"Tapi itu untuk nanti malam, Sayang—siapin diri kamu, ya~" Danno masih menyeringai. Dia memberikan ciuman mesra ke bibir Vera.Vera menyudahi ciuman itu sembari berbisik, "kita ngomongin ini dulu, dong—Aku ntar lupa kita barusan bahas apaan.“Danno tergelak lirih. Dia kembali ke papan tulis, dia menggambar garis dari foto Roni ke foto Hardi.Dia menjelaskan, "jadi intinya— Hardi, pengedar narkoba yang kita tangkap malam itu, tapi sekarang sudah mati dibunuh. Dia adalah orang yang buat mobil papa kamu menjadi rem blong sampai terjadi kecelakaan sepuluh tahun silam. Selain itu ..."Dia berhenti sejenak untuk menggambar garis dari foto hardi ke foto Henry. "... Hardi cuma suruhan Henry alias ayah Alarik."Spidolnya kemudian mengaitkan garis dari foto Alarik ke foto buram yang sepertinya diambil diam-diam, serta foto hitam putih dari potongan koran yang tidak jelas juga.Suami Vera ini menjelaskan kembali, "Alarik sekarang berbinis prostitusi online dengan membawahi dua mucikari, Johan da
"Sayang ..." Vera menangkup wajah Danno, lalu didorong agar berhenti menciumi wajahnya. Dia mengeluh, "... sampai kapan kamu bakalan cium aku begini?""Mmm... " Danno tersenyum menatap wajah cantik Vera di bawah. "Aku suka mencium kamu."Iya, posisinya masih menindih dada sang istri di atas ranjang. Sudah hampir lima belas menit mereka berciuman, merangsang tubuh masing-masing. Dia tidak mau berhenti— menciumi wanita itu adalah sebuah candu yang sulit dikendalikan.Vera menyentil hidung Danno. Kemudian, dia kembali merangkul tangan di leher sang suami itu. Dia mengingatkan, "kita 'kan lagi rapat penting, jangan cium aku terus, dong.""Padahal kamu sendiri yang minta dicium? Sekarang minta berhenti?""Tadi ... Ini udah kelamaan kamu ciumin bibirku.""Terus maunya aku cium yang lain?" Danno menyeringai. Dia memberikan pandangan genit kepada Vera.Tatapan mata itu sudah bisa membuat Vera mengerti maksudnya. Dia ikut tersenyum, lalu menantang dengan nada suara manja, "kamu mau cium apalag
Vera memasak kari ayam dalam waktu yang lumayan singkat, beruntungnya sudah ada bumbu jadi. Dia tidak mengira kalau ada sanak keluarganya yang mampir ke rumah. Tidak ada persiapan sama sekali."Maaf, Bang, kami baru pindah ke sini, belum belanja juga ..." Wanita itu mencari alasan sambil menyajikan makan siang mereka dia atas meja makan. "Maaf kalau cuma makanan ini aja yang bisa Vera suguhin."Feno, yang sudah duduk di kursinya, mengangguk. "Nggak apa-apa, kok. Ini udah cukup.""Mending tadi pesen makan aja, Sayang," sahut Danno yang kurang minat dengan kari ayam. Dia agak rewel perihal makanan, paling tidak suka dengan kari.Tentu saja, Vera tahu itu. Namun, bumbunya cuma ada itu, dia tidak punya pilihan lain. Dia berkata, "kalau kamu nggak suka, ya udah pesen sendiri sana, aku sama bang Feno makan di sini. Iya 'kan, Bang.""Iya." Feno mulai mengambil lauk. "Masakan kamu selalu enak, kok.""Makasih, Abang~" Vera tersenyum gembira. Dia melirik suaminya yang tampak kesal. Selama ini,
Danno masih menatap Vera. Dia belum ada niat untuk membalas semua yang diucapkannya.Vera terus memberi penjelasan, "sayang, kamu nggak boleh kayak gitu, Bang Feno udah jauh-jauh loh ke sini, kita bahkan belum tanya kasusnya gimana, kapan sidangnya, nggak harus sekarang juga 'kan?""Aku tetep nggak mau.""Kenapa sih?""Ada banyak alasan, pertama abang sepupu kamu itu nggak jelas— kayaknya lagi nyembunyiin sesuatu. Pokoknya aku ngerasa nggak enak. Terus lagi, aku nggak mau kamu urusan sama kasus-kasus berat yang ngelibatin narkoba, obat-obatan kayak begituan, pokoknya nggak.""Tapi mungkin aja Bang Feno benar, temennya cuma dijebak doang.""Mau dijebak atau nggak, nggak ada urusan sama kita, Sayang. Lagian kamu ini nggak ngerasa aneh, dia jauh-jauh ke sini cuma minta tolong kamu jadi pengacara kasus salah paham?""Ya, nggak masalah 'kan?""Kamu ini jadi naif kalau masalah Feno.""Kamu kok ngomong gitu sih? Dia itu saudaraku, saudara kamu juga. Misalnya mau nolak ya jangan kasar kayak t
Vera pergi ke ruang makan lagi, tapi kakak sepupunya sudah tidak ada di sana. Dia pun mencari hingga ketemu di ruang tamu. Iya, pria itu mondar-mandir di depan sofa, seperti gelisah akan sesuatu."Ada apa, Bang?" Vera heran."Oh, kamu udah di sini—“ Feno sedikit kaget dengan kehadiran Vera. Tetapi, dia kemudian tersenyum. "Nggak apa-apa.""Abang ngapain di sini? Mau nonton televisi atau gimana?”"Enggak, kok. Lagi nungguin kamu dari tadi. Gimana?“Dengan berat hati, Vera mengatakan, ”maaf, Bang. Danno tetep ngotot nggak mau Vera ngambil kasus apapun sekarang. Dia pengen kami fokus bulan madu aja. Maaf.""Ya udah nggak apa-apa. Tapi, kamu nggak apa?“"Maksudnya?”"Suami kamu itu kayaknya protektif banget, dia juga posesif. Kamu nggak terkekang sama dia?""Enggak, kok. Danno dari dulu 'kan juga gitu, Bang. Dia overprotektif. Dia mikirin kebaikan Vera, jadi Vera nggak mungkin marah."“Beneran? Kamu nggak diancam 'kan?""Diancam? Enggak, dong!” Vera tertawa lirih untuk menunjukkan kalau
Beberapa hari kemudian ...Vera sudah mengurus permasalahan jepit dasi suaminya yang ditemukan di TKP pembunuhan oleh polisi. Pihak polisi tetap menjadikan Danno sebagai saksi. Meskipun demikian, mereka tidak berhak menahan pria itu atau menyelidiki terlalu banyak.Di saat kepolisian menyelidiki kematian misterius Hardi, Vera dan Danno bersiap dengan rencana mereka untuk menyusup ke klub malam "LUX"."Kamu nggak bahas luka lebam di tubuh Hardi itu karena aku pukuli 'kan?" tanya Danno di depan cermin meja rias sang istri."Nggak, dong. Kalau aku bilang itu— kamu bakalan ditahan. Pokoknya selama kamu diam, kita akan baik-baik aja." Vera yang berdiri di belakang Danno. Dia sibuk merapikan tatanan rambut pria itu, lalu melihat ke cermin."Maaf ya, Sayang— aku bikin kamu susah."“Tumben sadar diri?”Senyum terbentuk di bibir Danno. Dia melirik istrinya sambil bilang, "minta maaf salah, mukulin orang salah.“"Iya, iya.” Vera tergelak sedikit. “Aku udah biasa sama sifat preman kamu. Dari du
Jalan raya tidak pernah sepi sekalipun sudah dini hari begini. Lima belas menit di jalanan tak membuat Vera sadar kalau diikuti. Iya, itu wajar saja— semua kendaraan tampak tidak mencurigakan.Akan tetapi, setelah setengah jam kemudian— di saat dia mulai berbelok-belok mengikuti arahan dari googlemaps, barulah dia sadar ada satu mobil hitam yang mengintai.Setiap kali dia mengebut, mobil di belakangnya juga mengebut. Setiap kali dia menurunkan kecepatan, kendaraan itu ikut menurunkan kecepatan. Sudah pasti, dia sedang diikuti.Vera tidak tenang. Dia tidak terbiasa sendirian saat pergi kemanapun saat malam-malam begini tanpa Danno.Sambil mengamati kaca spion, dia bertanya pada diri sendiri, "siapa itu? Ada yang ngikutin aku? Sejak kapan? Apa sejak dari rumah? Apa jangan-jangan Alarik dan ayahnya tahu kalau Danno pergi, lalu menunggu kesempatan ini?"Dalam sekejap, pikirannya dipenuhi oleh hal-hal buruk yang mungkin terjadi. Belum lagi, dia tidak terlalu familiar dengan jalan-jalan d
Vera harus bersabar dengan omelan demi omelan yang keluar mulut sang suami. Biasanya, dia yang sering mengomel, tapi sekarang Danno. Pria itu terlalu khawatir, terlalu protertif, dan terlalu posesif.“Udah dong, Danno, kamu makin lama makin overprotektif. Iya, iya, aku udah minta maaf— berapa kali aku harus minta maaf supaya kamu puas?” ucap Vera yang tak tahan lagi."Aku bukan pertama kalinya kamu pergi tanpa minta ijin. Aku begini karena kamu yang keterlaluan! Kita udah nikah, Vera— aku suamimu, aku berhak tahu ke mana kamu pergi!""Aku cuma—“ Vera menahan diri. Dia tidak mau membela perbuatannya sekarang. "Maaf, iya aku salah.”Karena Vera terus saja menunduk, Danno mencubit dagu wanita itu, lalu didongakkan sedikit agar menatap wajahnya. Dia bertanya, “kenapa dari tadi nggak mau lihat aku?” “Nggak apa. Aku ngaku salah.” Vera memalingkan pandangan. Dia memang menghindari tatapan dengan sang suami.Danno merasa sudah cukup marah-marah, dan akhirnya memeluk tubuh Vera dengan erat. D