Vera dan Danno menikmati hari libur mengunjungi salah satu cabang kedai es krim di kota ini. Keduanya duduk berdua di meja yang dekat dengan jendela. Saat mereka datang masih terlalu pagi, jadi belum terlalu ramai.
"Sayang, tumben kamu nggak ngomel lagi," kata Danno memandangi Vera yang duduk di seberang meja darinya."Kenapa harus ngomel?" Vera menjilati es krim cone sambil menikmati pemandangan jalan raya yang sudah ramai."Kita hari ini jadi ke kantor polisi?""Iya lah, sebelum mereka tahu apa yang terjadi, lebih baik kooperatif sama mereka.'"Tapi, bukannya bagus mereka nggak tau itu punyaku.""Bukan nggak tau, tapi belum tau. Udahlah, nanti habis makan siang, kita ke kantor polisi lalu ngaku kalau itu jepit dasi punya kamu.""Kenapa nggak sekarang aja?""Kamu nggak liat aku sedang apa?"Danno tersenyum. "Istriku jahat banget, selalu ngutamain es krim ketimbang aku. Aku cemburu, loh.""Kamu ngeselin, kalo es krim 'kan nyenengin." Vera balas tersenyum.Danno berdiri sedikit, lalu nekad melahap sisa es krim yang ada di tangan Vera.Vera kaget sampai melongo. Semua es krim sudah dimakan, tersisa cone atau kerucut saja di tangan. "HEI!"Danno duduk kembali sambil tersenyum jahil. Dia mengancam, "sekali lagi kamu bandingin aku sama es krim, aku makan lagi es krim kamu.""Beli'in aku es krim lagi!""Nggak mau.""Cepetan.""Beli sendiri dong, ngapain nyuruh? itu meja pesannya ada disitu ..." Danno bertopang dagu di atas meja, masih tersenyum.Dia suka menghabiskan waktu dengan menggoda Vera. Semakin wanita itu jengkel, maka semakin dia gemas.Kesal, Vera mengancam, "cepet beliin aku es krim lagi, atau aku bakalan bersaksi kalo kamu udah mukulin pria itu sampe babak belur sebelum ditemukan tewas. Lima tahun hukumannya ... kamu dipenjara, kita cerai, aku nikah lagi, kamu bebas, aku udah punya anak sama pria lain."Senyum jahil Danno luntur. Makin kesini, istrinya makin pintar bicara. Apa karena dia pengacara sekarang?"Perkara es krim aja sampe ngomongin nikah lagi," gerutunya sambil berdiri dengan agak malas.Vera menahan tawa. Dia menepuk bokong sang suami saat berjalan melewatinya."Apa?" Danno menoleh. Dia masih kelihatan kesal, meskipun hanya bercanda, tapi dia tak sanggup membayangkan Vera menikah lagi."Cepetan, jangan lama-lama.""Iya." Danno membungkuk sebentar untuk mengecup kening Vera sesaat, baru kemudian pergi ke meja pemesanan. Tampaknya, dia tidak peduli dipandangi beberapa orang, termasuk pegawai es krim.Vera baru sadar kalau di tempat umum, jadi dia sedikit malu, lalu melihat keluar jendela.Danno menunggu antrian di depan meja pemesanan, ada wanita yang mengantri di sebelahnya.Dia sesekali menoleh ke Vera, tapi tak sengaja— dia melihat pria berjaket kulit tengah masuk ke dalam sini."Mas? Mas?" Suara pegawai es krim menegurnya.Danno mengabaikannya. Dia terkejut melihat si pria mencurigakan berani menghampiri meja sang istri.Pria asing itu merogoh saku jaket kulitnya, mengeluarkan sesuatu.Mengira itu senjata tajam, insting liar Danno bangkit seketika. Tubuhnya seperti bergerak sendiri saat panik.Ia berlari mendekat, lalu mencengkram kepala pria misterius itu— dan menghantamkan wajahnya ke atas meja, lalu melakukan kuncian Hammerlock— melumpuhkan bahu lawan dengan meletakkan lengan di belakang punggungnya.Kemudian, ia menekan pergelangan tangan ke belakang leher si lawan. Teknik ini biasa digunakan polisi saat menangkap pelaku kejahatan, di mana membuat lawan kesulitan dalam menyerang balik."Danno!" Vera kaget dengan ulah suaminya tiba-tiba. "Danno ... Danno stop!"Tak hanya dia, situasi di dalam juga mendadak mencekam, pengunjung sedikit takut kalau ada perkelahian."Berani banget kamu deketin Vera?" Danno tak peduli, merasa kalau orang itu berbahaya. Sorot matanya begitu dingin, begitu pula suaranya. "Mau apa kamu?""Saya ... saya disuruh nyerahin ini ..." Pria itu menunjukkan tangannya yang ternyata memegang lipatan kertas, bukan senjata tajam."Sayang, lepasin!" Vera panik karena para pegawai sudah berdatangan. Dia menarik lengan suaminya. "Kamu jangan mukulin orang gitu aja!""Maaf." Danno tersadar situasinya, lalu terpaksa melepaskannya.Si pria misterius itu menaruh lipatan kertasnya di atas meja, lalu berlari keluar dari tempat itu secepat kilat. Dia mecurigakan."Hei, jangan pergi dulu!" Vera makin bingung. Dia melihat sekitar dimana beberapa pengunjung sudah memegangi ponsel, agak takut kalau keadian ini disebarkan di media sosial."Maaf, Mas, nggak ada apa-apa, kok— cuma salab paham!“ Wanita itu berusaha menjelaskan ke pegawai yang mendekat. Tak mau menunggu lagi, dia mengambil tas dan kertas itu, lalu menyeret suaminya pergi ke luar, "ayo kita keluar sekarang."Usai keluar dari tempat tersebut, Danno berkata, ”maaf, jangan marah ya— aku reflek barusan.“"Kamu suka banget bikin jantungan.””Tapi, Sayang, kasus apa yang terakhir kamu tangani? Kayaknya itu ada hubungannya sama kerjaan kamu. Udah aku bilang 'kan nggak usah ngambil kasus berat-berat."Vera diam saja karena fokus membaca isi kertas itu hanya:338 KUHPItu adalah pasal yang mengatur hukuman mati bagi pelaku pembunuhan.Dihiraukan, Danno merebut kertas itu,. Untuk orang awam hukum sepertinya, dia cukup tahu itu tentang pasal itu."Kasus apa yang kamu tangani sebelum libur?" Dia bertanya serius.Vera tak bisa menyembunyikan ini. Dia mengaku, "aku pernah melakukan kebohongan besar."Danno melihat sekitar, khawatir kalau membicarakan hal beginian di luar rumah. "Kita bahas di rumah. Ayo ..."Vera mengangguk.***Di kamar tidur mereka, terdapat papan tulis dekat tembok yang terdapat tulisan spidol bertuliskan:BALAS DENDAMDanno menempelkan beberapa foto orang di situ dengan bantuan double tape, beberapa di antaranya berasal dari potongan koran. Setelah itu, dia menulis nama-nama mereka di bagian bawah.Danno menuding tiga deret foto paling atas, semuanya pria, dua di antaranya sudah di atas empat puluh tahunan, sementara satunya masih muda."Si bocah setan, Alarik. Ayahnya, Henry, dan kemudian pengacara mereka dulu ... Gio, mereka adalah target utama kita," katanya sambil menuding mereka dengan ujung pena.Vera duduk di pinggiran ranjang, memperhatikan papan tulis dengan seksama.Danno menggambar garis dari foto Gio si pengacara ke foto seorang pemuda asing yang bagian bawahnya tertulis nama Roni. "... nah, ini Roni, teman Hardi yang kasus kematiannya kamu tangani sebelum nikah sama aku, sekitar dua bulan yang lalu baru selesai kasusnya?""Iya.""Roni itu saksi suap yang dilakuin pengacara Gi
"Tapi itu untuk nanti malam, Sayang—siapin diri kamu, ya~" Danno masih menyeringai. Dia memberikan ciuman mesra ke bibir Vera.Vera menyudahi ciuman itu sembari berbisik, "kita ngomongin ini dulu, dong—Aku ntar lupa kita barusan bahas apaan.“Danno tergelak lirih. Dia kembali ke papan tulis, dia menggambar garis dari foto Roni ke foto Hardi.Dia menjelaskan, "jadi intinya— Hardi, pengedar narkoba yang kita tangkap malam itu, tapi sekarang sudah mati dibunuh. Dia adalah orang yang buat mobil papa kamu menjadi rem blong sampai terjadi kecelakaan sepuluh tahun silam. Selain itu ..."Dia berhenti sejenak untuk menggambar garis dari foto hardi ke foto Henry. "... Hardi cuma suruhan Henry alias ayah Alarik."Spidolnya kemudian mengaitkan garis dari foto Alarik ke foto buram yang sepertinya diambil diam-diam, serta foto hitam putih dari potongan koran yang tidak jelas juga.Suami Vera ini menjelaskan kembali, "Alarik sekarang berbinis prostitusi online dengan membawahi dua mucikari, Johan da
"Sayang ..." Vera menangkup wajah Danno, lalu didorong agar berhenti menciumi wajahnya. Dia mengeluh, "... sampai kapan kamu bakalan cium aku begini?""Mmm... " Danno tersenyum menatap wajah cantik Vera di bawah. "Aku suka mencium kamu."Iya, posisinya masih menindih dada sang istri di atas ranjang. Sudah hampir lima belas menit mereka berciuman, merangsang tubuh masing-masing. Dia tidak mau berhenti— menciumi wanita itu adalah sebuah candu yang sulit dikendalikan.Vera menyentil hidung Danno. Kemudian, dia kembali merangkul tangan di leher sang suami itu. Dia mengingatkan, "kita 'kan lagi rapat penting, jangan cium aku terus, dong.""Padahal kamu sendiri yang minta dicium? Sekarang minta berhenti?""Tadi ... Ini udah kelamaan kamu ciumin bibirku.""Terus maunya aku cium yang lain?" Danno menyeringai. Dia memberikan pandangan genit kepada Vera.Tatapan mata itu sudah bisa membuat Vera mengerti maksudnya. Dia ikut tersenyum, lalu menantang dengan nada suara manja, "kamu mau cium apalag
Vera memasak kari ayam dalam waktu yang lumayan singkat, beruntungnya sudah ada bumbu jadi. Dia tidak mengira kalau ada sanak keluarganya yang mampir ke rumah. Tidak ada persiapan sama sekali."Maaf, Bang, kami baru pindah ke sini, belum belanja juga ..." Wanita itu mencari alasan sambil menyajikan makan siang mereka dia atas meja makan. "Maaf kalau cuma makanan ini aja yang bisa Vera suguhin."Feno, yang sudah duduk di kursinya, mengangguk. "Nggak apa-apa, kok. Ini udah cukup.""Mending tadi pesen makan aja, Sayang," sahut Danno yang kurang minat dengan kari ayam. Dia agak rewel perihal makanan, paling tidak suka dengan kari.Tentu saja, Vera tahu itu. Namun, bumbunya cuma ada itu, dia tidak punya pilihan lain. Dia berkata, "kalau kamu nggak suka, ya udah pesen sendiri sana, aku sama bang Feno makan di sini. Iya 'kan, Bang.""Iya." Feno mulai mengambil lauk. "Masakan kamu selalu enak, kok.""Makasih, Abang~" Vera tersenyum gembira. Dia melirik suaminya yang tampak kesal. Selama ini,
Danno masih menatap Vera. Dia belum ada niat untuk membalas semua yang diucapkannya.Vera terus memberi penjelasan, "sayang, kamu nggak boleh kayak gitu, Bang Feno udah jauh-jauh loh ke sini, kita bahkan belum tanya kasusnya gimana, kapan sidangnya, nggak harus sekarang juga 'kan?""Aku tetep nggak mau.""Kenapa sih?""Ada banyak alasan, pertama abang sepupu kamu itu nggak jelas— kayaknya lagi nyembunyiin sesuatu. Pokoknya aku ngerasa nggak enak. Terus lagi, aku nggak mau kamu urusan sama kasus-kasus berat yang ngelibatin narkoba, obat-obatan kayak begituan, pokoknya nggak.""Tapi mungkin aja Bang Feno benar, temennya cuma dijebak doang.""Mau dijebak atau nggak, nggak ada urusan sama kita, Sayang. Lagian kamu ini nggak ngerasa aneh, dia jauh-jauh ke sini cuma minta tolong kamu jadi pengacara kasus salah paham?""Ya, nggak masalah 'kan?""Kamu ini jadi naif kalau masalah Feno.""Kamu kok ngomong gitu sih? Dia itu saudaraku, saudara kamu juga. Misalnya mau nolak ya jangan kasar kayak t
Vera pergi ke ruang makan lagi, tapi kakak sepupunya sudah tidak ada di sana. Dia pun mencari hingga ketemu di ruang tamu. Iya, pria itu mondar-mandir di depan sofa, seperti gelisah akan sesuatu."Ada apa, Bang?" Vera heran."Oh, kamu udah di sini—“ Feno sedikit kaget dengan kehadiran Vera. Tetapi, dia kemudian tersenyum. "Nggak apa-apa.""Abang ngapain di sini? Mau nonton televisi atau gimana?”"Enggak, kok. Lagi nungguin kamu dari tadi. Gimana?“Dengan berat hati, Vera mengatakan, ”maaf, Bang. Danno tetep ngotot nggak mau Vera ngambil kasus apapun sekarang. Dia pengen kami fokus bulan madu aja. Maaf.""Ya udah nggak apa-apa. Tapi, kamu nggak apa?“"Maksudnya?”"Suami kamu itu kayaknya protektif banget, dia juga posesif. Kamu nggak terkekang sama dia?""Enggak, kok. Danno dari dulu 'kan juga gitu, Bang. Dia overprotektif. Dia mikirin kebaikan Vera, jadi Vera nggak mungkin marah."“Beneran? Kamu nggak diancam 'kan?""Diancam? Enggak, dong!” Vera tertawa lirih untuk menunjukkan kalau
Beberapa hari kemudian ...Vera sudah mengurus permasalahan jepit dasi suaminya yang ditemukan di TKP pembunuhan oleh polisi. Pihak polisi tetap menjadikan Danno sebagai saksi. Meskipun demikian, mereka tidak berhak menahan pria itu atau menyelidiki terlalu banyak.Di saat kepolisian menyelidiki kematian misterius Hardi, Vera dan Danno bersiap dengan rencana mereka untuk menyusup ke klub malam "LUX"."Kamu nggak bahas luka lebam di tubuh Hardi itu karena aku pukuli 'kan?" tanya Danno di depan cermin meja rias sang istri."Nggak, dong. Kalau aku bilang itu— kamu bakalan ditahan. Pokoknya selama kamu diam, kita akan baik-baik aja." Vera yang berdiri di belakang Danno. Dia sibuk merapikan tatanan rambut pria itu, lalu melihat ke cermin."Maaf ya, Sayang— aku bikin kamu susah."“Tumben sadar diri?”Senyum terbentuk di bibir Danno. Dia melirik istrinya sambil bilang, "minta maaf salah, mukulin orang salah.“"Iya, iya.” Vera tergelak sedikit. “Aku udah biasa sama sifat preman kamu. Dari du
Jalan raya tidak pernah sepi sekalipun sudah dini hari begini. Lima belas menit di jalanan tak membuat Vera sadar kalau diikuti. Iya, itu wajar saja— semua kendaraan tampak tidak mencurigakan.Akan tetapi, setelah setengah jam kemudian— di saat dia mulai berbelok-belok mengikuti arahan dari googlemaps, barulah dia sadar ada satu mobil hitam yang mengintai.Setiap kali dia mengebut, mobil di belakangnya juga mengebut. Setiap kali dia menurunkan kecepatan, kendaraan itu ikut menurunkan kecepatan. Sudah pasti, dia sedang diikuti.Vera tidak tenang. Dia tidak terbiasa sendirian saat pergi kemanapun saat malam-malam begini tanpa Danno.Sambil mengamati kaca spion, dia bertanya pada diri sendiri, "siapa itu? Ada yang ngikutin aku? Sejak kapan? Apa sejak dari rumah? Apa jangan-jangan Alarik dan ayahnya tahu kalau Danno pergi, lalu menunggu kesempatan ini?"Dalam sekejap, pikirannya dipenuhi oleh hal-hal buruk yang mungkin terjadi. Belum lagi, dia tidak terlalu familiar dengan jalan-jalan d