Jam setengah tujuh pagi pada hari minggu, Gistara sudah berada di sekolah. Hari ini merupakan test penerimaan siswa baru gelombang kedua. Panitia penerima siswa baru diharuskan berangkat lebih awal karena harus memeriksa kembali semua keperluan test, memastikan semuanya aman, tidak ada yang salah.
Gistara berjalan seraya mengetikkan pesan kepada adiknya, kalau adiknya itu harus berangkat lebih awal agar tidak kena macet dan mudah mendapatkan taxi online. Karena kecerobohannya gadis itu hampir saja tersandung anak tangga kalau tidak ada tangan yang menahan tubuhnya.
“Menyebalkan, ceroboh,” cibir pria jangkung, kemudian pergi meninggalkan Gistara dengan wajah tegangnya.
Gistara merutuki dalam hati dengan tingkah cerobohnya itu, kalau saja pak Sagara tidak menolongnya, mungkin saja dia tidak bisa memandu para calon wali siswa Bimantaras’ School mengsisi questionernya.
Gadis itu berjalan menuju ruangan para panitia, meletakkan tasnya kemudian berjalan menuju lantai dua, dimana para calon wali siswa itu akan melakukan questioner. Gistara tersenyum manis ketika berpas-pasan dengan calon wali siswa dan siswa.
“Maaf Teh, ruangan tiga dimana ya?” tanya pria bermata sipit dengan memberikan senyum manisnya.
“Di lantai satu, dekat kamar mandi,” jawab Gistara tak lupa membalas senyum manis pria itu.
“Terimakasih Teh.”
Belum sempat menjawab ucapan terimakasih dari pria bermata sipit itu, pria itu sudah lari terbirit-birit, pria itu mengingatkan Gistara akan adiknya, Gian. Dia yakin mereka seumuran.
Gistara masuk kedalam ruangan yang mana belum ada satu orangpun wali siswa. Menghidupkan laptop milik sekolah itu. Mengecek wifi apakah kecepatannya stabil atau tidak, karena jika tidak itu akan menyulitkan para wali siswa mengisi questioner.
“Bu Gita dipanggil pak Adit,” ucap seorang guru wanita berumur duapuluh tujuh yang tiba-tiba masuk keruangan itu dengan wajah datarnya.
“Ada apa ya Bu Valen?” tanya Gistara bingung.
“Mana saya tahu, yaudah sih temuin aja,” sungutnya kemudian pergi meninggalkan Gistara dengan kebingungan yang melanda otaknya.
Gistara berjalan pergi meninggalkan lantai dua menuju lantai satu dimana ruangan Pak Adit berada. Sebenarnya gadis itu tidak yakin dengan ucapan Valen, guru matematika yang sering cari gara-gara dengannya itu sering kali membohongi Allisya kalau dia dicari guru, kepala sekolah bahkan pemilik yayasan, dan ketika dia menemui mereka, mereka bingung pasalnya mereka tidak memanggil Allisya.
Gadis itu mencoba menajamkan penglihatannya, pak Adit bersama Sagara sedang melihat-lihat ruangan yang sedang dalam proses perbaikan, dengan tergesa-gesa Allisya menghampiri kedua pria berbeda umur itu.
“Maaf Pak Adit, Bapak mencari saya?” tanya Gistara setelah berhadapan dengan kedua orang itu.
Pak Adit mengernyitkan keningnya bingung, melirik Sagara yang menatap Gistara dengan tajam dan dingin.
“Bu Gita kata siapa saya mencari Ibu? Saya gak ngerasa nyuruh orang buat manggil Ibu.”
“Loh, tadi kata bu Valen Bapak cari saya.” Gistara tersenyum kikuk menggaruk rambutnya yang tidak gatal. Dia yakin dia dikerjain lagi oleh guru jahil itu.
“Bu Gita sudah berapa kali anda dikerjain sama Bu Valen, tapi anda masih percaya sama omongannya.” Pak Adit terkekeh melihat wajah memerah Gistara. Pria paruh baya itu tidak habis fikir dengan guru biologi itu kenapa dia masih percaya dengan omongan bu Valen, padahal entah sudah berapa kalinya gadis itu dibohongi oleh guru matematika itu.
Gistara melirik Sagara yang tetap menatapnya tajam, gadis itu yakin pria dingin itu menahan mati-matian tawanya, rasanya Gistara ingin mengelitiki tubuh tegap itu biar ada ekspresi lain diwajahnya yang dingin.
“Maaf Pak, kalau begitu saya permisi. Mari Pak.” Gistara tersenyum menatap kedua pria itu bergantian.
“Lucu ya Pak,” celetuk Adit yang tidak direspon oleh Sagara, pria dingin itu hanya diam memperhatikan kemana Gistara pergi.
Sepanjang perjalanan menuju ruangan tadi, Gistara terus menggerutu, menyumpahi semoga guru matematika itu terkena karma, terserah karma apa saja.
Gistara masuk dengan senyum manisnya ketika para wali siswa sudah banyak yang berdatangan, dia meminta maaf kepada partnernya karena dia telat. Leon, partnernya itu hanya tersenyum dan menganggukan kepalanya.
Setelah menunggu beberapa menit akhirnya acara dimulai. Diawali dengan pembukaan, perkenalan kedua guru berbeda gender itu, kemudian memperlihatkan video visi dan misi dari Yayasan Bimantara’s School. Semua wali siswa memperhatikan dengan sangat serius. Setelah pemutaran video, selanjutnya adalah sesi pertanyaan. Mulai dari berapa score yang dibutuhkan oleh siswa agar lulus, apakah disini boleh merokok, sampai ada yang bertanya tentang status Gistara.
“Oke sepertinya ibu-ibu dan bapak-bapak pada penasaran banget dengan status Bu Gistara ya. Biar pada gak penasaran lagi mending Bu Gistara nya sendiri yang menjelaskan status beliau yaa.” Leon memberikan mic-nya kepada Gistara, sebelum acara dimulai Leon yakin guru biologi yang terkenal karena kepintaran dan kecantikannya itu pasti akan membuat wali siswa kepo akan statusnya.
“Selamat pagi, nama saya ibu-ibu dan bapak-bapak sudah tahu yaa. Tadi ada yang nanya status saya ya, status saya single. Jodoh saya belum bertemu saya, makanya sampai detik ini saya masih single. Gimana Bu?” tanya Gistara ketika seorang wanita paruh baya mengangkat tangannya. Meminta Gistara berkenalan lagi.
“Iyaa nama lengkap saya Gistara Alivia Singgih, anak-anak biasa manggil saya Bu Gita. Mungkin sudah ya perkenalannya, terimakasih.”
“Gimana ibu-ibu dan bapak-bapak sudah puas kan perkenalannya, untuk saat ini beliau memang single, tapi kalau para wali siswa disini berniat menjodohkan putra anda dengan Bu Gistara, sebaiknya diurungkan niatnya karena ada seseorang yang sedang menunggu beliau.”
Para wali siswa ada yang kecewa dan ada yang terkekeh mendengar omongan Leon. Sedangkan kedua orangtua Gistara merasa bingung dengan omongan Leon, apakah pria itu tahu masalah perjodohan Sagara dan Gistara, bukankah tidak ada yang tahu masalah itu kecuali keluarga kedua belah pihak.
Ruangan itu yang mulanya ramai karena para wali siswa yang bertanya terus menerus kepada Gistara dan Leon mendadak sunyi ketika Sagara dan pak Adit memasuki ruangan, semua mata tertuju pada kedua pria berbeda generasi itu.
“Mari kita sambut calon kepala sekolah dan waka kurikulum kita. Kepada Pak Sagara dan Pak Adit kami persilahkan maju kedepan.” Leon memberikan mic-nya kepada Sagara kemudian melirik Gistara yang baru saja selesai menjelaskan cara mengisi questioner di web Bimantara’s School.
“Selamat pagi para calon wali siswa Bimantara’s School, semoga anak Bapak dan Ibu dapat lulus diujian masuk sekolah kami—“ Sagara memberikan sambutan, serta menjawab beberapa pertanyaan dari para wali siswa, sesekali mata tajamnnya melirik kearah Gistara yang sedang berdiri di belakang wali siswa.
“Saya teh mau bertanya, mengenai hal pribadi Pak Sagara boleh?” Sagara menggangguk dan tersenyum tipis mendengar permintaan wali siswa yang sedikit heboh itu.
“Apakah Bapak sudah menikah? Kalau belum mau tidak sama anak gadis saya?” Para wali siswa yang mendengar pertanyaan itu tak sedikit yang saling berbisik mendengar pertanyaan memalukan wanita paruh baya itu, sedangkan wanita itu hanya tersenyum puas dengan pertanyaannya.
“Secepatnya, tunggu waktu yang pas Bu.” Sagara tersenyum tipis menjawab pertanyaan ibu itu, kalau belum punya mungkin dia akan mempertimbangkan permintaan wanita paruh baya itu, tapi sayangnya dia sudah memiliki gadis yang dia mau.
Sedangkan Gistara mengernyitkan keningnya mendengar jawaban Sagara, memang ada yang mau dengan pria dingin tanpa ekspresi itu, kalau Gistara sih gak mau. Yang ada mati muda punya suami macam dia.
***
Gistara memeluk kedua orangtuanya dan adiknya bergantian. Mereka akan segera kembali ke kampung halaman karena senin mereka harus melakukan kegiatan sebagaimana biasanya.
Ayahnya harus mengajar di Sekolah Menengah Pertama di desanya, sedangkan adiknya harus sekolah untuk menyiapkan ujian-ujian yang akan dia hadapi.
“Semoga lulus ya Dek. Sore kalau gak besok pagi pengumumannya, nanti Teteh kabarin.” Gistara mengusap kepala adik laki-lakinya dengan sayang.
“Iya Teh. Semoga tidak mengecewakan,” harapnya.
“Tapi mudahkan soalnya? Teteh ‘kan udah sering ngasih soal ke Gian untuk belajar. Biar Gian tau gimana bentuk soalnya.”
Gian mengangguk. “Ya lumayan Teh, walau ada beberapa yang masih bingung,” ujarnya.
“Ya gak papa, yang penting banyak bisanya,” sahut Bundanya yang dibalas anggukan oleh Gistara.
“Ayok Dek, Bun. Travelnya udah sampai tu.”
Perkataan Singgih membuat obrolan mereka terhenti. Toyota Hiace berwarna putih berhenti di depan kontrakan Gistara. Kedua orang tua dan adik Gistara pamit kepada Gistara. Keempatnya berpelukan setelah itu Singgih, Novi dan Aksa masuk kedalam mobil, pergi meninggalkan Gistara sendiri.
“Hati-hati!”
Nesa menahan tangisnya. Dia sudah menjadi istri Beni. Seorang pria yang selalu dia jadikan alat untuk melukai Gistara. Seorang pria yang diperintahkan papanya untuk menikah dengannya.Sejak kejadian di desa dua minggu yang lalu. Doni membawa Nesa pulang. Pria paruh baya itu memberikan tamparan kepada Nesa. Nesa gemetar melihat papanya yang terlihat murka. Pria itu menampar Nesa sampai pipi gadis itu biru.Beni menghentikan amarah Doni. Perkataan Beni membuat Nesa terkejut. Pria itu berkhianat.“Jangan sakiti Nesa, Om janji tidak menyakiti Nesa jika saya memberitahu keberadaan putri Om.”Doni menatap Beni dengan mata melotot. Nafas pria itu tidak teratur. Dia ingin membuat pelajaran kepada putrinya tapi janjinya kepada Beni membuat dia membatalkannya.Doni mendengus berjalan meninggalkan Nesa dan Beni. Sebelum menghilang di balik pintu perkataan Beni sukses membuat takdir Nesa berubah seperti sekarang.“Jangan lupa janji yan
Sagara terbangun saat merasakan istrinya tidur dengan gelisah. Sejak keluar dari rumah sakit istrinya selalu mengigau memanggil putrinya. Gistara bilang dia bisa mengikhlaskan putrinya tapi kenyataannya tidak. Istrinya masih sering memanggil putrinya dalam tidurnya.Gistara sudah keluar dari rumah sakit dan sehat total dua minggu yang lalu. Gistara melakukan sedikit terapi berjalan karena komanya. Kurang lebih dua minggu melakukan terapi, Gistara sudah mulai berjalan dengan nyaman.Dokter menyarankan Sagara untuk membawa istrinya ke psikolog. Gistara menolak dengan keras saat Sagara memberitahu saran dari dokter. Gistara merasa dia baik-baik saja. Dia merasa sudah ikhlas dengan kepergian putrinya. Tapi tanpa sadar istrinya itu sering memanggil putrinya di dalam tidurnya.Sagara membawa tubuh istrinya ke dalam pelukannya. Hanya itu yang bisa dia lakukan. Istrinya akan berhenti memanggil putrinya jika Sagara membawa tubuhnya ke dalam pelukannya.“Huss
Wanita dengan gaun pink itu berjalan menyusuri taman bunga yang sangat indah. Senyumnya terbit saat melihat banyak anak-anak yang sedang bermain di taman itu.Bunga-bunga di taman itu terlihat sangat terawat. Dia belum pernah melihat taman secantik ini. Melihat bunga-bunga dengan berbagai warna membuat pikirannya damai. Semua bebannya seperti ditarik pergi.Anak-anak itu menggunakan dress berwarna putih. Semua terlihat cantik mengenakan dress itu. Wanita itu bisa melihat wajah anak-anak yang begitu bahagia. Mereka seperti tidak merasakan beban kehidupan.Senyumnya pudar saat melihat seorang anak duduk seorang diri di bawah pohon. Anak itu terlihat sedih menatap teman-temannya.Wanita itu berjalan menghampiri anak itu. Anak berusia lima tahun itu terlihat cantik. Wajahnya seperti tidak asing. Dia seperti melihat wajah anak itu.“Kamu kenapa?” tanyanya. Duduk di samping anak itu dengan perlahan.“Mama!” panggil anak itu
Hujan turun dengan derasnya seperti air mata Sagara yang berlomba-lomba untuk keluar. Dia tidak menyangka kalau makan siang kemarin adalah makan siang terakhirnya bersama calon putrinya.Sagara mengusap tangan Gistara dengan lembut. Istrinya masih kritis. Dokter bilang Gistara koma karena kecelakaan yang menimpanya. Alat-alat penunjang hidupnya terpasang di tubuhnya.“Bangun, Sayang.” Sagara berkata lirih.Keluarga Sagara dan Gistara menatap sedih keduanya dari luar ruang rawat Gistara. Novi pingsan saat mendengar putrinya kecelakaan.Kecelakaan satu hari yang lalu membuat semua orang terkejut. Willi dan Kristina yang sedang membeli keperluan untuk bayi Gistara menangis membuat pengunjung lain bingung. Keduanya berlari menuju rumah sakit dimana Gistara dibawa.Sagara yang tengah meeting, membatalkan meetingnya begitu saja. Tubuhnya hampir jatuh ke lantai kalau saja Tama tidak datang menemuinya yang sedang mengangkat telpon.Sagar
Willi dan Kristina sedang berada di baby shop dekat dengan perusahaan. Keduanya sedang memilih kado untuk bayi Gistara. Keduanya sengaja memberikan kado lebih dulu agar kado mereka tidak tertumpuk dengan kado yang lain.Gistara menginginkan stoller seperti milik Nagita Slavina. Willi dan Kristina meringis mendengar permintaan Gistara.“Makanya jangan nanya gue. Gue pengen stoller itu. Tapi apapun yang kalian kasih, pasti gue terima.”Kristina menghembuskan nafasnya lega saat mendengar jawaban sahabatnya saat itu.“Ini lucu gak sih? Bayangin bayinya Gita pake kayak gini. Gue ngebayanginnya pasti lucu banget. Apa lagi dengan pipi gembul.”Kristina menunjuk baju bayi dengan motif hewan dan berbentuk romper. Ada berbagai jenis hewan tapi Kristina jatuh cinta dengan bentuk bird-bees berwarna pink.“Iyaa, ambil deh yang ini. Sama yang lain dong motifnya.” Willi memberikan berbagai motif kepada Kristina.B
Sagara menatap Gistara dengan bingung. Sejak dia pulang dari kantor. Istrinya itu lebih banyak diam. Gistara memintanya untuk pulang cepat, Sagara melakukannya tapi jalanan kota Bandung sangat macet karena adanya perbaikan jalan. Sehingga Sagara sampai rumah lebih lama.Sagara sudah meminta maaf. Dia juga sudah memberikan alasan, istrinya bilang kalau tidak apa-apa tapi Sagara merasa istrinya belum sepenuhnya memaafkannya.“Masih marah ya?” tanya Sagara. Membawa tubuh istrinya ke dalam pelukannya.Gistara tersenyum tipis, menggelengkan kepalanya. Wanita itu mematikan ponselnya. Meletakkan di nakas samping kasurnya.“Gak marah. Aku lagi kepikiran pesan bunda.”Sagara mengecup pelipis istrinya. “Pesan apa? Tell me, Baby.”“Jovanka dan om Beno, mereka ada hubungan.” Gistara melirik Sagara sekilas.“Something like Affair?” tanya Sagara ragu. Melihat gelagat istrinya yang terlihat
Beni memperhatikan ponselnya yang menyala. Memperlihatkan foto seorang gadis yang dia cintai. Gadis yang terobsesi dengan pria lain.Nesa, gadis itu tidak bersalah karena terobsesi dengan Sagara. Yang harusnya disalahkan dalam hal ini adalah, Dina.Dina -wanita yang melahirkan Nesa- sejak kecil mendoktrin Nesa kalau Sagara dan dia akan menikah. Sagara adalah milik Nesa, begitupun sebaliknya. Hingga sampai dewasa Nesa meyakini itu, kalau Sagara selamanya milik Nesa.Doni, pria paruh baya yang selalu sibuk dengan pekerjaannya itu tidak memperdulikan perkataan Dina. Hingga dia mendengar istrinya berbicara pada Nesa kalau putrinya itu harus merebut Sagara dari Gistara tepat setelah Sagara menolak pertunangan mereka.Doni yang sedang mengikuti kampanye sebagai dewan perwakilan rakyat tidak terima dengan perkataan istrinya. Perkataan istrinya membahayakan jalannya menjadi salah satu dewan perwakilan rakyat. Dia tahu Nesa, putrinya sejak kecil selalu melakukan b
Suasana meja makan terlihat hangat tidak seperti semalam. Gian memperhatikan Sagara dan Gistara yang mulai memperlihatkan kemesraan mereka. Gian berpikir apakah secepat itu jika suami dan istri marahan? Dalam semalam mereka akan langsung berbaikan?“Gian, bareng Abang ya. Teteh gak ngajar hari ini.”Gian mengangguk. Dia tidak masalah bareng siapapun. Yang penting dia berangkat tanpa ongkos alias gratis.“By, ada duit cast gak?” tanya Gistara.“Ada, dua ratus kayaknya.” Sagara memberikan dompetnya kepada istrinya.“Aku pinjem ya. Nanti aku ganti, dompet aku di kamar, aku males ngambilnya.” Gistara nyengir memperlihatkan giginya yang rapi.“Ambil aja. Tapi cukup gak dua ratus?” tanyanya.“Cukup banget,” sahut Gian cepat, membuat Sagara dan Gistara terkekeh.“Bang, Gian tunggu depan ya. Mau bersihin sepatu dulu.”“Iya. Abang bentar lag
Warning!Mengandung Adegan Dewasa.***Beni memperhatikan Nesa yang berjalan menuju mobilnya yang terparkir. Nesa mengirim pesan setengah jam yang lalu. Wanita itu mengajaknya untuk makan siang bersama.Nesa membuka pintu mobil dengan perlahan. “Lo kenal sama bokap gue?” tanya Nesa tiba-tiba.“Gue tahu bokap lo.” Beni menjalankan mobilnya meninggalkan perkarangan Bramantas’ School.“Bukan itu yang gue tanyain. Lo deket atau enggak sama bokap gue. Karena dia bilang ke gue kalau dia mau ngomong sesuatu sama lo.”Nesa memincingkan matanya menatap Beni. Dia tidak tahu kalau papanya kenal dengan Beni. Karena selama ini, dia tidak pernah membawa Beni ke hadapan kedua orangtuanya. Sedangkan Beni menghembuskan nafasnya, berusaha menghilangkan kegugupannya.“Gue pernah sekali ketemu bokap lo, saat nganter lo dari acara reuni. Bokap lo nanya-nanya biasa, kayak kerjaan gue apa. Terus gue bil