Share

My Goddamn Lover
My Goddamn Lover
Penulis: AlphQueen

Bab. 1. Cowok Tajir dan Tampan

“Jadi, lu udah resmi jadian sama dia? Serius?”

Di kantin, saat jam istirahat, Maya begitu antusias menanyai Chika tentang kisah asmara temannya itu dengan seorang lelaki tajir yang dikenalkan Azka, tempo lalu. Namanya Briyan. Namun, Maya tak mengira, kalau Chika akan tertarik secepat itu. Bahkan, Maya tak percaya kalau Chika sudah berhasil menggaet Briyan.

Santai, Chika pun menganggukkan kepalanya itu sebagai jawaban. Ia mengakui pengakuannya adalah benar. Bahwa, ia memang sudah meresmikan hubungannya dengan Briyan, sejak tiga hari lalu. Tepatnya saat Valentine.

Ditenggaknya minuman dalam gelas sampai habis, kemudian Chika menyeka bibir seksinya itu dengan punggung tangan perlahan-lahan. Ia merasa begitu beruntung, juga percaya diri karena sudah berhasil menggaet seorang lelaki tampan dan juga tajir. Padahal, jauh sebelum itu, paling bagus pacarnya hanya seorang pegawai pabrik. Ia juga pernah menjalin hubungan dengan seorang guru. Namun, semuanya selalu kandas di tengah jalan.

“Ya, Tuhan. Apa nggak terlalu cepat? Lu baru kenal sebulan kan sama dia?”

Maya kembali mengajukan pertanyaan. Kali ini perihal keraguannya soal Briyan yang memang kastanya jauh di atas mereka berdua. Dia pikir, apa iya seorang lelaki tajir mau sama gadis kuliahan yang nyambi kerja untuk bisa bertahan hidup?

“Entahlah. Tapi, gue rasa Briyan serius. Dia sayang dan cinta sama gue sejak pertemuan pertama itu. Katanya, gue udah berhasil memikatnya hanya dengan sekali senyum. Astaga. Lu harus tahu, Maya. Gue benar-benar meleleh saat Briyan mengungkapkan perasaannya.”

Panjang lebar, Chika pun mengungkapkan perasaannya. Ia benar-benar terlihat begitu antusias dan juga bahagia saat menyebut nama Briyan. Seolah-olah, orang itu adalah satu-satunya lelaki yang ada di dunia ini.

“Lu tahu sendiri, kan? Mantan pacar gue, semuanya pada kaku. Mereka dingin, pendiam dan jarang sekali bicara. Apalagi bicara mesra seperti Briyan. Pokoknya, kali ini, gue harus berhasil. Gue nggak boleh lepasin dia begitu aja!”

Kembali, Chika pun bicara panjang lebar tentang isi hatinya. Tentang mantan kekasih, juga tentang betapa besar keinginannya untuk bisa memikat Briyan sampai menikah. Chika pikir, dirinya harus memperbarui keturunan.

Namun, menanggapi temannya itu, Maya justru menggeleng. “Duh ... Lu ini kok mendadak gila harta? Hati-hati, Chi. Orang kaya itu nggak sembarangan. Briyan, bisa aja cuman manfaatin lu, kan?” ungkapnya. Karena sebagai teman, Maya merasa perlu untuk mengingatkan Chika.

“Gue tahu, May. Dan, gue pasti selalu hati-hati,” timpal Chika, seraya melahap makan siangnya. Semangkuk soto dengan sedikit nasi itu, akhirnya membuat ia kenyang. “Oh, iya. Kita masih ada satu kelas lagi, kan? Hm ... padahal, gue udah nggak sabar pen ketemu pacar.”

“Dih! Bukannya kita harus ke minimarket? Jangan bilang, lu mau bolos kerja hanya karena Briyan!” singgung Maya. Dia benar-benar tak habis pikir, kalau perkiraannya itu adalah benar.

“Ya, kagak. Maksud gue, kalau gada kelas lagi, gue bisa ketemu Briyan dulu sebelum masuk kerja, May. Astaga! Otak lu udah parnoan aja. Tenang, sih. Gue nggak segila itu kali,” timpal Chika. Kali ini seraya duduk bersandar sambil mengusap-usap perutnya yang kekenyangan.

“Syukurlah. Karena jujur, gue takut lu berubah setelah mengenal Briyan!”

“Kagak. Awokawok. Tapi makasih karena udah selalu mengkhawatirkan gue. Lu emang teman terbaik yang pernah gue punya, May. Please! Jangan pernah berubah, seandainya gue kehilangan arah. Lu harus selalu ada buat gue. Janji?” tanyanya, dengan tatapan haru. Meski harunya itu tampak dibuat-buat untuk menggoda Maya. Chika juga menyodorkan kelingkingnya sebagai simbol perjanjian.

“Janji!” timpal Maya, sembari mengaitkan kelingkingnya di kelingking Chika sebagai simbol, kalau dirimu menerima perjanjian tersebut. “Lu sama gue, teman forever.”

“Wah ... makan nggak ngajak-ngajak gue!”

Tiba-tiba saja Azka datang. Salah satu teman mereka juga itu, bahkan sudah duduk di samping Chika dalam sekejap. Lantas, ia langsung melahap soto milik Maya yang masih tersisa banyak di mangkuk.

“Wah ... wah ...Nggak sopan. Datang-datang langsung makan makanan punya orang pula.” Maya pun menarik mangkuk berisi sotonya lagi. Lantas, buru-buru ia melahapnya sampai habis.

Sementara itu, Azka sibuk mengunyah dan menelan soto yang sempat dimakannya. “Pelit. Cuman nyobain juga!” umpatnya kemudian.

“Kalian ini, emang udah kek kucing sama anjing, ya. Nggak di mana-mana, kerjaannya ribut mulu. Hadeuh!” singgung Chika. Namun, dia selalu menikmati pertengkaran dua temannya itu setiap waktu. Seperti sekarang. Melihat Maya memoncongkan bibirnya, ia justru tertawa lepas. Sampai lupa, dirinya tengah ada di antara mahasiswa lain.

“Auk, tuh. Resek emang si Azka!” omel Maya. Karena tak mau sotonya habis di tangan Azka, ia pun segera menghabiskannya sampai ke air-airnya.

“Makan aja terus, May. Sama mangkuknya sekalian. Dasar pelit!” tuduh Azka yang tak terima karena tak dibolehkan mencicip soto Maya.

“Lu yang harusnya gue makan. Mau?” tanyanya, dengan tatapan tajam ke arah Azka. Seperti singa lapar, Maya tampak mengaum.

“Dih?!” Azka pun bergumam sembari meraih gelas berisi jus mangga milik Maya. “Minta dikit!” ijinnya.

“Hilih. Modal dikit napa? Rang kaya juga!” sindir Maya. Azka memang kerap mengaku kalau dirinya itu berasal dari keluarga kaya. Tapi, kenyataannya, makan siang saja selalu minta traktiran.

“Iya-iya! Nanti gue pasti balik mentraktir kalian, kok. Tenang aja, sih. Tapi, sekarang gue lapar. Serius. Beliin soto juga, ya?” pintanya, seperti biasa.

“Ogah!” timpal Maya, yang seketika mengundang tawa di bibir Chika lagi. Kali ini, temannya itu menangkup mulut, agar tak menjadi pusat perhatian. “Tawa, lu. Azka tuh. Kebiasaan. Makan siang aja minta traktiran. Padahal, kita bisa makan kek gini ya karena kerja paruh waktu. Dan itu capek;”

“Dahlah, May. Masih aja kenapa? Kan sekalian sodakoh. Siapa tahu, Azka beberan balik mentraktir kita, suatu hari nanti. Ya, nggak?” ungkap Chika. Selama ini, dia memang yang paling sering memberi jatah makannya Azka.

“Tul!” timpal Azka, dengan senangnya.

“Ish! Kalian ini emang nyebelin banget tau nggak?” omel Maya. Meski begitu, seperti kata Chika, akhirnya mereka memberi jatah makannya Azka. Seporsi soto, juga segelas es teh manis pun dipesan.

“Ya, sudah. Kalau gitu kita pergi duluan, ya. Lu makan yang kenyang, dah!” kata Chika sambil meraih dan menyelendangkan tasnya dari meja. Lantas, ia buru-buru berdiri. “Kita balik ke kelas, May. Bentar lagi jamnya kita.”

“Hooh. Makasih sebelumnya, Chi.”

“Sama-sama!” timpal Maya, masih dengan nada kesal. Lantas, Maya pun beranjak pergi dengan Chika yang masih saja cengengesan, menertawakannya dengan Azka. “Udah, sih. Ketawa mulu lu!”

“Iya-iya!” balas Chika, seraya berusaha menghentikan tawanya. Namun, tiba-tiba, pandangannya justru menangkap sosok yang ada dalam benaknya saat ini. Briyan tersenyum begitu tahu kalau Chika menyadari kedatangannya. “Briyan?” gumamnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status