“Bengong mulu entar kesambet loh!” Vio muncul sembari menyenggol pelan tangan Asya.
“A-aku nggak bengong! Cuma ....” Asya bingung mau menjelaskan, karena masih terganggu kehadiran Bagas yang mendadak."Cuma apa?" Vio kepo, karena tak biasanya Asya menyembunyikan sesuatu hal. "Kudengar Rafan ketempelan ya?"Asya mendengkus. "Iya, dan yang nempelin itu setan wanita."Vio terkekeh. "Emang sih, kesel liatnya. Bahkan, dulu saat kau deketin Refan, aku ngerasain."Asya berdecak. "Ayolah itu cuma kagum doang! Ada bedanya, karena saat itu aku nggak tau kau udah jalin hubungan sama Refan!""Iya aku tau." Vio bukan ingin mengungkit, hanya meledek. Lagi pun, sekarang sudah beda. Juga, untuk apa kembali mempermasalahkan?Selagi Asya bersama Rafan."Aku nggak bermaksud menyembunyikan sesuatu …."Vio mengernyit. "Lalu?"Asya belum mau melanjutkan, karena masih bimbang. Terusik sejenak dengan kemunculan Refan."Kenapa nih?" Refan heran, merasa situasi rada aneh."Oke aku cerita, tapi kalian jangan tersinggung atau menganggapku jahat atau apapun pokoknya." Asya tidak mau semakin menyembunyikan.Takutnya, malah memicu masalah sungguhan."Soal?" Refan bingung, efek baru gabung."Aku punya teman lama, itu sebelum kejadian mengerikan dan berakhir hidup baru sekaligus mengubah identitas."Vio memilih mendengarkan, sedangkan Refan seolah langsung mengalami sesuatu hal."Aku nggak nyangka bakal ketemu, juga terusik saat nama lamaku disebut lagi. Ah seneng juga sih ketemu temen lama, di satu sisi kejadian itu kembali teringat.""Laki-laki?"Asya mematung sejenak, kemudian mengangguk."Kakak tau soal ini?" Refan sengaja memastikan langsung."Nggak, Rafan hanya baru tau kalo aku memiliki teman lama. Baru-baru ini kembali ketemu.""Sungguhan hanya teman kan?" Refan takut ada masalah baru."Ya, teman. Mana mungkin aku menduakan, selagi yang aku suka cuma kakak kembarmu itu." Asya berkata jujur.Refan berdeham sejenak. "Kau memang jujur sih, cuma yang kutau nggak ada namanya temen atau sahabat langgeng cewek dengan cowok. Bisa aja, kau jujur nggak suka, tapi temanmu itu sebaliknya."Asya terbungkam.Sementara itu, Rafan terus melangkah santai, dengan manik hitam terus membius sekitar. Mungkin menurut orang lain, bagi Rafan sendiri mencoba menatap biasa. Di satu sisi, mulai kepikiran dengan pertanyaan Aksa kemarin.Dulu, aku melakukannya untuk melampiaskan emosi. Sekaligus hasrat ingin melihat orang tersiksa sebelum benar-benar mati, karena beraninya mengusikku.Rafan terdiam, dan berhenti melangkah. “Kalo sekarang, ehm ... tergantung sih,” gumamnya. Lalu kembali berjalan, tetapi terhenti lagi saat berpapasan dengan seseorang.Seseorang tidak lain adalah Bagas, merupakan teman lama Asya. “Apa?” Bagas heran, karena ditatap serius oleh orang tidak dikenalnya.Rafan hanya mengangkat bahu, pergi begitu saja. Bagas semakin heran, mulai menganggap Rafan itu aneh.Rafan mendengkus sembari mengulurkan satu tangan untuk memasang tudung kepalanya, terus berjalan tak tentu arah. Entah kenapa, saat ini mood-nya tidak bagus. Terbukti, dengkusan kekesalan entah sudah berapa kali terdengar, manik hitamnya menatap lurus ke depan. Namun, langkahnya terhenti lagi saat ada mobil berhenti di dekatnya. Hal itu membuat Rafan semakin badmood. Pasalnya, mobil itu milik keluarga Ambara.Kaca mobil terbuka, Liana mulai menyapa. “Rafan Alexander, akhirnya bertemu lagi.”Rafan memilih jalan lagi, tetapi terpaksa kembali terhenti. Liana turun dari mobil, langsung mengejar dan mencekal tangannya.“Kau ini, selalu diam! Padahal, aku ingin mengakrabkan di—” ucapan Liana terpotong. Bahkan, mulai cemberut kesal.Rafan melepas paksa dari cekalan Liana, kemudian berjalan cepat hingga jaraknya mulai jauh dari Liana.Pengganggu!Liana kembali masuk ke mobil, lalu melirik ke arah ayahnya yaitu Levan Ambara.“Sulit ya?” celetuk Levan.“Ayah liat sendiri 'kan?” Liana mulai sewot.“Hm, iya.” Levan mengangguk kecil. “Nyerah?”“Nggak lah!” balas Liana cepat.Di sisi lain, Asya mendadak diam setelah Refan menyimpulkan hal tak terduga. Itu tak pernah terpikirkan olehnya."Benar bukan? Bisa saja teman lamamu itu menyukaimu. Apa lagi, setelah sekian lama nggak ketemu." Refan bukan bermaksud memojokkan, hanya ingin mengingatkan saja."Ya." Asya menarik napas sejenak. "Aku hanya memiliki rasa pada Rafan aja."Refan tersenyum. "Ya aku tau itu."Hingga akhirnya, pembicaraan mereka selesai memilih pulang, lagi pun sudah tidak ada kelas lagi. Ah hanya Asya yang pulang, lagi juga ingin ke mana?Selagi Rafan pasti sibuk menggeluti bisnis?"Kenapa?"Asya kala itu baru sampai rumah, terkejut dengan pertanyaan mendadak dari Aksa. "Nggak."Aksa merasa aneh. "Kakak nggak pandai menyembunyikan sesuatu.""Dia kembali."Beralih pada Rafan, kembali tersulut emosi dan hampir menjadikan semua orang menjadi pelampiasan, jika tidak berusaha ditahan.Kini, Rafan lega karena sudah berada di rumah, bukan berarti tenang sungguhan. Seketika berdecak dan refleks meninju keras pohon besar, dan itu secara berulang-ulang. Lalu terduduk, sambil menatap hampa tangannya yang lecet dan sedikit berdarah.“Kakak!” Refan tidak menyangka baru pulang, langsung melihat Rafan melukai tubuh lagi. Meskipun, bukan menggunakan pisau tetap saja membuat Refan panik.Rafan terdiam, mencoba tenang lagi. Jujur, agak sedikit lega. Lalu beranjak, dari duduknya dan berjalan masuk. Teringat adik kembarnya panik, langsung menepuk pelan dan menariknya juga. “Tenanglah.”Refan yang mengikuti Rafan, mulai sebal. “Bagaimana bisa tenang? Kakak melukai tubuh lagi!” Langsung melepas genggaman Rafan, mulai melihat tangan Rafan yang lecet. “Tuh!” Refan tidak suka.“Iya, maaf.”“Jangan lagi!” Refan tidak mau, melihat lagi.“Hm.” Rafan hanya membalas begitu, setelahnya pergi ke kamar. Namun, langkahnya terhenti saat Risa menghalangi jalan. Sepertinya mendengar penuturan Refan.“Kenapa lagi?” Risa tidak menyangka, Rafan melakukan lagi.“Tidak sadar.” Rafan terdiam lagi, lalu menurut saat Risa menariknya duduk di sofa. Mulai mengobati luka lecet di tangannya.“Jangan lagi!” Risa sedikit lega, karena bukan luka tusuk ataupun sayat.“Iya, Bu.” Setelahnya, Rafan pergi ke kamar.Rafan melepas jaket dan kaus yang dipakainya, mulai menatap cermin dan memperhatikan bekas luka yang ada di tubuhnya sudah tidak begitu terlihat, sayangnya untuk dihilangkan permanen itu sulit, seolah menjadi tato alami. Kemudian duduk terdiam di lantai kamarnya, dan menyandarkan diri pada tempat tidur. Rafan mencoba untuk tenang lagi.“Benar-benar hampir melakukan lagi ya?” gumam Rafan pelan, lalu melirik ke kedua lengannya. Teringat dulu suka sekali, menusuk, hingga menyayatnya.Tenangkan diri.Rafan mulai memegangi kepalanya, lalu tertunduk diam dengan tatapan kosongnya. Benar, perlahan sifatnya mulai berubah. Namun, pernah hampir kambuh dan berhasil ditenangkan. “Apapun, bisa memancing emosi ya?”Rafan mengembuskan napas panjang, kemudian beranjak dari duduknya dan berbaring telungkup.Hm, tadi itu? Terlihat jelas sekali.Saat didekati oleh Liana, Rafan sempat mengamati sebentar Levan Ambara. Rafan mendengkus kesal, setiap kali memikirnya berakhir emosinya terpancing. Pada akhirnya, memilih menepis dan mencoba untuk tidur.Segerombolan orang misterius, masih bersikeras mengejar Arsen. Itu pun secara acak, buktinya mereka muncul dari berbagai arah. Sukses membuat Arsen kelimpungan. "Kau beda sekali," celetuk salah satunya, berhasil mendahului Arsen dan kembali memberi serangan telak. Tepat, mengenai perut Arsen hingga membuatnya terbatuk. Lalu terhempas lagi ke jalan raya, sepertinya mereka bersungguh-sungguh untuk menyerang Arsen ya? Atau mungkin, ingin membunuhnya? Decakan kesal, terdengar dari orang tadi yang berhasil menyerang. Setelah melihat Arsen masih bisa menyeimbangkan diri, dan berpindah cepat dari jalan raya ke area yang aman. Napas Arsen mulai memburu, sesekali terbatuk kecil. Efek dari tendangan keras yang mengenai perut dan mendekati uluh hatinya. "Kau benar-benar lemah ya?" Arsen telat menghindar. Bahkan, kehilangan konsentrasi dan kewaspadaannya terhadap sekitar. Ada apa denganku? Arsen amat bingung, sulit
Rafan sengaja berjalan lambat menuju ruangan pertemuan. Menurutnya, amat mengherankan. Padahal sudah ada Refan. Kenapa dirinya harus juga? Tidak hanya sengaja melambatkan langkah kakinya. Akan tetapi, sama sekali tidak ada niat berganti pakaian formal lebih dulu? Kemunculannya di Xander Corp, dengan pakaian serba hitam—perpaduan jaket, kaus, celana—berwarna hitam semua. Melewati sekretaris, langsung masuk, dan bergabung dengan para pebisnis lain. Refan hanya menghela napas pasrah, dengan kelakuan Rafan sama sekali belum berubah. Setidaknya, sedikit biasakan gitu? Lah ini, malah berpakaian di luar jam kegiatan formal. "Ka—" Rafan melirik dengan sorot mata malas nan dingin, berhasil membuat Refan berhenti berbicara. Setelahnya, kembali ke posisi semula—diam. Helaan napas pasrah, kembali terdengar. Refan membiarkan, daripada pusing sendiri. Pada akhirnya, tetap memulai rapat. Rafan hanya diam, tetapi mendengarkan dengan baik apa yang oran
Arsen masih berdiam diri di kelas—sendirian. Sedangkan yang lain, sudah pulang maklum kegiatan sekolah telah usai. Pikirannya melayang pada penjelasan Rafan mengenai 'kunci dari latihannya'. Meskipun, sudah dijelaskan tetap saja membuatnya ragu untuk memulai. Semenjak penjelasan itu, Arsen sudah mantap untuk melakukan percobaan kedua. Walau, keraguan terus melandanya. "Dengan santai ya?" gumam Arsen. Sembari beranjak dari bangku dan menyampirkan tas sekolahnya, mulai melangkahkan kakinya keluar dari kelas. Sepertinya, sudah hilang rasa keraguannya untuk melakukan percobaan lagi. Terus melangkah, mencari tempat yang cocok dan jauh dari keramaian orang. Jujur, risi bila kelakuannya dilihat—terlebih lagi menjadi pusat perhatian! Arsen tidak mau terjadi lagi, cukup menjadi pusat perhatian ketika diserang oleh segerombolan orang tidak dikenal saja. Selebihnya, Arsen memilih enggan dan mungkin akan berusaha menyelesaikan masalah dengan cepat. Juga k
Arsen memilih duduk di teras rumah, mulai memikirkan cara cepat menguasai gerakan seperti Rafan. Mulai dari parkour, larian cepat, dan terakhir teknik serangan juga cengkeraman kuat.Dengkusan kekesalan kembali terdengar, sesekali mengusap pelan kepalanya akibat terjungkal tadi masih agak pusing. Lalu mendongak dan mengerutkan kening.Sejak kapan Rafan sudah muncul dan berdiri di hadapannya?"Jangan dilakukan secara terpisah, tapi langsung aja." Rafan sengaja memberi tahu kunci latihannya selama ini, karena mempraktikkannya secara langsung di hutan tanpa perlu melatih awalan."Tetap saja, sulit." Arsen membalas cepat, karena sadar dirinya tidak langsung liar seperti Rafan.Rafan mendudukkan dirinya di sebelah Arsen, manik hitamnya tertuju ke depan dan amat tenang. Sepertinya, sudah berhasil menahan emosi."Lebih baik kau melatih kecepatan saja, jangan menyeimbangkan dan pijakan kaki didahulukan."Arsen mulai mengernyit heran, dengan u
Meskipun Arsen tidak suka disamakan dengan Rafan, walau sadar dalam waktu tertentu bisa persis sekali. Bukan berarti Arsen tidak kepo dengan kelebihan—kemampuan ekstrem dan liar yang dimiliki Rafan.Arsen nyatanya amat kepo, lebih lagi setelah diajak oleh Rafan ke lingkungan yang berbeda—alias—hutan. Tujuannya, melatih meski bagi Rafan sendiri baru pertama kali melatih seseorang—anak sendiri. Membuat Rafan sulit, menahan diri buktinya hampir melukai—kalau tidak sadar bisa saja membunuh anak sendiri.Hutan yang sering kali didatangi Rafan untuk menyendiri dan melatih kemampuannya. Sayangnya, bukan karena itu. Melainkan, Arsen penasaran setelah berusaha mengamati cara Rafan yang mulanya berjalan santai. Namun, dalam sekejap bisa melenyapkan diri amat cepat dari pandangannya. Itu membuat Arsen semakin penasaran. Oh iya, gerakan parkour liar. Arsen juga penasaran dan ingin bisa melakukannya.****Kebetulan masih
Arsen kini sudah beranjak dewasa, perangai asli mulai terlihat. Bisa dibilang, seperti koin. Sisi asli yang tertutup oleh sisi pencegah—dinding pembatas keluarnya perangai asli Arsen.Terbukti, semakin beranjak dewasa. Yang lebih dominan diperlihatkan adalah sifat yang mirip sekali dengan Asya. Tampak kalem, kutu buku—penggemar novel misteri lain, efek sisi kalem membuat Arsen jarang berbaur. Lebih memilih menghabiskan waktu dengan buku kesayangan, terakhir maniak cokelat.Setiap di rumah, si kalem Arsen mengurung diri dengan buku dan berbagai macam jenis cokelat. Asya? Hanya sedikit. Arsen lah, yang seringkali menghabiskan.Arsen juga cocok dijuluki, si kalem asam manis. Kalemnya, karena menyendiri. Asemnya, sekali diajak berbincang ada dua reaksi, satu dibalas ketus dan terakhir diabaikan. Kelakuannya, asamnya sekali 'kan?Sisi manisnya, itu karena Arsen penggemar cokelat. Selalu menyetok ban