Langit makin gelap, angin bertiup semakin kencang. Aku menggigil, menahan dingin dan tangis. Baru beberapa hari yang lalu melayang begitu tinggi dengan angan-angan pernikahan kami, kini dihempaskan begitu kejam hingga ke dasar bumi. Rasanya remuk redam, tak lagi bertenaga untuk bangkit.
"Lia, ayo pulang." Kembali Mama Yasmin memanggil, memaksaku untuk berdiri dan menuntunku bersama Kania menjauhi pusara Rio seiring dengan menderasnya hujan.Rasa lelah karena telah menempuh perjalanan jauh dan menghadapi kenyataan yang mengejutkan ini secara tiba-tiba, membuat kakiku tak mampu lagi untuk menopang tubuh. Seketika semua terasa gelap. Hanya suara Kania berteriak panik yang terdengar, kemudian hening.Aroma eucalyptus memenuhi indera penciumanku. Wajah Mama Yasmin yang terlihat pasi, menyambut ketika aku membuka mata. Aku mencoba bangki
Tiga tahun berlalu, telah banyak yang berubah dalam hidupku. Aku kembali ke kota kelahiranku, setelah rencana pernikahan dengan Rio batal. Berharap mengobati luka hati karena kehilangan laki-laki yang telah mampu meluluhkan hatiku itu. Meski pada akhirnya masih terseok-seok untuk kembali bangkit.Papa dan Mama tidak lagi mempermasalahkan ketika aku mulai menekuni pekerjaan yang berkutat di seputar gambar. Membuat aku semakin bersemangat untuk berkarya. Dalam tiga tahun aku bisa menyelesaikan beberapa cerita komik. Tiga diantaranya telah di cetak dan meraih best seller.Namun a,da satu hal yang masih belum bisa berubah, perasaanku terhadap Rio. Masih sama seperti saat ia tinggalkan dulu. Sulit bagiku untuk melepas semua kenangan tentangnya. Meski dalam beberapa tahun ini sudah ada beberapa laki-laki yang berusaha mendekati, tapi aku masih belum mampu membuka hati.Setiap tanggal kepergiannya, aku selalu berangkat ke
Meski kesal, tapi kakiku menurut saja ketika Ares menuntun ke parkiran. Duduk dengan patuh di jok penumpang ketika cowok itu membukakan pintu mobilnya untukku."Kita mau kemana?" tanyaku ketika meninggalkan area gedung resepsi Aldo."Makan, yuk!" ajaknya tanpa menoleh padaku."Baru juga beres makan," sahutku dengan wajah kesal."Biasanya lo, kan, makannya banyak," balasnya cuek."Itu udah berapa tahun yang lalu, kali, sudah banyak yang berubah," sahutku ketus.Kenapa dia masih saja mengungkit masa lalu yang telah susah payah kuhapus. Meski beberapa waktu lalu, aku sudah merasa biasa saat bertemu dengannya. Akan tetapi, mendengarnya mengungkit masa lalu, seperti ada yang kembali menggeliat bangun di relung hatiku yang terdalam."Tapi suka cemberutnya nggak beruba
Aku masih terpaku menatap layar lima inchi di tangan. Menimbang-nimbang apakah akan membalas pesan Ares, atau membiarkan saja tanpa berbalas.Akhirnya aku memutuskan untuk membalasnya. Bagaimana pun juga, dia sudah menurunkan egonya untuk meminta maaf dan memperbaiki apa yang telah terjadi di antara kami di masa lalu.[Untuk apa lagi, Res?] hanya kalimat itu yang kuketikkan. Agar tak terlihat bahwa aku menyimpan harap terhadapnya. Aku tidak mau Ares mempermainkan perasaanku kembali.Terlihat bahwa Ares sedang mengetikkan pesan balasan.[Untuk menyelesaikan apa yang pernah kita mulai,] balasnya.[Apa maksudmu? Bukankah semua sudah berakhir enam tahun yang lalu? Tidak ada lagi yang perlu kita selesaikan. Aku sudah memafkanmu dari dulu. Jadi please jangan ganggu hidupku lagi. Aku sudah tenang tanpa kamu, Res.]Tanganku bergetar ketika
"Kamu egois banget, Res. Tiba-tiba saja datang, mendesakku untuk menerimamu seperti ini. Dari kemarin ngomongin masalah penyesalan kamu aja. Apa nggak mikirin gimana perasaanku?" Aku menarik tangan dari genggaman Ares."Iya, ketakutan gue yang membuat gue jadi egois, Li." Dia terlihat begitu bersungguh-sungguh.Jika ada perlombaan manusia galau, sudah pasti aku akan menjadi pemenangnya. Di satu sisi aku masih takut untuk menerima dan melangkah maju bersama Ares.Namun, di sisi yang lain berharap momen seperti ini tak pernah berakhir. Aku masih ingin cowok yang tengah menatap penuh harap di hadapanku ini, memohon untuk bersamaku. Sudah lama sekali aku tak merasa sehidup hari ini, hanya mengobrol sambil menikmati minuman hangat bersama seseorang dari masa lalu dengan suasana yang menenangkan. Semenjak kepergian R
"Jadi ... apa ini berarti lo jawab iya buat permintaan gue tadi?" tanya Ares begitu aku kembali ke meja tempat Ares menunggu."Hah? Belum. Aku masih harus mikirin lagi. Emangnya gampang ngebolak-balikin hati," sungutku mengalihkan tatapan ke buku menu. Mendadak jantungku kembali berlompatan tak karuan."Ya, mungkin karena Tuhan berkehendak kita bersama, Dia ngebalikin hati lo. Kami nomi zo shiru(hanya Tuhan yang tahu),"sahutnya dengan gaya santai dan tersenyum jail."Nan da yo!" (Apaan, sih!) Wajahku mendadak memanas."Ha-ha, tadi pas lo wa minta buat ngaku jadi pacar lo aja gue dah seneng banget, Li. Pengen nerusin beneran gitu," kekehnya makin menggodaku."Ih, udahan, deh. Ntar kal
Aku langsung keluar kamar setelah menutup percakapan dengan Ares. Sayup-sayup kudengar suara Buk Rom membaca ayat suci Al-Qur'an dari kamarnya, kemudian berhenti ketika aku mengetuk pintu. Suara seraknya menyahut dari dalam menyuruhku untuk masuk."Maaf ganggu, Buk," ucapku mengintip cari celah pintu yang sedikit terbuka."Nggak kok, ibuk juga sudah mau beres," ujarnya sambil menutup mushaf yang ada di pangkuannya.Aku masuk dan duduk di samping Huk Rom."Mama suruh Lia nganterin Ibuk ke pasar," kataku sambil memperhatikan Buk Rom menyimpan mushaf dan melipat mukenanya."Ada tamu yang mau datang?" tanya Buk Rom berbalik sambil merapikan gulungan rambut dan menutupnya dengan ciput.Aku mengangguk. "Teman Lia. Mau makan siang di sini," sahutku tak mampu menyembunyikan rasa panas yang menjalar ke pipi saat mengingat Ares."Laki-laki?" tanya Buk Rom tersenyum penuh arti.Sekali lagi aku mengangguk tak dapat menahan se
Tidak ada penolakan atau keberatan yang ditunjukkan Papa ketika Ares meminta restu. Rasanya bagai sebuah keajaiban. Ini seperti sebuah mimpi. Bahkan ketika Mama membiarkanku menghabiskan waktu berdua dengan Ares pun rasanya bagai sesuatu hal yang mustahil yang terjadi.Setelah mengurus tiket untuk keberangkatanku ke Jakarta besok, aku menyempatkan diri untuk mengajak Ares untuk mengunjungi beberapa tempat wisata di kota kelahiranku. Mengajaknya menikmati kuliner khas daerahku.Hal yang tak sempat kulakukan ketika dulu Rio datang ke kotaku dan meminta restu, sama seperti yang Ares lakukan saat ini.Di sepanjang perjalanan, kulihat wajah Ares tersenyum semringah. Rasanya baru kemarin dengan berat hati harus melepaskannya ketika dia menyerah dengan perasaannya. Kini kami kembali bersama. Memulai kembali petualangan baru yang membuat jantungku berlompatan tak karuan seperti saat bersamanya dulu.Ah! Ternyata hatiku
Ketakutan itu kembali muncul. Bagaimana jika sebenarnya Ares bukan orang yang tepat mendampingiku. Bagaimana jika sebenarnya Tuhan sudah memberi sinyal padaku enam tahun yang lalu, bahwa Ares memang tak layak untuk menjadi mendampingiku.Dia masih belum mampu melepas luka masa lalunya. Bagaimana mungkin dia akan mampu membantuku untuk mengobati luka masa laluku? Kami dua orang yang sama-sama membawa luka. Akankah sanggup melewati ujian yang lebih berat ketika berumah tangga kelak?"Nggak, gue anter ke hotel," tolaknya. Kali ini kecepatan mobilnya telah berkurang. Lalu kembali hening. Hanya suara deru ban mobil menjejak aspal, yang terdengar. Beruntung jalanan kali ini tidak terlalu macet, hingga tak perlu terjebak lama-lama dengan laki-laki yang tengah berjuang keras meredakan emosinya itu.*****Ares mengantarku ke hotel yang terletak tak jauh dari lokasi kantor rumah produksi yang menawarkan kerjasama pe