Kebetulan sekali Yuna dan Jisya sedang tidak ada jadwal konsultasi dengan dosen. Mereka sudah mengatur jadwal untuk bertemu dengan Dion selaku CEO agensi yang menaungi Jisya di dunia permodelan. Seperti janjinya pada Jisya, Dion langsung menerima Yuna sebagai model di agensinya tanpa seleksi. Dari awal Dion memang sudah tertarik dengan aura Yuna, hanya saja perempuan itu selalu menolak tawarannya.
"Minggu depan kamu bisa mulai pemotretan lipstik. Gue udah taken kontrak sama brandnya. Kamu banyak-banyak latihan sama Jisya. Gue yakin kamu gampang diarahin."
Di ruangannya, Dion mengajak Yuna dan Jisya mengobrol santai. Baru saja bergabung, Yuna sudah ditawari pekerjaan. Otomatis Jisya bertepuk tangan gembira karena sahabatnya tak butuh waktu lama untuk masa pelatihan. Tapi, di tengah acara Jisya mendapat telepon dari dosennya untuk segera ke kampus dan terpaksa meninggalkan Yuna sendiri dengan Dion.
Sementa
Setelah diterima menjadi model, Yuna memutuskan untuk mengakhiri perjanjiannya dengan Abin. Dia sudah menghubungi Abin dan meminta untuk bertemu. Kebetulan juga suasana hati Abin sedang tidak nyaman. Dia ingin Yuna menemaninya, bahkan mengusir Linzy secara halus dengan alasan latihan band.Yuna yang telah diberi kebebasan oleh Abin untuk mengakses apartemennya membuka pintu dengan ragu-ragu. Ketika masuk dia melihat Abin duduk di sofa dengan wajah berantakan. "Bin...," panggilnya dengan suara lirih.Mendengar suara merdu Yuna, Abin langsung bangkit dan memintanya untuk duduk bersebelahan. "Tumben kamu mau ketemu aku?" tanya Abin ketika Yuna sudah duduk di sebelahnya memangku kedua tangnnya."Ada yang mau aku bicarakan sama kamu, Bin.""Bicara apa, hm?" tanya Abin sambil menyisipkan helaian rambut ke belakang telinga Yuna dan sesekali mengendus leher perempuan itu. Yuna yang masih belum t
Akhirnya Abin mau berhenti juga dan kembali menaikkan celana dalam Yuna. Yuna pun bangkit bersamaan dengan Abin yang memakai kembali pakaiannya. Perempuan itu mengaitkan kembali branya dengan susah payah. Abin yang bisa membaca maksud Yuna pun langsung mengambil alih untuk membantunya.Yuna menatap nanar kemeja putihnya yang sudah tidak karuan. Semua kancingnya terlepas dan tidak bisa dikaitkan lagi. "Aku pulangnya gimana, Bin?"Abin langsung berdiri dan masuk ke dalam kamarnya. Tak berselang lama dia keluar dengan membawa kemeja putih wanita. "Pakai ini aja."Yuna mengernyitkan keningnya ketika menerima kemeja itu. "Punya siapa?""Punya mantan aku."Yuna meletakkan kembali kemeja itu dengan raut wajah masam. "Kamu katanya baru ngelakuin sama aku?"Melihat wajah cemburu Yuna membuat Abin terkekeh. Dia menangkup kedua pipi perempuan itu dengan telapak tan
Jisya tengah sibuk menghapus make up setelah sesi pemotretan. Tak lupa juga melepas perhiasan yang dia pakai dibantu seorang perempuan yang menjadi assistannya. Di sebelahnya juga ada Yuna yang masih mempersiapkan diri untuk pemotretan pertamanya."Jisya, aku nervous banget nih. Gimna kalau pemotretannya gagal?""Makanya jangan nervous. Kalau kamu nervous, hasilnya nggak bakal maksimal. Santai aja, Yuna. Kamu pasti bisa kok. Percaya deh sama aku."Yuna mengulas senyumnya dengan manis. Jisya selalu membuatnya merasa tenang. "Makasih, Sya.""Itu kan gunanya teman? Kalau nggak saling support buat apa?""Yuna, lima menit lagi take." Manager Jisya yang sekaligus menjadi manajer Yuna memberi aba-aba untuk Yuna agar segera bersiap.Ketika Yuna meninggalkan ruangan itu, Abin tiba-tiba datang meghampiri Jisya dengan menutup mata perempuan itu dari belakang. "Abin...," peringat Jisya dengan lembut.Abin melepas tangannya dan t
Linzy berjalan menyusuri koridor kampus bersama dua teman barunya sambil memelintir rambut dengan jari. Tanpa sengaja dia melihat Yuna yang tengah sibuk membawa tumpukan dokumen di tangannya. Mengingat Yuna teman dekat Jisya, Linzy berinisiatif menjaili untuk menjailinya.Mencetak seringaian tipis dan menahan langkah kedua temannya. "Guys guys!"Kedua temannya pun spontan menghentikan langkah dan menatap Linzy dengan kerutan kening. Linzy melirik keberadaan Yuna dengan mencurigakan. Mereka pun akhirnya tahu apa yang dimaksud Linzy."Cus!" Linzy mengayunkan tangannya untuk segera melakukan aksinya. Mereka bertiga berjalan sambil bergurau seolah tak peduli dengan sekitar. Dan ketika berpapasan dengan Yuna, Linzy sengaja membenturkan bahunya dengan kencang hingga membuat Yuna jatuh tersungkur dan dokumennya berserakan ke mana-mana. Lututnya membentur ujung kursi hingga mengluarkan banyak darah.
Jisya berjalan menuju ruang kesehatan seraya merogoh tas untuk mencari ponselnnya. Ketika sampai dia melihat Abin duduk menjauh dari Yuna dengan menyilangkan kaki seraya memainkan ponsel miringnya. Entah mengapa melihat kediaman Yuna dan Abin terasa mengganjal di hatinya."Kamu udah enakan?" Jisya menempelkan punggung tangannya pada kening Yuna. Tidak panas, hanya sedikit hangat."Udah enakan kok, Sya. Tadi Bu Indri gimana? Pasti marah ya sama aku? Bukan kamu kan yang dimarahi?"Jisya terlihat mengulas senyumnya. Terlihat tulus, hanya saja sebenarnya tak begitu. Jisya hanya pura-pra untuk melegakan prasangka Yuna. "Nggak kok. Bu Indri makhlumi. Tapi, aku belum bisa buktiin kalau itu ulahnya Linzy."Yun akahirnya bisa bernapas dengan lega. "Syukurlah kalau gitu. Makasih ya, Sya...." Jisya menganggukkan kepalanya dengan senyuman tulus. Dia akan selalu melakukan apa pun demi sahabatnya. Yun
Jisya sampai rumah dengan selamat. Beruntung sebelum baterai ponselnya habis, taksi online yang dia pesan tiba di waktu yang tepat. Hanya saja karena kehujanan gadis itu mendadak terserang flu. Sejak malam sampai pagi hanya bergelut dengan selimut tebal dan tidak berhenti bersin hingga hidungnya memerah. Bahkan dia terpaksa membatalkan jadwal bertemu dengan designer yang bekerja sama dengannya karena kondisinya benar-benar tidak bisa diajak kompromi. Ketidakprofesionalan Jisya membuat Dion murka sampai harus meneleponnya pagi-pagi. "Kamu, gimana, Jisya? Udah gue bilangin, jaga kesehatan. Jangan sampai pas ada jadwal kamu seenaknya batalin! Ini project penting lho, Sya! Jangan sampai cuma gara-gara kamu mereka cabut kontraknya." "Maaf, Mas... Aku janji cuma kali ini aja aku izin," jawab Jisya. Suaranya bahkan terdengar lemah dan berkali-kali menarik ingusnya. Tapi, Dion seolah tak mau tahu dengan
Sudah seharian Jisya tidak mendapat kabar dari Yuna maupun Abin. Bukannya apa-apa, hanya saja tidak biasanya Yuna melupakannya. Terlebih dia mendapatkan kabar baik karena berkerja sama dengan designer luar negri. Biasanya dia akan curhat pada Jisya tentang hari-harinya. Abin pun juga begitu. Tidak ada sekali saja niat menanyakan kabar Jisya. Tidak tahu kalau gadis itu tengah menahan tubuhnya yang tengah sakit. Ditambah lagi sudah berhari-hari mamanya tidak pulang. Dia harus merawat dirinya sediri yang lemah. Masih memandangi layar ponsel, tiba-tiba saja darah menetes melalui hidungnya dan mengenai selimut. Dalam hatinya sangat panik dengan hal itu, hanya saja Jisya mencoba menenangkan dirinya sendiri. "Nggak apa-apa, Jisya... Cuma mimisan kok," monolognya seraya meraih tisu di atas nakas untuk mengusap hidungnya. Bukannya berhenti, darahnya justru semakin banyak menetes hingga Jisya berkali-kali
Pagi itu Jisya tengah berjalan gontai di koridor rumah sakit dengan menggenggam selembar surat hasil tes laboratorium. Kepalanya menunduk menatap lantai yang dia pijak, seolah tak memiliki semangat untuk melanjutkan hidup. Dia yang biasanya selalu ceria dan semangat, kini menjadi pemurung. Bruk! Tiba-tiba ada seorang yang dengan sengaja membenturkan diri padanya hingga surat hasil laboratorium itu jatuh. "Ups! Sorry, sengaja." Jisya membungkukkan badannya untuk meraih kembali hasil tesnya. Namun, lagi-lagi orang itu membenturkan diri lagi hingga Jisya tersungkur di lantai. Jisya memejamkan matanya untuk menahan segala emosi yang melanda. Tangannya mengepal dengan berkali-kali menghela napas panjang. Demi menghindari adu mulut dengan perempuan itu, Jisya memilih untuk melanjutkan langkah tanpa memedulikannya. "Heh, tunggu!"