Share

BAB 06

Danno masih diam memandangi dan mendengar berita di televisi. Ini mustahil. Dia tidak mengerti. Kenapa jadinya begini? Apa maksudnya ini? Kemarin pria itu mati?

Kemarin?

Vera panik. Dia meremas kemeja depan sang suami, lalu mengoyaknya sedikit. "Sayang, jawab! Jangan diam aja! Kamu— kamu bunuh dia!?"

Danno memegang kedua tangan Vera, lalu diturunkan. Dia membantah, "enggak. Nggak mungkin, aku sudah bebasin dia kemarin. Setelah dia mengakui semua, aku bebasin."

"Tolong jujur."

"Sumpah. Aku nggak mungkin bunuh orang sembarangan."

"Kamu ... kamu mungkin keterlaluan mukulin dia, terus dia mati, kamu buang mayatnya, kamu harus jujur."

"Vera, aku nggak bunuh orang. Lihat aku ..." Danno menangkup wajah Vera dengan kedua tangannya. Jadi, mereka saling pandang lagi. "... Apa menurut kamu, aku bohong masalah beginian?"

Vera terdiam. Tidak mungkin juga suaminya berbohong masalah seperti ini. Lagipula, dia juga yakin pria ini bukan pembunuh.

Dia berkata, "Tapi, itu jepit dasi kamu 'kan? Kalo kamu belum dipanggil polisi, kemungkinan mereka masih belum tahu itu punya kamu."

"Aku nggak tau kok bisa ada jepit dasiku di situ? Nggak mungkin. Aku nggak pakai dasi waktu ketemu sama dia."

"Kapan terakhir kamu pakai jepit dasi?"

"Ya waktu malam itu ..."

"Waktu kita nyulik Hardi?"

"Iya, sorenya, kita 'kan ada pertemuan penting, pakai baju formal. Cuma aku taruh dasiku di mobil, lalu keluar— setelah itu, aku nggak pakai lagi, nggak ada acara penting juga."

"Harusnya ada di mana?"

"Harusnya ada di mobil sama dasi."

"Ayo kita lihat." Vera bangkit dari sofa, lalu berjalan cepat. "Kita harus pastiin punya kamu masih ada atau nggak.“

Danno menyusul di belakangnya. Dia tidak terlalu panik, hanya bingung dan mencoba berpikir jernih.

Yang barusan itu adalah jepit dasinya, mustahil bisa ada di tangan Hardi— setiap dia menemui pria itu, dia tak menggunakannya.

Mereka berdua sampai di garasi rumah. Ada satu mobil yang terparkir disitu, mobil yang sama dengan yang digunakan saat menculik Hardi sebelumnya. Hanya saja plat nomornya sudah dikembalikan menjadi asli.

Begitu menggeledah bagian belakang mobil tersebut, hanya ditemukan dasi hitam, tidak ada jepitnya. Vera mencari hingga ke bawah kursi, tapi masih tak ditemukan.

Danno juga ikut mencari di bawah kursi depan, tetap tak menemukan hasil. "Kayaknya ... salah satu dari orang suruhanku malam itu bukan berandal sembarangan."

"Kamu kok bisa teledor gini, sih? Ya ampun, Danno— kamu selalu kayak gini! Buang-buang baju sembarangan! Ninggalin jejak di mana-mana! Kamu juga mukulin korban! sekarang pasti kamu yang dituntut!"

"Tenang, Sayang."

"Tenang gimana? ada orang mati! Aku selalu ingetin kamu jangan sembarangan! Kalo ada bukti nyata gitu, gimana caranya aku belain kamu?"

Melihat istrinya yang marah sekaligus cemas bukan main itu, Danno mendekat, lalu mendekapnya dan mengelus rambutnya.

"Ternyata istriku kalo panik, nggak bisa mikir jernih, ya? Emangnya kenapa kalo ada jepit dasiku di situ? Alibiku dari kemarin itu 'kan kuat," ucapnya menenangkan.

"Alibi ..." Vera baru sadar. Dia melepaskan pelukannya dari Danno, lalu menatap pria itu. "Alibi kamu?"

"Kemarin setelah pamitan sama kamu, aku pergi ke klub malam, di situ terus sampai diajak ke ruang privat dan terjadi pesta barang illegal—lalu polisi menggerebek. Tengah malam sampai hampir pagi, aku ada di kantor polisi sama kamu. Jadi, mustahil aku yang bunuh."

"Alibi kamu kuat."

"Makanya kamu tenang aja dulu."

"Kalo bukan kamu pelakunya, lalu siapa?"

"Akan aku caritahu ke orang suruhan yang kusewa waktu itu. Ada yang nggak beres."

"Tapi, sekalipun nanti kamu nggak dituntut pasal pembunuhan, kamu bisa dituntut pasal tiga lima satu tentang penganiayaan. Apalagi, kalo udah ke-up di media, takutnya Komnas ikutan nuntut kamu."

"Misal nggak bisa diatasi sama uang, kan masih ada kamu. Kamu itu 'kan pengacara cantikku yang paling pintar kalo bicara. Aku nggak takut apapun selama ada kamu."

"Kamu terlalu ngandalin aku."

"Kamu istriku, orang yang paling penting di hidupku, ya jelas dong aku ngandalin kamu. Aku cuma punya kamu."

Vera kesal kalau Danno menggodanya, memujinya, memanfaatkan dirinya dalam sekali ucap begitu. Suaminya memang pintar sekali kalau bersilat lidah. "Baru juga kemarin aku bebasin kamu dari kantor polisi."

Danno mencubit dagu Vera, lalu merayunya, "aku menghajar pria itu juga demi dapat informasi. Ini demi kamu juga— jadi, tolong nanti urus ya, Sayang? Aku akan siapin berapapun uang yang kamu butuhin."

"Kamu itu suami manipulatif, nyebelin, seenaknya sendiri, tapi ... nggak bisa aku benci."

"Manipulatif apa?"

Vera tersenyum. Dia menyentuh pipi suaminya tersebut, lalu berkata, "ya udah, apapun yang terjadi— aku nggak bakal biarin kamu terseret masalah ini.”

Danno makin gemas dengan tingkah dan ucapan Vera. Dia tiba-tiba menggendong wanita itu ala pengantin baru.

"Ah! Apa?" Vera kaget, langsung merangkul leher Danno. "Kamu mau apa?!"

"Nggak apa-apa, aku nggak kuat ngeliat kamu gemes banget."

"Kamu ini ... ada masalah beginian, bukannya panik malah senyum-senyum terus."

"Aku punya istri pengacara hebat, uangku banyak, kenapa aku harus panik? Mending kita santai di kamar."

Vera hanya bisa menghela napas panjang. Tidak mungkin dia bisa serius kalau bicara dengan suami yang menyepelekan masalah apapun.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status