Share

My Husband's Secret
My Husband's Secret
Penulis: HENY PU

1. Kecelakaan

Sebuah bangunan megah dengan high safety di ibu kota, yang setingkat dengan Istana Presiden. Adakah yang seperti itu? Tentu ada. Seperti itulah gambaran kediaman Andrian, yang luas dan asri dengan arsitektur bergaya Victory. Arsitektur yang sarat makna: tangguh, angkuh, dan berkelas sekaligus. Kediaman yang lebih tepat disebut sebagai mansion. Seperti itulah penampakan dari luar, mansion Andrian.

Hal itu, tidak berlaku untuk bagian dalam mansion. Setiap ruangan luas dan hanya diisi beberapa perabotan, itu pun terletak di sudut ruangan. Terlihat sangat minimalis dan modern. Mansion selalu lenggang, seolah-olah tidak berpenghuni. Mansion sebesar ini, hanya di tempati oleh seorang Andrian saja. Sedangkan sehari-hari Andrian lebih banyak menghabiskan waktu di kamar utama.

Kamar utama sangat luas, bahkan bisa disebut rumah dalam rumah. Bagaimana tidak! luasnya saja 20mx25m. Kamar ini berfungsi sebagai tempat istirahat sekaligus laboratorium Andrian. Kamar yang disekat menjadi tiga bagian dan hanya dipisahkan dengan dinding kaca transparan. Untuk safety, tidak perlu diragukan lagi bagi seorang tehnokrat seperti Andrian.

Malam ini, seperti malam yang telah lalu. Aktifitas masih tampak di kamar utama. Sekarang, waktu sudah menunjukkan pukul 23:50 WIB. Tampak sangat jelas raut wajah Andrian yang sedikit kelelahan.

"Paman istirahat saja, sudah hampir tengah malam!" perintah Andrian sembari mengusap kasar wajahnya. Setelah itu, dia memejamkan mata.

"Iya Mas Ian, ini masih kurang sedikit lagi," tolak Rusdi sembari terus merapikan beberapa pekerjaan Ian yang berserakan di atas meja yang ada di dalam laboratorium.

Kring kring

Suara ponsel Rusdi. 'Fafa!' batin Rusdi. Saat akan melangkah keluar, dia ditegur oleh Andrian. "Angkat saja, tidak usah keluar!" ujar Ian. Rusdi mengangguk dan langsung menggeser tombol gagang telpon warna hijau.

"Assalamualaikum, Paklik Di," salam Fafa dengan suara tertahan.

"Wa alaikumusalam. Nduk! Ada apa, ini sudah hampir tengah malam telpon paklik? Kamu dan Ikhsan baik-baik saja'kan?" tanya Rusdi beruntun. Fafa masih tetap terdiam untuk beberapa saat.

"I-iya, Fafa baik-baik saja, Paklik. Tetapi ... Dik San tidak, dia tadi sore kecelakaan. Sekarang, kami ada di rumah sakit," jelas Fafa. Rusdi refleks berucap innalillahi wa innaillahi rojiun dengan pelan.

"Lalu, bagaimana kondisi San sekarang, Nduk?"

"Alhamdulillah sudah ditangani, Paklik. Hanya saja ...." Fafa berhenti tidak jadi melanjutkan kalimatnya.

"Alhamdulillah. Hanya kenapa?" tanya Rusdi penasaran.

"In-ini kaki Ikhsan mengalami dis-lokasi, dan sekarang menunggu operasi. Fafa binggung harus bagaimana, Paklik! Tadi Fa tanya bagian administrasi, biayanya hampir 50 juta, sedangkan tabungan Fafa masih sedikit," jelas Fafa. Rusdi langsung paham maksud Fafa.

"Sebentar lagi Paklik pulang ke paviliun. Paklik bicarakan dulu sama bulikmu. In syaa Allah, nanti Paklik usahakan, kamu jaga adikmu saja, tenang ya!" hibur Rusdi dengan suara lembut.

"Iya, Paklik Di. Maafkan Fafa dan San yang selalu merepotkan Paklik dan bulik," ujar Fafa pelan.

"Nggak papa, Nduk. Adiknya dijaga, salam buat San, semoga lekas sembuh. Ya sudah, Paklik tutup telponnya. Assalamualaikum," ujar Rusdi.

"Wa alaikumusalam," jawab Fafa. Sambungan terputus.

"Siapa Paman?" tanya Ian. Rusdi menoleh.

"Fafa, keponakan saya, Mas Ian," jawab Rusdi dengan pandangan menerawang.

"Oh, kenapa!" Ian memperhatikan Rusdi dengan seksama.

"San, adik Fafa kecelakaan," jawab Rusdi singkat.

Rusdi termangu. Uang 50 juta tidaklah sedikit, sedangkan saat ini tabungannya hanya 20 juta. Rusdi dilema, apakah sebaiknya dia langsung membicarakan dengan Ian atau memberitahu Tini dahulu.

Andrian terus memperhatikan Rusdi. Melihat ekspresi Rusdi yang demikian, Andrian paham pasti ada yang tidak beres dengan keponakannya. Beberapa saat kemudian, Rusdi menghela napas dalam. Dia bertekad sekarang juga akan meminta bantuan Andrian agar memberi pinjaman.

"Mas Ian, apakah saya bisa minta bantuan?" ucap Rusdi.

"Bantuan!" respon Ian penasaran.

"Iya, saya ingin meminjam uang dan pembayarannya melalui potong gaji langsung," pinta Rusdi.

"Untuk apa!" tanya Ian tertarik.

"Biaya operasi dan perawatan keponakan saya sekitar 50 juta, Sedangkan saat ini, tabungan saya belum cukup."

Ian mengangguk. Sepertinya anggukan Andrian adalah pertanda baik, Rusdi tersenyum kecil.

"Kirim nomor rekening, nanti kutransfer!" Rusdi langsung mengembuskan napas lega.

"Mas Ian, terima ka-," Rusdi belum menyelesaikan kalimatnya sudah dipotong Ian.

"Ya. Tetapi ada syaratnya!" ucap Ian sengaja dijeda dan memperlihatkan wajah menyeringai.

Rusdi langsung menelan ludah susah payah, menyaksikan hal itu. 'Ada syaratnya? Bolehkan mencabut perkataan yang tadi?' batinnya. Rusdi mendadak sangat menyesal telah meminta bantuan Ian. Siapa yang tidak kenal Tuan Muda Andrian--yang lebih dikenal dengan panggilan Ian--dengan semua sepak terjangnya.

***

Adric Andrian, usia 30 tahun. Dia adalah Pendiri AA Corp. Perusahaan yang bergerak di bidang IT. Sebagai konsultan IT beberapa instansi pemerintah, swasta, perusahaan besar dalam dan luar negeri. Perusahaan yang dikelola oleh teman-teman kuliah Ian. Sedangkan Ian sendiri, selalu berada di laboratorium dan berkutat dengan kegemarannya. Yaitu menciptakan berbagai peralatan berteknologi tinggi.

Soal penampilan? Jangan ditanyakan lagi. Keluarga besar saja enggan bertemu apalagi berdekatan dengan dia. Bahkan dengan tega menjulukinya orang gila. Bagaimana tidak! Ian dengan tubuh kurus tinggi menjulang, rambut sepinggang, berewok, belum lagi sebatang rokok selalu terselip di kedua jarinya. Penampilan yang sangat berantakan untuk ukuran seorang Big Boss. Ian, seorang asosial dan lumpuh. Hidupnya bergantung pada kursi roda. Ya, Ian menderita paraplegia sejak usia 10 tahun karena kecelakaan yang melibatkan seluruh anggota keluarganya.

Saat kecelakaan mobil, ayah dan ibu Ian menderita luka paling parah. Setelah mendapatkan perawatan beberapa hari di rumah sakit, akhirnya tidak tertolong dan meninggal dunia. Ian adalah satu-satunya korban yang masih selamat, walaupun dengan keadaan seperti sekarang ini. Sejak saat itu, Ian kecil menjadi sosok yang dingin dan tidak tersentuh, sulit berteman dengan siapapun, kecuali tiga orang sahabatnya.

Di rumah, dia hanya mau berdekatan dengan Rusdi dan Tini sebagai pelayan. Rusdi sendiri sudah menjadi pelayan di keluarga Andrian sejak lama. Andrian kecil dititipkan pada mereka oleh mendiang orangtua Andrian kala menjelang ajal.

"Ceritakan keponakanmu, Paman!" perintah Ian sesaat setelah meletakkan ponselnya di atas meja.

"Fathimah, dipanggil Fafa. Saat ini kuliah di Universitas Islam jurusan Pendidikan Agama Islam. Adiknya bernama Ikhsan. Mereka yatim piatu. Da-," perkataan Rusdi belum selesai dan sudah dipotong oleh Ian.

"Umurnya berapa?" tanya Ian

"20 tahun. Mas Ian," jawab Rusdi.

"Fix. Aku akan menikahinya!" ujar Ian dengan ekspresi datar.

"Ap-apa?!" seru Rusdi terkejut dan melongo.

"Suruh dia menghubungiku. Sekarang!" perintah Ian.

"Ba-baik Mas Ian." Rusdi langsung mengambil ponsel dari sakunya. Dengan sedikit gemetar men-dial nomor ponsel Fafa. Hanya butuh dua kali nada dering, sudah terdengar suara Fafa.

"Assalamualaikum, Paklik!"

"Wa alaikumusalam, Nduk. Bisakah Paklik bicara sedikit?" 

"Iya, Paklik. Bisa."

"Nduk, sebelumnya Paklik minta maaf--Rusdi diam sesaat--tadi Paklik inisiatif meminta bantuan Boss. Beliau bersedia membantu, tapi ada syaratnya," ujar Rusdi hati-hati.

"Syaratnya apa Paklik? Fafa bersedia memenuhinya," ujar Fafa.

"Ha! Kamu tidak bertanya apa syaratnya, Nduk?" tanya Rusdi.

"Tidak Paklik, Fa percaya." Rusdi langsung benggong. Dia tidak habis pikir, bagaimana bisa keponakannya itu percaya begitu saja.

"Nduk, kamu hubungi Beliau langsung ya! Paklik kirimi nomor ponselnya," saran Rusdi.

"Iya, Paklik."

"Ya sudah, Paklik tutup dulu. Assalamualaikum."

"Wa alaikumusalam." 

Rusdi segera mengirimkan no ponsel Andrian kepada Fafa. Beberapa saat kemudian, ponsel Ian berbunyi. Ian secepatnya menerima panggilan itu.

"Assalamualaikum."

"Hhmm."

"Apakah benar ini nomor ponsel Mas Ian?"

"Hhmm."

"Alhamdulillah. Saya ingin mengucapkan terima kasih karenaas Ian berkenan membantu biaya pengobatan adik saya."

"Hhmm. Apa kamu tidak ingin tau apa syaratnya?"

"Saya sudah mengatakan pada Paklik Di, jika saya menyetujui semua persyaratannya."

"Hhmm. Baiklah. Nanti, biar diurus Paman."

"Maaf, kalau boleh tahu. Apa persyaratannya?"

"Aku akan menikahimu, persiapkan dirimu. Masalah biaya pengobatan, anggap saja sudah lunas." 

"Apa?!" seru Fafa. Dia sangat terkejut dengan syarat yang diajukan Ian. Ponsel di genggaman tangan Fafa langsung terlepas dan jatuh. Fafa linglung, tak percaya dengan syarat yang sudah dia iyakan.

***

Ian tersenyum miring kala mendengar suara terkejut Fafa. Dengan santai, Ian meletakkan kembali ponselnya di atas meja. Aldric Andrian tidak pernah main-main dengan ucapannya. Bayangan bagaimana Fafa-gadis yang sederhana dan ceria. Bertemu dengan Ian-yang dingin dan semena-mena. Hal ini membuat Rusdi geleng-geleng tak percaya.

"Ada apa!" tanya Ian.

Ian terus memperhatikan Rusdi. Dia tersenyum tipis dan hampir tidak terlihat.

"Urus semuanya. Aku mau istirahat!"

Rusdi langsung mendorong kursi roda Ian keluar dari laboratorium, menuju ke ranjang. Dia segera membantu Ian pindah ke atas ranjang.

"Mas Ian. Paman undur diri," pamit Rusdi beringsut keluar kamar. Ian hanya menggangguk.

Sepeninggal Rusdi, Ian meraih tab yang ada di atas nakas. Segera saja dia mengaktifkan Privat Aplication.

Rusdi langsung menuju ke paviliun yang ada di sebelah kanan Rumah utama.

Tok tok

"Assalamualaikum,"

"Wa alaykumusalam," sahut Tini.

Pintu paviliun terbuka lebar. Tini langsung mengecup punggung telapak tangan Rusdi.

"Masuk, Bang!"

"Iya, Alhamdulillah."

Rusdi langsung duduk di sofa yang ada di ruang tamu.

"Dik, tolong duduk sini sebentar, ambil minumnya nanti saja!" lanjut Rusdi. Tini langsung duduk di sebelah Rusdi.

"Ada apa, Bang. Tumben sekali!" ujar Tini penasaran.

"Ini, barusan Fafa telpon. San kecelakaan, dia butuh biaya untuk perawatan San di rumah sakit."

"Innalillahi wa innaillahi rojiun. Terus sekarang bagaimana keadaan San, Bang!"

"Alhamdulillah sudah ditangani. Hanya saja dia harus dioperasi bagian lututnya."

Rusdi diam sejenak, memberi waktu pada Tini untuk mencerna kabar itu.

"Terus!"

"Dik. Fafa butuh dana un-,"

"Langsung dikirimi aja, Bang. Kasihan anak itu, mereka hanya punya kita sebagai orang tua."

"Masalahnya, Dik. Tabungan kita nggak cukup!" ujar Rusdi sambil menghela napas dalam.

"Apa kita pinjam Mas Ian!" usul Tini.

"Maaf Dik, tadi Abang sudah bicara dengan Mas Ian. Abang tidak memberitahumu terlebih dahulu."

"Tidak apa-apa Bang, yang penting anak-anak. Lalu apa Mas Ian menolak atau bagaimana?" 

Rusdi menghela napas dalam. Entahlah, sekarang dia bimbang dan sedikit menyesal dengan tindakannya tadi.

"Nah di situ letak masalahnya, Dik. Mas Ian mau membantu tapi ada syaratnya!" papar Rusdi.

"Alhamdulillah, syaratnya apa Bang!"

"Fafa menikah dengan Mas Ian!"

"Apa?!" seru Tini langsung menutup mulut dengan telapak tangan.

"Bang, apa tidak salah? Ma-Mas Ian ingin menikahi Fafa? Memang Abang mengijinkan Fafa menikah dengan Mas Ian!" lanjut Tini. Rusdi mendesah resah.

"Dik, Fafa sudah menyetujuinya!"

"Apa?!"

"Tadi, Mas Ian bicara langsung dengan Fafa dan dia langsung meyetujui tanpa bertanya apa syaratnya." Tini berusaha menormalkan keterkejutannya. 'Anak itu, bagaimana bisa dia melempar diri dengan sukarela pada Singa!' batin Tini.

"Ya sudah. Nanti kita bicarakan lagi. Sekarang, Abang segera ganti baju gih, mau mandi?" tawar Tini. Rusdi mengangguk.

"Nggak usah, Dik. Cuci muka sama ganti baju aja."

Rusdi dan Tini tidak menyadari, jika percakapan tengah malam mereka turut didengar Ian. Saat ini, Ian sedang tersenyum puas di atas ranjang. Ian sendiri tidak menyangka jika dia mengajukan syarat konyol itu. Tapi tidak apa-apalah. Ian tersenyum menyeringai.

note:

Nduk adalah kata ganti untuk panggilan nama anak perempuan.

02 April 2021

Kediri-Indonesia

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status