"Apa maksudmu? Kapan aku menyentuhnya?" sentaknya kasar membuat Alrix tak berani lagi untuk melanjutkan ucapannya.
Dia menunduk. "Maaf Tuan Muda, saya sudah berkata lancang."
Deondra menatapnya, lalu membuang wajahnya dengan tatapan datar. Tapi tak bisa di pungkiri Deondra tengah mendesah sedikit lega, dia amat yakin, pasti Alrix tidak akan tahu apa yang sudah dia perbuat.
"Aku akan keluar malam ini, siapkan mobil." Deondra berkata, langsung melangkah dengan memasukkan kedua tangannya di saku celana.
Alrix berbalik, mengikuti Deondra yang berjalan memasuki kamarnya. Deondra menuju kearah rak, mengambil satu botol alkohol melangkah menuju sofa.
"Anda mau kemana?" Alrix bertanya, wajahnya terlihat cerah.
Selama ini Tuan Mudanya itu selalu mengurung dirinya di kantor ataupun kamarnya. Tak pernah Deondra pergi ke tempat hiburan malam ataupun bertemu dengan temannya lagi. Biasanya, teman-temannya yang mendatanginya hanya untuk melihat bagaimana keadaannya. Mereka amat sangat tahu, bagaimana terpuruknya Deondra dulu saat tragedi menyedihkan terjadi atas kematian kedua orang tuanya.
"Aku ingin berjalan-jalan, aku ingin melihat perubahan yang terjadi di kota ini setelah empat tahun tak terlalu kuperhatikan."
Alrix menghela napasnya pelan, bahagia, tentu saja itu yang merasuki relung hatinya. Dua bulan lalu Deondra sudah memutuskan untuk mencoba mengobati rasa sakit hatinya. Deondra juga mengatakan bahwa dia ingin mengubur dalam-dalam rasa sedihnya. Namun, sifat dan keangkuhannya masih amat ketara. Entah kapan senyum penuh kasih sayang milik Tuan mudanya itu terbit lagi. Selama ini, senyuman penuh ejekan saja yang di timbulkannya. Tak lebih dan tak kurang.
"Baik Tuan Muda."
Deondra menyalakan televisi, meneguk isi botolnya sambil menatap lurus kearah depan. Bibirnya tersungging senyum aneh saat teringat akan Arinda. Sesosok gadis kecil yang berhasil memasuki ruang hatinya.
Tapi tak lama setelahnya, dia sudah menggoyangkan kepalanya demi mengusir bayangan gadis itu. Ditenggaknya alkohol berulang, mencoba untuk mewaraskan pikirannya atas apa yang sudah terjadi sebulan ini.
Alrix yang bingung sendiri melihat ulahnya, berdiri diam di sisi kanan sofa yang di dudukinyanya.
***
Deondra keluar dari kamarnya dengan setelan rapi dan menawan. Memakai celana hitam panjang dan juga jaket sewarna. Tatapan matanya menelisik lantai bawah, melihat para pelayan yang tengah mengerjakan tugasnya. Mata Deondra menangkap sosok Arinda yang tengah mengelap lemari hias, kondisinya tampak jauh lebih baik dari tadi pagi.
"Dia sudah jauh lebih baik, hmm?" gumamnya sinis.
Alrix yang ada di belakangnya tersenyum mendengar gumamam samar dari Deondra.
"Saya tadi sudah memberinya obat dan vitamin, Tuan Muda. Makanya dia sudah lebih baik," ucapnya membuat wajah Deondra yang semula baik-baik saja kini menjadi datar dengan sorot mata malas.
Dia tak menyangka bahwa Alrix mendengarnya, hal itu membuat harga dirinya seakan jatuh karena ketahuan memperhatikan seorang pelayan.
"Aku tidak sedang mengomentari gadis itu." Datar suaranya terdengar, lalu mulai melangkah menuruni tangga.
"Dengar Alrix. Aku ini Deondra Jefferson, pelayan itu bukan seleraku!" Angkuhnya, membuat Alrix tersenyum tipis.
"Maafkan saya Tuan Muda, saya kira tadi Anda memperhatikannya."
Deondra memasang wajah sok hebatnya saat mendengar Alrix bicara, kakinya sudah sampai di anak tangga terakhir.
"Kau kira aku kurang kerjaan hingga harus memperhatikannya? Cih, kau naif sekali sampai berpikir seorang Deondra memperhatikan gadis ceroboh," ucapnya mencemooh, melewati Arinda yang tak peduli akan dirinya, apalagi ucapannya.
Deondra bahkan tanpa sadar sempat melirik gadis itu dengan sorot matanya, tapi sesaat kemudian pandangan matanya sudah lurus kearah depan.
"Maaf Tuan."
Alrix menunduk sambil melangkah, membuat jiwa Deondra seakan terbang keawang-awang. Dia amat menikmati kejadian ini. Alrix yang diyakininya sedang menunduk, menambah rasa kepercayaan diri dan keangkuhan yang bisa di sombongkannya pada Arinda yang dia yakin pasti mendengar ucapannya.
Tapi sayangnya, gadis itu tak peduli. Bahkan dengan gerakan biasa Arinda berjalan di belakangnya dan berpapasan dengan Alrix yang tersenyum kearah wajah gadis itu.
"Sudah tidak pucat," gumamnya lega, apalagi saat melihat Arinda yang sedikit menundukkan kepala padanya sebagai hormat.
Sedangkan Deondra, Arinda memilih untuk berjalan menjauh dan mengabaikannya. Menundukkan kepalanya pada Alrix, sementara yang lain menundukkan kepala mereka pada Deondra. Arinda seperti menganggap, Alrixlah Tuan Muda rumah ini yang harus dia hormati.
Alrix balas tersenyum kecil, membiarkan Arinda berlalu dari sisi kirinya. Deondra tak menyadari hal itu. Dia masih merasakan kepercayaan dirinya yang melambung tinggi. Sampai di teras yang menghubungkannya langsung dengan sebuah mobil mewah, Deondra baru berbalik.
"Kamu adalah sekretarisku Alrix. Kamu paham bagaimana aku dan apa tipe gadis yang kusukai selama ini. Jadi, berhentilah bicara dengan menyangkut pautkan pelayan ceroboh itu. Kau paham, bukan?" Deondra berkata, membiarkan Alrix menundukkan pandangannya.
"Paham Tuan Muda, tidak akan saya ulangi lagi."
Alrix mendengar Deondra kembali berdecih, hanya diam dan melangkah maju untuk membukakan pintu mobil pada Tuan mudanya yang tak bergeming itu. Deondra hanya meliriknya sekilas, lalu mengulurkan tangan.
"Berikan kunci, aku akan membawa mobilku sendiri," pintanya tegas membuat Alrix langsung menyerahkan kontak mobil kepada Deondra.
"Kau bisa pulang atau urus masalah pekerjaan lainnya. Jika kau ingin ikut, naik mobil lain saja."
Dia berkata, lalu memutari mobil, membuka pintunya dan langsung masuk tanpa menunggu Alrix yang bahkan baru separuh perjalanan untuk melakukannya. Di tekannya klakson dengan keras, lalu menyembulkan kepalanya dari jendela mobil.
"Kau sudah bosan bekerja denganku Alrix!? Kau ingin mati lebih cepat dengan tetap berada di depan mobilku, hah? Minggir!" teriaknya sarkas membuat Alrix langsung menyingkir kesamping.
Saat mobil Deondra berlalu, dia menggeleng sambil menepuk dahinya.
"Astaga Tuhan. Kenapa sikap Tuan Muda semakin tak terkendali? Apa sebenarnya yang tengah Tuan Muda pikirkan? Dan mau kemana dia?" tanya Alrix bingung.
Rasanya kepalanya ingin pecah, rambutnya akan rontok dan urat nadinya hampir putus. Menghadapi sikap angkuh dan kesombongan Deondra setiap hari membuat jiwa laki-lakinya meradang. Ingin sekali dia melawan, namun apalah daya, dia juga memiliki sumpah yang harus di junjung tinggi.
"Bawakan mobil yang ada di garasi, aku akan mengikuti Tuan Muda!" Perintahnya pada ketua pelayan yang memang berada di sana untuk mengantar kepergian Deondra.
Tanpa bicara, kepala pelayan itu langsung mengangguk dan berlari kearah garasi.
Alrix menatap ponselnya, melihat arah yang di tuju Tuan mudanya lewat pelacak. Hingga sebuah mobil hitam berhenti di depannya, kepala pelayan keluar dari sana, lalu menyerahkan kunci mobil pada Alrix.
"Terima kasih." Alrix menyimpan ponselnya, mengambil kaca mata hitam lalu memakainya sambil menatap kepala pelayan yang masih ada di sampingnya.
"Kurangi jobsek pelayan yang bernama Arinda. Kamu tahu kalau dia sedang sakit, bukan?" Alrix berkata, membuat ketua pelayan itu mengangguk.
"Baik Tuan."
Menatap kearah dalam Alrix lakukan sebelum akhirnya memasuki mobil. Di pacunya kendaraan roda empat itu keluar dari pekarangan, menuju titik merah yang ada di layar ponselnya. Dia menatap arah depan yang sudah mulai memasuki jalan raya, membelah malam yang dingin dan panjang, mengikuti arah Tuan Mudanya yang menuju ke sebuah tempat.
Keningnya menyipit saat tahu tempat yang di tuju Tuan Mudanya itu. Tak percaya dengan apa yang dilihatnya, Alrix semakin melajukan mobilnya untuk menyusul Deondra. Hingga akhirnya posisinya amat dekat dengan titik merah itu, menandakan bahwa Tuan mudanya berada di sekitar tempatnya menghentikan mobil.
Dibukanya seatbelt dengan ragu, lalu melangkah keluar. Alrix melihat lagi ke layar ponsel, melihat gedung di hadapannya. Sambil melepaskan kaca matanya, dia melihat ke samping kiri parkiran.
"Mobil Tuan Muda? Astaga? Benarkah yang kulihat? Tuan Muda pergi kemari? I-ini club malam, bukan?" Alrix bertanya pada dirinya sendiri, masih tak percaya akan kenyataan yang di lihatnya.
Pasalnya, tempat ini adalah tempat yang sama dengan berakhirnya hubungan Tuan Mudanya dengan Anne. Bagaimana bisa Tuan mudanya datang ke tempat yang empat tahun lalu di haramkan atas dirinya sendiri?
"Tuan Muda, apa yang sebenarnya sudah terjadi pada diri Anda ...?"
Bersambung!
Seketika seluruh isi Bar yang dimasuki oleh Deondra hening. Padahal tadi musik berdentum memekakkan telinga. Bahkan para bartender dan juga wanita penghibur yang awalnya meliuk-liukkan tubuh seksinya di lantai dansa juga ikut melihat kearah pintu. Tak percaya dengan tatapan mata mereka yang menampilkan sosok Deondra. Pria dewasa yang amat berpengaruh di seluruh kota. Perusahaannya yang besar dan bercabang-cabang, cukup membuat namanya tersohor dan sosoknya amat di kenali di seantero kota.Kabar tentang Deondra yang menjauhkan diri dari hiburan malam, para wanita dan dunia luar cukup besar hingga sampai ke telinga masyarakat yang mengenalinya. Bahkan ada yang menyebarkan berita bahwa Deondra bersumpah untuk tak lagi ingin jatuh cinta. Sikapnya yang berubah 180° itu berhasil membuat orang-orang yang mengaguminya menjadi kecewa. Pasalnya dulu Deondra adalah seumpama malaikat tak bersayap yang rajin menyebarkan kebaikan dan juga tatapan penuh kasih sayangnya pada
Arinda menjatuhkan tubuhnya ke ranjang miliknya setelah menyelesaikan tugas akhir. Diraihnya ponsel yang dia charger di atas meja kecil di sebelah tempat tidur, memeriksanya sebentar. Karena tak ada yang penting, diletakkannya ponsel itu sembarangan lalu menatap langit-langit kamar."Kapan Ayah bangun? Sudah sebulan lebih sejak kejadian itu, tapi tidak ada perubahan sama sekali," ungkapnya sedih, dia menghela napasnya pelan.Termenung sendirian sampai tak sadar air matanya sudah mengalir melewati pelupuk. Seharian ini dia berusaha kuat, berusaha terlihat kuat saat ada pelayan senior yang menyapa dan berbincang dengannya. Arinda masih berusaha memancarkan senyum, menampilkan bahwa dia baik-baik saja. Padahal, seluruh hatinya hancur dan pikirannya sedang bertengkar dengan semua bayangan malam itu yang selalu bergentayangan di kepalanya.Arinda hanya seorang gadis rapuh, manja dan juga mudah merasa hancur. Kasih sayan
"Siapa?" batin Alrix.Tapi Alrix tak berani menanyakannya langsung. Dia tak ingin membuat hati Tuan Mudanya berubah lagi. Saat ini, dia sudah dapat melihat bahwa Deondra mulai tenang, mungkin sebentar lagi akan tertidur."Keluarlah Alrix, aku ingin sendiri." Deondra berkata membuat Alrix akhirnya mengangguk."Baik Tuan, jika anda butuh sesuatu saya ada dibawah," ucapnya."Hmm," sahut Deondra malas.Saat Alrix sudah terdengar menutup pintu, matanya terbuka lagi. Dia menatap pintu itu dengan tatapan mata yang menyiratkan sesuatu. Kesedihan, itulah yang dapat di lihat dari sorot mata itu. Sorot mata yang selama ini selalu dia rahasiakan."Biarlah, aku tetap ingin menjadi seperti ini. Aku ingin menunjukkan padanya, aku tidak selemah dulu."Deondra bangkit dari duduknya, berjalan kearah balkon. Dia berdiri mematung, menatap pijar
Alrix membopong Deondra keluar dari mobil, dia mabuk dan tak sanggup membuka matanya. Namun dia masih sadar, seluruh tubuhnya dia berikan pada Alrix karena rasa malas yang menggerogoti dirinya. Di tambah rasa pening di kepalanya, membuatnya sedikit sempoyongan saat berjalan."Hati-hati, Tuan Muda."Alrix menaiki tangga penghubung antara halaman dan juga teras, sekalian memastikan kaki Deondra benar menaikinya. Setelahnya mereka masuk kedalam rumah.Pagi hari, para pelayan sudah hilir mudik mengerjakan isi rumah. Wajah mereka terlihat ingin tahu kenapa dengan Tuan mudanya? Tapi tak ada yang berani bertanya. Karena hal itu adalah sesuatu yang amat di larang di dalam peraturan rumah utama.Menaiki tangga, Alrix masih bersusah payah untuk membantu Deondra. Hingga tak lama kemudian seorang pelayan pria lewat membawa sapu panjang untuk membersihkan sarang laba-laba. Di belakangnya Arinda mengikuti sambil
Deondra keluar dari kamar mandi dengan memakai jubah handuk berwarna putih. Tubuhnya tampak segar, tetesan air di rambutnya, mengalir turun ke leher dan juga tengkuknya, menambah pesonanya yang semakin terlihat. Dia memang tampan, tubuhnya gagah dan juga memiliki pesona yang mengagumkan. Tidak hanya orang lain, Deondra sendiri mengakui hal itu.Ditariknya sebuah laci nakas, mengeluarkan map dari sana. Dia mengusap rambut basahnya sekilas, sebelum menjatuhkan tubuhnya ke ranjang lebar miliknya yang sudah tertata rapi. Spreinya sudah berganti warna, membuat pupil matanya membesar saat menyadari hal itu.Tanpa aba-aba, Deondra bangkit, meletakkan map yang di pegangnya di atas nakas lalu mulai menyingkap selimut untuk mencari sesuatu. Hilang! Bercak merah itu sudah tidak ada lagi di sana. Siapa yang sudah mengganti spreinya?Tanpa berpikir dua kali, Deondra langsung memencet remote pemanggil kepala pelayan, pasalnya Al
Arinda celingak-celinguk ke sana sini demi mencari keberadaan Riza. Dia sudah di sana selama lima belas menit, tapi sosok Riza yang meninggalkannya demi mengantar sang Tuan Muda sampai saat ini belum muncul."Mana sih Kak Riza? Kok tidak muncul juga?" Arinda bergumam, tangannya terangkat memijat pelipis yang terasa pusing."Arin!"Saat tengah memejamkan mata karena menahan pusing, seseorang memanggil nama dan sempat menyentuh pundaknya karena melihat tubuh Arinda yang sedikit terhuyung. Arinda membuka matanya, lalu tersenyum melihat siapa yang ada di hadapannya."Kok lama? Kakak darimana saja?" tanya Arinda, menatap wajah Riza yang berubah tak secerah tadi."Aku tadi...."Riza menghela napasnya, ragu dan juga takut untuk mengatakannya. Pasalnya baru kali ini dia di tantang oleh sang Tuan Muda. Entah apa kesalahannya Riza pun tak tahu.
"Tidak ada," jawab Deondra dingin, dia masih menatap Arinda sejenak sebelum tatapannya beralih ke arah Alrix.Deondra menatapnya sedikit kesal, kenapa sih Alrix suka sekali mengurusi urusannya? Menyebalkan sekali!"Aku hanya teringat sesuatu." Deondra berkata, sedikit bingung untuk melanjutkan."Ada yang tertinggal, Tuan?"Sementara Alrix bertanya, kedua pelayan itu memberanikan diri untuk permisi. Sepeninggal mereka, tatapan Deondra semakin terlihat datar."Kenapa dia biasa-biasa saja saat bertemu denganku?" tanya Deondra, dapat dilihat dengan jelas bahwa dia tengah kesal.Alrix mengernyit. "Arinda, maksud Anda?""Siapa lagi? Tidak mungkin wanita tua yangbersamanya tadi, 'kan!"Alrix meringis kecil, dia menoleh kearah yang di lalui oleh dua pelayan itu. "Dia belum tua, Tuan Muda. Usianya saja ma
Alrix mengangguk. "Ibunya sudah meninggal dua bulan lalu, ayahnya koma di rumah sakit. Hal itu yang membuat Arinda memutuskan untuk menunda kuliahnya dan menjadi seorang pelayan di rumah Anda."Deondra menatap Alrix dengan tatapan kosong. Pikirannya berlarian ke sana kemari, teringat tentang kesedihan yang menimpanya dulu. Bahkan sudut hatinya kembali berdenyut, dia amat ingat bagaimana rasanya mengalami kesedihan seperti itu."Aku sudah salah dengan menodainya. Pasti perasaannya semakin hancur atas perlakukanku. Tapi, sepertinya semua itu belum ada apa-apanya di bandingkan perasaan sakit yang kurasakan dulu," ucapnya dalam hati, berusaha menepis semua kenyataan tentang perasaan hati Arinda."Aku saja masih bisa bertahan hidup sampai saat ini, terlepas dari semua yang terjadi padaku dulu. Aku yakin, dia akan baik-baik saja," ungkapnya membandingkan.Suara dentingan pelan terdengar, Deondra se