Brandon merasakan seseorang mengusap punggungnya perlahan. Dia menoleh dan mendapati kakaknya sudah berdiri di belakangnya dengan berurai air mata.
"Jean? What's wrong?" Brandon memeluk kakaknya erat, berusaha memberikan dukungan.
Sementara si gadis yang baru saja memutuskan untuk memberi namanya dirinya sendiri dengan panggilan 'Daisy', beringsut mundur.
Baru dua langkah dan telapak tangannya sudah digenggam oleh Jean. Jean menarik tangan gadis itu lalu mengajaknya berpelukan bersama.
Aneh dan gemetar, saat lengan Brandon melingkar di pinggangnya, sedang lengan yang lain memeluk kakaknya. "Kami biasa begini, saat orang tua kami masih ada. Kami sering berpelukan bersama," jelas Jean.
Setitik rasa nyeri hadir di hati Daisy. Beruntung sekali mereka yang memiliki kenangan. Tak seperti dirinya yang tak mampu mengingat apapun, bahkan dirinya sendiri pun dia tak ingat.
"Thank you," bisik Jean tepat di telinga Daisy.
"For what?" Daisy balas berbisik.
"Sudah mengembalikan tawa adikku yang tampan ini," jawab Jean masih dengan berbisik.
"Apa yang kalian lakukan? I'm right here," Brandon mengarahkan pandangannya bergantian ke arah Jean dan Daisy.
Jean terkikik geli, "Aku melihatmu tertawa lepas bersamanya. Sudah bertahun-tahun aku tidak melihat itu, Brandon. Aku betul-betul bahagia sekarang."
Brandon terdiam. Wajahnya menyiratkan sesuatu. Dia kemudian menunduk dan berjalan lunglai menuju dapur. "Aku akan memasak omelet spesial untuk kalian. Oh, ya, dia bernama Daisy sekarang. Kau bisa memanggilnya Daisy," ujarnya tanpa menoleh.
Jean dan Daisy saling berpandangan sebelum akhirnya mengikutinya. "Dia memiliki masa lalu yang pahit, Daisy," Jean memulai ceritanya.
"Sepahit apa?" Daisy menautkan kedua alisnya.
"Nanti kau akan tahu. Dia akan bercerita saat siap." Jean berjalan mendahului Daisy.
Sementara pikiran Daisy melayang, membayangkan betapa bahagianya manusia yang dapat mengingat masa lalu. Sepahit apapun itu. Betapa menyenangkannya saat memorinya kembali. Dia bisa mengingat jati dirinya, kesukaannya atau bahkan mungkin keluarganya. Mungkin keluarganya ada di luar sana sedang mencari keberadaan dirinya. Daisy membeku. Keluarga? Apakah Daisy memiliki keluarga? Seperti apa mereka? Perlahan sebuah gambar bergerak melintas di kepalanya. Sekelebat wajah seseorang. Tampak begitu bengis. Daisy merasakan ketakutan yang teramat sangat. Wajah bengis itu mengejarnya, memukulkan sesuatu ke arah kepalanya.
Daisy menjerit. Dia tergugu, jatuh meringkuk di atas tanah. Kedua telinganya dia tutup rapat-rapat. Napasnya tersengal. Sulit sekali rasanya menghirup oksigen. Bayangan itu masih tetap menancap di kepalanya yang mendadak nyeri seperti ditusuk ribuan pisau. "Tidak, jangaan!" pekiknya.
Dia masih bisa melihat Jean dan Brandon yang berlari ke arahnya sebelum semuanya mendadak gelap dan pekat.
***
Brandon memandangi wajah cantik itu. Seorang dokter bersama perawatnya sedang memeriksa kondisinya. Beberapa saat lalu dia dan Jean membawa Daisy yang tak sadarkan diri ke klinik kesehatan terdekat.
"Tekanan darah normal, detak jantung normal. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan." Brandon mengangguk mendengarkan penjelasan sang dokter. "Hasil MRI yang anda sertakan juga tidak menunjukkan sesuatu yang berarti. Kondisi otaknya juga bagus dan normal."
"Dia tiba-tiba saja histeris, lalu pingsan," tutur Jean. Dadanya masih berdebar mengingat kejadian tadi.
"Saya sempat memeriksa bekas luka di belakang kepalanya. Jahitannya tetap bagus. Lukanya telah mengering secara sempurna. Namun, memang amnesia adalah satu kasus yang unik. Penyebabnya tidak selalu akibat cedera di kepala ..." dokter itu ragu untuk melanjutkan ceritanya.
"Go on," desak Jean. Sudah kepalang tanggung ia mendengar penjelasannya dan sekarang ia sangat penasaran.
"Beberapa kasus menunjukkan bahwa amnesia juga terjadi saat tubuh dan mentalnya menolak suatu kejadian."
"I don't understand," ucap Brandon pelan.
"Bisa jadi gadis ini memiliki riwayat pernah mengalami kejadian traumatis, seperti misalnya pelecehan seksual, kekerasan fisik atau lainnya, sehingga alam bawah sadarnya menolak untuk mengingat," ujar dokter itu hati-hati.
Penjelasan sederhana namun mampu membuat dada Jean dan Brandon terasa sesak.
***
Brandon terbangun mendengar suara misterius yang berasal dari arah dapur. Kamarnya terletak di lantai bawah, berbatasan dengan ruang televisi. Sementara dapur terletak di posisi paling ujung, setelah ruang televisi.
Perlahan, Brandon bangkit dari ranjang. Mengendap keluar dari kamar sambil memegang tongkat baseball yang selalu ia simpan di sisi nakas.
Dia menempelkan tubuhnya di dinding pembatas antara ruang televisi dengan dapur. Brandon mengintip perlahan dan menangkap siluet tubuh seseorang sedang berdiri di depan bak cuci piring yang menghadap ke jendela. Brandon menyalakan lampu dapur secara tiba-tiba. Siluet ramping itu terhenyak dan memekik pelan.
"Daisy?"
"Brandon?"
Ucap mereka bersamaan.
"What are you doing here?" tanya Brandon.
"Aku.. aku tidak bisa tidur, aku takut mimpi buruk," jawab Daisy sembari menunduk. Jemarinya mempermainkan ujung rambutnya yang lurus.
"Kau pernah bermimpi buruk sebelumnya? Sejak kejadian kau tenggelam?"
"Tidak! Hanya saja, sejak bayangan itu muncul di kepalaku siang tadi, aku jadi ketakutan," Daisy mendongak. Matanya mulai berkaca-kaca.
"Bayangan apa?" Brandon mendekati Daisy perlahan hingga berdiri berhadapan.
Daisy sedikit terkesima ketika matanya sejajar dengan dada bidang David. Susah payah ia menelan ludah, lalu lurus menatap bola mata biru yang mempesona. "Bayangan seseorang mengejarku, seperti hendak melukaiku," jawabnya gugup.
"Aku juga memiliki banyak mimpi buruk, Daisy. Mimpi buruk yang menjadi nyata," Brandon menggeser posisinya ke samping, sejajar dengan Daisy, lalu menyandarkan pinggangnya ke meja dapur.
"Do you want to hear my story?" Entah apa yang merasukinya sampai-sampai ia bersikap sangat terbuka pada gadis yang baru dikenalnya selama seminggu itu.
Gadis Asia berwajah bak boneka dengan bola mata bulat seperti kelereng. Wajah polos yang awalnya Brandon samakan dengan bajing piaraannya.
Dia bertekad akan menceritakan segala tentang dirinya, pada Daisy. Hanya pada Daisy. Karena sepertinya, gadis itu sudah mendapat tempat spesial dalam hidupnya.
"Namun, sebelum itu, kami harap anda hadir ke kantor untuk memberikan sedikit kesaksian," sela salah seorang polisi yang berdiri di samping Hendra."Iya, tentu," Zivanna mengangguk. Meskipun matanya lembab dan pipinya basah oleh air mata. Akan tetapi, dia merasa sangat lega saat itu."Bagaimana, Daisy? Apakah kau bersedia pulang ke London bersamaku? Ataukah Raja ...."Zivanna langsung menghentikan kalimat Brandon dengan menempelkan telunjuknya di bibir tipis kemerahan pria asli Inggris tersebut. "Aku tidak akan kembali pada Raja, Brandon. Sedari awal, aku sudah jatuh cinta padamu," tutur Zivanna."Benarkah?" Brandon menatap paras cantik itu lekat-lekat. "Katakan sekali lagi," pintanya."Aku mencintaimu, Brandon. Aku sangat mencintai dan merindukanmu," ucap Zivanna penuh keyakinan."Apakah itu artinya ... kau bersedia menikah denganku?" tanya Brandon lagi dengan sorot tak percaya.Zivanna mengangguk kuat-kuat."Ya, Tuhan. Ini seperti mimpi," Brandon mengangkat tubuh Zivanna tinggi-ting
"Tidak," wajah Zivanna memucat. Dia mundur perlahan sampai punggungnya menabrak sandaran kursi makan. Dia berniat untuk melarikan diri. Namun, sebelum hal itu terjadi, para pengawal Wiyasa sudah lebih dulu menangkap dan mencekal tubuh rampingnya."Menyerah saja, Nak. Tak ada gunanya kamu melawan. Kita akan mati bersama-sama di rumah tua ini," Atmariani memiringkan kepala. Dia memperhatikan kecantikan paras Zivanna yang berada di atas rata-rata. "Sebenarnya aku merasa sayang jika gadis secantik kamu harus berakhir mengenaskan. namun, ini adalah harga yang wajib kamu bayar karena telah menghancurkan kehidupan kedua putri kami.""Aku cucumu, Nek," Zivanna mulai terisak. Dia tak dapat menerima kegilaan ini. Tak pernah Zivanna sangka bahwa dia akan mati di tangan orang-orang yang seharusnya menyayangi dan menjaganya setulus hati."Tidak," Wiyasa menggeleng. "Dari awal, kami tidak pernah mengakui kebodohan Rosanna yang memilih untuk kawin lari ke luar negeri. Dia bahkan hamil dan melahirkan
Zivanna terbangun ketika cahaya matahari menerobos masuk melalui lubang kecil di jendela kamar yang berlubang. Sudah tiga malam dia tidur di rumah tua yang terkesan aneh tersebut. Selama rentang waktu itu, dia tak bisa berhubungan dengan dunia luar. Entah bagaimana kabar Raja beserta keluarganya.Zivanna menguap, lalu bangkit perlahan seraya mengamati daun jendela yang berlubang di sana-sini. Penasaran, Zivanna beringsut turun dari ranjang dan mendekat ke daun jendela. Lubang-lubang kecil itu membentuk lingkaran sempurna. "Jendela itu terkena peluru," ujar seseorang secara tiba-tiba. Sontak Zivanna berjingkat saking terkejutnya, lalu membalikkan badan. Tampak Atmariani tengah berdiri di ambang pintu sambil membawa nampan berisi secangkir teh dan semangkuk bubur ayam."Sarapan dulu," ujarnya datar. Atmariani melangkah masuk dengan gayanya yang selalu terlihat anggun. Dia meletakkan nampan tadi ke atas nakas. "Setelah itu, bersiap-siaplah. Kami akan membawamu berjalan-jalan keluar.""K
Hendra tersenyum puas karena berhasil mengajak ayah kandung Zivanna untuk bertemu di London. Sekarang giliran Brandon yang dia tuju. Brandon Gallagher memiliki kekuatan dan pengaruh yang cukup besar untuk membantu Hendra menjemput Zivanna. Dengan langkah terburu-buru, Hendra berjalan menuju apartemen mewah Brandon. Sayangnya, pria yang hendak ditemuinya itu sedang mengadakan pertemuan di sebuah restoran dengan mantan kekasih yang kini menjadi saingan bisnisnya, yaitu Camilla."Katakan apa keperluanmu. Aku tidak punya banyak waktu," ujar Brandon dingin dan datar."Aku hanya ingin mengajukan kerja sama. Kudengar, kau kembali aktif dalam perusahaanmu," tutur Camilla, masih dengan gayanya yang tampak selalu percaya diri."Aku tidak tertarik untuk bekerja sama dengan siapapun. Aku hanya berfokus pada memperbaiki sistem dan rencana bisnis ke depannya," tolak Brandon tanpa basa-basi."Selama ini perusahaanmu dalam posisi autopilot dan dikendalikan sesekali oleh Liam. Kau pasti mengetahui ji
"Apa cuma ini barang-barangmu?" tanya Atmariani dingin. Zivanna menjawabnya dengan anggukan pelan."Ya, sudah. Kebetulan, di rumah nanti, kamu akan mendapat barang-barang dan pakaian baru. Ditinggal di sini juga tidak apa-apa," saran Wiyasa. Raut ramah yang senantiasa ditampakkan di hadapan keluarga Atmaja, seolah sirna. Ekspresinya saat menghadapi Zivanna, terlihat begitu dingin dan datar."Ayo, jangan buang-buang waktu," Atmariani menyodorkan koper Zivanna pada salah seorang anak buahnya sambil memberikan isyarat pada anak buahnya yang lain untuk mengapit Zivanna agar tak melarikan diri.Zivanna sendiri sudah pasrah atas semua yang akan dilakukan oleh Atmariani dan suaminya. Dia juga tak mengucapkan sepatah katapun sampai dia memasuki mobil SUV keluaran lama.Di dalam kendaraan, Zivanna hanya terdiam, sampai mobil itu berhenti di sebuah rumah tua di pinggiran kota Jakarta."Rumah siapa ini?" tanya Zivanna pelan.Wiyasa tak segera menjawab. Dia malah membantu Atmariani untuk turun da
"Apa mereka menyakitimu, Nak?" Hana mulai was-was dengan keadaan Zivanna. "Tidak, Tante. Hanya saja saya kecewa ketika Tuan dan Nyonya Gumilar mengatakan bahwa Raja tidak akan datang kemari. Dia juga membatalkan rencana pernikahan kami," jawab Zivanna lesu. "Itu yang terbaik untuk kalian, Zi," sahut Hana dengan segera. "Bolehkah tante menanyakan sesuatu padamu?" "Silakan, Tante." "Apakah kamu mencintai Raja ataukah hanya merasa berutang budi padanya?" tanya Hana lugas. "Saya ...." Hening sejenak. Zivanna tak melanjutkan kata-katanya. Hana hanya dapat mendengar desah napas gadis cantik itu. "Raja melakukan segalanya demi saya. Sekarang saatnya saya membalas semua kebaikan Raja. Apapun yang dia inginkan, akan saya lakukan," lanjut Zivanna pada akhirnya. "Jadi, apakah kamu mencintai Raja?" Hana mengulang pertanyaannya. Zivanna kembali terdiam, sampai-sampai Hana harus menunggu beberapa saat lamanya. "Cinta bisa tumbuh seiring waktu. Tidaklah sulit untuk mencintai Raja, Tante," jaw