselnya. 

Arinda menggigit bibirnya, merasakan sesak yang amat sangat. Jika seandainya dia bisa memberitahu pada Alrix. Maka Arinda akan berteriak lantang dan mengatakan dia sudah dinodai oleh majikannya sendiri. 

Tapi, Arinda tak mungkin mengatakan hal itu. Apa tanggapan seorang sekretaris setia sepertinya? Bisa saja dia tak percaya dan menganggap Arinda mengada-ada. 

"Aku sudah memesankan obat untukmu, Arinda. Kalau nanti sudah dibawa pelayan, minum dan istirahatlah. Kamu tidak perlu bekerja berat dulu sebelum benar-benar sembuh. Kami tak mau terjadi apa-apa pada para pelayan dan akhirnya bisa membuat performa Tuan Muda berkurang," ucap Alrix, menatap Arinda sambil bicara. 

"Terima kasih, Tuan." 

Alrix tertegun sebentar, saat melihat ada bekas luka di sudut bibir Arinda. Sepertinya semalam pagi Alrix belum melihatnya? Apa mungkin itu sariawan baru? Atau, ada yang baru melukainya. 

"Maaf Arinda, bibirmu luka. Ada apa?" tanya Alrix membuat Arinda terperangah. 

Tangannya terangkat untuk meraba bibirnya yang memang seperti luka di sana. Air matanya keluar lagi, saat mengetahui hal itu. Dirinya sudah tak suci, bahkan ciuman pertamanya saja diambil seseorang yang angkuh. 

"Kenapa kamu menangis lagi? Apa itu sakit?" Alrix bertanya bingung, tapi Arinda langsung menggeleng. 

"Tidak Tuan," ucapnya sambil menyeka air mata. 

"Saya hanya merasa pusing. Apakah masih ada yang Tuan inginkan dari saya?" Bergetar dan terisak suaranya bertanya, membuat Alrix kehilangan fokus. 

"Nanti saja, jika kamu sudah lebih baik aku akan datang lagi. Istirahatlah," ujarnya membuat Arinda mengangguk. 

Sebelum Arinda menutup pintu, Alrix sudah berjalan pergi. Pikirannya sedang bergelut satu sama lain. Bekas luka di bibir Arinda itu adalah hal biasa yang terjadi jika berciuman, bukan? Kenapa Arinda memilikinya? Setelah memegangnya pun Arinda langsung menangis lagi. 

"Apa mungkin Arinda ...." Alrix berhenti melangkah, tertegun sejenak. 

Bersambung! 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status