Saat malam pertama pernikahan, Gala tiba-tiba berubah. Dia bukan lelaki manis yang Nara kenal. Dia terlihat begitu kaku dan tempramen. Tentu saja, Nara yang awalnya merasa akan segera hidup bahagia ternyata telah masuk ke dalam suatu kehidupan yang membingungkan. Terdapat banyak misteri di diri Gala. Apa kehadiran Gala ada hubungannya dengan masa lalu Nara? Lantas, bagaimana Nara menyelesaikan masalah dalam pernikahannya?
View More“Ini malam pertama, Mas!” teriakku.
Ya, aku berteriak kepada Mas Gala. Lelaki yang siang tadi mengucapkan ijab kabul di hadapan seluruh kerabatku. Ini benar-benar gila. Di luar dugaan. Bagaimana mungkin Mas Gala bisa berubah menjadi sosok yang begitu beringas? Kenapa pula perubahan itu harus terjadi di malam pertama kami menikah?
“Kamu jangan banyak omong,” kata Mas Gala. “Saya tidak peduli dengan malam pertama!”
Sekarang, aku mundur dari hadapannya. Aku memilih duduk di ranjang yang sudah dihias sedemikian rupa. Ranjang yang kemudian diduduki oleh dua angsa yang sedang berhadap-hadapan. Ranjang yang kurasa akan menjadi saksi kemesraan kami.
“Mas, aku butuh penjelasan!” desakku. “Kamu nggak bisa giniin aku!”
Mas Gala terdiam di hadapanku. Dia hanya menatapku dengan tatapan elang. Terlihat penuh emosi, tajam, kejam, bengis. Aku sempat merasa bahwa ini bukan Mas Gala-ku. Di mana Mas Gala yang tadi siang mengecup keningku sesaat setelah ijab kabul?
Detik ini, ada sedikit senyum misterius yang merekah. Senyum yang lantas membuatku bergetar. Oh, itu senyum yang menyeramkan. Aku belum pernah melihat Mas Gala tersenyum seperti itu.
“Mas, kamu mau ngapain?” Aku yang sudah berada di atas ranjang semakin mundur ke belakang. “Kamu itu suamiku, bagaimana mungkin kamu malah ingin menyakitiku, Mas?”
Tidak ada suara dari mulut Mas Gala. Lelaki yang sekarang sudah mengenakan baju tidur berwarna putih itu malah naik ke atas ranjang. Dia membuatku terdesak, hingga badanku menempel di dinding ranjang. Kami berhadap-hadapan dalam waktu yang lama.
“Jangan kira kalau saya akan menyentuhmu,” desahnya di telingaku.
Suara Mas Gala membuat bulu kudukku meremang.
“Jangan kira, saya akan mencintaimu seperti suami-suami lain!” tegasnya.
“Terus tujuanmu menikahiku apa, Mas?” Aku bertanya dengan bibir bergetar. “Aku ini manusia. Aku punya perasaan. Kupikir, kamu akan menjadi pengganti Bapak. Kamu akan menjadi lelaki yang bisa melindungiku dari berbagai bahaya. Tapi ternyata?”
Mas Gala tertawa. Tawa yang mengingatkanku kepada keputusan yang kuambil saat bertemu dengannya di lobi kantor.
“Kamu mau jadi istriku?” bisik Mas Gala pada saat itu.
Dan bodohnya, aku mengangguk.
Manusia mana yang mau diajak menikah oleh seorang lelaki tanpa mengenal terlebih dahulu? Tidak ada yang mau, kecuali aku, karena aku bodoh! Bahkan, aku langsung menerima ajakan Mas Gala di hari pertama pertemuan itu. Gila kan? Ya, aku memang gila!
Mas Gala membuyarkan lamunan saat dia menarik selimut dari atas ranjang. Dia juga membawa satu bantal dari sisiku. Kini, lelaki itu turun dari ranjang dan menyimpan bantal di sofa. Dia kemudian menjatuhkan badan dan melingkarkan selimut di seluruh badan.
Aku mengembuskan napas saat Mas Gala sudah terbaring di sofa yang ada di depan ranjang. Ternyata, ini balasan bagi perempuan sepertiku. Perempuan murahan yang mau begitu saja diajak menikah oleh seorang Gala Bahuwirya.
Aku yang awalnya menyender di dinding ranjang, kini menggelosorkan badan. Aku menggigit bibir karena mendapati kenyataan ini. Seorang Nara Candrakara harus melihat kenyataan pahit, bahwa suaminya berubah setelah dua belas jam mengucapkan ijab kabul. Dan itu menyakitkan.
Apa yang harus aku lakukan sekarang? Apa aku harus bertahan? Baru tadi siang aku berkhayal akan hidup bahagia bersama Mas Gala. Aku yakin jika kami akan saling menyelami satu sama lain. Aku akan berada di bawah kendali Mas Gala, tetapi ditangani dengan lembut. Mas Gala akan membuat aku memiliki pengalaman baru, tetapi dibimbing dengan penuh perasaan cinta. Tapi ternyata semuanya tidak seperti yang kubayangkan.
Sial!
Kukira hanya air mata yang mendesak keluar. Namun, darah juga melesat begitu cepat dari dalam hidung. Aku mimisan.
“Mas,” desahku.
Aku tidak punya pilihan selain meminta tolong kepada Mas Gala.
Jika ada darah yang keluar dari dalam hidung, tandanya tubuhku sedang tidak baik-baik saja. Sudah sejak kecil aku mengalami masalah seperti ini. Mimisan yang terjadi ini biasanya disebabkan oleh tekanan atau kecemasan yang berlebih. Ya, detik ini, aku memang sedang cemas luar biasa!
“Mas!”
“Apa?” jawab Mas Gala singkat. “Tidur! Besok kita harus ketemu keluargamu!”
Aku terisak. “Mas, tolong aku. Aku mimisan.”
Ucapanku tidak ditanggapi secara langsung. Mas Gala hanya menggeliat. Dia menyingkap selimut, lantas melangkah ke sisiku. Aku yakin, Mas Gala baru mau masuk ke alam mimpi. Namun dia harus kembali bangun gara-gara aku.
“Kamu .....” Wajah Mas Gala berubah keras. “Ini hari pertama kita menikah. Bagaimana mungkin kamu sudah membuat saya susah?”
Aku sedang berusaha menghentikan darah yang keluar dari dalam hidung dengan tangan. Baju tidurku, juga ranjang yang kutiduri ternoda oleh darah yang cukup banyak.
Mas Gala berjalan ke luar kamar sambil mengomel. Setelahnya, dia kembali dan membawa kotak P3K. Dia mengeluarkan kapas dari dalam kotak itu.
“Tegak!”
Ucapannya membuat ulu hatiku sedikit ngilu. Selama hidup, Bapak atau Ibu belum pernah membentakku seperti itu. Sekarang, Mas Gala memberikan pengalaman pertama yang jelas membuat dadaku sesak.
“Tegak!” tegasnya sekali lagi. “Kamu mau mimisan terus?”
Akhirnya, aku bangun dari ranjang, badanku tegak sesuai permintaan.
Aku merasa jika Mas Gala canggung berhadapan denganku. Buktinya, dia diam dengan wajah merah. Ya .... meskipun pada akhirnya, dia mengusapkan kapas di sekitar hidung, lantas menyumbatkan benda lembut itu.
Kamu tahu? Gerak-gerik Mas Gala, napas segar Mas Gala, juga harum parfum dari badannya membuat jantungku berdetak lebih kencang. Mungkin ini perlakukan terbaik dari Mas Gala setelah kami menikah. Perlakuan yang mungkin biasa saja bagi perempuan lain, namun terasa istimewa bagi perempuan sepertiku.
“Sudah!” ucapnya. Dia menjauh sambil membawa kotak P3K.
“Mas ....,”
Mas Gala menoleh.
“Makasih karena telah membantuku,” kataku tulus.
Mas Gala berlalu begitu saja dengan wajah datar.
Sekarang, aku mendapati pakaian dan juga seprai yang ternoda. Apa yang harus aku katakan kepada asisten rumah tangga Mas Gala jika dia bertanya? Sepertinya, aku sendiri yang harus mencuci seprai itu sebelum ketahuan. Aku tidak mungkin berkata jika aku tertekan oleh Mas Gala hingga menyebabkan mimisan. Aku juga tidak mungkin membuatnya khawatir. Meski hanya asisten rumah tangga, aku tahu jika dia begitu menanti kehadiranku.
“Ganti baju!” Itu ucapan Mas Gala.
Aku mendongak. “Kamu kan tahu kalau semua bajuku ada di kosan. Aku nggak bawa baju lain selain baju yang ini. Lagian, kamu sendiri yang melarangku ke kosan. Kamu ....”
“Diam! Dasar cerewet!”
Mas Gala berjalan ke arah lemari yang menempel di sisi kanan. Dia membukanya, lantas mengeluarkan kaus putih berlegan panjang dan celana training berwarna biru. Tanpa ampun, dia melemparkannya kepadaku.
“Pakek!”
Huh! Kenapa sih, dia galak banget? Apa Mas Gala tidak bisa berkata lebih lembut?
“Kamu nggak mau pakek?” Mas Gala mendekat. “Ya udah!” Dia mengambil lagi pakaian itu.
“Eh ....” Dengan gerakkan cepat, aku menarik pakaian di tangan Mas Gala, hingga dia terjatuh ke atas kasur. Hampir saja wajah kami beradu.
“Kamu jangan cari-cari kesempatan ya!” tegas Mas Gala.
Mendengar ucapan itu, aku langsung mendorong tubuhnya. “Siapa yang cari kesempatan, Mas? Aku bukan perempuan murahan.”
Seharusnya, ucapan itu tidak keluar dari mulutnya. Toh, aku memang istrinya kan? Bahkan seharusnya, aku dan Mas Gala bisa lebih mesra dari sekadar bersentuhan seperti barusan.
Mas Gala kembali membaringkan badan di atas sofa. Sementara aku, aku mengembuskan napas kasar. Aku berpikir begitu panjang soal kami berdua. Apa aku harus tetap ada di rumah ini setelah apa yang dia lakukan? Atau, aku pergi dan meminta cerai?
Berat! Ini sungguh berat.
Aku jadi ingat Bapak. Saat masih hidup, Bapak sering berkata bahwa hal yang paling baik untuk dilakukan adalah berusaha. Ya, berusaha. Dia selalu meyakinkanku jika berusaha akan membuat manusia lebih tenang ketimbang mundur begitu saja.
Berarti, aku harus berusaha mendapatkan Mas Gala? Aku harus mengejar cinta lelaki jutek yang menyebalkan itu? Ah, aku memang harus menanggung risiko. Apalagi jika aku masih punya impian. Bukankah aku ingin mewujudkan kemesraan yang sering kami lakukan di alam lain?
Mungkin kamu bingung saat aku berkata tentang ‘alam lain’. Bahkan alam lain itulah yang kemudian mendorongku untuk menyetujui ajakan menikah dari Mas Gala. Besok, aku akan ceritakan soal alam yang kumaksud. Sementara untuk sekarang, aku harus tidur. Aku harus mengisi tenaga sebelum kembali bertarung. Bisa jadi Mas Gala akan mengajakku bergulat tengah malam nanti.
Ah, sudahlah, Aku tidak boleh banyak berharap ....
***
Dua tahun kemudianHarum bawang goreng menguar dari dapur. Terlihat Nara dengan bahagia membolak-balikkan nasi di atas wajan. Rupanya, dia sedang memasak nasi goreng. Ya, nasi goreng adalah salah satu menu makan siang dirinya dengan Gala. Sekarang, Gala menjadi seorang Papa yang tidak pernah absen datang ke rumah di jam istirahat. Meski posisi kantor ke rumah lumayan jauh, tetapi dia selalu menyempatkan diri untuk datang.Sekarang, Nara mengamati nasi goreng di atas piring. Irisan tomat yang terlihat segar, sayur, juga beberapa potong sosis goreng berjejer di pinggir-pinggirnya. Dia membuat dua piring nasi goreng, khusus buat dirinya dan Gala. Tentu ini makanan sederhana, tetapi makanan sederhana akan sangat istimewa bukan? Apalagi jika yang dimasaki merasa bahagia.Saat tengah menatap makanan di atas meja, tiba-tiba ponsel Nara berbunyi. Tentu, itu dari Gala. Dia lantas mengangkatnya dengan wajah cerita.“Hallo, Mas,” ucap Na
Entah kenapa, mendengar ucapan Mas Candra seperti itu membuat hatiku terenyuh. Aku merasakan betul detak jantungnya yang menempel di badanku. Sampai akhirnya, aku melepaskan peluk untuk kesekian kalinya.“Kira-kira, apa yang membuat aku harus menerimamu kembali?” tanyaku. Aku mencari keyakinan lagi.Mas Candra menghela napas. “Karena aku mau berubah. Dan yang paling penting .... aku benar-benar cinta sama kamu. Aku merasa bahwa kebahagiaanku ada bersamamu. Bukan lagi di kerajaan.”Aku menatapnya. Mencari celah, apakah dia berbohong? Tetapi dilihat dari gerak-geriknya, aku melihat jika tidak ada kebohongan.“Apa kamu bisa menjaminnya?” tanyaku lagi.“Apa yang kamu mau dariku? Ucapkan. Apa pun, akan kulakukan jika bisa mempersatukan kita.”Pertanyaan itu malah membuatku beku. Itu hanya bentuk dari pengetesan yang kulakukan. Kamu tahu? Sejujurnya, keberadannya di sini saja sudah membuatku senang.
Aku kembali seperti Melica yang dulu. Dari dua hari lalu, aku kembali melihat aktivitas anak-anak. Melihat kerajinan yang dibuat, melihat proses paking barang-barang untuk dikirim ke luar daerah dan luar negeri, serta melihat perkebunan yang semakin sini semakin luas. Seperti keinginanku dulu, warga-warga sini hampir 80 mendominasi sebagai pegawai di panti.Pada hari ini, aku sedikit bernostalgia dengan perkebunan. Kebetulan, ada kegiatan pemetikkan beberapa sayuran seperti bonteng, bayam, sawi, dan beberapa sayur lain. Nah, aku ikut berkumpul dengan para petani yang sedang memetik sayuran.“Wah, Melica turun juga,” ucap salah satu pegawai yang sudah dari lama mengetahui aku.“Iya, Nih, Pak. Suntuk diam di kamar terus. Sekalian nostalgia,” ucapku.“Kabarnya, Melica itu kemarin hilang ya? Kenapa bisa hilang? Ada masalah apa?” pertanyaan itu tampaknya hanya basa-basi, padahal semua orang tahu jika kami diisukan menghilang
Gerbang panti terlihat di ujung mata. Aku melihat pohon-pohon yang masih sama, lebat. Aku melihat rumput-rumput hias yang ada di pinggir-pinggir pagar, yang juga terurus, lantas, aku mengembuskan napas. Tidak terasa, aku sudah ada di sini. Di rumahku sendiri.Saat membuka gerbang, penjaga panti terbelalak. Dia buru-buru menyalamiku. Tentu, aku juga menyalaminya dengan begitu bahagia.“Kok Melica tidak bilang kalau mau ke sini? Kan bisa dijemput sama anak-anak yang lain.” Ucap Pak Satpam.Dia adalah penjaga yang sudah lama ada di sini. Bahkan sejak aku kecil. Makannya, dia menyebut lebih akrab dengan sebutan nama.“Memangnya saya itu tamu, Pak?” Aku terkekeh. “Saya anak panti lho. Jadi ya, nggak usah dispesialkan juga.”Ucapan itu dijawab gelengan. Tentu, kami mengobrol sejenak. Menanyakan berbagai hal dan situasi di panti. Menurut Pak Satpam, panti mengalami banyak perkembangan. Terutama mengenai usaha-usaha yang
Kedatanganku ke kantor membuat para karyawan terbelalak. Mereka tidak menyangka, orang hilang yang selama ini diberitakan ternyata sudah kembali. Lantas, aku langsung dikerubuti oleh para karyawan.“Bu, Ibu ke mana saja? Pak Candra juga. Apa kalian baik-baik saja?” tanya salah satu dari mereka.Jelas aku tersenyum sejanak, kemudian mengangguk. “Selama ini, saya tersesat di hutan. Dan saya ... masuk ke alam ghaib.”Ucapan itu membuat mereka terlihat semakin penasaran.“Alam ghaib?” karyawan Senior yang umurnya lebih tua dari Mas Candra mengerutkan kening.“Ya. Kalau kalian tidak percaya, tidak apa-apa. Yang jelas, selama beberapa minggu, kami tersesat, sampai akhirnya saya bisa kembali. Tapi Mas Candra .....”“Pak Candra kenapa?”“Sampai sekarang tidak ada jejak. Saya tidak tahu apakah dia selamat atau tidak.”Aku mengobrol panjang lebar dengan para karyawan
Suara air yang jatuh dari atas membuat Ibu memejamkan mata. Air itu terasa mendamaikan. Dia juga merasakan kesejukkan yang luar biasa bisa berdiri di depan air terjun yang sangat mengagumkan. Sampai kemudian, dia yang tengah merasa senang, kini melotot. Dia mendapati seseorang yang tengah duduk di batu besar, juga menghadap ke air terjun. Tentu, dia tahu orang tersebut.Ibu melangkah cepat, ingin memastikan orang yang dia lihat.“Bapak ....”Ucapan itu mengudara begitu saja. Padahal, Ibu belum lihat wajahnya sama sekali.Lelaki itu menengok. Dia tersenyum lebar saat mendapati istrinya. Lantas, dia berdiri.“Kenapa Ibu ada di sini?” tanya Bapak.Ibu diam sejenak. Dia mengamati wajah teduh suaminya. Lantas, tangan kanannya mengusap wajah itu perlahan-lahan. Wajah yang begitu dia rindukan, terutama saat bapak pergi untuk selama-lamanya. Hingga, mendaratlah pelukkan yang begitu erat.“Ibu rindu Bapak,”
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments