Daisy mengamati pria itu mulai dari ujung kepala hingga kaki. Mencoba menggali ingatan yang mungkin saja masih tersisa dari masa lalunya. "Aku sama sekali tak bisa mengingatnya," bisik Daisy lirih pada Brandon. "It's okay. Jangan dipaksakan," hibur Brandon sembari mengusap lembut punggung gadis itu. "Maafkan om yang terlambat menjemputmu, Nak," ucap pria asing itu dalam bahasa Indonesia. Rautnya terlihat sedih dan memelas. Brandon menautkan alisnya tak mengerti, "I beg you pardon?" "Sudah berminggu-minggu saya mencari keponakan saya ini," ujar pria itu. "Dia menghilang begitu saja setelah pamit berangkat kerja paruh waktu." Daisy beringsut. Mencengkeram lengan kaos Brandon erat. Ketakutan terpancar dari wajahnya. "Dia terkena amnesia, Sir ..." nada kalimat Brandon menggantung. "Hendra! Hendra Wasesa!" Pria itu mengulurkan tangannya dan menjabat tangan Brandon. Tangan pria itu terasa kasar, seperti telah melakukan pekerjaan berat selama bertahun-tahun. "Silakan masuk. Have a sea
"Dari kecil dia sudah tomboy. Saya yang ikut merawatnya saat kedua orang tuanya sibuk bekerja," tutur Hendra sambil matanya tak lepas dari Daisy.Sersan Johnson mendengarkan sembari memeriksa surat-surat dan foto-foto yang dibawa oleh Hendra. Surat keterangan itu menunjukkan bahwa Daisy adalah benar-benar keponakannya. Bahkan alamat gadis itu di Inggris sama dengan alamat pamannya."Saya yang membawanya kemari. Dia gadis yang sangat cerdas. Baru tahun lalu dia lulus kuliah, cumlaude," ujar Hendro bangga."Dimana dia berkuliah?" Selidik Sersan Johnson."Royal Holloway, London," Hendra mengeluarkan kartu mahasiswa milik Daisy. Di situ tertera nama Zivanna Malila Dinata.Sersan Johnson mengamati kartu itu, menyamakan foto yang ada pada kartu identitas dengan wajah Daisy. "It's you," polisi itu menyodorkan kartu mahasiswanya pada Daisy. Gadis itu menerimanya dan terpaku."Di saat dia hilang, Zizi tidak membawa apapun. Bahkan tas dan kartu identitasnya tertinggal di kamar," tutur Hendra."A
Sepanjang perjalanan dari Bristol menuju London, Daisy sama sekali tak bersuara. Dia hanya memalingkan wajah ke arah jendela, melihat pepohonan yang seakan bergerak mundur melewatinya. "Sudah mengantuk belum, Zizi? Tidur saja nggak apa-apa," ujar Hendra dalam bahasa Indonesia. Daisy menggeleng lemah, lalu kembali memandang keluar jendela. "Kamu beneran nggak ingat apa-apa?"Hendra sesekali melirik pada Daisy sambil memegang kemudinya. Gadis cantik itu menggeleng lagi. "Sama om, kamu sama sekali nggak ingat?" cecar pria itu. "Maaf, tapi saya benar-benar tidak ingat," jawab Daisy dengan nada suara agak tinggi. Sekilas, dia melirik pada Hendra. Entah mungkin Daisy salah lihat, namun dia seakan melihat raut Hendro yang malah terlihat lega dan bahagia. Perasaan Daisy makin tak menentu. Takut, was-was dan sedih bercampur menjadi satu. Apalagi ketika dia melihat wajah Hendra pertama kali, Daisy seakan melihat sekelebat bayangan menakutkan yang mengganggu tidurnya itu menjadi nyata. "J
Bau aneh dan menyengat memasuki indra perciumannya. Daisy terbelalak dan terduduk. Dia memandang nanar di sekitar dan melihat seorang wanita mengoleskan suatu cairan dari botol hijau transparan ke hidungnya. "Tante Maria," ucap Daisy begitu saja. Wanita itu membeku. "Ka-kamu ingat?" Tanyanya tergagap. Daisy menggeleng pelan. "Kemarin cowok yang di panggilan video itu memanggil tante demikian," terangnya. Wanita itu seakan mendesak lega. "Baguslah," gumamnya. "Bagus kenapa?" "Tante lebih senang memorimu hilang. Kalaupun memorimu kembali, pura-pulalah tidak ingat, ya! Tante mohon." Kalimat yang dilontarkan wanita itu membuat Daisy semakin kebingungan. Tiba-tiba saja dia merindukan Brandon. Perasaannya saat ini sungguh tak enak. "Maria!" Teriakan kencang terdengar dari luar kamar. "Itu om Hendra. Tante keluar dulu, mau menyiapkan sarapan," pamitnya seraya beranjak pergi. Pandangan Daisy kembali ke arah nakas. Dia mencari-cari ponsel yang kemarin sempat dipakainya. Yang ia cari
Daisy menuruti permintaan Maria. Dia harus berpura-pura tidur dan berdiam di kamar. Daisy juga ingin mengungkapkan apa yang terjadi sebenarnya di rumah ini. Siapakah sosok paman sebenarnya dan siapakah dirinya. Lalu tiba-tiba terdengar jeritan seorang wanita dari lantai bawah. Daisy yakin itu suara Maria yang seperti sedang kesakitan. Hati nurani Daisy memberontak. Ingin sekali ia turun dan membantu wanita itu sebisanya. Kemudian samar-samar ia mendengar suara Hendra bicara. Pelan-pelan, Daisy menempelkan telinganya di pintu. Pria itu seperti sedang mengumpat dan membanting sesuatu. "Kalau sampai terbongkar, kau juga akan masuk penjara!" Pekiknya. Daisy tak tahan lagi, dia tak bisa menuruti keinginan Maria. Dia harus keluar kamar dan memastikan apa yang sebenarnya terjadi. Namun langkahnya terhenti saat dia mendengar suara baru yang belum pernah ia dengar sebelumnya. "Tenang dulu, Pa! Kasihan mama," ujar suara itu. "Lagian, Zizi amnesia. Dia nggak ingat apa-apa. Itu sebuah keuntung
Baru semalam Daisy pergi meninggalkan rumahnya, namun mood Brandon langsung memburuk seketika. Dia kembali merasakan keheningan yang tidak ia suka. Dua tahun lamanya ia tinggal di sini, seorang diri, kecuali saat weekend atau saat Liam menjenguknya. Namun, dia tak pernah merasa setersiksa ini. "What did you do to me, Daisy?" Gumam Brandon, lebih kepada bicara pada diri sendiri. Dia meraup kasar mukanya dan berjalan ke halaman belakang rumah. Tak ada satu bulan dia bertemu gadis itu. Akan tetapi, rasanya seperti sudah bertahun-tahun mengenalnya. "Daisy," Brandon sudah sangat merindukan wajah cantik itu. Masih terasa jelas bibirnya yang bersentuhan dengan bibir Daisy, begitu hangat dan memabukkan. Keinginannya kini tak terbendung untuk kembali bertemu dengan gadis itu. Segera diraihnya ponselnya dan ia mulai menghubungi Liam. "Aku akan ke London sekarang," hanya itu saja pesannya namun sudah pasti akan membuat Liam terkejut bukan kepalang. Pasalnya, Brandon trauma dengan London. Dia
"Apa yang kau lakukan di sini?" Tanya Brandon dan Daisy bersamaan, sebelum akhirnya berpelukan. "Aku lari dari rumah. Aku ketakutan," isak Daisy yang semakin mengencangkan pelukannya. "It's okay. Ada aku di sini. Aku juga hendak membuat laporan," Brandon mengusap-usap punggung Daisy lembut. "Melaporkan apa?" Daisy mendongak menatap Brandon curiga. "Aku sendiri juga tidak tahu, tapi feelingku mengatakan ada yang salah dengan pamanmu," jawab Brandon. Daisy memundurkan badannya agar dapat bicara dengan nyaman sambil memandang wajah Brandon. "Kau tahu? Aku juga berpikiran seperti itu. Omku tampaknya mempunyai niat jahat." "Aku tadi juga singgah di alamat yang diberikan oleh pamanmu, Daisy. Seorang wanita yang agak mirip denganmu membuka pintunya. Wajahnya terlihat babak belur dan tampak sangat ketakutan," timpal Brandon antusias. "Tante Maria," Gumam Daisy pilu. "Apa kau mau membuat laporan bersamaku?" Brandon menggenggam tangan Daisy erat. "Tapi aku tidak memiliki bukti apapun,"
Wajah tampan itu tampak memenuhi layar ponselnya. Tak ada lagi senyum menawan seperti kemarin. Yang ada hanyalah wajah masam menahan cemburu. "Bisa jelaskan sesuatu nggak, Zi?" Ujarnya saat melihat Brandon melingkarkan bahunya pada Daisy. Daisy sama sekali tak memedulikan pertanyaan Raja, dia malah menunjukkan gedung kantor polisi yang terletak di belakangnya. "Raja, aku akan terus terang sekarang," Daisy menarik napas panjang sebelum melanjutkan kalimatnya. "Aku sama sekali tidak ingat masa laluku dan aku ingin kamu menjelaskan padaku tentang semuanya." "Is this some kind of joke?" Tanyanya dengan nada sinis. "Menurutmu? Kamu lihat sendiri, aku ada di depan kantor polisi sekarang," ucap Daisy, datar dan dingin. "Jadi kamu nggak ingat aku siapa?" Raja menyipitkan matanya seakan tak percaya. "Aku punya hasil scan MRI sebagai bukti." Raja terdiam, dia seakan berpikir, kemudian akhirnya berkata, "Aku akan ke London secepatnya." Sebelum Daisy mengakhiri panggilannya, Raja berseru m