Share

BAB 7

Magani tidak pandai dengan anak-anak, dia anak tunggal sebelum Javis masuk ke dalam keluarganya. Kedua orangtuanya sibuk bekerja sehingga Maga biasa ditinggal bersama dengan pengasuhnya, Maga juga tidak jago bersosialisasi, dia biasanya hanya ikut kemanapun ibunya pergi maka dari itu dia berakhir berteman dengan Janu. Maga jarang berbicara, dia biasanya hanya menjadi seorang pengamat seperti ayahnya tapi jika sudah dekat terkadang dia jauh lebih cerewet seperti ibunya.

Ketika Janu memperkenalkan Alba, ada rasa canggung yang tercipta. Maga mengambil jarak cukup jauh pada Alba. Bukan karena dia membenci anak itu, hanya saja dia memang tidak bisa begitu saja akrab dengan anak-anak, dia banyak berpikir seperti topik apa yang harus dibicarakan dengan seorang anak usia 4 tahun? Bertanya apakah anak itu sudah makan atau belum rasanya terlalu dasar sehingga dia berakhir tidaka mengajak Alba mengobrol.

Beberapa kali Maga menjaga Alba tapi tidak sendirian, dia selalu mengajak Alba ke tempat Yuwa atau beberapa kali dia mengajak Alba ke tempat Theo. Bagi Magani, teman-temannya yang lain sangat mahir mengajak Alba mengobrol bahkan adiknya Javis, bisa sangat akrab dengan Alba mereka berdua bahkan sudah menciptakan tos persahabatan. Sadam dan Rain termasuk orang-orang yang gampang akrab dengan Alba, sedangkan Maga masih berpikir topik apa yang harus dia bawa untuk mengajak Alba bicara. Dia tidak terlalu mengikuti perkembangan anak-anak, seperti lagu yang sedang hype di kalangan anak-anak seusia Alba atau mainan. Jadi dia berakhir hanya diam saja dan Alba juga tidak banyak bicara ketika bersamanya.

Namun hari ini, dia tiba-tiba membaca pesan di grup kalau pengasuh Alba masuk Rumah Sakit semalam sedangkan Janu akan pergi ke luar kota selama 4 hari karena urusan pekerjaan. Yuwa sedang tidak bisa mengajukan diri karena dia berada di luar kota sejak 3 hari lalu, dia sedang mengikuti pelatihan merangkai bunga. Sadam ada syuting sehingga dia tidak mungkin mengajak Alba, dia tidak tega membiarkan Alba diam di mobil selama dia bekerja sedangkan syuting bisa memakan waktu lama. Rainer sedang tidak di Indonesia, dia sedang berada di Malaysia sampai minggu depan. Theo juga sama sibuknya, lagipula jarak kosan Theo terlalu jauh dengan TK Alba.

Sadam : Jangan di kosan kak Theo, bau naga kosannya.

Begitu kata Sadam di grup yang kemudian dijawab menggunakan Voice Note makian oleh Theo.

Javis sedang ada di Dorm untuk pelatihan. Satu-satunya orang yang sedang tidak sibuk adalah Maga, sudah dua hari ini tokonya tutup karena ada sedikit renovasi yang memakan waktu seminggu. Selama itu yang dia lakukan hanya diam di apartemen dan melakukan aktivitas tidur siang serta melamun. Menimbang, akhirnya dia memberanikan diri membalas pesan Janu di grup.

Janu : Apa aku tanya ibuku ya?

Kak Yuwa : Loh, kalo gitu nanti Alba libur sekolah dong? Dia baru masuk seminggu loh Nu.

Maga : Aku aja.

Sontak teman-teman lainnya memberikan komentar, bahkan Theo dan Javis yang jarang sekali berkomentar di grup tiba-tiba muncul membalas pesan. Mereka terkejut karena Maga mengajukan dirinya untuk mengasuh Alba. Bukan karena mereka pikir Maga malas, tetapi mereka tahu benar bagaimana Alba dan Maga. Keduanya begitu canggung.

Janu : Seriusan Kak? Yakin kakak bisa?

Magani membaca pesan itu, cukup lama sampai akhirnya dia membalas.

Maga : Jam berapa pulangnya, Alba?

Maka sudah diputuskan kalau Alba akan bersama dia selama Janu berada di luar kota.

Ada rasa khawatir sedikit dari diri Maga untuk menjaga Alba selama beberapa hari, selain karena dia tidak bisa memilih topik percakapan, dia juga takut oranglain memandangnya buruk. Seperti siang ini, dia akhirnya pergi ke sekolah Alba untuk menjemput. Janu sudah memberitahu ibu wali kelas Alba kalau Alba akan dijemput oleh salah satu pamannya, dengan penuh kekhawatiran takut-takut sekolah tidak menyerahkan putrinya pada Maga dan berpikir Maga adalah salah satu komplotan penculik, Janu sampai mengirimkan foto Maga pada ibu wali kelas Alba.

Maga keluar dari mobil dan berjalan dari parkiran menuju ruang tunggu orangtua. Ada perasaan gelisah serta tidak nyaman ketika semua mata tertuju padanya. Siang ini dia mengenakan celana jeans panjang, boots hitam dan kaos hitam polos. Dia juga memakai topi hitam serta masker, sayangnya dia tidak membawa hoodie karena tertinggal diatas tempat tidur, saking gugupnya untuk menjemput Alba dia tidak memperhatikan hal itu. Alhasil, tatonya terpampang jelas, begitu juga dengan piercing di telinga dan bibirnya. Dengan canggung, Maga melihat sekitar mencari tempat yang kosong, sialnya tidak ada satupun yang kosong semuanya hampir penuh. Selain orangtua beberapa pengasuh juga berada disana, semua mata benar-benar memperhatikannya, penampilannya yang serba hitam terlihat sangat mencolok disana.

Maga duduk disebelah salah satu pengasuh, dia tahu karena baju yang dipakai wanita paruh baya disampingnya sama persis dengan baju seragam milik pengasuh Alba. Dia bisa merasakan beberapa orang mulai berbisik, mungkin menebak siapa dia, atau mungkin mulai sibuk menilai bagaimana penampilannya.

Maga menghela napas.

Seharusnya dia sudah merasa terbiasa dengan hal itu, setelah dia memutuskan menjadi seorang tattoo artist dan mulai memberikan sentuhan tato di beberapa bagian tubuhnya orang-orang memandangnya secara berbeda. Ketika dia pertama kali pulang dengan keadaan seperti ini hanya orangtuanya dan orangtua Janu yang menganggapnya biasa saja, seperti tidak ada perubahan besar padanya. Sedangkan para tetangga mulai bergosip, iseng Maga pernah bertanya pada ibu dan ayahnya apa tanggapan mereka begitupula dengan Javis mereka hanya menjawab.

“Bagus kok, cuma ibu gak suka tato mawarnya ya yah?” Ucap ibu sambil menoleh pada ayah.

“Iya, coba itu artinya apa kalau tato mawar begitu?”

Pertanyaan yang membuat Maga semakin terheran-heran padahal kedua orangtuanya adalah seorang dosen yang disegani, untuk ukuran orang Indonesia tanggapan mereka membuat Maga sedikit lega. Hanya saja terkadang omongan saudara-saudara kepada ibu dan ayahnya membuat Maga merasa bersalah, suatu kali dia pernah memergoki ibunya menangis karena tantenya berkata malu setiap kali Maga muncul di acara keluarga, saat itu Javis belum memiliki tato juga sehingga hanya Maga yang selalu dikomentari habis-habisan. Maga bertanya pada ibunya apakah dia harus menghapus tatonya dan memilih pekerjaan yang layak, ibunya berkata “Loh? Kakak kerjaannya sudah layak, kerjaan kakak ini termasuk halal, kenapa mesti dipikirkan? Ibu nangis cuma karena sedih saja mereka tidak bisa melihat dari sisi seni dimana tato juga termasuk di dalamnya, sama seperti pelukis, kakak ‘kan membuat seni yang indah.”

Maga memeluk ibunya dan menangis, meminta maaf kalau pilihannya membuat ibunya terluka. Setelah Javis memenangkan kejuaraan dan meminta dibuatkan tato pada Maga, Maga memperingatkan kalau Javis harus meminta izin pada orangtua mereka dulu. Maga tidak ingin kejadiannya terulang, mungkin ibu dan ayahnya sedikit kecewa namun tidak bisa mengungkapkannya.

“Buat saja, itu hak adek kalau mau pakai tato.” Kata ayahnya ketika Javis bertanya.

Maka ketika dua orang anak mereka sudah penuh tato di beberapa bagian tubuhnya para saudara semakin menjadi sedangkan ibu dan ayah tidak peduli.

“Yang penting kakak sama adek gak minta-minta sama mereka, kakak sama adek punya hak dan mereka gak bisa menentukan hidup kalian. Asal jangan lupa kewajiban kalian masing-masing saja ya.” Ucap ayahnya.

Diam-diam Maga bersyukur memiliki orangtua yang seperti itu, yang terkadang membuat Theo iri setengah mati karena Maga dan Javis bisa memilih jalan mereka masing-masing.

Maga kemudian tersadar bahwa sejak tadi kepalanya asik memikirkan masa lalu sehingga tidak terasa bel pulang telah berbunyi, anak-anak kecil berlarian ketika pintu kelas-kelas mereka dibuka. Maga sedikit terkejut, mereka semua hampir terlihat sama dia jadi khawatir tidak bisa menemukan Alba. Mencari, mencari, tiba-tiba sebuah tangan kecil menggenggam tangannya. Dia menunduk dan mendapati Alba menatapnya.

“Eh, gak keliatan,” Ujar Maga, canggung.

“Ibu guru bilang, paman Maga jemput.” Alba berkata, Maga berjongkok di depan Alba memperhatikan wajah anak itu, mata berwarna birunya sangat kontras dengan rambut hitam pekat kuncir dua itu. Maga mengambil tas Alba dan membawanya, menggenggam tangan anak itu erat.

“Tinggal sama paman dulu ya, Dad lagi ke luar kota ada pekerjaan.”

Alba berjalan disebelah Maga.

“Lama tidak?”

“Kayanya gitu, Alba gak apa-apa sama paman?”

Alba terdiam, kemudian mengangguk. Maga bisa merasakan anggukan itu hanya dari genggaman tangan.

“Maaf ya, paman tidak bawa jaket, orang-orang jadi ngeliatin Alba.”

Alba kemudian berhenti berjalan membuat Maga sedikit terkejut, Maga menoleh dan mendapati Alba sedang celingukan mengamati sekitar.

“Kenapa memangnya?” Tanya Alba.

Dengan sedikit canggung, Maga akhirnya berjongkok lagi di depan Alba. “Ini,” Dia menunjuk tatonya. “Buat orang-orang ini menyeramkan, mereka pikir cuma orang jahat yang punya ini.”

Wajah Alba kemudian berubah, Maga bisa melihat kerutan disekitar dahinya, gadis kecil itu tengah berpikir.

“Tapi ini cantik,” Ujarnya, menunjuk salah satu tato Maga. “Gambarnya paman Maga cantik, indah.”

Maga terdiam, dia menatap Alba yang tengah berbicara. Bocah kecil itu mengatakannya dengan tulus, menunjuk salah satu tatonya dan berkata bahwa itu terlihat cantik.

“Paman Maga baik, tidak seram, tidak jahat.”

Dan kata-kata itu sukses membuat Maga hampir menangis, dia tersenyum, berusaha menahan rasa yang tidak dia mengerti tengah bergejolak di dalam dadanya. Dia mengelus puncak kepala Alba dan menggendong bocah itu.

“Mau makan siang diluar gak? Paman gak masak.”

Alba mengangguk, “Hokben ya.”

Hari itu, Maga tahu bahwa tidak perlu ada topik pembicaraan yang spesifik ketika berbicara dengan anak kecil berusia 4 tahun. Apapun bisa menjadi topik yang menyenangkan, mereka bahkan bisa menghargai sesuatu lebih dari orang dewasa.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status