Perlahan Ira mencoba menatap pria jangkung tersebut, saat dia menatap pria itu ternyata dia berada lumayan jauh dari tempat berdirinya sekarang.
"Aku kira akan seperti drama-drama gitu," batinnya telah berpikir berlebihan.
Walaupun tidak sesuai dengan apa yang di pikirkan, akhirnya dia bisa melihat pria dewasa ini dengan jarak yang begitu dekat.
Kesempatan yang bagus akhirnya dia temukan, pertanyaan yang berada di pikirannya sejak lama belum pernah terlontar kepada siapa pun, mungkin inilah waktu yang tepat untuk mengungkapkan di hadapannya langsung.
"Hmm...bo-bolehkah aku tahu nama paman?" tanya Ira pelan karena terlalu gugup.
"Untuk apa?"
Pria itu malah balik bertanya, seketika dirinya penasaran akan beberapa hal.
"Hmm..itu..." jawab Ira tidak jelas, karena bingung mencari jawaban yang masuk akal.
"Itu, buat daftar nama!" Ucap Ira seraya mengambil buku yang berisikan daftar orang-orang yang hadir di acara ini.
Pria itu menatapnya sebentar, jelas ini bukan hal yang penting untuk di tanyakan kepada dirinya secara langsung seperti ini. Namun tanpa sadar dia ingin saja pura-pura terjebak dalam alasan gadis di hadapannya.
"Ada pulpen?" pinta Pria itu.
"Ada, ini!" Ira menodongkan sebuah pulpen.
Pria itu langsung mengambil pulpen beserta buku yang Ira pegang, dia menuliskan nama beserta data yang di minta yang tertera di sana.
"Sudah," ucapnya seraya mengembalikan benda-benda tersebut.
"Terima kasih paman," ucap Ira seraya tersenyum manis.
"Itu bukan hal besar," jawabnya kemudian perlahan pergi.
Setelah pria itu tak terlihat punggungnya lagi, Ira dengan cepat membuka lembar yang di isi pria tadi. Jari jemarinya bergetar hanya untuk sekedar membuka lembaran kertas yang di anggapnya sangat berharga.
"Kalingga Biantara."
"Nama yang indah," dalam batin girang seraya tersenyum akan hal tak terduga seolah seperti sebuah mimpi.
Tanpa sadar wajahnya sekarang sudah seperti kepiting rebus, merah merona.
"Aku berdebar," gumamnya seraya memegang dada yang berdegup kencang.
...
Setelah tujuannya selesai, Ira membaringkan diri di ranjang, mengingat kembali kejadian beberapa saat lalu yang tak mungkin bisa di lupakan begitu saja. Senyum terasa ringan terbentuk di sudut bibir ranumnya yang terlihat manis, dia lihat wajahnya di cermin sambil berpose dengan girang.
"Aku cantik!"
Saking bahagia, dia berguling tak tentu arah seraya memanggil nama indah milik pria yang dia suka.
"Kalingga! Kalingga! Kalingga!"
Inilah kebahagiaan yang sesungguhnya, pada akhirnya setelah sekian lama, nama pria misterius itu dapat di ketahui secara langsung, tanpa perlu bertanya kepada orang lain.
Hari ini mungkin hari terbaik yang pernah dia rasakan, kesedihan sebesar apapun mungkin tak akan berpengaruh terhadapnya, lampu saja terlihat seperti matahari, lantai terlihat seperti aliran sungai, dan awang pintu terlihat seperti gerbang surga, inilah yang di namakan cinta dapat membutakan seseorang.
Tok...tok...
"Ira, ibu berangkat dulu!" ucap Ibu dari balik pintu.
Seketika dia mengubah ekspresi wajah agar tidak di curigai Sang Ibu.
"Aku tak bisa keluar seperti ini," batinnya cemas.
"Iya Bu, Nanti aku menyusul!" teriak Ira tidak membuka pintu.
"Cepat, jangan lama-lama!"
"Iya Bu!" jawabnya.
Dalam suasana bahagia yang menggebu, dia mulai mengangkat tubuh yang berat, rasa malas seketika menyelimuti sekujur tubuh, terasa pegal dan berat.
"Huh! Aku harus segera pergi," batinnya bertekad.
Tak...tak...
Langkah demi langkah menapaki jalanan kecil di gang sempit ini, seperti biasa membantu orang tua adalah hal yang wajib dia lakukan, dua kantong kresek besar di jinjing melintasi jalanan kota yang ramai, terik matahari sudah biasa lagi menyengat hingga ke ubun-ubun, suasana kota memang sangat panas setiap harinya, namun inilah sarapan yang mesti di santap setiap harinya.
"Semoga semuanya terjual habis," dalam batin berharap.
Tak...tak...
Dia menghentikan langkahnya, barang yang menggantung di tangan seketika terlepas tergeletak di aspal. Terlihat lokasi di hadapannya kusut berantakan, tenda-tenda rusak terdampar di pinggiran, hingar-bingar pedagang dan pembeli berubah menjadi tangisan tak bermelodi. Di setiap sudut, orang-orang bercucuran tangis yang menyayat hati, dagangan mereka hancur berantakan tanpa sisa, meninggalkan kesan pahit saat pertama kali melihatnya.
"Ayah, Ibu!"
Secepat kilat Ira berlari mencari Ayah dan Ibu, suara tangisan di setiap sudut hawar-hawar terdengar di telinga, kini Ira hanya terfokus pada tujuannya mencari kedua orang tua di tengah kerumunan tersebut.
Dengan kasar Ira menyelip di tengah kerumunan, mereka terfokus pada benda yang tertutup kain di tengahnya, membuat Ira sangat penasaran.
"Kapan polisi datang?"
"Tidak tahu, mungkin sebentar lagi."
"Kasihan ya."
"Iya tega banget, semoga keluarganya bisa sabar"
Hawar-hawar bisikan kerumunan sedikit terdengar olehnya, dia mendekat ke paling depan hingga terlihat tumpukan yang terlihat seperti jasad tertutup kain.
"Jangan sampai, jangan! Jangan!"
Ira tertelungkup setelah melihat itu, berusaha meyakinkan diri, semua ini tidak mungkin sesuai dengan apa yang dia pikirkan. Sebisa apa pun menahan kekhawatiran, tetap saja cairan bening mengalir begitu saja dari pelupuk mata, membasahi pipi begitu saja.
Seketika dia menyelinap dan langsung membuka kain penutup itu. Benar saja, tangis tanpa sebab tadi kini memiliki alasannya.
BEBERAPA HARI KEMUDIAN...Ira duduk di atas kursi menikmati semangkuk bubur yang terasa manis. Entah karena ada seseorang di hadapannya atau memang bubur ini terlalu banyak gula. Raga ini bergerak dengan sendirinya mengikuti bisikan hati, padahal beberapa saat lalu tekad yang dia miliki masih kuat, kesedihan pun masih menyelimutinya mengikuti setiap langkah.Mangkuk yang di pegangnya, perlahan dia simpan, kini makanan yang di bawa Lingga lenyap dalam beberapa menit, habis tanpa sisa."Sudah?" tanya Lingga."Hmm," jawabnya dengan anggukan.Lingga membawa nampan berisi mangkuk kotor dan secangkir air putih ke dapur. Langkah pria itu dari belakang terlihat sangat dewasa, kedua lengan kemeja yang menyingsing menambah pesona luar biasa di mata Ira."Huh!"Walaupun dalam keterpurukan yang hampir menjatuhkannya dalam jurang kematian, pada akhirnya hanya karena pria itu, Ira sedikit mendapat semangat hidup. Ini memang terlihat seperti hal sed
"Aku tak mungkin berbohong kepada paman bukan?"Sekejap Lingga terdiam, menatap Alva.."Oke, aku percaya," jawabnya."Kalau begitu bisakah paman sedikit memerhatikan kakak, aku ingin melihat kakak bangkit dari kesedihannya, jika aku perlu memohon aku akan memohon sekarang juga," ucap Alva sembari hendak bersujud."Sudah, jangan!""Paman, bisa kan?" ucap Alva berharap."Tidak tahu, aku belum bisa memastikannya," jelas Lingga seraya menyandarkan punggungnya."Tolong, aku memohon kepada paman!" ucap Alva memegang tangan Lingga."Akan aku usahakan," ucap Lingga menghela nafas berat.Anak SMP ini begitu menyayangi Kakaknya, apakah Ira tahu sisi adiknya yang seperti ini? Jika sekiranya Ira tahu, perlakuannya beberapa hari ini mungkin akan sangat dia sesali di kemudian hari....Hari menjelang malam, Ira terbaring di ranjangnya usai bercurah perasaan yang menyakitkan kepada sahabat satu-satunya."Aku akan s
Setelah selesai mengobrak-abrik kamar Sang Adik, Ira menyandarkan tubuhnya di dinding, memejamkan mata dengan paksa, merenungkan setiap detik kesalahan yang telah terjadi. Terlihat jelas saat ini, Ira sangat pusing menghadapi satu persatu ujian yang datang, di saat semangat ini kembali hidup, di sisi lain terjadi hal yang sama sekali tidak dia inginkan, membuat dirinya kembali merasakan jatuh untuk kedua kalinya.Dia mengingat kembali perlakuan beberapa hari lalu terhadap Alva, pasti selama ini Alva sudah cukup bersabar menghadapi Ira yang keras kepala, hingga akhirnya Alva memilih untuk pergi."Alva, maaf."Jeritan yang tak mungkin bisa di dengar oleh siapa pun, Ira tertunduk menekuk kedua lututnya, memeluk erat tubuh yang hampa dalam duka mendalam. Selintas potret Alva melintas dalam pikirannya, tawa, kesal, bahagia dia kembali mengingat semuanya, hampa begitu terasa, sekarang dirinya benar-benar sendirian, tak ada siapa pun yang bisa menjadi pengganti yang hi
DI RUMAH LINGGA...Heira Attaya, gadis itu kini sedang menggusur koper berisikan sebagian barang-barangnya menuju sebuah rumah mini malis di depan jalan raya tak jauh dari rumahnya. Di hadapannya kini terlihat sebuah rumah yang tidak begitu mewah, dengan dua lantai dan sedikit hiasan di halaman rumah, membuat rumah ini terlihat simpel namun nyaman di pandang.Tak tak...Mereka mulai melangkah menuju dalam rumah. Dalam keadaan sadar sepenuhnya Ira mengikuti langkah pria di hadapannya dengan langkah yang cepat, menyesuaikan dengan langkah Lingga yang panjang."Mengapa mereka memaksaku tinggal di sini?" batin Ira tak mengerti.Cklek...Tampaklah isi dari rumah ini, tangga berkelok di sisi dinding, ruang makan dan dapur berdampingan di lantai bawah, tak lupa ruang TV di lantai bawah juga berdampingan dengan ruang tamu. Ira melihat sekeliling, setiap sudut ruangan terasa begitu nyaman dan pas untuk di tinggali berdua atau bertiga saja.
Sekarang aku harus terbiasa dengan kehadiran dia di rumah ini, walaupun ini sedikit merepotkan, apa boleh buat, aku tak bisa melihat wanita paruh baya itu kembali memohon seperti waktu itu, sangat menyedihkan, aku sama sekali tak ingin melihatnya seperti itu lagi....Lingga menyandarkan tubuh di ranjang kesayangannya, dia memejamkan mata sembari menyisir rambut dengan sela-sela jarinya. Tak bisa di pungkiri, walaupun kini usianya menginjak dua puluh tujuh tahun, namun ketampanannya masih terjaga dengan sempurna."Kapan aku bermimpi hidup dengan seorang gadis bersama tanpa ikatan seperti ini?" batin Lingga.Dengan bertelanjang dada, Lingga segera melangkah menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya yang sudah sangat berat setelah melewati hari yang panjang, air hangat bercucuran dari atas seperti hujan, membasahi tubuh gagahnya yang tidak pernah terekspos oleh siapa pun kecuali dirinya sendiri, merasakan air yang menetes, dia kuatkan tekad untuk meman
Malam tiba, suasana sepi rumah ini kian terasa, setelah makan malam bersama, kini pikirannya tengah menerawang alam lain di bawah kendalinya, di atas ranjang dia memeluk sebuah bantal dengan bentuk yang imut, pandangannya lurus tertuju pada sebuah lampu di langit-langit kamar, seperti sebuah mentari kecil yang menghidupkan ruangan ini."Apakah aku benar tinggal di rumah ini?" batinnya masih tidak percaya.Ira mulai membenarkan posisi duduknya agar lebih nyaman."Alva..."Tiba-tiba memori singkat begitu saja melintas di benaknya, tanpa di duga cairan bening keluar dari pelupuk matanya mengelir dengan sendirinya."Semua orang sudah pergi ya, huh! wanita malang...ujian apa lagi yang akan aku terima? Semuanya sudah ku coba, apakah masih ada ujian yang lebih berat dari diriku, sekirannya ada takdir pasti dengan senang akan memberikannya kepadaku, haha...lucu juga, ternyata dunia ini memang di takdirkan untuk membuatku sakit dan semakin sakit."Ir
BAK! "Tuan!" Seketika kedua orang itu membelalakkan mata, tatapan mereka tertuju pada satu arah yang sama. "Kau?" Lingga langsung memberi sinyal dengan isyarat mata kepada seorang pria di awang pintu sana. Tanpa di ketahui gadis di hadapannya. Tahu kondisi apa yang sedang di alami sekarang, pria itu pergi dengan cepat. "Siapa dia?" batin Ira penasaran. Menatap mata pria di hadapannya dengan tatapan penuh tanya. Sepasang bola mata pria itu mengelak kesembarang arah, menghindar dari apa yang mungkin akan segera gadis itu tanyakan. "Emm...kau tunggu dulu di sini," ucap Lingga kemudian bergegas pergi. Saat Kakinya menghampiri pria yang membuat kegaduhan tadi, di lihatnya pria itu tengah duduk di atas lantai, wajahnya menampakkan raut penuh cemas dan gelisah. "Ada apa?" tanya Lingga. Suara besar itu berhasil membuat pria yang sedang menggigit jarinya langsung mendongak, dia lihat ke arah suara itu beras
Lingga menatap tingkah wanita itu di depan sana tentu hal itu membuat Lingga terdiam, sesaat wajahnya menampakkan raut dingin, yah, tak perlu tahu lagi wanita ini memang sedang melakukan aksinya. Tiba-tiba Lingga menyeringai melemahkan, menatap sepasang mata polos di depan sana dengan tatapan elang. "Haha...ternyata aku ke sini hanya membuang-buang waktu saja," ucap Lingga dengan seringai tipis. Lingga menarik hendel pintu hendak pergi, tak ada gunanya lagi berada di sini, yang terjadi malah pembicaraan yang kosong tanpa arti, itu akan terus terjadi jika dirinya berusaha seperti dulu. "Kak!" Teriak Lisya tertuju pada Lingga, berusaha untuk menghentikan langkahnya. Seketika pria itu berhenti, menoleh beberapa derajat dengan senyum tipisnya dan kembali melanjutkan kegiatannya. "Berhenti!" Bentak Lisya, namun sama sekali tidak di dengar oleh Lingga, dirinya terus melangkah hingga lantai bawah. Seakan apa yang terjadi ini jauh dari perkira