Jisya mengunjungi kos-kosan Yuna sekalian numpang mengerjakan skripsi. Duduk lesehan di atas karpet dengan laptop di depannya dan tumpukan kertas. Jisya selalu semangat mengerjakan skripsinya karena dia punya target lulus lebih cepat dari teman-temannya.
“Abin kayaknya beneran berubah deh sejak pacaran sama kamu," ucap Yuna di tengah kesibukan Jisya. Dia istirahat sejenak untuk menonton drama Korea karena lelah mengerjakan skripsi dari pagi.
Sejenak Jisya pun menghentikan tangannya yang sedang mengetik di atas keyboard laptop karena mendengar nama Abin disebutkan Yuna. “Nggak tahu juga sih. Kalau emang beneran berubah ya syukur. Semoga aja berubahnya bukan karena aku.”
Yuna mengernyitkan keningnya. “Kok gitu?”
“Kalau Abin berubah karena aku, kalau kita putus, pasti dia balik lagi kayak dulu. Aku nggak mau. Aku maunya Abin berubah memang niat dari dirinya sendiri.”
Yuna menganggukkan kepala menyetujui ucapan Jisya. “Bener juga ya? Eh, tapi, aku masih penasaran ya, kok kamu tiba-tiba mau pacaran? Sama bad boy kampus lagi.”
Jisya mencoba mengingat-ingat apa yang telah dilakukan Abin untuk mendapatkan hatinya. “Nggak tahu juga sih. Kayak nyaman aja gitu kalau di deket Abin.”
Yuna serius mendengarkan cerita Jisya. Memang kebiasaan Yuna, dia lebih suka mendengar Jisya bercerita dari pada dia menceritakan kisahnya sendiri. Karena dia tidak memiliki kisah yang menarik untuk diceritakan. Jalan hidupnya datar-datar saja.
Dia tidak iri dengan Jisya. Dia justru senang kalau Jisya bahagia. Tapi, dia juga ingin merasa dicintai seperti sahabatnya itu.
“Eh, ini Kaffa minta nomor kamu boleh nggak?” Jisya tiba-tiba saja mendapat pesan dari Kaffa.
“Buat apa?” tanya Yuna dengan kerutan di keningnya. Banyak sekali laki-laki yang meninta nomornya, tapi Yuna selalu menginterogasinya dulu. Dia menang pilih-pilih dalam berteman. Takut kalau sampai terjebak pergaulan bebas.
“Bentar, aku tanya dulu.” Jisya tahu Yuna memang sangat sulit didapatkan. Untuk itu dia selalu minta izin ketika ada yang meminta nomornya. Takutnya Yuna tidak nyaman.
Tak berselang lama Jisya menerima balasan dari Kaffa. “Katanya, dia mau kenal kamu lebih jauh. Dia pengen berubah kayak Abin.”
Yuna masih menimang-nimang apakah dia mengizinkan Jisya memberikan nomornya pada Kaffa atau tidak. Masalahnya, Yuna tahu Kaffa itu bukan laki-laki baik-baik. Bisa-bisa dia sendiri yang justru terjebak pergaulan Kaffa.
“Kaffa baik kok. Ganteng juga. Vokalis lagi. Bolehin aja ya, Yuna? Biar nanti kita bisa double date.”
Dalan hati Yuna merutuki pemikiran Jisya yang terlalu positif. Jisya memang lebih pintar dari Yuna, tapi dia tak cukup pintar menganalisa karakter orang.
“Ya udah kalau gitu.”
“Boleh, nih?” Jisya memastikannya lagi. Tidak mau Yuna menyesal.
Yuna menganggukkan kepalanya meyakinkan Jisya. Tidak ada salahnya membuka hatinya untuk seorang laki-laki. Siapa tahu Kaffa juga bisa berubah seperti Abin.
Jisya tersenyum sebentar pada Yuna dan mulai mengirim nomor sahabatnya itu pada Kaffa. Yuna mengernyitkan kening ketika melihat Jisya senyum-senyum sendiri membalas pesan Kaffa. “Kamu kok senyum-senyum gitu?”
“Enggak, ini bales chatnya Abin.” Sikap Jisya yang semakin aneh itu membuat Yuna geleng-geleng kepala. “Dasar bucin!”
***
Abin sedang berdiri di sebuah mall mengetikkan sesuatu di ponselnya sambil tersenyum. Dia tengah bertukar pesan dengan Jisya. Mengeluarkan semua jurus rayuan mautnya dalam bentuk ketikan.
“Bin, bagusan mana? Yang ini, atau yang ini?” Senyum Abin perlahan pudar ketika mendengar teriakan seorang perempuan dari kejauhan sambil menunjukkan dua pakaian di tangannya.
“Ambil semua aja.” Abin tidak mau repot memilih. Kalau memang ada dua pilihan yang menurutnya menarik, pilih saja semua. Kalau bisa dua, kenapa harus satu? Itu pikirnya.
“Nggak mau. Modelnya sama,” jawab perempuan itu. Memang repot kalau memberi saran pada mereka.
“Terserah kamu lah, Zy. Aku udah laper nih. Buruan dong belanjanya.” Sejak pagi Linzy mengajak Abin mengitari mall untuk belanja kebutuhannya di Indonesia. Dia sengaja tidak membawa banyak stok pakaian dari New York.
Bahkan, hari sudah sore pun, Linzy belum juga lelah berbelanja sampai tidak bisa membawa paper bagnya dan mengharuskan Abin turun tangan.
Sebentar lagi dia kuliah di kampus yang sama dengan Abin. Dia harus berpenampilan paling keren. Tidak mau terlihat memalukan sebagai tunangan Abin yang katanya pangeran kampus.
“Ck, bentar lah, Bin. Aku kan juga belum beli make up.”
“Ya udah, makanya buruan. Aku juga udah capek, Zy. Kenapa nggak besok lagi sih?” Itulah bedanya Abin ketika di depan Linzy dan Jisya. Tidak segan-segam menunjukkan rasa tidak nyamannya. Tapi, kalau di depan Jisya dia selalu berlaku manis.
“Besok jadwalnya aku nyalon. Kan lusa udah masuk kuliah. Jangan ngada-ngada ya kamu, Bin! Hari ini pokoknya belanjaan harus clear. Salah sendiri, kemarin aku ajakin jalan banyak alasan. Jangan-jangan kamu beneran selingkuh lagi.”
Abin menarik napasnya dalam-dalam. Menghadapi Linzy itu harus butuh kesabaran penuh. Linzy itu lebih cerewet dari pada Jisya. Bahkan, dia tak segan-segan mengomelinya di depan umum. Mau malu, tapi bagaimana pun juga Linzy tunangannya.
“Ya udah, iya. Buruan. Kalau kamu ngomel aja kapan kelarnya?”
Linzy enggan menjawab ucapan Abin dan kembali fokus pada pakaian yang ada di tangannya. Mengangkatnya bergantian hingga menemukan yang paling dia suka. “Aku pilih yang ini aja, Mbak,” ucapnya pada pelayanan dan memberikan baju yang dia pegang.
Setelah selesai belanja, Abin dan Linzy makan malam di sebuah restoran. Dari pagi perut Abin belum kemasukan makanan berat sampai waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Sampai-sampai Abin hampir pingsan menuruti kemauan Linzy.
“Kamu kok lemes gitu mukanya, Bin? Yang semangat dong jadi cowok.”
Abin menghentikan tangannya yang menyendok makanan. Mulut Linzy itu membuatnya kesal. “Ya kamu pikir aja, Zy. Kamu ngajakin aku belanja dari jam tujuh pagi sampai jam tujuh malem. Nggak makan, nggak minum. Kamu mau bunuh aku?”
“Kan tadi udah makan es krim.”
“Ck. Susah ngomong sama kamu. Kamu kira aku anak kecil yang kamu sogok es krim langsung diem?”
“Tapi, kamu tuh lebay, Bin. Aku kan juga nggak makan dari pagi. Nggak lemes-lemes banget kayak kamu gitu.” Wajar saja Linzy tidak lemas. Dia terbiasa diet. Dan, lagi pula, dia fokus berbelanja. Tidak sempat mengurusi perut.
Enggan berdebat lagi dengan Linzy, Abin kembali fokus menyantap makanannya. Cacing diperutnya sudah tidak bisa diajak kompromi.
“Zy, kalau di kampus kamu jangan nunjukin kalau kamu tunangan aku.”
Linzy yang tengah meminum minumannya, pun tersedak mendengar perkataan Abin. Matanya memelotot dengan kerutan di kening yang menyeramkan. “Kok gitu? Kamu nggak mau selingkuhan kamu tahu kalau kamu udah punya tunangan?”
Tuh, kan, mulai lagi. Abin memijit pelipisnya yang pening. Setiap bicara dengan Linzy membuat sarafnya terasa kaku. “Kamu bisa nggak, nggak curigaan mulu kayak gitu? Dengerin dulu kalau orang mau ngomong!”
Linzy itu berbeda seratus delapan puluh derajad dari Jisya. Jisya selalu berpikir positif meskipun kesalahan Abin nampak jelas di depan matanya. Sedangkan Linzy, kesalahan Abin sekecil kuman di sebrang lautan pun dia usik.
“Kenapa coba? Alasannya apa? Aku mau denger,” sindir Linzy. Tak mudah menyakinkan gadis berambut pirang itu.
“Emangnya kamu nggak tahu dari orang yang kamu suruh mata-matain aku?”
Linzy mengerutkan keningnya dengan penasaran. Pasalnya, Abin becerita dengan berbisik seolah membuat suasana semakin mencekam. Dia juga heran, bagaimana Abin bisa tahu kalau dia mengirimkan anak buah untuk memata-matainya. “Kok kamu tahu aku mata-matain kamu?”
“Anak buah kamu kurang pinter,” jawab Abin dengan santainya. Dia memang sudah tahu kalau Linzy mengirimkan anak buah untuk memata-matainya. Karena memang perempuan itu terlalu possesif. Tapi, Abin juga pintar mengecoh anak buah Linzy hingga hubungannya dengan Jisya tidak ketahuan.
Linzy berdecak kesal. Dalam hatinya ingin memaki anak buahnya yang tidak becus bekerja sampai Abin tahu rencananya. “Emangnya kenapa aku nggak boleh nunjukin kalau aku tunangan kamu?”
“Pesaing bisnis papaku juga ngirim mata-mata buat aku. Aku takut kalau kamu nunjukin terang-terangan sebagai tunangan aku, nyawa kamu ikut terancam. Makanya, sekarang aku nggak bisa bergerak dengan bebas.”
Linzy paham sekarang. Ah, baru saja dia curiga pada Abin. Tapi, langsung lenyap begitu saja. Kecurigaan Linzy yang teramat besar selalu kalah dengan alasan Abin yang sangat meyakinkan.
“Tapi, itu juga hak kamu sih, mau ekspos hubungan kita atau nggak. Aku sih nggak masalah. Tapi, kalau musuh papaku bertindak, aku nggak bisa apa-apa karena aku nggak tahu rencana apa yang sedang mereka susun.”
Bulu kuduk Linzy mendadak meremang. Seram juga berurusan dengan pengusaha yang sedang berselisih. Orang tuanya juga pengusaha dan dia juga tahu kalau dunia bisnis itu kejam. Bahkan, dia juga pernah melihat ada orang yang ingin mencelakai papanya.
“Iya, Bin. Aku nggak akan ekspos hubungan kita. Tapi, kamu juga harus tetep luangin waktu buat aku,” rengek Linzy.
Abin yang awalnya kesal pun perlahan menarik kedua sudut bibirnya. Rencananya menyembunyikan hungannya dengan Linzy berhasil.
To be continue
Pagi itu Yuna sudah membersihkan diri dan tengah mengeringkan rambut di depan cermin. Hari terakhir mereka di bali. Tak bosan mereka menghabiskan malam berdua dengan melakukan hubungan suami istri sekalipun mereka belum sah secara hukum maupun agama. Namun, beberapa hari terakhir dia dibuat uring-uringan pasca melihat panggilan dari Linzy di kontak Abin. Abin keluar dari kamar mandi hanya dengan handuk yang melilit piganggya. Bibirnya tersenyum menatap pantulan wajah Yuna dari cermin. Dia tak pernah bosan mengakui kecantikan Yuna. Namun, dia belum bisa memutuskan pada siapa menjatuhkan hati. "Linzy siapa sih, Bin?" tanya Yuna dengan wajah terlihat sinis. "Mantan aku. Kenapa?" Jawaban Abin terdengar meyakinkan. Seolah memang yang dia katakan adalah sebuah kebenaran. Kalau seperti itu sulit untuk Yuna tidak percaya. Namun, yang namanya wanita, dia mudah sekali mencemburui. "Oh. Masih saling contact ya?" Abin jelas tahu Yuna cemburu. Dia hanya menutupinya saja. Wajah cemburu Yuna yang
Hari-hari Jisya semakin terasa sepi. Dia mendapat kabar bahwa Yuna sedang ada Pemotretan di Bali untuk satu minggu ke depan dan Abin masih saja tidak menghubungi. Kalau perempuan lain, pasti sudah minta untuk putus. Untunya, dia Jisya. Perempuan yang memiliki pikiran selalu positif dan selalu sabar.Yuna sudah sampai Bali bersama crew dan Abin. Dia bahkan sudah menyelesaikan pemotretan hari pertama dengan sangat sempurna.Sore itu Yuna sudah mengganti pakaiannya dengan gaun berwarna putih sedikit transparan dan berjalan di bibir pantai tanpa alas kaki seraya menikmati indahnya pemandangan matahari terbenam.Dari kejauhan Abin yang kebetulan membawa kamera, lantas mengarahkan lensanya untuk menangkap potret perempuan cantik itu. Tidak salah Dion sangat membanggakan Yuna karena dalam situasi apa pun, foto-foto Yuna selalu bagus, sekalipun tanpa diedit.Bibir Abin melengkungkan sebuah senyuman seraya berlari mengejar Yuna dan langsung memeluknya dari belakan
Jemari lentik Linzy sibuk mengetikkan kombinasi angka untuk membuka pintu apartemen Abin. Namun, pintu itu tak kunjung terbuka hingga membuatnya menghentakkan kaki dengan kesal. Sebelum-sebelumnya dia bisa leluasa mengakses tempat pribadi tunangannya itu. Tapi, sejak Abin sering membawa Yuna keluar masuk, dia sengaja mengganti kodenya agar Linzy tak sembarangan masuk dan bisa-bisa mengetahui kelakuan bejatnya. "Ini kenapa diganti sih passwordnya?" kesal Linzy seraya merogoh ponsel dari dalam tasnya.Dia akhirnya menyerah dan memilih untuk menghubungi Abin. "Hallo, Bin! Kok passwordnya diganti sih? Aku kan jadi nggak bisa masuk! Aku capek tahu dari tadi ngetik passwordnya nggak kebuka juga! Kamu tahu nggak sih kalau kaki sama jari aku sampai pegel gini? Sekarang kamu di mana? Di dalem, kan? Atau lagi di luar? Ini passwordnya berapa? Aku mau masuk, buruan!" "Ck, berisik banget sih kamu, Zy!" Belum juga Linzy menutup teleponnya, Abin tiba-
Pagi itu Jisya tengah berjalan gontai di koridor rumah sakit dengan menggenggam selembar surat hasil tes laboratorium. Kepalanya menunduk menatap lantai yang dia pijak, seolah tak memiliki semangat untuk melanjutkan hidup. Dia yang biasanya selalu ceria dan semangat, kini menjadi pemurung. Bruk! Tiba-tiba ada seorang yang dengan sengaja membenturkan diri padanya hingga surat hasil laboratorium itu jatuh. "Ups! Sorry, sengaja." Jisya membungkukkan badannya untuk meraih kembali hasil tesnya. Namun, lagi-lagi orang itu membenturkan diri lagi hingga Jisya tersungkur di lantai. Jisya memejamkan matanya untuk menahan segala emosi yang melanda. Tangannya mengepal dengan berkali-kali menghela napas panjang. Demi menghindari adu mulut dengan perempuan itu, Jisya memilih untuk melanjutkan langkah tanpa memedulikannya. "Heh, tunggu!"
Sudah seharian Jisya tidak mendapat kabar dari Yuna maupun Abin. Bukannya apa-apa, hanya saja tidak biasanya Yuna melupakannya. Terlebih dia mendapatkan kabar baik karena berkerja sama dengan designer luar negri. Biasanya dia akan curhat pada Jisya tentang hari-harinya. Abin pun juga begitu. Tidak ada sekali saja niat menanyakan kabar Jisya. Tidak tahu kalau gadis itu tengah menahan tubuhnya yang tengah sakit. Ditambah lagi sudah berhari-hari mamanya tidak pulang. Dia harus merawat dirinya sediri yang lemah. Masih memandangi layar ponsel, tiba-tiba saja darah menetes melalui hidungnya dan mengenai selimut. Dalam hatinya sangat panik dengan hal itu, hanya saja Jisya mencoba menenangkan dirinya sendiri. "Nggak apa-apa, Jisya... Cuma mimisan kok," monolognya seraya meraih tisu di atas nakas untuk mengusap hidungnya. Bukannya berhenti, darahnya justru semakin banyak menetes hingga Jisya berkali-kali
Jisya sampai rumah dengan selamat. Beruntung sebelum baterai ponselnya habis, taksi online yang dia pesan tiba di waktu yang tepat. Hanya saja karena kehujanan gadis itu mendadak terserang flu. Sejak malam sampai pagi hanya bergelut dengan selimut tebal dan tidak berhenti bersin hingga hidungnya memerah. Bahkan dia terpaksa membatalkan jadwal bertemu dengan designer yang bekerja sama dengannya karena kondisinya benar-benar tidak bisa diajak kompromi. Ketidakprofesionalan Jisya membuat Dion murka sampai harus meneleponnya pagi-pagi. "Kamu, gimana, Jisya? Udah gue bilangin, jaga kesehatan. Jangan sampai pas ada jadwal kamu seenaknya batalin! Ini project penting lho, Sya! Jangan sampai cuma gara-gara kamu mereka cabut kontraknya." "Maaf, Mas... Aku janji cuma kali ini aja aku izin," jawab Jisya. Suaranya bahkan terdengar lemah dan berkali-kali menarik ingusnya. Tapi, Dion seolah tak mau tahu dengan