"Tidak salah, Tuan. Hanya aneh saja, sekarang pilihan Anda sangat jauh berbeda dari yang dulu, ya?"
Deondra menatap wajah Alrix datar, lalu menyunggingkan senyum miring.
"Dia hanya seorang pelayan, kata siapa dia pilihanku? Yang cocok itu, jika dia menjadi pilihan para petani di perkebunan teh. Aku? Memilih dia? Kamu pasti sudah gila!" Deondra bangkit, tak jadi makan karena sudah kehilangan selera.
Alrix tersenyum kecut, tapi kemudian tersenyum tipis. "Jika begitu, saya ada niat untuk mendekatinya. Saya merasa Arinda memiliki daya tarik dan sikap seperti seorang putri kerajaan."
Deondra yang mendengarnya hampir berbalik dan mencengkram kerah Alrix yang berjalan di belakangnya. Tapi, itu tak dia lakukan demi menjunjung tinggi harga dirinya.
"Cih, lakukan saja. Kamu dan dia 'kan sama. Sama-sama pelayanku!" Deondra berkata acuh, padahal tangannya sudah terkepal erat.
Alrix yang melihatnya hanya menyeringai.
"Saya akan mencobanya, Tuan. Oh iya, saya akan menemuinya sekarang. Permisi," ucapnya sopan membuat langkah Deondra terhenti dan langsung berbalik.
"Apa yang akan kamu lakukan, hah?"
Menggelegar suara Deondra bertanya, wajah angkuhnya yang tanpa sadar tengah cemburu terlihat lebih menakutkan. Padahal tadi dia sudah menjunjung tinggi lagi harga dirinya, merasa bahwa Arinda pasti akan menerima perlakuannya itu tanpa perlu repot-repot meminta maaf. Selama ini dia tahu, banyak wanita yang mendambakan nya, dan itu cukup menjadi sebuah pemikiran bahwa semua wanita itu sama. Nanti juga Arinda akan datang dan menggodanya, itulah pemikiran Deondra.
"Saya mau menemui Arinda, Tuan Muda." Alrix berkata, sedikit bingung akan ulah Tuan Mudanya yang aneh sejak tadi pagi.
"Untuk apa? Cih, harga dirimu rendah sekali ya? Sampai kamu langsung akan menghampirinya begitu? Kemana rasa malumu selama ini?" Angkuh Deondra bertanya, matanya menatap remeh Alrix yang sudah biasa mendapatkan perlakuannya itu.
Dengan senyuman manis Alrix menatapnya, lalu menghela napas sebelum bicara.
"Tuan Muda, saya hanya ingin bertanya tentang ayahnya. Kemarin saya sudah mendapatkan informasi pertama bahwa ayahnya sakit dan tengah koma. Kalau tidak salah ibunya-"
"Aku sama sekali tidak percaya! Kalau kamu ingin mendekatinya, pakai pesonamu. Jangan blak-blakan seperti itu. Cih, sekretarisku ternyata tak sesempurna itu!"
Deondra berbalik, kembali melanjutkan langkahnya ke ruang kerja. Tak peduli bagaimana tatapan mata Alrix yang sudah tampak lelah mendengar hinaannya. Memutar tubuhnya, Alrix kembali melanjutkan tujuannya untuk menemui Arinda di kamar.
***
"Tuan-" Remasan Deondra yang semakin menguat di bahunya membuatnya panik, apalagi saat Deondra mengunci tatapannya dengan sebuah senyuman miring.
"Lebih baik kau mengobati luka yang lebih parah dari kakiku, Arinda. Karena dirimu, aku hampir menjadi gila!"
Arinda berteriak ketika Deondra melemparnya keatas ranjang. Lalu tanpa aba-aba Deondra sudah menghimpitnya sambil membuka kasar jubah hitamnya.
"Tuan, jangan! Saya mohon!" Ratap Arinda sambil berusaha memberontak.
Arinda mengacak-acak tempat tidurnya kala mengingat kejadian itu. Tercabik, hatinya sakit saat mendapatkan perlakuan dari Tuan Mudanya sendiri. Bayangan percumbuan paksa yang dilakukannya pada Arinda membuat gadis itu sudah hampir menjadi gila.
"Kenapa ...? Kenapa dari sekian banyak wanita, aku yang menjadi pelampiasannya?" Arinda berteriak lirih, setelah menuangkan emosinya dengan menghancurkan tempat tidur.
Dia jatuh terduduk di sudut bawah ranjang, menangis lagi, itu yang dia lakukan sejak tadi malam. Hatinya bertambah sakit, apalagi tadi Deondra berniat memecat dirinya. Menampakkan sekali bahwa Deondra tak ingin melihatnya sejak kejadian tadi malam.
"Sebenarnya apa yang terjadi pada Tuan Muda yang selalu terlihat angkuh itu? Kenapa tadi malam dia mengatakan padaku untuk mengobati lukanya yang lain? Bukankah kami baru bertemu saat ini? Apa salahku padanya?" Arinda terdiam sejenak, tapi kemudian air matanya kembali mengalir.
Tangis Arinda baru berhenti saat ada yang mengetuk pintu kamarnya. Bingung dan juga sedikit pusing Arinda menatap tempat tidurnya yang acak-acakan. Dengan langkah perlahan dia menggapai handle pintu.
"Siapa?" tanyanya saat membuka pintu.
Arinda terperangah, saat di sana Alrix tengah berdiri dengan mata memandanginya tajam. Raut wajahnya entah mengartikan apa yang pasti Arinda sedang bingung.
Kenapa Alrix ada di depan kamarnya?
"Ada apa, Tuan?" tanyanya pelan, suaranya serak akibat tangis.
Mata Alrix menelisik wajah sembab dan pucat Arinda, mencari tahu apa sebabnya Arinda menangis. Saat ini mata gadis muda itu memerah, lingkar hitam terlihat sangat jelas dibawah matanya.
"Ada apa denganmu? Kamu baik-baik saja 'kan?" Alrix akhirnya bertanya, setelah tak dapat menyimpulkan mengapa Arinda menangis.
Arinda menggeleng gugup, dia mengusap air matanya.
"Saya baik-baik saja Tuan, hanya saja saya sedang sakit," jawabnya membuat Alrix maju selangkah lebih dekat.
Punggung tangannya menempel di dahi Arinda, membuat sang empunya terperangah. Namun, dia sadar selama ini bahwa Alrix lebih perhatian pada para pelayan daripada Tuan Mudanya, Deondra. Mungkin sifat Deondra yang angkuh dan datar itu membuat sekretarisnya berinisiatif untuk menjadi seseorang yang lebih menyenangkan daripada Tuan Muda diantara mereka, agar tetap ada yang nyaman bekerja sama dengan Tuan Mudanya.
"Panas," desis Alrix pelan, lalu menurunkan tangannya dan merogoh saku untuk mengeluarkan ponsel.
"Kenapa tidak bilang kalau kamu sedang tidak enak badan? Katakan saja pada ketua pelayan, dia akan memberimu obat." Alrix berkata, menatap layar ponselnya.
Arinda menggigit bibirnya, merasakan sesak yang amat sangat. Jika seandainya dia bisa memberitahu pada Alrix. Maka Arinda akan berteriak lantang dan mengatakan dia sudah dinodai oleh majikannya sendiri.
Tapi, Arinda tak mungkin mengatakan hal itu. Apa tanggapan seorang sekretaris setia sepertinya? Bisa saja dia tak percaya dan menganggap Arinda mengada-ada.
"Aku sudah memesankan obat untukmu, Arinda. Kalau nanti sudah dibawa pelayan, minum dan istirahatlah. Kamu tidak perlu bekerja berat dulu sebelum benar-benar sembuh. Kami tak mau terjadi apa-apa pada para pelayan dan akhirnya bisa membuat performa Tuan Muda berkurang," ucap Alrix, menatap Arinda sambil bicara.
"Terima kasih, Tuan."
Alrix tertegun sebentar, saat melihat ada bekas luka di sudut bibir Arinda. Sepertinya semalam pagi Alrix belum melihatnya? Apa mungkin itu sariawan baru? Atau, ada yang baru melukainya.
"Maaf Arinda, bibirmu luka. Ada apa?" tanya Alrix membuat Arinda terperangah.
Tangannya terangkat untuk meraba bibirnya yang memang seperti luka di sana. Air matanya keluar lagi, saat mengetahui hal itu. Dirinya sudah tak suci, bahkan ciuman pertamanya saja diambil seseorang yang angkuh.
"Kenapa kamu menangis lagi? Apa itu sakit?" Alrix bertanya bingung, tapi Arinda langsung menggeleng.
"Tidak Tuan," ucapnya sambil menyeka air mata.
"Saya hanya merasa pusing. Apakah masih ada yang Tuan inginkan dari saya?" Bergetar dan terisak suaranya bertanya, membuat Alrix kehilangan fokus.
"Nanti saja, jika kamu sudah lebih baik aku akan datang lagi. Istirahatlah," ujarnya membuat Arinda mengangguk.
Sebelum Arinda menutup pintu, Alrix sudah berjalan pergi. Pikirannya sedang bergelut satu sama lain. Bekas luka di bibir Arinda itu adalah hal biasa yang terjadi jika berciuman, bukan? Kenapa Arinda memilikinya? Setelah memegangnya pun Arinda langsung menangis lagi.
"Apa mungkin Arinda ...." Alrix berhenti melangkah, tertegun sejenak.
Bersambung!
Seharian Arinda tidak keluar, karena dia malu jika bertemu dengan Ayah, Kakak ipar dan suami kakak iparnya itu. Dia juga kesulitan berjalan, akibat serangan Deondra yang tidak ada habisnya. Kuatnya tenaga Deondra saat melakukan percintaan, membuat Arinda kelelahan. Hingga akhirnya dia kembali tertidur dan berakhir di depan televisi sambil mengemil dan meminum susu kehamilan. Serial kartun anak-anak yang di tontonnya cukup menarik. Matanya sampai tak berkedip, menatap televisi lebar di hadapannya. Deondra yang ada di sofa yang sama hanya menggeleng pelan melihat tontonan istrinya. Dia sendiri membuka laptop dan mengerjakan beberapa pekerjaannya. "Coba lihat ini, Sayang." Deondra bersuara, menarik jaket bulu yang dipakai istrinya itu. "Apa itu?" Mengalihkan pandangan dari televisi, Arinda melihat sebuah destinasi wisata alam terbuka. Beberapa villa di atas bukit tinggi juga tampak indah. Tapi dia seakan kurang suka dengan
Pagi hari di kamar pengantin, Arinda mulai mengerjabkan matanya perlahan. Menatap dada bidang yang ada di hadapannya. Dia tahu itu dada siapa, dada Tuan Muda yang sudah menjadi suaminya. Dia masih ingat semalam mereka baru menikah dan tadi malam Deondra melakukan ciuman panjang dan panas padanya. Namun, pria itu pengertian. Dia tak melanjutkan kegiatannya dan memintanya istirahat. Dia tahu bahwa Arinda kelelahan dan itu tidak baik untuk kesehatan istri dan anaknya.Tersenyum kecil, Arinda mendongak untuk melihat wajah suaminya yang masih tertidur. Perlahan dia melepaskan pelukan erat Deondra dan beranjak duduk.Pukul setengah enam pagi. Biasanya dia akan bangun lebih cepat, tapi karena tubuhnya yang lelah akibat pesta, membuatnya bangun lebih lama. Nyamannya tidur malam ini membuatnya terlelap lebih cepat. Saat bangun tubuhnya terasa lebih segar. Lelah yang di rasakannya semalam berkurang banyak.Dia merenggangkan tubuh untuk mengendurkan ototn
Arinda sudah bangun sejak subuh. Lima orang dari salon yang sudah dua hari ini merawatnya, membantunya menyiapkan diri. Arinda seakan di permak, dari ujung rambut sampai ujung kuku kakinya di bersihkan dan di poles. Tak ada satupun inci tubuhnya yang terlewat. "Jam berapa acaranya akan di mulai?" Frianca, ibunya Reta bertanya. Sedari tadi dia dan anaknya duduk di ranjang Arinda, mengawasi perias pengantin yang mendandani Arinda. "Jam sebelas Nyonya Muda sudah harus menaiki Altar. Kurang lebih satu jam setengah lagi kita sudah harus sampai di sana." Frianca mengangguk paham setelah mendengar penjelasan dari salah satu staff sekretaris yang turut mengawasi persiapan untuk pengantin wanita. Dia yang di beri tanggung jawab oleh Deondra untuk memastikan semua persiapannya sempurna. Termasuk dalam riasan dan mengantarkan Arinda ke tempat acara pernikahan. Arinda terdiam selama proses merias. Dia menatap pantulan cermin yang menampilk
Memasuki sebuah mobil yang terparkir di seberang jalan, dia membawanya pergi dari sana.Selama di negara bagian selatan setelah Tuan Mudanya memindahtugaskanya, Riza bertemu dengan orang baru. Orang-orang yang paham bisnis dan pintar dalam mengembangkan usaha.Dua bulan dia di sana, salah satu temannya mengajaknya untuk membuka bisnis kuliner. Kebetulan Riza pandai memasak, bakat peninggalan setelah dia menjadi pelayan selama delapan bulan di rumah Deondra. Menggunakan hal itu, dia menerima ajakan temannya dan mulai terjun dalam dunia bisnis perkulineran. Dan bisnis barunya di terima dengan baik di kalangan rakyat negara itu, hingga saat ini mulai naik.Sampai di depan gerbang pemakaman tingkat tinggi, Riza memarkirkan mobilnya dan menemui seseorang yang di hormatinya itu."Saya sudah melakukan perintah Anda, Tuan Muda." Melepaskan alat penyadap di telinganya yang sengaja dia pasang atas perintah Deondra.Deondra terse
Deondra duduk di depan Recath, sambil menikmati teh hangat buatan Arinda.Menatap arah luar, gadisnya itu sedang bercerita dengan kedua temannya. Entah apa itu, tapi sepertinya sangat seru, hingga mereka sesekali tertawa."Pernikahan kami akan terjadi tiga hari lagi, Ayah. Sampai saat ini Arin belum ku beritahu," ujarnya sambil menatap wajah Ayah gadisnya itu."Baguslah, semakin cepat semakin baik. Usia kehamilan Arinda minggu depan masuk bulan kelima. Setidaknya dia sudah ada yang menjaga."Deondra tersenyum, menerawang hidupnya yang akan bahagia dengan keberadaan istrinya yang sedang hamil bayinya itu. Malamnya takkan sendiri lagi, tidurnya sudah ada yang menemani. Dan satu lagi, dia akan mendapatkan perhatian dan juga kasih sayang, seperti yang di lakukan ibunya pada ayahnyaa. Mungkin akan berbeda, tapi itu tetaplah menjadi sebuah hal yang sama."Arinda masih muda, sedikit labil dan juga rapuh. Jika nanti setelah me
Meraba-raba bagian depan, Arinda tak dapat melihat apapun. Dua matanya di tutup Deondra, hingga membuatnya tidak tahu akan di bawa kemana."Masih jauh?" Arinda bertanya, masih ragu untuk melangkah."Tidak, hampir sampai." Deondra berkata, masih meminta Arinda melangkah maju."Sudah? Aku sudah lelah, Deon.""Sebentar lagi, Sayang. Majulah, beberapa langkah lagi."Arinda menyerah, dia tak bertanya lagi dan memilih untuk terus berjalan. Sesaat, Deondra menahan lengannya dan membuat langkahnya berhenti."Sudah sampai?""Sudah.""Lepaskan ikatan ini," pintanya membuat Deondra tersenyum.Dia melepaskan ikatan kain yang menutup matanya. Mengerjabkan matanya pelan, dia melihat sebuah gedung yang amat familliar di matanya. Beberapa gaun pengantin dan juga rancangan-rancangan ibunya tersusun di sana, beserta satu pita berbunga-bunga indah yang membentang dari satu sisi pintu ke sisi lainnya.&nbs
Mengait mie dengan sumpit, Arinda memakannya panjang-panjang. Uap mie yang masih panas itu seakan tak terasa di mulutnya akibat suhu dingin yang di sebabkan oleh salju.Hari ini mereka berdua tengah makan di sebuah restoran kaca. Bunga dan rumput hias menjalar bergantungan bersamaan dengan onggokan salju di atas atap kotak-kotak tempat mereka berdua menghabiskan makanan.Sepanjang jalanan terbuka di penuhi salju, bahkan rumah-rumah penduduk banyak yang tenggelam karena salju yang lumayan lebat. Tak terkecuali rumah Arinda, semalam dia harus memanggil pembersih salju untuk mengurangi tumpukan benda putih itu di halaman depan rumahnya."Boleh aku bertanya?" Arinda memasukkan lagi mie setelah berkata.Selama kehamilan, gadis itu sangat suka makan mie. Tapi bukan mie sembarangan, mie yang di makannya khusus buatan cheff ternama yang sudah di pastikan kesehatannya."Kapan aku melarang," ujar Deondra, sambil menarik tissue d
Deondra ikut tertawa kecil, dia suka saat Arinda tidak canggung jika menggoda dan membuatnya kesal. Merentangkan tangannya di sandaran sofa, dia kembali mendengar ucapan gadis itu."Anda mengatakan ada yang ingin di tunjukkan pada saya beberapa hari lalu, 'kan? Sampai sekarang kok belum ada tanda-tandanya, Tuan?"Deondra berpikir sejenak. "Oh iya, soal itu. Em, akan kutunjukkan nanti kalau saatnya sudah tiba. Kau santai saja dan bersenang-senanglah.""Hmm, oke. Sudah dulu, ya, Tuan. Kami akan segera berangkat, sampai jumpa.""Kau berharap berjumpa denganku, ya?" Sengaja berlama-lama, Deondra mengulurkan pembicaraan."Lah, bukannya Anda datang ke rumah ini tanpa di undang? Jadi, bukan saya yang berharap bertemu, tapi Tuan yang selalu beralasan rindu.""Memang kenyataannya begitu. Nanti kau akan merasakannya jika kau sudah jatuh cinta padaku," ujarnya dengan nada yakin."Hmm. Sudah, ya, Tuan. Bye!"Deondra
"Benar-benar mereka itu," ucap Recath tak bisa menyembunyikan perasaan hangat, saat mobil Deondra sudah melaju di depannya.Arinda diam, masih memegang dorongan kursi roda ayahnya. Mereka berdiri di depan rumah, mengantar kepergian Deondra dan Alrix yang habis merusuh sarapan pagi mereka."Begitulah sifat Deondra yang dulu, Arin." Recath berkata, menyadarkan Arinda yang tengah termenung di belakangnya. "Dia ceria dan juga penuh kasih sayang. Kamu dengar tadi, dia datang hanya untuk memastikan kamu sarapan pagi. Dia tidak makan sedikitpun sebelum Ayah memaksa."Arinda tersenyum, mendorong kursi roda ayahnya ke halaman. "Dia memang baik, tapi kadang menyebalkan."Merengut kecil, Arinda berkata lagi. "Dia tidak seharusnya seposesif ini. Nanti kalau Arin bosan bagaimana?"Recath terkekeh kecil. "Begitulah seseorang yang sudah di mabuk cinta, bisa saja berlebihan. Kalau kamu tidak suka, katakan jangan diam saja," ucap Recath tapi