Usai sarapan dan mandi, Vera diajak suaminya untuk duduk santai di sofa panjang ruang tengah, lalu menonton berita pagi di televisi.
Vera membuka obrolan, "kamu nggak ada kerjaan hari ini?""Nggak ada.""Nggak ada ketemuan sama rekan bisnis atau hangout sama temen atau ke gym atau apa gitu?""Nggak ada.""Bagus.""Kenapa?" Danno menoleh ke wanita yang duduk di sebelahnya itu sambil tersenyum manis. Dia menggoda, "... bilang aja kalo mau mesra-mesraan sama aku. Iya 'kan?""Enggak.""Kamu itu ngatain aku pemalu, padahal yang suka malu-malu itu cuma kamu.""Kamu itu suka godain, tapi digoda balik malah diam.""Kalo gitu goda aku lagi.""Males."Danno meraba pipi Vera, dielus-elus dengan jemarinya, sentuhannya begitu posesif. Dia berbisik mesra, "males apa nggak kuat sama pesona-ku?"Vera tersenyum mendengar itu. Dia menoleh. "PD banget kamu?"Jari-jari Danno kini menggeiltik di dagu Vera. Dia tampaknya gemas sekali dengan istrinya itu.Mata mereka bertemu. Keduanya bungkam karena saling kagum satu sama lain. Setiap mereka berpandangan, rasanya waktu dunia berhenti untuk sejenak.Danno mendekatkan wajahnya ke Vera, ingin berciuman di bibir. Jemari tangannya telah meraba leher wanita itu.Vera sempat diam seakan terhipnotis oleh ketampanan suaminya. Namun, dia kemudian sadar— lalu berpaling wajah.Alhasil, ciuman bibir Danno mendarat di pipinya. Dia kecewa. "Ini sampai kapan kamu nggak mau aku cium?""Barusan itu cium.""Cium di bibir, Sayang.""Nggak boleh mesum sampe aku makan es krim besok.""Mesum apa? ciuman 'kan bentuk cinta, aku mau mencintai kamu artinya aku mau cium kamu.""Halah."Danno tertawa pelan. Namun, dia tak patah semangat, ingin menggoda Vera lebih keras lagi. Dia menyentuh pipi wanita itu lagi, lalu dipaksa untuk menoleh ke arahnya.Sekali lagi, Vera harus berpandangan mata dengan suaminya. Kali ini jauh lebih dekat, dekat, hingga helaan napas mereka menerpa di kulit wajah masing-masing.Danno berbisik, "kamu ini kalo belum dicium, ngambeknya belum ilang. Diam sebentar, aku mau cium kamu."Jantung Vera tidak tenang seiring dengan sikap suaminya yang makin lihai menggoda. Mereka bersama-sama selama beberapa tahun, tapi sejak menikah, sikap genit Danno perlahan bangkit.Vera mengambil remot TV di atas meja, lalu digunakan untuk menghadang serangan bibir suaminya."Kamu kurang ajar banget." Danno ingin tertawa, tapi juga kesal lagi-lagi gagal memberikan ciumanannya ke Vera.Vera menjulurkan lidah."Oh, gitu?" Danno menyeringai. Dia beralih menggelitiki pinggang istrinya itu. "Rasain nih ...""Hahaha~" Vera tertawa geli, berusaha menepis tangan jahil Danno, tapi gagal terus. "STOP!""Enggak mauuu ..." Danno tak mau berhenti menggelitikinya. Dia ikut tertawa, puas membuat istrinya ketawa sampai air mata keluar.Bertepatan dengan itu, tiba-tiba ada breaking news yang muncul di layar televisi. Perhatian mereka pun teralihkan.Pembawa berita mengatakan, ' .... telah ditemukan mayat seorang pria penuh lebam dan luka tusukan dalam koper yang ditinggalkan di pembuangan sampah. Rekan kami akan memberikan kabar secara langsung dari kantor polisi ...'Layar televisi berubah menayangkan konfrensi pers dari pihak kepolisian. Di atas meja, terdapat banyak sekali bukti, termasuk sebuah jepit dasi berwarna perak yang memiliki ukiran khas— ukiran dengan inisial D.A.SDanno melotot kaget. Itu jelas miliknya, tapi dia tidak tahu kalau sudah kehilangan jepit dasi.Di konfrensi pers juga ditunjukkan foto orang yang menjadi korban pembunuhan. Ternyata, dia adalah Hardi, pengedar narkoba yang tempo hari dipukuli oleh Danno.Sontak saja, Vera syok melihat pemberitaan itu. Dia lantas menatap suaminya, lalu bertanya, "ka-kamu bunuh dia?"***Danno masih diam memandangi dan mendengar berita di televisi. Ini mustahil. Dia tidak mengerti. Kenapa jadinya begini? Apa maksudnya ini? Kemarin pria itu mati?Kemarin?Vera panik. Dia meremas kemeja depan sang suami, lalu mengoyaknya sedikit. "Sayang, jawab! Jangan diam aja! Kamu— kamu bunuh dia!?"Danno memegang kedua tangan Vera, lalu diturunkan. Dia membantah, "enggak. Nggak mungkin, aku sudah bebasin dia kemarin. Setelah dia mengakui semua, aku bebasin.""Tolong jujur.""Sumpah. Aku nggak mungkin bunuh orang sembarangan.""Kamu ... kamu mungkin keterlaluan mukulin dia, terus dia mati, kamu buang mayatnya, kamu harus jujur.""Vera, aku nggak bunuh orang. Lihat aku ..." Danno menangkup wajah Vera dengan kedua tangannya. Jadi, mereka saling pandang lagi. "... Apa menurut kamu, aku bohong masalah beginian?"Vera terdiam. Tidak mungkin juga suaminya berbohong masalah seperti ini. Lagipula, dia juga yakin pria ini bukan pembunuh.Dia berkata, "Tapi, itu jepit dasi kamu 'kan? Kalo kamu
Vera dan Danno menikmati hari libur mengunjungi salah satu cabang kedai es krim di kota ini. Keduanya duduk berdua di meja yang dekat dengan jendela. Saat mereka datang masih terlalu pagi, jadi belum terlalu ramai."Sayang, tumben kamu nggak ngomel lagi," kata Danno memandangi Vera yang duduk di seberang meja darinya."Kenapa harus ngomel?" Vera menjilati es krim cone sambil menikmati pemandangan jalan raya yang sudah ramai."Kita hari ini jadi ke kantor polisi?""Iya lah, sebelum mereka tahu apa yang terjadi, lebih baik kooperatif sama mereka.'"Tapi, bukannya bagus mereka nggak tau itu punyaku.""Bukan nggak tau, tapi belum tau. Udahlah, nanti habis makan siang, kita ke kantor polisi lalu ngaku kalau itu jepit dasi punya kamu.""Kenapa nggak sekarang aja?""Kamu nggak liat aku sedang apa?"Danno tersenyum. "Istriku jahat banget, selalu ngutamain es krim ketimbang aku. Aku cemburu, loh.""Kamu ngeselin, kalo es krim 'kan nyenengin." Vera balas tersenyum.Danno berdiri sedikit, lalu n
Di kamar tidur mereka, terdapat papan tulis dekat tembok yang terdapat tulisan spidol bertuliskan:BALAS DENDAMDanno menempelkan beberapa foto orang di situ dengan bantuan double tape, beberapa di antaranya berasal dari potongan koran. Setelah itu, dia menulis nama-nama mereka di bagian bawah.Danno menuding tiga deret foto paling atas, semuanya pria, dua di antaranya sudah di atas empat puluh tahunan, sementara satunya masih muda."Si bocah setan, Alarik. Ayahnya, Henry, dan kemudian pengacara mereka dulu ... Gio, mereka adalah target utama kita," katanya sambil menuding mereka dengan ujung pena.Vera duduk di pinggiran ranjang, memperhatikan papan tulis dengan seksama.Danno menggambar garis dari foto Gio si pengacara ke foto seorang pemuda asing yang bagian bawahnya tertulis nama Roni. "... nah, ini Roni, teman Hardi yang kasus kematiannya kamu tangani sebelum nikah sama aku, sekitar dua bulan yang lalu baru selesai kasusnya?""Iya.""Roni itu saksi suap yang dilakuin pengacara Gi
"Tapi itu untuk nanti malam, Sayang—siapin diri kamu, ya~" Danno masih menyeringai. Dia memberikan ciuman mesra ke bibir Vera.Vera menyudahi ciuman itu sembari berbisik, "kita ngomongin ini dulu, dong—Aku ntar lupa kita barusan bahas apaan.“Danno tergelak lirih. Dia kembali ke papan tulis, dia menggambar garis dari foto Roni ke foto Hardi.Dia menjelaskan, "jadi intinya— Hardi, pengedar narkoba yang kita tangkap malam itu, tapi sekarang sudah mati dibunuh. Dia adalah orang yang buat mobil papa kamu menjadi rem blong sampai terjadi kecelakaan sepuluh tahun silam. Selain itu ..."Dia berhenti sejenak untuk menggambar garis dari foto hardi ke foto Henry. "... Hardi cuma suruhan Henry alias ayah Alarik."Spidolnya kemudian mengaitkan garis dari foto Alarik ke foto buram yang sepertinya diambil diam-diam, serta foto hitam putih dari potongan koran yang tidak jelas juga.Suami Vera ini menjelaskan kembali, "Alarik sekarang berbinis prostitusi online dengan membawahi dua mucikari, Johan da
"Sayang ..." Vera menangkup wajah Danno, lalu didorong agar berhenti menciumi wajahnya. Dia mengeluh, "... sampai kapan kamu bakalan cium aku begini?""Mmm... " Danno tersenyum menatap wajah cantik Vera di bawah. "Aku suka mencium kamu."Iya, posisinya masih menindih dada sang istri di atas ranjang. Sudah hampir lima belas menit mereka berciuman, merangsang tubuh masing-masing. Dia tidak mau berhenti— menciumi wanita itu adalah sebuah candu yang sulit dikendalikan.Vera menyentil hidung Danno. Kemudian, dia kembali merangkul tangan di leher sang suami itu. Dia mengingatkan, "kita 'kan lagi rapat penting, jangan cium aku terus, dong.""Padahal kamu sendiri yang minta dicium? Sekarang minta berhenti?""Tadi ... Ini udah kelamaan kamu ciumin bibirku.""Terus maunya aku cium yang lain?" Danno menyeringai. Dia memberikan pandangan genit kepada Vera.Tatapan mata itu sudah bisa membuat Vera mengerti maksudnya. Dia ikut tersenyum, lalu menantang dengan nada suara manja, "kamu mau cium apalag
Vera memasak kari ayam dalam waktu yang lumayan singkat, beruntungnya sudah ada bumbu jadi. Dia tidak mengira kalau ada sanak keluarganya yang mampir ke rumah. Tidak ada persiapan sama sekali."Maaf, Bang, kami baru pindah ke sini, belum belanja juga ..." Wanita itu mencari alasan sambil menyajikan makan siang mereka dia atas meja makan. "Maaf kalau cuma makanan ini aja yang bisa Vera suguhin."Feno, yang sudah duduk di kursinya, mengangguk. "Nggak apa-apa, kok. Ini udah cukup.""Mending tadi pesen makan aja, Sayang," sahut Danno yang kurang minat dengan kari ayam. Dia agak rewel perihal makanan, paling tidak suka dengan kari.Tentu saja, Vera tahu itu. Namun, bumbunya cuma ada itu, dia tidak punya pilihan lain. Dia berkata, "kalau kamu nggak suka, ya udah pesen sendiri sana, aku sama bang Feno makan di sini. Iya 'kan, Bang.""Iya." Feno mulai mengambil lauk. "Masakan kamu selalu enak, kok.""Makasih, Abang~" Vera tersenyum gembira. Dia melirik suaminya yang tampak kesal. Selama ini,
Danno masih menatap Vera. Dia belum ada niat untuk membalas semua yang diucapkannya.Vera terus memberi penjelasan, "sayang, kamu nggak boleh kayak gitu, Bang Feno udah jauh-jauh loh ke sini, kita bahkan belum tanya kasusnya gimana, kapan sidangnya, nggak harus sekarang juga 'kan?""Aku tetep nggak mau.""Kenapa sih?""Ada banyak alasan, pertama abang sepupu kamu itu nggak jelas— kayaknya lagi nyembunyiin sesuatu. Pokoknya aku ngerasa nggak enak. Terus lagi, aku nggak mau kamu urusan sama kasus-kasus berat yang ngelibatin narkoba, obat-obatan kayak begituan, pokoknya nggak.""Tapi mungkin aja Bang Feno benar, temennya cuma dijebak doang.""Mau dijebak atau nggak, nggak ada urusan sama kita, Sayang. Lagian kamu ini nggak ngerasa aneh, dia jauh-jauh ke sini cuma minta tolong kamu jadi pengacara kasus salah paham?""Ya, nggak masalah 'kan?""Kamu ini jadi naif kalau masalah Feno.""Kamu kok ngomong gitu sih? Dia itu saudaraku, saudara kamu juga. Misalnya mau nolak ya jangan kasar kayak t
Vera pergi ke ruang makan lagi, tapi kakak sepupunya sudah tidak ada di sana. Dia pun mencari hingga ketemu di ruang tamu. Iya, pria itu mondar-mandir di depan sofa, seperti gelisah akan sesuatu."Ada apa, Bang?" Vera heran."Oh, kamu udah di sini—“ Feno sedikit kaget dengan kehadiran Vera. Tetapi, dia kemudian tersenyum. "Nggak apa-apa.""Abang ngapain di sini? Mau nonton televisi atau gimana?”"Enggak, kok. Lagi nungguin kamu dari tadi. Gimana?“Dengan berat hati, Vera mengatakan, ”maaf, Bang. Danno tetep ngotot nggak mau Vera ngambil kasus apapun sekarang. Dia pengen kami fokus bulan madu aja. Maaf.""Ya udah nggak apa-apa. Tapi, kamu nggak apa?“"Maksudnya?”"Suami kamu itu kayaknya protektif banget, dia juga posesif. Kamu nggak terkekang sama dia?""Enggak, kok. Danno dari dulu 'kan juga gitu, Bang. Dia overprotektif. Dia mikirin kebaikan Vera, jadi Vera nggak mungkin marah."“Beneran? Kamu nggak diancam 'kan?""Diancam? Enggak, dong!” Vera tertawa lirih untuk menunjukkan kalau