Ini sudah hari ke 4 Alba tinggal bersama Maga. Kecanggungan mereka berdua sudah tidak terlihat lagi, ucapan Alba yang tulus membuat Maga merasa nyaman, dia menjadi mengerti bahwa bicara dengan anak-anak tidak membutuhkan banyak effort. Selera makan Maga dan Alba juga mirip, mereka hampir memilih menu yang sama di Hokben, bahkan dessert juga. Ketika pertama kali pulang dan harus memandikan Alba, disitu Maga sedikit canggung bagaimanapun Alba adalah anak perempuan takut-takut dia salah atau membuat si kecil Alba malu tapi pada akhirnya dia bisa melalui itu semua. Alba juga tidak merepotkan, anak itu pandai bermain sendiri sehingga Maga memiliki banyak waktu untuk mendesain beberapa tato yang sudah dipesan oleh pelanggannya.
Melihat bagaimana Alba bersikap, Maga seperti melihat dirinya sendiri. Karena kedua orangtuanya sibuk bekerja, Maga diharuskan tinggal bersama pengasuh terkadang tinggal bersama tetangga karena satu dan lain hal, tanpa sadar dia membuat dirinya beradaptasi lebih cepat dengan sekitar. Alba juga sama. Anak itu tidak banyak bertanya, bahkan protes, anak itu makan dengan baik, bermain, bahkan ketika waktunya tidur.
Maga mengecek ponselnya, grup sudah sangat ramai karena teman-temannya mengecek keadaannya dengan Alba. Mereka pasti khawatir.
Hari kedua dia lalui dengan mudah juga, bangun pagi sedikit membuatnya agak tersiksa dan juga menyiapkan sarapan untuk si kecil Alba tapi tidak ada masalah lebih dari itu. Dia mengantarkan Alba dan menjemputnya tepat waktu, mata para ibu-ibu dan pengasuh di Sekolah tidak dia pedulikan lagi, memakai baju apapun sudah dia tidak pikirkan.
Dan ini hari keempat, Maga sudah berada di ruang tunggu sekolah Alba untuk menjemputnya. Orang-orang masih memandangnya aneh, nampaknya mereka belum terbiasa melihat pria penuh tato dan tindik mengantar jemput seorang anak kecil. Alba berlari kearahnya dan kini dia sudah bisa membedakan Alba dengan anak-anak lainnya, Alba lebih tinggi 5-10cm dari anak-anak seusianya, rambutnya hitam pekat dan lebat, wajahnya sudah nampak berbeda dari kejauhan karena warna matanya yang sangat mencolok.
“Paman Maga!” Alba memekik, berlari dan memeluknya. Maga menggendong Alba dan mengambil tas anak itu, menyampirkannya di bahu satunya.
“Hi, gorgeous! Gimana sekolahnya?” Tanya Maga, oh, dia bahkan sudah tahu bagaimana memulai obrolan dengan anak usia 4 tahun.
“Aku punya teman baru.” Jawaban yang cukup mengejutkan untuk Maga, tidak terprediksi hari ini si kecil itu memberitahunya hal itu. Maga tidak langsung merespon karena mereka sudah tiba di parkiran, Maga membuka pintu mobil dan mendudukkan Alba di kursi khusus balita, memakaikan bocah itu sabuk pengaman, menutup pintunya dan berjalan setengah memutar untuk masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi mengemudi, dia kembali mengecek kursi Alba sebelum akhirnya menyalakan mesin.
“Itu bagus, memiliki teman baru adalah hal yang bagus.” Ucap Maga sambil menyetir.
“Aku tidak punya teman kemarin.”
Oh sial, kata-kata itu terdengar menyakitkan dan menyedihkan untuk Maga. Siapa yang berani berlaku tidak adil pada si kecil Alba yang cantik dan menggemaskan ini?
“Kenapa? Alba masih malu?” Tanya Maga lagi.
“Tidak, mereka bilang warna mataku aneh.”
Maga mengangguk, terlihat tenang meskipun sudah kesal sekali. Dia tahu pasti beberapa orangtua murid meminta anak-anak mereka tidak mendekati Alba.
“Warna mata Alba cantik kok, sayang sekali ya mereka tidak bisa menghargai hal itu.”
“Menghargai?” Alba menoleh ke arah Maga yang sekarang tengah menelan ludahnya secara paksa karena baru sadar dia menggunakan kosakata yang tidak familiar untuk anak seusia Alba.
“Menghargai itu sikap yang harus dimiliki oleh manusia, karena setiap orang berbeda. Lihat paman Maga, berbeda dengan Daddy Alba ‘kan? Atau paman Yuwa. Paman Maga memiliki banyak sekali gambar ditubuh sedangkan mereka tidak punya, tapi harus saling menghargai karena setiap manusia itu unik.”
Alba masih terdiam, Maga jadi gelisah. Entah anak itu mengerti atau tidak tapi kemudian Alba kembali bercerita.
“Teman Alba namanya Nina.” Ujar bocah itu. Maga mengangguk, “Nina mengajak Alba bermain dan mewarnai, tapi, Nina jadi tidak punya teman. Katanya, tidak apa-apa.”
Maga terdiam.
“Nina tidak punya mama, sama seperti Alba.”
Maga menginjak rem perlahan ketika melihat lampu merah menyala.
“Oh ya? Lalu siapa yang mengantar Nina?” Maga mencoba menjawab dengan pertanyaan lain dan nada yang ceria, takut kalau-kalau Alba bersedih atau lebih parah menangis karena merindukan ibunya.
“Supir dan pengasuh. Nina tinggal dengan neneknya.”
Maga mengangguk.
“Ini,” Tiba-tiba Alba menyodorkan sebuah boneka kecil pada Maga.
“Boneka siapa ini?” Tanya Maga.
“Dari Nina, katanya buat Alba.”
“Sudah bilang terima kasih?”
Alba mengangguk, Maga meminta Alba untuk menyimpannya baik-baik karena itu hadiah dari teman yang baik. Tidak ada percakapan lagi karena Alba jatuh tertidur selama perjalanan, hari ini sedikit macet dan mereka menghabiskan hampir 30 menit sampai ke tempat Maga. Setelah parkir, Maga menggendong Alba, membawakan tas anak itu dan pergi masuk ke dalam tempat tinggalnya. Dia menidurkan Alba di kamar, melihat anak itu tertidur dan mengingat bagaimana dia bercerita Maga berani bertaruh Janu tidak tahu kalau anaknya diperlakukan seperti itu di sekolah.
Dia berniat menelepon Janu tapi jam segini pria itu pasti sedang sibuk-sibuknya. Maka dia mengurungkan niatnya dan malah menelepon ibunya.
“Anakku,” Ibunya menjawab dari ujung telepon, hari ini terdengar normal karena ibunya banyak memakai panggilan aneh untuk menjawab telepon. Dari mulai ‘Anakku’ ‘Jiwaku’ ‘Duniaku’ ‘Jagoanku’ dan lain-lain.
“Sedang apa bu?”
“Oh, pertanyaan dasar rupanya. Kamu mau curhat ya?” Ibunya menggoda.
Maga terdiam, ibunya berdehem, “Ada apa sih Kak? Jangan bikin ibu khawatir ya, nanti ibu kesana loh.”
Maga terkekeh.
“Maga beberapa hari terakhir jagain anaknya Janu.”
“Alba! Aduh ibu harusnya kesitu bantuin, pengen liat cucu ibu juga.”
“Cucu ibu? Sejak kapan tuh?”
“Aduh, anaknya Janu, anaknya Ginel itu cucu ibu juga nanti kamu punya anak juga otomatis jadi cucunya bu Feli kita ‘kan soulmate!”
Maga hanya memutar bola matanya mendengar ibunya.
“Terus kenapa tuh, Kak?”
“Alba tadi cerita, kalau dia punya teman baru. Baru banget punya teman karena dari awal masuk gak ada yang mau dekati dia, katanya dia aneh.”
“Aneh?”
“Iya, warna matanya aneh. Terus aku jawabin, tapi kayanya jawabanku terlalu berat sampai dia gak ngerti, tapi dia seneng banget cerita sampai ngunjukkin boneka pemberian teman barunya.”
Ibu Maga masih mendengarkan.
“Alba bukan anakku, tapi rasanya sakit banget bu dia diperlakukan tidak adil di sekolah. Kayaknya Janu gak tahu kalau anaknya diperlakukan kayak gitu. Waktu aku jemput Alba aja semuanya memperhatikan aku, ya aku tahu sih penampilanku mencolok tapi untuk Alba, dia lahir dengan warna mata yang indah karena memang ibunya punya warna mata yang sama kenapa orang-orang itu meminta anak-anaknya untuk gak dekat sama Alba..”
Ibu Maga terkikik dari ujung telepon.
“Kayaknya gini kali ya Kak obrolan kita kalau kamu punya anak?” Ibunya meledek, Maga mendengus, kekehan ibunya terhenti dan kemudian berkata, “Gak apa-apa kak, sama kaya kamu, nanti Alba juga menemukan teman yang baik untuknya. Memang sangat disayangkan memperlakukan anak seusia Alba secara tidak adil, toh anak itu juga mengerti apa-apa. Tapi ibu yakin, kamu, Janu dan yang lainnya bisa memberikan yang terbaik buat Alba.”
Maga terdiam. Rasanya sedih sekali jika harus mengimajinasikan apa yang terjadi di dalam kelas pada Alba dari sejak masuk kelas sampai akhirnya dia bertemu Nina. Rasanya pasti sangat kesepian.
“Menurut ibu Alba kesepian tidak?” Tanya Maga lagi.
“Pasti. Dia tumbuh bersama neneknya yang sakit, tanpa ibu, dia pasti kesepian dan sekarang harus tinggal bersama orang asing meskipun itu adalah ayahnya sendiri. Ibu harap kalian bisa jadi keluarga untuk Alba.”
Maga mengangguk meskipun ibunya tidak bisa melihat hal itu, dia kemudian berbicara sebentar dengan ibunya menanyakan keadaan mereka dan juga membicarakan pertandingan Javis sampai akhirnya dia menutup teleponnya. Jam sudah menunjukkan pukul 4 ketika Alba keluar dari kamar dengan muka bangun tidur. Maga tersenyum lebar, menyambut anak itu dalam pelukan.
“Kita makan diluar lagi ya hari ini?” Tanyanya dan Alba menjawabnya dengan anggukan.
Hari ini Alba sangat bersemangat, sejak pagi dia sudah sangat ceria. Ketika Maga memandikannya dia terus berceloteh mengenai banyak hal, dia bercerita apa yang dia tonton kemarin meskipun Maga ada disampingnya dan menonton hal yang sama. Dia juga kembali menceritakan apa yang dia lakukan bersama Nina yang tentu saja sudah sangat Maga hapal, Maga sendiri sedang menebak-nebak mengapa anak ini sangat penuh semangat dan terus mengulang hal yang sudah Maga tahu.Maga mengeringkan rambut Alba dan menyisirnya ketika anak itu tengah memilih hiasan rambut. Hiasan rambut itu mereka beli kemarin ketika pemadaman listrik berlangsung di tempat Maga, karena panas dan juga bosan akhirnya mereka memutuskan untuk berjalan-jalan ke Mall dan berakhir menghabiskan waktu di toko aksesoris anak-anak.“Mau pakai warna purple.”“Ungu,”“Iya, ungu!”Maga memakaikan jepitan pita berwarna ungu itu di rambut Alba, sedikit miring karena Maga
Ini hari kedua setelah Janu pulang dan Alba kembali bersamanya, sejak hari pertama Alba tidak berhenti membicarakan bagaimana dia memiliki teman baru. Namanya, Nina. Nina memberikannya boneka kecil di hari pertama mereka memutuskan untuk menjadi teman, Nina sudah tidak memiliki ibu dan tinggal bersama neneknya. Dia hanya diantar oleh supir dan pengasuhnya ketika bersekolah, Nina punya seorang kakak laki-laki. Sudah. Tidak ada lagi informasi mengenai Nina yang Janu dapatkan. Alba juga tidak menceritakan teman lain selain Nina hingga Janu merasa janggal. Janu hendak bertanya pada Maga tetapi pemuda itu sudah mulai membuka toko tatonya dan sepertinya sudah memiliki banyak jadwal yang penuh.Hari minggu kali ini, Janu sudah merencanakan banyak kegiatan bersama Alba tapi ketika dia baru selesai bersiap-siap Alba menghampirinya dengan terbatuk-batuk, wajah anak itu memerah. Janu menyambutnya dengan pelukan dan menggendong anak itu, tubuhnya agak panas. Jadi, Janu menelepon pengasuh
Janu mengecek ponselnya berkali-kali, tidak ada kabar dari Sadam. Hari ini Sadam mendapat giliran menjaga Alba setelah dua hari terakhir Janu dan Yuwa serta yang lainnya bergantian menjaga bocah itu, hari ini Sadam meminta hanya dia seorang diri yang menjaga si kecil. Bukan Janu tidak percaya pada Sadam, hanya saja dia itu bintang terkenal di Indonesia. Seluruh negeri tahu siapa dia, Janu hanya takut kehadiran Sadam di Rumah Sakit menjadi keributan kecil tersendiri, bisa-bisa karena penggemarnya yang kebanyakan ibu-ibu atau bahkan para perawat ingin berfoto dengan Sadam ruang rawat Alba menjadi ricuh.Janu menghela napas. Mengecek sekali lagi ke ponselnya, dia kini mengalihkan pandangannya ke depan, dia sedang mengikuti meeting untuk project baru, tidak bisa mendapat izin begitu saja hanya karena anak sakit. Pekerjaannya memiliki waktu fleksibel, tapi tidak ada alasan ketika sebuah project baru dikeluarkan. Bosnya sudah meminta maaf mengenai hal ini, d
Alba sudah diperbolehkan pulang ke rumah hari ini oleh dokternya, panasnya sudah turun dan dia terlihat jauh lebih baik. Darahnya sudah diambil untuk pemeriksaan kesehatan lebih lanjut dan juga si kecil Alba sudah menjalani segala prosedur untuk mengecek kesehatannya, yang harus dilakukan sekarang adalah menunggu. Janu berharap tidak ada berita menyedihkan mengenai kondisi Alba, setidaknya dia ingin Alba sehat.Hari ini, selain Janu, Maga juga menemani karena yang lain sedang tidak bisa datang mengantar Alba pulang. Magani membawakan boneka beruang baru untuk Alba, si kecil berjingkrak kegirangan dan memeluk boneka itu dengan erat.“Ayo pulang!” Pekik Alba penuh semangat.Di perjalanan Alba tidak berhenti mengoceh mengenai bagaimana dia sangat bersemangat dan menantikan untuk kembali bersekolah. Dia terus bercerita tentang Nina, cerita yang sudah Janu dan Magani dengar berulang kali. Tapi tetap, keduanya masih merespon cerita itu penuh antusias sehin
Rainer membaca pesan-pesan di grup Whatsapp, akhir-akhir ini grup itu sangat ramai sekali dengan berbagai banyak pesan masuk mengenai keseharian mereka dengan si kecil Alba. Entah Janu ataupun Yuwa, mereka seakan berlomba-lomba untuk menghabiskan waktu dengan bocah itu. Bukannya Rainer tidak menyukai Alba, bukan juga tidak menyukai kehadiran bocah itu tetapi grup hanya membahas bagaimana keseharian Alba. Alba inilah, Alba itulah, semuanya tentang bocah itu. Sebenarnya cukup bagus, karena sesungguhnya grup itu biasanya sangat sepi, beberapa kali hanya Janu yang membagikan jadwal tur artis di agensinya atau membagikan tiket gratis untuk konser. Terkadang Magani juga mengirimkan foto tato yang baru saja dia buat dan yang lainnya hanya menanggapi sekedarnya saja, tidak ada yang lebih, tapi akhir-akhir ini semuanya bahkan mengecek bagaimana keadaan masing-masing.Mengejutkan, tapi ke arah yang baik dan itu bagus.Menyimpan ponselnya ke dalam saku, Rainer menatap jalanan di
Matahari sangat terik hari ini, ketika pria tinggi itu keluar dari mobil dia bisa merasakan sengatan yang membuat seluruh kulitnya nyeri, kembali masuk ke dalam mobil dia mencari sesuatu di belakang mobilnya. Ketemu. Ruang tunggu di sekolah Alba tampak penuh hari ini, mungkin karena ini adalah hari terakhir sekolah sebelum akhir pekan jadi hampir semua orangtua hadir untuk menjemput anak-anaknya, semua mata sedang tertuju pada satu orang sekarang, seorang pria dengan celana bahan berwarna hitam, sendal jepit hitam, dan kaos V neck putih tangan panjang serta payung hitam lengkap dengan kacamata hitam plus masker berwarna putih yang menutup wajahnya. Penampilan aneh yang super mencolok itu berhasil membuat semua orang yang berada disana penasaran siapakah dirinya, apakah dia adalah salah satu orangtua murid? Sadam berdehem, merasa apa yang dia kenakan sudah cukup untuk membuatnya terlihat normal dan tidak menarik perhatian. Dia mencari tempat duduk kosong namun tidak m
Alba keluar dari ruang kelasnya, matanya berkeliling mencari sosok seseorang di tengah banyaknya orang yang berlalu lalang, keningnya berkerut karena dia tidak menemukan sosok itu diantara para orang dewasa.“Hey,” Seseorang kemudian mengangkat tubuhnya tinggi-tinggi dan Alba tahu siapa itu, hanya satu orang yang sering menggendongnye ketika bertemu.“Paman Yuwa!” Pekiknya, mendapati wajah tampan Yuwa tepat di hadapannya. “Kok paman Yuwa yang ada disini? Kata Dad paman Sadam jemput Alba?” Alba memegang wajah Yuwa dengan kedua tangannya, dia senang dengan wangi yang dikeluarkan dari tubuh pamannya yang satu ini.“Paman Sadam ada syuting hari ini, dan dia lupa.” Yuwa menjawab pertanyaan si kecil sambil berjalan sesekali dia sedikit membungkuk karena beberapa orangtua murid atau para pengasuh mereka mengenalnya. Ya, Yuwa sering mengantar, menunggui dan menjemput Alba sama seperti Magani dia cukup dikenal.Alba
Janu masih berada di kantornya, headphone masih terpasang, matanya masih tertuju ke layar komputer sambil sesekali dia bergerak mengikuti irama lagu yang masuk ke dalam telinganya, sampai kacamatanya melorot sedikit setiap kali dia mengangguk-anggukkan kepala, kakinya naik turun, dan tangan kirinya sibuk memencet-mencet tombol keyboard yang berada di sebelah meja sedangkan tangan kanannya memainkan mouse.Dia sudah berada di kantor selama 3 hari, mengerjakan project millik Kiyoko. Project ini begitu penting untuk si penyanyi karena setelah dua tahun akhirnya dia memiliki lagu baru, para penggemarnya sudah menunggu, dan di waktu istirahatnya selama dua bulan ini Kiyoko masih sering datang ke kantor untuk membahas lagu dan rekaman. Meskipun si penyanyi hanya datang beberapa kali, untuk Janu sendiri dia tidak bisa pulang pergi begitu saja, terkadang kalau dia sedang punya banyak inspirasi dia bisa terlalu asyik sampai-sampai lupa waktu.Selama tiga hari ini Alba