Share

Part 7 insiden

Perlahan Ira mencoba menatap pria jangkung tersebut, saat dia menatap pria itu ternyata dia berada lumayan jauh dari tempat berdirinya sekarang.

"Aku kira akan seperti drama-drama gitu," batinnya telah berpikir berlebihan.

Walaupun tidak sesuai dengan apa yang di pikirkan, akhirnya dia bisa melihat pria dewasa ini dengan jarak yang begitu dekat.

Kesempatan yang bagus akhirnya dia temukan, pertanyaan yang berada di pikirannya sejak lama belum pernah terlontar kepada siapa pun, mungkin inilah waktu yang tepat untuk mengungkapkan di hadapannya langsung.

"Hmm...bo-bolehkah aku tahu nama paman?" tanya Ira pelan karena terlalu gugup.

"Untuk apa?"

Pria itu malah balik bertanya, seketika dirinya penasaran akan beberapa hal.

"Hmm..itu..." jawab Ira tidak jelas, karena bingung mencari jawaban yang masuk akal.

"Itu, buat daftar nama!" Ucap Ira seraya mengambil buku yang berisikan daftar orang-orang yang hadir di acara ini.

Pria itu menatapnya sebentar, jelas ini bukan hal yang penting untuk di tanyakan kepada dirinya secara langsung seperti ini. Namun tanpa sadar dia ingin saja pura-pura terjebak dalam alasan gadis di hadapannya.

"Ada pulpen?" pinta Pria itu.

"Ada, ini!" Ira menodongkan sebuah pulpen.

Pria itu langsung mengambil pulpen beserta buku yang Ira pegang, dia menuliskan nama beserta data yang di minta yang tertera di sana.

"Sudah," ucapnya seraya mengembalikan benda-benda tersebut.

"Terima kasih paman," ucap Ira seraya tersenyum manis.

"Itu bukan hal besar," jawabnya kemudian perlahan pergi.

Setelah pria itu tak terlihat punggungnya lagi, Ira dengan cepat membuka lembar yang di isi pria tadi. Jari jemarinya bergetar hanya untuk sekedar membuka lembaran kertas yang di anggapnya sangat berharga.

"Kalingga Biantara."

"Nama yang indah," dalam batin girang seraya tersenyum akan hal tak terduga seolah seperti sebuah mimpi.

Tanpa sadar wajahnya sekarang sudah seperti kepiting rebus, merah merona.

"Aku berdebar," gumamnya seraya memegang dada yang berdegup kencang.

...

Setelah tujuannya selesai, Ira membaringkan diri di ranjang, mengingat kembali kejadian beberapa saat lalu yang tak mungkin bisa di lupakan begitu saja. Senyum terasa ringan terbentuk di sudut bibir ranumnya yang terlihat manis, dia lihat wajahnya di cermin sambil berpose dengan girang.

"Aku cantik!"

Saking bahagia, dia berguling tak tentu arah seraya memanggil nama indah milik pria yang dia suka.

"Kalingga! Kalingga! Kalingga!"

Inilah kebahagiaan yang sesungguhnya, pada akhirnya setelah sekian lama, nama pria misterius itu dapat di ketahui secara langsung, tanpa perlu bertanya kepada orang lain.

Hari ini mungkin hari terbaik yang pernah dia rasakan, kesedihan sebesar apapun mungkin tak akan berpengaruh terhadapnya, lampu saja terlihat seperti matahari, lantai terlihat seperti aliran sungai, dan awang pintu terlihat seperti gerbang surga, inilah yang di namakan cinta dapat membutakan seseorang.

Tok...tok...

"Ira, ibu berangkat dulu!" ucap Ibu dari balik pintu.

Seketika dia mengubah ekspresi wajah agar tidak di curigai Sang Ibu.

"Aku tak bisa keluar seperti ini," batinnya cemas.

"Iya Bu, Nanti aku menyusul!" teriak Ira tidak membuka pintu.

"Cepat, jangan lama-lama!"

"Iya Bu!" jawabnya.

Dalam suasana bahagia yang menggebu, dia mulai mengangkat tubuh yang berat, rasa malas seketika menyelimuti sekujur tubuh, terasa pegal dan berat.

"Huh! Aku harus segera pergi," batinnya bertekad.

Tak...tak...

Langkah demi langkah menapaki jalanan kecil di gang sempit ini, seperti biasa membantu orang tua adalah hal yang wajib dia lakukan, dua kantong kresek besar di jinjing melintasi jalanan kota yang ramai, terik matahari sudah biasa lagi menyengat hingga ke ubun-ubun, suasana kota memang sangat panas setiap harinya, namun inilah sarapan yang mesti di santap setiap harinya.

"Semoga semuanya terjual habis," dalam batin berharap.

Tak...tak...

Dia menghentikan langkahnya, barang yang menggantung di tangan seketika terlepas tergeletak di aspal. Terlihat lokasi di hadapannya kusut berantakan, tenda-tenda rusak terdampar di pinggiran, hingar-bingar pedagang dan pembeli berubah menjadi tangisan tak bermelodi. Di setiap sudut, orang-orang bercucuran tangis yang menyayat hati, dagangan mereka hancur berantakan tanpa sisa, meninggalkan kesan pahit saat pertama kali melihatnya.

"Ayah, Ibu!"

Secepat kilat Ira berlari mencari Ayah dan Ibu, suara tangisan di setiap sudut hawar-hawar terdengar di telinga, kini Ira hanya terfokus pada tujuannya mencari kedua orang tua di tengah kerumunan tersebut.

Dengan kasar Ira menyelip di tengah kerumunan, mereka terfokus pada benda yang tertutup kain di tengahnya, membuat Ira sangat penasaran.

"Kapan polisi datang?"

"Tidak tahu, mungkin sebentar lagi."

"Kasihan ya."

"Iya tega banget, semoga keluarganya bisa sabar"

Hawar-hawar bisikan kerumunan sedikit terdengar olehnya, dia mendekat ke paling depan hingga terlihat tumpukan yang terlihat seperti jasad tertutup kain.

"Jangan sampai, jangan! Jangan!"

Ira tertelungkup setelah melihat itu, berusaha meyakinkan diri, semua ini tidak mungkin sesuai dengan apa yang dia pikirkan. Sebisa apa pun menahan kekhawatiran, tetap saja cairan bening mengalir begitu saja dari pelupuk mata, membasahi pipi begitu saja.

Seketika dia menyelinap dan langsung membuka kain penutup itu. Benar saja, tangis tanpa sebab tadi kini memiliki alasannya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status