Share

BAB 8

Ini sudah hari ke 4 Alba tinggal bersama Maga. Kecanggungan mereka berdua sudah tidak terlihat lagi, ucapan Alba yang tulus membuat Maga merasa nyaman, dia menjadi mengerti bahwa bicara dengan anak-anak tidak membutuhkan banyak effort. Selera makan Maga dan Alba juga mirip, mereka hampir memilih menu yang sama di Hokben, bahkan dessert juga. Ketika pertama kali pulang dan harus memandikan Alba, disitu Maga sedikit canggung bagaimanapun Alba adalah anak perempuan takut-takut dia salah atau membuat si kecil Alba malu tapi pada akhirnya dia bisa melalui itu semua. Alba juga tidak merepotkan, anak itu pandai bermain sendiri sehingga Maga memiliki banyak waktu untuk mendesain beberapa tato yang sudah dipesan oleh pelanggannya.

Melihat bagaimana Alba bersikap, Maga seperti melihat dirinya sendiri. Karena kedua orangtuanya sibuk bekerja, Maga diharuskan tinggal bersama pengasuh terkadang tinggal bersama tetangga karena satu dan lain hal, tanpa sadar dia membuat dirinya beradaptasi lebih cepat dengan sekitar. Alba juga sama. Anak itu tidak banyak bertanya, bahkan protes, anak itu makan dengan baik, bermain, bahkan ketika waktunya tidur.

Maga mengecek ponselnya, grup sudah sangat ramai karena teman-temannya mengecek keadaannya dengan Alba. Mereka pasti khawatir.

Hari kedua dia lalui dengan mudah juga, bangun pagi sedikit membuatnya agak tersiksa dan juga menyiapkan sarapan untuk si kecil Alba tapi tidak ada masalah lebih dari itu. Dia mengantarkan Alba dan menjemputnya tepat waktu, mata para ibu-ibu dan pengasuh di Sekolah tidak dia pedulikan lagi, memakai baju apapun sudah dia tidak pikirkan.

Dan ini hari keempat, Maga sudah berada di ruang tunggu sekolah Alba untuk menjemputnya. Orang-orang masih memandangnya aneh, nampaknya mereka belum terbiasa melihat pria penuh tato dan tindik mengantar jemput seorang anak kecil. Alba berlari kearahnya dan kini dia sudah bisa membedakan Alba dengan anak-anak lainnya, Alba lebih tinggi 5-10cm dari anak-anak seusianya, rambutnya hitam pekat dan lebat, wajahnya sudah nampak berbeda dari kejauhan karena warna matanya yang sangat mencolok.

“Paman Maga!” Alba memekik, berlari dan memeluknya. Maga menggendong Alba dan mengambil tas anak itu, menyampirkannya di bahu satunya.

“Hi, gorgeous! Gimana sekolahnya?” Tanya Maga, oh, dia bahkan sudah tahu bagaimana memulai obrolan dengan anak usia 4 tahun.

“Aku punya teman baru.” Jawaban yang cukup mengejutkan untuk Maga, tidak terprediksi hari ini si kecil itu memberitahunya hal itu. Maga tidak langsung merespon karena mereka sudah tiba di parkiran, Maga membuka pintu mobil dan mendudukkan Alba di kursi khusus balita, memakaikan bocah itu sabuk pengaman, menutup pintunya dan berjalan setengah memutar untuk masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi mengemudi, dia kembali mengecek kursi Alba sebelum akhirnya menyalakan mesin.

“Itu bagus, memiliki teman baru adalah hal yang bagus.” Ucap Maga sambil menyetir.

“Aku tidak punya teman kemarin.”

Oh sial, kata-kata itu terdengar menyakitkan dan menyedihkan untuk Maga. Siapa yang berani berlaku tidak adil pada si kecil Alba yang cantik dan menggemaskan ini?

“Kenapa? Alba masih malu?” Tanya Maga lagi.

“Tidak, mereka bilang warna mataku aneh.”

Maga mengangguk, terlihat tenang meskipun sudah kesal sekali. Dia tahu pasti beberapa orangtua murid meminta anak-anak mereka tidak mendekati Alba.

“Warna mata Alba cantik kok, sayang sekali ya mereka tidak bisa menghargai hal itu.”

“Menghargai?” Alba menoleh ke arah Maga yang sekarang tengah menelan ludahnya secara paksa karena baru sadar dia menggunakan kosakata yang tidak familiar untuk anak seusia Alba.

“Menghargai itu sikap yang harus dimiliki oleh manusia, karena setiap orang berbeda. Lihat paman Maga, berbeda dengan Daddy Alba ‘kan? Atau paman Yuwa. Paman Maga memiliki banyak sekali gambar ditubuh sedangkan mereka tidak punya, tapi harus saling menghargai karena setiap manusia itu unik.”

Alba masih terdiam, Maga jadi gelisah. Entah anak itu mengerti atau tidak tapi kemudian Alba kembali bercerita.

“Teman Alba namanya Nina.” Ujar bocah itu. Maga mengangguk, “Nina mengajak Alba bermain dan mewarnai, tapi, Nina jadi tidak punya teman. Katanya, tidak apa-apa.”

Maga terdiam.

“Nina tidak punya mama, sama seperti Alba.”

Maga menginjak rem perlahan ketika melihat lampu merah menyala.

“Oh ya? Lalu siapa yang mengantar Nina?” Maga mencoba menjawab dengan pertanyaan lain dan nada yang ceria, takut kalau-kalau Alba bersedih atau lebih parah menangis karena merindukan ibunya.

“Supir dan pengasuh. Nina tinggal dengan neneknya.”

Maga mengangguk.

“Ini,” Tiba-tiba Alba menyodorkan sebuah boneka kecil pada Maga.

“Boneka siapa ini?” Tanya Maga.

“Dari Nina, katanya buat Alba.”

“Sudah bilang terima kasih?”

Alba mengangguk, Maga meminta Alba untuk menyimpannya baik-baik karena itu hadiah dari teman yang baik. Tidak ada percakapan lagi karena Alba jatuh tertidur selama perjalanan, hari ini sedikit macet dan mereka menghabiskan hampir 30 menit sampai ke tempat Maga. Setelah parkir, Maga menggendong Alba, membawakan tas anak itu dan pergi masuk ke dalam tempat tinggalnya. Dia menidurkan Alba di kamar, melihat anak itu tertidur dan mengingat bagaimana dia bercerita Maga berani bertaruh Janu tidak tahu kalau anaknya diperlakukan seperti itu di sekolah.

Dia berniat menelepon Janu tapi jam segini pria itu pasti sedang sibuk-sibuknya. Maka dia mengurungkan niatnya dan malah menelepon ibunya.

“Anakku,” Ibunya menjawab dari ujung telepon, hari ini terdengar normal karena ibunya banyak memakai panggilan aneh untuk menjawab telepon. Dari mulai ‘Anakku’ ‘Jiwaku’ ‘Duniaku’ ‘Jagoanku’ dan lain-lain.

“Sedang apa bu?”

“Oh, pertanyaan dasar rupanya. Kamu mau curhat ya?” Ibunya menggoda.

Maga terdiam, ibunya berdehem, “Ada apa sih Kak? Jangan bikin ibu khawatir ya, nanti ibu kesana loh.”

Maga terkekeh.

“Maga beberapa hari terakhir jagain anaknya Janu.”

“Alba! Aduh ibu harusnya kesitu bantuin, pengen liat cucu ibu juga.”

“Cucu ibu? Sejak kapan tuh?”

“Aduh, anaknya Janu, anaknya Ginel itu cucu ibu juga nanti kamu punya anak juga otomatis jadi cucunya bu Feli kita ‘kan soulmate!”

Maga hanya memutar bola matanya mendengar ibunya.

“Terus kenapa tuh, Kak?”

“Alba tadi cerita, kalau dia punya teman baru. Baru banget punya teman karena dari awal masuk gak ada yang mau dekati dia, katanya dia aneh.”

“Aneh?”

“Iya, warna matanya aneh. Terus aku jawabin, tapi kayanya jawabanku terlalu berat sampai dia gak ngerti, tapi dia seneng banget cerita sampai ngunjukkin boneka pemberian teman barunya.”

Ibu Maga masih mendengarkan.

“Alba bukan anakku, tapi rasanya sakit banget bu dia diperlakukan tidak adil di sekolah. Kayaknya Janu gak tahu kalau anaknya diperlakukan kayak gitu. Waktu aku jemput Alba aja semuanya memperhatikan aku, ya aku tahu sih penampilanku mencolok tapi untuk Alba, dia lahir dengan warna mata yang indah karena memang ibunya punya warna mata yang sama kenapa orang-orang itu meminta anak-anaknya untuk gak dekat sama Alba..”

Ibu Maga terkikik dari ujung telepon.

“Kayaknya gini kali ya Kak obrolan kita kalau kamu punya anak?” Ibunya meledek, Maga mendengus, kekehan ibunya terhenti dan kemudian berkata, “Gak apa-apa kak, sama kaya kamu, nanti Alba juga menemukan teman yang baik untuknya. Memang sangat disayangkan memperlakukan anak seusia Alba secara tidak adil, toh anak itu juga mengerti apa-apa. Tapi ibu yakin, kamu, Janu dan yang lainnya bisa memberikan yang terbaik buat Alba.”

Maga terdiam. Rasanya sedih sekali jika harus mengimajinasikan apa yang terjadi di dalam kelas pada Alba dari sejak masuk kelas sampai akhirnya dia bertemu Nina. Rasanya pasti sangat kesepian.

“Menurut ibu Alba kesepian tidak?” Tanya Maga lagi.

“Pasti. Dia tumbuh bersama neneknya yang sakit, tanpa ibu, dia pasti kesepian dan sekarang harus tinggal bersama orang asing meskipun itu adalah ayahnya sendiri. Ibu harap kalian bisa jadi keluarga untuk Alba.”

Maga mengangguk meskipun ibunya tidak bisa melihat hal itu, dia kemudian berbicara sebentar dengan ibunya menanyakan keadaan mereka dan juga membicarakan pertandingan Javis sampai akhirnya dia menutup teleponnya. Jam sudah menunjukkan pukul 4 ketika Alba keluar dari kamar dengan muka bangun tidur. Maga tersenyum lebar, menyambut anak itu dalam pelukan.

“Kita makan diluar lagi ya hari ini?” Tanyanya dan Alba menjawabnya dengan anggukan.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Yielda Sofyan
kereeen kak ceritanya....... BFF sejati tuh paman2 nya Alba...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status