"Cie ... yang ntar malem ehem-ehem."
"Cie ... udah nggak sabar ya ...?"
Ejekan dari kedua sahabatku ini membuatku naik pitam.
Sontak aku menginjak kaki mereka berdua begantian.
"Aduh!" ringis mereka berdua bersamaan.
"Lo kok nginjek kaki kita sih Rin? Sakit tauuuk." sungut Maya dengan memonyongkan bibirnya beberapa senti.
"Iya, tuh. Dasar! Padahal kita 'kan ngucapin selamat ya, May." sahut Milea. Tak kalah panjang bibirnya.
"Kalian diam! Atau pulang sana! Jangan menari di atas penderitaanku." balasku ketus. Siapa yang tak marah coba?" Banyak pasang mata yang menatap ke arah kami bertiga sambil geleng-geleng kepala. Ya, mungkin mereka mengira kita gadis aneh. Disaat acara sesakral ini masih saja membuat kegaduhan yang unfaedah.
Mereka berdua ini sahabat baikku. Selain teman kuliah, juga teman curhat. Namun, kemalangan terjadi padaku. Hingga mengharuskan aku berada di tempat ini dengan busana yang tak kupikirkan sebelumnya. Tentu dengan riasan yang senada pula. Alamak! Drama apa lagi ini. Kuharap semua hanya mimpi.
Berada di pelaminan dengan lelaki yang tak kucintai. Jangankan mencinta, kenal saja ogah. Semua hanya bisa kurutukan dalam hati. Ingin menjerit frustasi rasanya.
*
"Rindu ...." panggil seseorang. Lantas membuatku menoleh.
"Iya, Tante." sahutku lembut. Kedua sahabatku Maya dan Milea ikut tersenyum ramah.
"Acaranya mau dimulai. Ikut Tante yuk ...," ajaknya. Aku mengangguk. Dengan sigap, Tante yang aku pun belum tahu namanya ini menggandengku menuju pelaminan untuk melaksanakan acara ijab kabul. Aku menurut. Sedangkan Maya dan Milea mengekor di belakang. Sesekali mereka cengengesan mengejekku. Awas aja mereka!
Nampak lelaki berkaca mata tengah duduk tegap di sana. Siapa lagi kalau bukan calon suamiku.
Jantungku terasa berdetak cepat. Ada sesak di dada. Tak menyangka aku akan menikah secepat ini. Dan bukan dengan lelaki yang kucintai sama sekali.
"SAAAH!"
Entah berapa lama aku melamun. Tiba-tiba saja suara 'SAH' itu sudah menggema memenuhi ruangan. Sungguh, aku tak ingin memerhatikan siapa pun saat ini. Aku sibuk dengan hati yang tengah merana. Menjalani takdir yang sudah nyata di depan mata. Aku sudah menikah sekarang. Rasanya bagai mimpi buruk.
"Ayo salim dulu," Tegur Tante tadi membuatku terperanjat.
"Salim sama siapa Tante?" tanyaku datar. Aku memang tak tahu. Semua sangat kacau, hingga membuatku tak fokus pada apa pun.
Seisi ruangan terbahak mendengar ucapanku. Apa ada yang salah?
Lelaki di sampingku mengulurkan tangannya padaku. Ah, iya, sekarang dia sah menjadi suamiku. Raut wajahnya datar saja. Tak terlihat bahagia, tak juga terlihat sedih. Lempeng kek jalan tol.
Kusambut tangannya dan menciumnya takzim. Hambar. Tak ada bunga yang mekar dalam hatiku. Jelas aku tersiksa dengan pernikahan ini.
Ingin kumenangis, meraung sekarang. Tapi, malu masih ada orang banyak. Apa boleh buat? Nasi sudah jadi bubur.
*
Akhirnya acara tadi siang selesai juga. Cukup lelah berada di pelaminan seharian. Dengan santainya aku duduk selonjoran di atas ranjang layaknya rumah sendiri. Aku sengaja meminta pernikahan ini dilakukan di sini. Bukan di rumahku. Malu lah aku, menikah muda. Apa lagi masih kuliah. Hanya keluarga terdekat saja yang mengetahui statusku saat ini. Begitupun dengan temanku, hanya Maya dan Milea yang tahu. Itu pun aku menyuruh mereka untuk bungkam.
Tak lama ia keluar dari kamar mandi dengan mengalungkan handuk di tengkuk lehernya. Aku cuek saja, masih fokus menekuri benda pipih dalam tanganku.
"Belum tidur?" tanyanya seketika membuatku mendongak menatap lelaki berkacamata itu. Dia tengah sibuk mengasak rambut yang masih basah dengan handuk.
"Belum." balasku apa adanya. Lantas kembali fokus pada gawaiku.
Tak lama, ranjang ini terasa berkempis. Mataku bersirobok menatap lelaki yang tengah duduk di tepi ranjang.
"Kita buka sekarang ya," ucapnya membuat mataku melebar sempurna.
"Nggak ah, gue takut lo kecewa. Besok aja udah malem ini. Aku capek!" aku berbaring dan menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhku.
"Nggak boleh nolak Rin," ujarnya. Aku diam tak menanggapi. Tiba-tiba saja hatiku tergerak mau melakukannya. Baiklah, akan kuikuti maunya.
Aku kembali duduk, dan menatapnya malas.
"Ya udah, ayo, gue udah siap nih! Tapi jangan kecewa sama kenyataannya. Lo kan tahu sendiri gue kayak gimana?" kataku tanpa basa-basi.
Lanjutlah aku dan suamiku membukanya dengan perlahan. Entahlah, semangatku meningkat berkali lipat. Saat ia menunjukan benda itu padaku. Waw, amazing! Bakalan seru nih.
"Nih, bantuin buka." ujarnya, lalu menaikan benda itu di atas ranjang.
"Iya, iya, cepetan!" aku duduk sila dan sedikit membungkuk untuk memastikan isi benda tersebut sesuai harapan atau tidak. Maklum, aku anak kuliahan yang jarang ikut kondangan. Tentu, aku sangat senang menatap satu kardus amplop yang jumlahnya bejibun.
"Lumayan lah, bisa buat seneng-seneng.' batinku cengengesan.
Mataku tak sengaja menangkap kotak besar di atas nakas.
Aku pun bangkit hendak mengambil kotak berpita merah di sana.
"Mau kemana?" tanya lelaki berkacamata ini seraya menyambar pergelangan tanganku dengan cepat.
"Tuh ... mau ambil itu." kataku sambil mendongakan dagu ke sebrang.
"Oh ... ya udah, cepetan ambil." titahnya. Lalu melepas tangannya dari pergelangan tanganku.
Segera kumemghambur mengambil kotak yang berbungkus cantik dan menawan. Baru ingat, itu kado pemberian Milea dan Maya tadi siang. Pasti isinya sangat sepesial.
Secara, mereka 'kan temen terbaikku. Nggak mungkin lah kasih kado barang murah.
Kuangkat benda ini, dan membawanya menyusul lelaki yang baru saja sah menjadi suamiku tadi siang.
Ia sibuk membuka amplop-amplop dan mengumpulkan isinya menjadi satu.
"Kado dari siapa? Besar amat." tanyanya dengan ekor mata sedikit melirik. Kemudian fokus lagi pada kertas-kertas putih dalam tangannya.
"Dari Maya, sama Milea." Dengan cekatan, jemari lentikku membuka kotak yang berukuran sebesar kardus mie instan ini.
Aku menganga melihat isi dari kotak tersebut. Wah, benar-benar teman nggak ada akhlak mereka. Awas saja kalau ketemu!
"Coba lihat isinya!" selorohnya hendak merebut kotak tersebut dari tanganku.
Dengan cepat. Kutarik kado sialan ini. Dan menyembunyikannya di belakang punggungku.
"Apa sih, isinya?" tanyanya menelisik. Nafasku tersenggal gugup. Harus menjawab apa?
"E-em nggak pa-pa kok." ngapain sih dia pake kepo segala.
"Kalo nggak pa-pa. Ngapain disembunyikan?" tatapan matanya semakin intens. Dasar tukang kepo!
"Isinya, biasalah barang cewek." bohongku tersenyum canggung. Duh, jangan sampe deh dia tahu isinya.
Sejurus kemudian kotak itu sudah pindah ke tangannya. Entah, angin apa yang menghipnotisku barusan. Cepat sekali dia mengambil benda sialan pemberian Maya dan Milea.
"Balikin dong Pak, plis." aku berdiri dan memohon padanya dengan memelas. Ck! Gara-gara Maya sama Milea aku harus terjebak dengan benda menyebalkan itu.
"Kenapa sih? Kok ketakutan gitu. Saya juga ingin tahu isinya." ujarnya tanpa ragu. Dasar keras kepala!
"Saya mohon jangan Pak," ucapku makin memelas. Semoga hatinya tersentuh.
"Jangan panggil saya Pak! Memangnya saya, bapakmu apa?!" tungkasnya tegas. Apa sih, maunya? Membuat ribet saja.
"Oke, nama lo 'kan Satya. Jadi gue panggil lo, Bang Sat aja, ya. Biar lebih akrab." aku menaikan kedua alisku. Ia bergeming. Duduk di tepi ranjang. Sambil menatap kosong ke arah jendela. Gurat kecewa tergambar jelas dari wajahnya.
"Nggak ah, panggil Mas, saja. Aku suamimu loh sekarang." balasnya datar.
"Iya, suami. Tapi, kalo di kampus lo tuh Dosen gue. Dan ... kita menikah ini terpaksa 'kan? Asal lo tahu ya, harusnya ada di sini tuh Kak Mira! Bukan gue!" pekikku. Entahlah, ingin rasanya aku mengumpat kesal dengan keadaan ini.
"Semua ini tuh salah kamu! Mira sekarang membenciku, dan ... kamu tahu itu 'kan?" ucapnya pelan namun menekan. Hatiku terasa mencelos begitu saja mendengar kalimat yang Pak Satya katakan.
Aku tertunduk. Benar sekali ucapanya, semua salahku. Hingga dia harus ikut terjebak dalam pernikahan keterpaksaan ini.
Aku terdiam. Mengingat kejadian di malam yang masih jelas tergambar dalam ingatan.
***
Malam yang tak pernah terpikir sebelumnya. Jika akan berujung seperti ini karena kelakuanku yang terlalu bar-bar.
Dua preman berbadan besar tengah mengejarku. Semua bukan tanpa alasan. Melainkan aku ada hutang pada mereka. Itu karena aku kalah judi. Ya, itu kebiasaan burukku. Apa lagi aku seorang wanita. Tak pantas memang, melakukan hal yang dilarang agama.
Aku berlari dalam remangnya malam. Untuk menghindari kejaran dua preman itu. Tak sengaja aku menabrak Pak Satya yang tengah berada di pinggir jalan. Karena mobilnya tengah mogok.
Entah apa yang membuatnya ikut berlari dan bersembunyi di toilet mushola bersamaku. Semua terjadi begitu cepat. Kami berdua sama-sama berjingkat kaget. Saat beberapa warga mendatangi kami berdua yang tengah berada dalam toilet.
Tentu, kami menolak untuk dinikahkan. Nahas, kami berdua tak cukup bukti untuk mengelak. Hingga kedua orang tuaku termasuk Kak Mira--kekasih Pak Satya ikut menyaksikan kami berdua diadili dan disuruh menikah. Atas dugaan berbuat hal seronok. Tentu Kak Mira sangat terluka akan hal ini. Begitupun dengan Pak Satya. Semua karena ulahku. Hingga Pak Satya harus ikut kena getahnya juga. Aku merasa bersalah. Kini aku hanya jadi penghalang antara Kak Mira dan Pak Satya.
Itulah kenapa kami berdua bisa menikah. Udah jelas 'kan? Kalo kurang jelas, tanya aja sama authornya. Paham 'kan?!
***
"Kenapa melamun?" tanyanya. Aku mendengus pelan.
"Maaf, ini salah gue sepenuhnya." lirihku.
"Udahlah, mau gimana lagi? Semua ini takdir." jelasnya, tersenyum miring.
Bukan Rindu namanya, jika tidak bar-bar.
Kusambar cepat kotak dalam tangannya. Mumpung ia sedang tak fokus.
Namun gagal.
Cepat sekali ia menghindar.
"Ayo ambil kalo bisa." ia tertawa menyeringai. Sambil mengangkat kotak itu tinggi-tinggi.
Kesabaranku sudah di pucuk ubun-ubun. Udah disabarin, diminta baik-baik malah nggak dikasi. Ya, terpakasa pake cara kasar.
"Balikin nggak!" cebikku kesal. Aku sudah berancang-ancang untuk menerkanya.
Saat kakiku hendak melangkah, malah terjerat selimut yang menjuntai ke lantai. Dan ....
Brugh!Aku jatuh menindihnya, hingga kami berdua terjerembab. Untung jatuhnya di dada bidangnya, coba kalau di lantai, pasti sakit.Sedetik.Dua detik.Tiga detik.Kenapa mataku tak bisa berhenti menatapnya sih. Jarak wajah kami hanya sejengkal saja. Lamat aku memerhatikan dengan rinci setiap inci dari wajah Pak Satya. Di balik kaca bening itu, ada manik hitam yang indah dan membuatku terhayut akan buaian binarnya."Mau berapa lama kamu di dada saya?" celetuknya. Lantas aku bangkit dan mencari kotak yang entah jatuh di mana.Isi dari kotak itu sudah berserakan di lantai.Sial, aku kalah cepat lagi dari Pak Satya. Ia mengambil bungkus kecil beserta secarik kertas yang menempel di bungkus tersebut.Lekas aku menunduk malu. Malu semalu-malunya. Semua gara-gara Milea sama Maya! Nasib apa aku, punya teman yang kelakuannya bobrok kayak mereka."Selamat menempuh hidup
Aku menggeliat untuk meregangkan otot-ototku sambil menguap. Nih, badan rasanya sakit semua. Mungkin karena tidur di sofa. Jadi nggak bisa bergerak bebas. Semua gara-gara Pak Satya. Terpaksa 'kan, harus tidur di sini.Kusapu pandangan mata ke seluruh penjuru kamar. Nampak Pak Satya tengah duduk di atas ranjang dengan laptopnya. Sambil memerhatikan aku.Waduh, berarti dia lihat dong. Pas aku menggeliat manja sambil menguap lebar. Untung nggak ileran. Bisa malu banget aku.Ia tak menegurku atau bertanya. Bodo amatlah aku juga tak perduli. Lantas aku bangkit dan melenggang ke kamar mandi. Untuk menyegarkan badan."Itu apa di celanamu?" celetuk Pak Satya, membuat langkahku terhenti. Aku sedikit bingung. Apa maksudnya?Gegas aku menengok celanaku dibagian belakang. Piyama berwarna putih ini sudah ternodai. Huh, bersemulah mukaku karena malu.Tamu bulanan datang tanpa diundang. Dan parahnya, aku tidak bawa pembalut saat
Ternyata yang memanggil lelaki itu, Rudi. pacarnya si Maya."Sayangku, Bang Rud. Akhirnya nyampe juga." sambut Maya tersenyum lebar."Lo suruh dia ke sini?" kompak aku dan Milea bertanya pada Maya."Iya heheh." sahut Maya nyengir kuda. Haduh, ngapain sih, si Maya pake nyuruh Bang Rudnya ke sini. Makin eneg aja."Hay Maya sayang. How are you?" tanya Rudi pada Maya. Lalu mendaratkan bokongnya di kursi. Tentu sebelah Maya. Ya kali, sebelah gue."I'm fine honey." balas Maya lembut."Hueeeek!" serentak aku dan Milea sama-sama berekspresi muntah."Gaya banget lo, Rud. Pake bahasa Inggris segala." celetukku."Biar gaul aja, Rin. Maklum ojol kayak aku 'kan juga harus pintar bahasa Inggris. Siapa tahu ntar dapet penumpang bule." jelas Rudi percaya diri."Aw, Baby honey. Aku bangga padamu." sahut Maya sambil menyenderkan kepala di bahu Rudi."Bule apaan Rud? Bulepotan kali wkw
"Ini punya kamu?" tanya Pak Satya menatapku penuh selidik."Em, itu ... bukan punya saya, Pak. Pak Satya kan tahu sendiri. Kalo tadi pagi saya berdarah. Eh, maksudnya haid." jawabku gugup. Gimana ngejelasinnya? Duh, tuh orang lancang banget sih. Pake buka tas gue segala lagi."Lalu, ini punya siapa? Tadi saya nggak sengaja lihat kertas ini nyembul dari tas kamu. Karena resletingnya kebuka." ujar Pak Satya melangkah mendekatiku.Kok dia bisa baca pikiranku ya? Aneh. Apa ini cuma kebetulan. Karena keteledoranku."Em, itu punya, Maya." jawabku cepat."Apa?!""Ssstt!" kubekap mulut Pak Satya. Padangan kami bersitatap sesaat. Ia melotot kaget. "maaf, Pak. Nggak sengaja." kutarik tanganku dari bibir lelaki ini."Jadi, Maya temen kamu itu, hamil?!""Iya, Pak. Tapi tolong jangan bilang ke siapa-siapa. Pak Satya juga diam aja ya, di kampus." tekanku."Bukannya dia belum menikah ya?" tany
"Tante ngapain sih, narik-narik tangan aku segala?!" cebikku pada wanita berambut ikal ini. Ya, dia Tante Sarah. Ibu tiriku. Yang tiba-tiba muncul bak jalangkung."Ssstt! Diam kamu. Semua ini gara-gara kamu, ya. Lihat tuh si Satya nggak jadi nikah sama Mira. Semua salah kamu!" ketus Tante Sarah, dengan mata melotot hendak melompat dari pelupuknya."Tante kok nyalahin aku sih! Semua karena ketidak sengajaan ya," balasku tak kalah sengit. Memang aku dengan Tante Sarah tak pernah akur. Dia selalu menindasku, jika cerita di bawang merah bawang putih si Ibu tiri jahat. Itu memang benar. Sama seperti wanita ini. Untung saja, dia menikah dengan Papa aku sudah besar. Coba kalo masih piyik, bisa-bisa dijadikan lalapan aku sama nih orang."Apa? Kamu bilang nggak sengaja? Heh Rindu semua karena tingkah kamu yang tengil dan urakan ya, dasar anak tidak punya akhlak kamu." ucap Mak Lampir ini panjang lebar. Dengan mulut pletat-pletot kayak dukun baca m
POV MiraLangit begitu cerah malam ini. Gemintang dan rembulan bersinar saling melengkapi. Hembusan angin malam memainkan ujung jilbabku. Aku terduduk di bangku besi yang dingin. Ditemani rasa rindu pada lelaki tambatan hati, di sana.Lelaki yang bukan milikku, bahkan ia sekarang menjadi iparku. Mengingat kisah kami berdua saat bersama. Dan, malam itu serasa tamparan keras menghantam hati.Antara percaya atau tidak. Tapi itu nyata, malam yang memisahkan kisah cinta kami yang terjalin lima tahun lamanya. Pria itu tengah diadili warga bersama dengan adikku sendiri. Hatiku tercabik, luka kian menganga saat para warga mendesak mereka akan dinikahkan. Memang mereka sama-sama menolak. Namun, tak cukup bukti yang menguatkan. Jangan tanya hatiku saat itu, tentu hancur sehancur-hancurnya. Jujur, aku pun tak percaya Satya melakukan hal tercela itu. Apa lagi dengan adikku sendiri. Apa boleh buat. Ini semua kuanggap takdir. Takdir yang menyayat hatiku dan hidup
Kembali Ke Pov Rindu.Aku meninggalkan rumah Papa dengan jengah. Ditambah nyinyiran dari Mak Lampir tadi. Sungguh membuatku semakin emosi.Dalam perjalanan pulang bersama Pak Satya. Kami berdua hanya saling diam. Dapat kutafsirkan raut wajah Pak Satya yang tertekuk lecek layaknya koran bekas. Eh, julid amat mulutnya.Aku pun juga enggan berbicara. Hanya deru mesin mobil yang mengisi keheningan di antara kami.*Pak Satya langsung membaringkan dirinya di ranjang. Aku yang sekarang bingung.Mau tidur di mana?Tidur di sofa badan sakit semua kayal digebukin orang satu kampung. Kalo tidur sama Pak Satya takut ... ya, takut itulah. Apa lagi?Benar-benar dibuat bingung akan pilihan. Fix, aku tidur di ranjang sama doi. Awas aja kalo dia macam-macam."Mau ngapain?" tanyanya membuka mata. Menyadari, aku tengah mengambil posisi hendak berbaring."Mau tidur lah, mau ngapai lagi?" ketusku.
"Rin, gue harus ngomong apa sama orang tua gue?" tanya Maya saat mobil ini melaju membelah jalanan kota."Gue juga nggak tahu, May. Yang gue pikirin cuma Pak Satya. Gue takut dia dipecat. Kalo gue sendiri di DO dari kampus itu mah, bodo amat. Tapi kalo Pak Satya, dia bisa kehilangan pekerjaannya dong gara-gara gue." jelasku panjang lebar."Terus ... sama kehamilan gue ini gimana, Rin? Nggak mungkin 'kan terus disembunyiin." kata Maya gelisah."Itu ntar gue bantu mikir deh, May. Sekarang lo anterin gue pulang. Empet banget sama hari ini. Pengen ngurung diri di kamar.""Ke rumah yang mana, Rin?""Rumah Pak Satya,""Oke, tapi lo janji ya, bantuin bujuk orang tua gue. Biar mau nerima Bang Rudi.""Iya, iya. Dah ah, lagi males bicara gue." desisku mengerucutkan bibir dengan tangan berkacak di dada.Maya tak bertanya lagi. Ia tahu kalo aku sedang bad mood.*Di rumah Pak Satya.Kulihat mobil ya