Danno masih diam memandangi dan mendengar berita di televisi. Ini mustahil. Dia tidak mengerti. Kenapa jadinya begini? Apa maksudnya ini? Kemarin pria itu mati?
Kemarin?Vera panik. Dia meremas kemeja depan sang suami, lalu mengoyaknya sedikit. "Sayang, jawab! Jangan diam aja! Kamu— kamu bunuh dia!?"Danno memegang kedua tangan Vera, lalu diturunkan. Dia membantah, "enggak. Nggak mungkin, aku sudah bebasin dia kemarin. Setelah dia mengakui semua, aku bebasin.""Tolong jujur.""Sumpah. Aku nggak mungkin bunuh orang sembarangan.""Kamu ... kamu mungkin keterlaluan mukulin dia, terus dia mati, kamu buang mayatnya, kamu harus jujur.""Vera, aku nggak bunuh orang. Lihat aku ..." Danno menangkup wajah Vera dengan kedua tangannya. Jadi, mereka saling pandang lagi. "... Apa menurut kamu, aku bohong masalah beginian?"Vera terdiam. Tidak mungkin juga suaminya berbohong masalah seperti ini. Lagipula, dia juga yakin pria ini bukan pembunuh.Dia berkata, "Tapi, itu jepit dasi kamu 'kan? Kalo kamu belum dipanggil polisi, kemungkinan mereka masih belum tahu itu punya kamu.""Aku nggak tau kok bisa ada jepit dasiku di situ? Nggak mungkin. Aku nggak pakai dasi waktu ketemu sama dia.""Kapan terakhir kamu pakai jepit dasi?""Ya waktu malam itu ...""Waktu kita nyulik Hardi?""Iya, sorenya, kita 'kan ada pertemuan penting, pakai baju formal. Cuma aku taruh dasiku di mobil, lalu keluar— setelah itu, aku nggak pakai lagi, nggak ada acara penting juga.""Harusnya ada di mana?""Harusnya ada di mobil sama dasi.""Ayo kita lihat." Vera bangkit dari sofa, lalu berjalan cepat. "Kita harus pastiin punya kamu masih ada atau nggak.“Danno menyusul di belakangnya. Dia tidak terlalu panik, hanya bingung dan mencoba berpikir jernih.Yang barusan itu adalah jepit dasinya, mustahil bisa ada di tangan Hardi— setiap dia menemui pria itu, dia tak menggunakannya.Mereka berdua sampai di garasi rumah. Ada satu mobil yang terparkir disitu, mobil yang sama dengan yang digunakan saat menculik Hardi sebelumnya. Hanya saja plat nomornya sudah dikembalikan menjadi asli.Begitu menggeledah bagian belakang mobil tersebut, hanya ditemukan dasi hitam, tidak ada jepitnya. Vera mencari hingga ke bawah kursi, tapi masih tak ditemukan.Danno juga ikut mencari di bawah kursi depan, tetap tak menemukan hasil. "Kayaknya ... salah satu dari orang suruhanku malam itu bukan berandal sembarangan.""Kamu kok bisa teledor gini, sih? Ya ampun, Danno— kamu selalu kayak gini! Buang-buang baju sembarangan! Ninggalin jejak di mana-mana! Kamu juga mukulin korban! sekarang pasti kamu yang dituntut!""Tenang, Sayang.""Tenang gimana? ada orang mati! Aku selalu ingetin kamu jangan sembarangan! Kalo ada bukti nyata gitu, gimana caranya aku belain kamu?"Melihat istrinya yang marah sekaligus cemas bukan main itu, Danno mendekat, lalu mendekapnya dan mengelus rambutnya."Ternyata istriku kalo panik, nggak bisa mikir jernih, ya? Emangnya kenapa kalo ada jepit dasiku di situ? Alibiku dari kemarin itu 'kan kuat," ucapnya menenangkan."Alibi ..." Vera baru sadar. Dia melepaskan pelukannya dari Danno, lalu menatap pria itu. "Alibi kamu?""Kemarin setelah pamitan sama kamu, aku pergi ke klub malam, di situ terus sampai diajak ke ruang privat dan terjadi pesta barang illegal—lalu polisi menggerebek. Tengah malam sampai hampir pagi, aku ada di kantor polisi sama kamu. Jadi, mustahil aku yang bunuh.""Alibi kamu kuat.""Makanya kamu tenang aja dulu.""Kalo bukan kamu pelakunya, lalu siapa?""Akan aku caritahu ke orang suruhan yang kusewa waktu itu. Ada yang nggak beres.""Tapi, sekalipun nanti kamu nggak dituntut pasal pembunuhan, kamu bisa dituntut pasal tiga lima satu tentang penganiayaan. Apalagi, kalo udah ke-up di media, takutnya Komnas ikutan nuntut kamu.""Misal nggak bisa diatasi sama uang, kan masih ada kamu. Kamu itu 'kan pengacara cantikku yang paling pintar kalo bicara. Aku nggak takut apapun selama ada kamu.""Kamu terlalu ngandalin aku.""Kamu istriku, orang yang paling penting di hidupku, ya jelas dong aku ngandalin kamu. Aku cuma punya kamu."Vera kesal kalau Danno menggodanya, memujinya, memanfaatkan dirinya dalam sekali ucap begitu. Suaminya memang pintar sekali kalau bersilat lidah. "Baru juga kemarin aku bebasin kamu dari kantor polisi."Danno mencubit dagu Vera, lalu merayunya, "aku menghajar pria itu juga demi dapat informasi. Ini demi kamu juga— jadi, tolong nanti urus ya, Sayang? Aku akan siapin berapapun uang yang kamu butuhin.""Kamu itu suami manipulatif, nyebelin, seenaknya sendiri, tapi ... nggak bisa aku benci.""Manipulatif apa?"Vera tersenyum. Dia menyentuh pipi suaminya tersebut, lalu berkata, "ya udah, apapun yang terjadi— aku nggak bakal biarin kamu terseret masalah ini.”Danno makin gemas dengan tingkah dan ucapan Vera. Dia tiba-tiba menggendong wanita itu ala pengantin baru."Ah! Apa?" Vera kaget, langsung merangkul leher Danno. "Kamu mau apa?!""Nggak apa-apa, aku nggak kuat ngeliat kamu gemes banget.""Kamu ini ... ada masalah beginian, bukannya panik malah senyum-senyum terus.""Aku punya istri pengacara hebat, uangku banyak, kenapa aku harus panik? Mending kita santai di kamar."Vera hanya bisa menghela napas panjang. Tidak mungkin dia bisa serius kalau bicara dengan suami yang menyepelekan masalah apapun.***Danno dan istrinya, Vera, sudah lama menantikan liburan ini.Mereka menjalani hari-hari yang sibuk, penuh dengan komitmen pekerjaan dan keluarga, dan mereka menantikan waktu untuk bersantai dan menikmati liburan ke Bali.Mereka memutuskan untuk membawa serta bayi laki-laki mereka yang kini sudah berusia enam bulan, Daniel, dan anak perempuan mereka, Venny.Pada hari pertama liburan mereka, mereka pergi ke kedai es krim lokal. Hari itu adalah hari yang hangat, dan mereka semua ingin menikmati makanan dingin.Danno dan Vera mengantri bersama Baby Daniel di kereta dorongnya, sementara Venny berdiri di samping mereka.Saat mereka menunggu, Vera mengulurkan tangan dan mengacak-acak rambut Venny."Kamu udah nggak sabar ya pengen makan es krim?" tanya Vera kepada putrinya."Iya, Mama." Venny menjawab dengan penuh semangat. "Venny nggak sabar makan es krim!"Saat mereka menunggu, Baby Daniel mulai rewel di kereta dorongnya, dan Danno menariknya keluar dan menggendongnya."Kamu mau es krim, J
Satu tahun kemudian ...Vera telah melahirkan seorang anak laki-laki yang sehat. Dia, sang suami, dan Venny, keponakan yang sudah jadi anak adopsi mereka, memutuskan untuk kembali ke kota Jakarta.Danno menghentikan mobilnya tepat di depan teras rumah besar bertingkat dua. Usai mematikan mobil, dia keluar dan beranjak ke belakang untuk membuka bagasi.Di saat bersamaan, Vera keluar dari mobil dengan menggendong bayi laki-lakinya.Dia membuka pintu belakang, dan membiarkan Venny keluar. Anak perempuan itu terlihat sangat riang gembira."Hore! Udah sampe!" Katanya yang langsung melongo melihat betapa besar rumah yang ada di hadapannya. "ini rumah Papa?"Dengan bangga, Vera mengatakan, "iya dong, ini rumah kita yang sebenarnya. Kalau rumah di Surabaya itu rumah nyewa sebentar, Sayang. Mulai sekarang kita tinggal di rumah kita yang sebenarnya, rumahnya Papa."Danno masih mengeluarkan beberapa koper dari dalam bagasi. Dia menarik semuanya keluar, lalu menggeretnya mendekat ke dekat sang is
Keesokan harinya ...Ibu Vida bertamu di rumah sewaan keluarga pendonor mata yang dia sewa untuk melakukan akting di depan Danno. Dia kesal karena waktu sudah berlalu, tapi tak mendapatkan kabar tentang yang yang diminta.Dia duduk di sofa panjang ruang tamu bersama Delia juga. Di situ, ada wanita yang sebelumnya memotret kemesraan Delia, lalu seorang pria paruh baya, ayah dari anggota keluarga pendonor yang telah meninggal dunia.Delia resah. Dia masih kepikiran sejak melihat kemesraan Danno dan Vera. Saking resahnya, dia sudah tak peduli dengan dirinya yang tak menggunakan kontak lensa. Alhasil, dia tidak kelihatan seperti buta."Ini maksudnya apa? Kok Danno nggak ngirim-ngirim uangnya?" Ibu Vida meminta kejelasan.Delia cemberut. "Nggak tahu, Tante. Padahal pas terakhir pulang dari sini, dia udah bilang kalau bakalan transfer uangnya. Tapi, pas aku ke rumahnya— eh dia malah mesra sama istrinya. Aneh banget. Sebenarnya mereka itu lagi bertengkar atau enggak, sih?“Ibu Vida melihat l
Alarik terdiam pasrah.Dia bahkan tak punya kekuatan untuk bangkit. Ini adalah salahnya, salahnya karena buang-buang waktu. Seharusnya dia langsung membakar rumah ini beserta Vera di dalam selagi ada waktu.Selain itu, seharusnya dia juga membawa anak buahnya yang masih setia. Sekarang?Semua akan sia-sia. Dia melihat Sean yang menyeringai melihatnya tersungkur di trotoar. Orang yang menjadi kepercayaan Danno. Selain itu, ada pria lain yang datang di belakangnya— orang yang menghasutnya tentang Johan alias Rey, saudara kandung Sean.Rey tertawa melihat Alarik yang sudah tak berdaya, tak punya kekuatan dan keberanian untuk bangkit lagi. Dia sengaja menendang tongkat bisbol dari dari tangannya.Alhasil, sekarang— Alarik tak punya kuasa lagi. Meski begitu, dia bangkit, masih menguatkan diri untuk bisa kabur.Rey memperingatkan dengan nada sarkas, “ Bos Alarik— jangan coba-coba kabur. Polisi udah datang, loh.""Brengsek, kalian emang sekumpulan pengkhianat brengsek.” Alarik melihat Sean
Saat hendak membakar sofa, tiba-tiba terdengar suara kaca pecah dari belakang. Sontak saja Alarik menoleh— "Siapa ..." Dia waspada, takut kalau polisi yang datang. Tapi, dia sangat yakin kalau keberadaannya di sini sangat rahasia.Lalu, dalam sejekap, seorang datang berlari menuju ke arahnya. Iya, tanpa diduga itu adalah Danno.Vera membuka mata, melihatnya datang. Dia berusaha berteriak, "MMM!"Danno tampak seperti singa yang sudah siap menerkam musuh. Raut wajahnya menjadi gelap dan mengerikan, terlebih saat melihat istrinya diperlakukan seperti itu."Kamu—" Alarik panik, hendak melempar korek yang sudah dinyalakan ke arah Vera.Akan tetapi, ketika koreknya hampir jatuh— tubuhnya keburu ditendang oleh Danno sehingga korek tersebut jatuh ke tempat lain, lalu padam.Sangat menegangkan. Detak jantung Vera sampai menjadi tidak karuhan. Dia ketakutan bukan main."Brengsek!" bentak Alarik yang tubuhnya terhuyung-huyung, nyaris terjungkal ke lantai. Tapi, dia berhasil mempertahankan kesei
Usai mendapatkan telepon singkat yang mengkhawatirkan dari salah satu satpam, Danno langsung berdiri. Raut wajahnya berubah panik dan gelisah. Meski belum tahu siapa 'orang mencurigakan' yang didengar barusan, tapi dia sudah bisa menduga.Iya, siapa lagi yang yang akan menyakiti satpamnya seperti itu. Berita tentangnya sudah menyebar di mana-mana— Alarik."Si brengsek itu ... Pasti di brengsek itu ..." Ucap Danno sembari menyambar kunci mobil dari atas meja. Dia memberi pesan ke Dino. "Tolong kamu telpon polisi, minta datang langsung ke rumahku. Aku mau balik dulu sekarang.""Ada apa, Pak?“ Dino ikutan panik sehingga berdiri pula. Dia bingung dengan reaksi wajah Danno yang berubah setelah menerima panggilan sebentar itu. "Terus ini gimana?”"Udah nggak usah ngurusin Delia dulu— telpon atau langsung pergi aja ke kantor polisi, minta ke rumahku. Ada penjahat yang datang.“ Danno mengatakan itu, dan tak ingin berkata apapun lagi. Dia segera meninggalkan tempat itu, keluar dari sana dengan